Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 13 Januari 2009

Kisah Ngatini, Gajah Liar yang Diakhiri Kebebasannya di Alam


Ngatini adalah seekor gajah liar berjenis kelamin betina. Ia adalah gajah yang dianggap sebagai hama sehingga ditangkap dan kini menjadi penghuni Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Kabupaten Siak. Ia adalah satu dari sekitar 224 ekor gajah sepanjang tahun 200-2007 yang terpaksa ditangkap untuk menyelesaikan konflik gajah dan manusia di Riau. Meski Ngatini sudah ditangkap bersama ratusan gajah lainnya, namun sampai saat ini konflik gajah dan manusia di Riau belum juga berakhir hingga saat ini.

Laporan Andi Noviriyanti, Minas
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

25 September 2007, sebuah peluru bius menancap di tubuh seekor gajah betina berusia sepuluh tahun. Peluru bius itu berasal dari senjata bius gajah yang ditembakkan oleh seorang pawang gajah dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dari jarak sekitar 100 meter. Gajah betina itu dipilih menjadi sasaran tembak peluru bius, karena ialah gajah yang posisinya paling belakang dari rombongan kelompok gajah yang tengah menjelajah di Desa Bencah Kelubi, Tapung, Kabupaten Kampar.


Gajah betina itu diakhiri kehidupannya di alam bebas, karena masyarakat di Bencah Kelubi, menganggap ia dan kelompoknya adalah hama. Gajah itu memakan tanaman pertanian mereka, kadang-kadang juga mendatangi rumah mereka. Konflik gajah dan manusia di kawasan ini sudah kerap terjadi. Alhasil tiap kali kawanan gajah ini melewati daerah jelajahnya tersebut mendorong masyarakat meminta kawanan gajah itu ditangkap. Padahal Bencah Kelubi, Tapung adalah satu dari 15 kantong populasi gajah di Riau.
Gajah betina yang terbius itu, akhirnya harus pingsan sendiri tanpa diketahui kelompoknya yang terus melaju ke depan. Dengan bantuan gajah jinak ia pun digiring ke batang pohon di sekitar kawasan itu. Setelah beberapa hari kemudian, barulah ia di bawah ke Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Minas, Kabupaten Kampar.
Sebagai gajah liar, ia gelisah. Tak terbiasa leher dan kaki-kakinya di borgol rantai. Ia berusaha sekuat tenaga lepas dari jeratan rantai besi itu. Akibatnya kulit leher dan kakinya tersayat-sayat hingga luka itu pun menganga. Kondisi luka yang menganga itu dan tidak steril membuat lukanya bernanah. Bila sudah dalam keadaan seperti itu, dua gajah jinak akan siap menggiringnya ke tiang-tiang kayu yang khusus disiapkan tempat untuk memepet gajah tersebut agar tidak bisa lari. Lalu dari dua penjuru depannya gajah jinak yang dikendarai pawangnya akan mendesaknya mepet ke tiang.
Sejumlah pawang lainnya akan mengendalikannya juga dari berbagai sudut lainnya dengan batangan kayu panjang. Ada pula yang menarik tali kaki dan rantai dilehernya agar cukup tersungkur. Ketika ia sudah tersudut dan tersungkur, tenaga medis di PLG itu akan secepatnya menyiramkan larutan antiseptik di bagian tubuhnya yang luka. Saat itulah erangannya mengaum keras, bergemuruh, dan melolong kesakitan. Suara erangan itu seakan-akan menyayat hati orang-orang yang mendengarkan pekikannya.
Ia harus menerima nasib seperti itu terus, selagi terus ngotot meronta ingin bebas dari rantai-rantai yang membelenggunya. Lama-lama, sekitar dua bulan, ia mulai menyadari kehidupannya tidak akan bisa lepas dari rantai-rantai itu. Ia pun mulai jinak menuruti pawang yang mengasuhnya. Sebagai penghuni tetap PLG, ia pun diberi nama Ngatini.
Kini Ngatini yang hidup bersama 35 gajah lainnya di PLG menghabiskan waktunya untuk dilatih. Ia akan menjadi gajah atraksi yang kelak dipergunakan untuk menghibur para tamu yang berkunjung ke PLG atau acara ceremonial lainnya. Gajah-gajah yang berada di PLG memang dilatih untuk menjadi gajah atraksi dan sebagian kecil yang lain yang bertubuh besar akan menjadi gajah penjinak.

224 Ekor Gajah di Tangkap
Ngatini, hanyalah satu dari sekitar 224 ekor gajah yang ditangkap sepanjang tahun 2000 hingga 2007. Ngatini yang berasal dari Kabupaten Kampar, yakni kabupaten yang paling banyak melakukan penangkapan gajah untuk menyelesaikan konfliknya dengan manusia di Riau. Tercatat di kabupaten ini telah melakukan penangkapan gajah sebanyak 115 ekor atau lebih dari 50 persen gajah yang ditangkap di Riau.
Ngatini termasuk beruntung karena setelah ditangkap masuk ke PLG. Pasalnya banyak gajah-gajah lainnya harus mati karena proses penangkapan dan relokasi. World Wide Fund for Nature (WWF) pernah mencatat dari sekitar 201 gajah yang ditangkap dari tahun 2000-2006, 46 di antaranya meninggal. Baik akibat luka infeksi karena rantai yang terlalu kuat mengikat kaki, jarum bius yang tidak steril, overdosis, luka-luka paska penangkapan yang tidak terobati. Sementara sekitar 103 yang tertangkap lainnya tidak diketahui rimbahnya setelah dipindahkan dari habitat asalnya.
Arnold F Sitompul, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia, Kamis (8/1) menyatakan penangkapan gajah bisa berakibat buruk dan mempertinggi konflik. Pasalnya gajah yang tidak tertangkap dan kehilangan kawanannya akan menjadi lebih agresif. Sementara gajah yang telah ditangkap akan mengalami perubahan prilaku. Stress karena harus terpisah dari kelompoknya dan juga beradaptasi dengan habitat baru. Kondisi agresif dan stress itulah yang membuatnya akan memburu manusia yang berada di dekatnya.
Penangkapan gajah dan kemudian dipelihara seperti kehidupan Ngatini yang dipelihara di PLG juga menjadi beban tambahan bagi pemerintah. Pasalnya biaya pemeliharaan gajah seperti itu menelan dana yang tidak sedikit. Pada tahun 2006, Departemen Kehutanan mencatat untuk seluruh PLG di Sumatera pemerintah harus mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 miliar. Pada tahun 2007, jumlahnya meningkat menjadi Rp7,8 miliar.
Saat ini diketahui gajah-gajah yang ditangkap dan dititipkan ke lembaga konservasi jumlahnya sudah sangat banyak. Jumlahnya menurut Arnold mencapai 543 ekor, yakni 215 di Pusat Latihan Gajah dan Pusat Konservasi Gajah, 46 di kebun binatang, 230 di Taman Rekreasi, Taman Safari, dan Wisata Alam. Selanjutnya dipelihara perusahaan sebanyak 52 ekor dan di lembaga konservasi luar negeri enam ekor.
Sisi lain dari penyelesaian konflik gajah dengan cara penangkapan pada gajah berpotensi akan memusnakan gajah di alam. Apalagi berdasarkan data yang dimiliki oleh Forum Konservasi Gajah di Indonesia, gajah yang berada di alam sekitar 2400-2800 itu, 85 persennya tidak berada di areal konservasi. Mereka berada di hutan produksi dan konversi (67 persen), hutan lindung (12 persen) dan non hutan (5,6 persen) yang sangat rentan menjadi areal konflik manusia dan gajah yang biasanya sering diakhiri dengan penangkapan.
Penangkapan gajah sebagai solusi ternyata juga tidak menyelesaikan konflik gajah dan manusia. Ambil contoh di Kabupaten Kampar, tempat terjadi penangkapan gajah besar-besaran dan juga tempat Ngatini ditangkap. Sampai Kamis (9/1) kemarin, menurut Masdauri dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, di sekitar Tapung, tempat Ngatini ditangkap satu setengah tahun yang lalu, empat gajah liar membuat resah warga di tempat itu. Pasalnya sudah empat malam kawanan gajah itu berada di sekitar kawasan itu. Masyarakat khawatir gajah-gajah itu akan mendekati perumahan mereka. Selain berpotensi menghancurkan rumah mereka dan memakan tanaman pertanian masyarakat, gajah-gajah itu bisa menimbulkan korban jiwa. Setidaknya dari data WWF dari tahun 2000-2007 menyebutkan sudah 25 orang meninggal karena gajah di Riau.
Jika bukan dengan penangkapan, lalu apa solusinya? Rachman Siddik, Kepala BBKSDA (8/1) menyatakan penyelesaian konflik gajah dan manusia harus diselesaikan dengan memandang akar persoalannya, yakni persoalan habitat. Habitat gajah berupa hutan alam yang tersisa jangan sampai dikonversi lagi. Kantong-kantong gajah yang masih bisa diselamatkan harus dikembalikan fungsinya, bahkan yang sudah tidak bisa diselamatkan harus digantikan tempatnya yang baru dengan cara tukar guling. Termasuk mengembangkan koridor antar habitat yang selama ini terfragmentasi (terpecah) karena kegiatan pembangunan. Tak kalah penting juga adalah memasukkan agenda konservasi gajah dan habitatnya dalam badan koodinasi tata ruang nasional dan daerah
Sementara itu Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Deapartemen Kehutanan Tonny Soehartono (8/1), dalam penyelesaian konflik gajah menurutnya harus diselesaikan dengan mengubah paradigma. Bukan gajah yang mendatangi tempat hidup manusia, tetapi manusialah yang mendatangi habitatnya. Dengan pemahaman itu akan mengurangi tuntutan manusia terhadap habitat. Seperti halnya saat berada di Lampung, masyarakat sudah tidak banyak lagi mengeluh bila ada kawanan gajah yang melewati areal mereka. Lebih banyak beradaptasi dengan gajah-gajah tersebut. Tidak seperti dulu yang saban sebentar memberikan laporan agar melakukan penangkapan gajah. Meskipun untuk itu masyarakat di tempat itu harus bertaruh mata pencarian mereka berupa tanaman pertanian yang sering dilahap gajah. ”Itulah resiko yang harus mereka tanggung bila mendatangi habitat kawanan gajah,” ujarnya
Contoh bahwa manusialah yang mengambil habitat gajah, menurut Arnold, bisa dilihat dari kasus gajah Balai Raja, Kabupaten Bengkalis. Kantong gajah di tempat itu yang telah dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa Balai Raja dari sekitar 18 ribu hektar yang dikukuhkan, kini hanya tinggal sekitar 500 hektar. Hal itulah yang menyebabkan hampir tiap sebentar konflik manusia dan gajah di tempat ini terus terjadi. Gajah dan manusia di tempat ini sama-sama mati, karena konflik tersebut.
Selain upaya-upaya itu, yang tidak kalah penting menurut peserta Sosialisasi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017, di Hotel Ibis, Kamis – Jumat (8-9/1) yang terdiri dari praktisi kehutanan di pemerintah, lembaga konservasi, perusahaan, dan universitas adalah pengetahuan tentang peranan gajah di alam. Pengetahuan itu penting agar sikap masyarakat tidak terus-terusan megganggap gajah sebagai hama.
Arnold menjabarkan bahwa secara ekologis gajah memiliki tiga fungsi. Pertama, gajah disebut sebagai hewan bendera. Keberadaannya di alam sebagai indikasi masih ada habitat yang baik berupa hutan di alam untuk tempat hidupnya dan hewan-hewan lainnya. Kedua, gajah merupakan hewan pemberi akses jalan bagi hewan yang ukuran lebih kecil darinya. ”Di hutan kita tahu kondisinya tumbuhannya rapat, nah gajahlah yang melewatinya pertama dengan badannya yang besar itu. Jalan yang dilaluinya itu kemudian menjadi akses jalan bagi hewan yang ukurannya lebih kecil,” papar alumni Jurusan Biologi Universitas Indonesia ini.
Ketiga, gajah juga memiliki fungsi sebagai penyebar biji. Gajah yang selalu memakan sejumlah tanaman buah-buahan yang mengandung biji, akan mengeluarkan feses yang mengandung biji. Biji-biji yang keluar bersama fesesnya itu menjadi individu baru. Bahkan diketahui penyebaran biji melalui gajah ini jauh lebih efektif dalam pertumbuhan tanaman tersebut.
Fungsi lain yang juga tidak kalah penting, tambah Arnold, adalah fungsi ekonomi tidak langsung dari habitatnya. Keberadaannya di alam dengan habitat yang luas akan menjaga tata air di alam, karena hutan terawat dengan baik. Jika tata air ini tidak terjaga dengan baik, maka berapa banyak uang yang diperlukan untuk penyediaan air bersih yang kini kian berkurang. Selain itu habitatnya juga sangat penting untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim yang saat ini menjadi topik hangat pembahasan masyarakat dunia.
Dengan begitu, seharusnya tidak ada lagi Ngatini-Ngatini lain yang harus diakhiri kebebasannya di alam!***

0 komentar: