Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Jumat, 02 Juli 2010

Maukah Manusia Sesekali Mengalah dengan Gajah?



Drama kematian dua aktor utama yang berkonflik di Kecamatan Pinggir dan Mandau Kabupaten Bengkalis sudah akut dan berlarut-larut. Sang aktor, gajah ataupun manusia sudah sama-sama bergantian mati dan dipastikan akan terus begitu sampai ada yang mau mengalah. Memaksa gajah mengalah, berarti kepunahannya karena tidak ada lagi tempat yang bisa menampung 40 gajah Sumatera ini. Pilihannya, maukah sesekali manusia yang punya akal pikir dan mampu beradaptasi mengalah dengan gajah?

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com

Jumlah gajah-gajah yang berkonflik dengan manusia di Kecamatan Pinggir dan Mandau, Kabupaten Bengkalis hanya sekitar 40 ekor saja. Namun hewan bertubuh tambun selalu saja bersitegang dengan pemilik kebun ataupun warga setempat yang menjadi lareal intasannya.

Tercatat di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dalam kurun waktu empat tahun terakhir saja, mereka sudah berkonflik sebanyak 30 kali. Dengan korban enam manusia meninggal dunia, empat cedera dan empat ekor gajah mati. Jika merujuk pada kisah kematian di pihak manusia, tidak bisa dibilang enteng, karena proses kematiannya tragis. Misalnya Ronald Silalahi (Juli 2008) meninggal dunia setelah diinjak gajah. Jalinus (Maret 2009) meninggal dunia setelah tubuhnya diinjak-injak dan dilumat gajah. Terakhir Suwanto (Juni 2010) meninggal dunia setelah diinjak gajah dengan tubuh tak lagi berbentuk. Korban hampir saja bertambah 20 Juni lalu, saat gajah merusak rumah dan mengambil makanan di rumah Anas Nasution, warga Desa Balaimakam, Kecamatan Mandau.

Bila merujuk dari nama-nama dan lokasi kejadian konflik ini, bisa dilihat bahwa areal konflik selalu di lahan perkebunan dan rata-rata korban adalah warga pendatang. Rumah-rumah yang dirusak juga rata-rata rumah semi permanen berupa papan atau pondok-pondok. Sementara itu, tidak juga mungkin memindahkan gajah-gajah dari kawasan tersebut, pasalnya itu memang sudah habitat gajah dan telah diakui negara termasuk pemerintah setempat kala itu, sebagai Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Selain itu jika dipindahkan tidak ada lokasi lain karena Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas sudah penuh begitu juga dengan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang telah dipenuhi gajah setempat. Ditambah lagi persoalan rawannya terjadi kematian gajah-gajah yang dipindah tersebut.

Dengan fakta-fakta itu, maka solusi yang sangat mungkin adalah upaya pembebasan lahan oleh pemerintah di kawasan lintasan gajah dan memindakan warga setempat yang rawan terkena konflik gajah. Sama halnya jika ada pembebasan lahan untuk pembangunan jembatan, jalan, atau fasilitas umum lainnya.

Menanggapi hal itu, Kepala BBKSDA Provinsi Riau Trisnu Danisworo, Jumat (25/6) siang, menyatakan hal itu mungkin saja dilakukan oleh pemerintah. Namun sebelum itu, tambahnya, ada dua ada dua hal yang harus dipahami. Pertama, warga yang bermukim atau berkebun di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja seluas 18 ribu hektare mau tidak mau dan tidak punya pilihan lain memang harus pindah. Pasalnya kawasan itu, meskipun hanya tinggal sedikit yang berhutan, statusnya tetap adalah SM Balai Raja. Hal itu diperkuat lagi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak pernah mengeluarkan sertifikat kepemilikan atau lahan yang berada di kawasan SM Balai Raja.

Trisnu juga melihat kawasan SM Balai Raja itu dipenuhi oleh kebun-kebun sawit yang rata-rata milik pribadi. Bahkan ada beberapa orang yang memiliki lahan hingga ratusan hektare namun dengan nama Surat Keterangan Tanah (SKT) yang berbeda-beda. Bahkan ada lahan sawit yang dikelola seperti perusahaan, dengan karyawan dan fasilitas pabrik. “Namun legalnya saya belum tahu. Apakah itu perusahaan benaran atau tidak. Harus dilihat dulu SIUP, SITU, dan pembayaran pajaknya. Namun sepengamatan kami, itu rata-rata milik perorangan,” ungkapnya.

Selanjutnya kedua, tambah Trisnu, bagi warga yang lokasi tempat bermukim atau berkebunnya di luar kawasan SM Balai Raja, namun menjadi lintasan gajah, itu dikembalikan kepada pilihan mereka masing-masing. Namun untuk mengamankan itu perlu ada upaya pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan penanaman tanaman pakan gajah di daerah lintasan tersebut. Agar gajah-gajah itu tidak mencari pakan sampai ke rumah penduduk ataupun merusak kebun warga. “Dan hal ini sangat memungkinkan,” imbuhnya. Sementara itu, Kasi Trantib Kecamatan Mandau Amiruddin SH, Sabtu (26/6) menyatakan bahwa wacana itu tidak mungkin. Menurutnya tidak mungkin manusia mengalah dengan gajah. Gajahlah yang harus dipindahkan, meskipun dia mengakui bahwa kawasan yang menjadi tempat konflik gajah adalah kawasan perkebunan dan juga dimiliki warga pendatang. Namun menurutnya, tidak ada istilah warga pendatang, karena mereka tetap warga negara kesatuan Indonesia yang boleh tinggal di mana saja asal wilayah Indonesia .

Selanjutnya, menyikapi tentang ide pembebasan lahan di kawasan lintasan gajah menurutnya tidak mungkin. Pasalnya memerlukan biaya yang sangat tinggi sekali, mengingat panjangnya lintasan gajah hingga 35 Km. ”Lintasan gajah itu mulai dari Kecamatan Pinggir hingga Mandau ini. Apa pemerintah punya dana tersebut,” tuturnya.
Senada dengan itu, Camat Pinggir Alpi Mukhdor Ap MSi, menyatakan juga tidak memungkinkan warganya pindah dari kawasan SM Balai Raja. Meskipun dia juga mengakui bahwa kebanyakan yang masuk kawasan itu juga adalah kebun sawit milik warga. Kalaupun seandainya yang dikembalikan hanyalah lahan perkebunan saja menjadi hutan Balai Raja, dia juga tidak setuju. Menurutnya, kalau kebun-kebun itu dikembalikan fungsinya sebagai hutan, maka masyarakat akan kehilangan mata pencarian. “Rata-rata masyarakat di sini menggantungkan dirinya dengan usaha perkebunan terutama sawit,” tuturnya.

Masing-masing pihak kini terus memperdebatkan gajah atau manusia kah yang harus mengalah. Namun yang jelas sampai saat ini, Pemerintah Kabupaten Bengkalis, sebagai pemilik wilayah, belum terlihat tanda-tanda memiliki solusi jangka panjang. Bahkan, menurut, Trisnu Danisworo, surat yang mereka layangkan kepada Pemkab Bengkalis sebulan yang lalu sampai saat ini belum ditanggapi oleh bupati.***

0 komentar: