This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Jumat, 12 Desember 2008

Berjuang Menuju Poznan

Sebuah Catatan Perjalanan Meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 14 di Poznan

Meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 14 di Poznan, Polandia menjadi impianku sejak di Bali. Berikut jalan panjang yang harus kulalui untuk mencapai negeri bersuhu satu derajat celcius saat pesawat yang membawaku terbang mendaratinya.

Laporan Andi Noviriyanti, Poznan
Andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Suatu siang, di Hotel Westin Bali, Desember 2007, saat meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 13, di Nusa Dua, Bali. Aku berdiri di depan stand pameran tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim ke 14, yakni Negara Polandia tepatnya di Kota Poznan. Aku memandangi pajangan foto Kota Poznan, yang dipenuhi bangunan mirip seperti cerita dongeng Cenderela. Bangunan yang ada di kota itu seperti istana persis seperti melihat film atau buku dongeng Putri Salju. Sang pramustand pun kemudian berpromosi tentang Poznan. Udara dingin dan akan lebih nyaman, katanya. Tidak seperti di Bali yang sangat panas. Pikiranku melayang, tahun depan aku harus ke Kota Poznan.
Bagaimana caranya, aku belum tahu. Hanya yang terpikir saat itu adalah lewat Climate Change Media Partnership (CCMP) fellowship programme (Program Beasiswa Peliputan Perubahan Iklim) seperti yang kudapatkan di Bali. Namun hal itu tentu tidak gampang. Mengingat kursi untuk wartawan Indonesia pasti sangat sedikit dibandingkan ketika di Bali yang jumlahnya belasan dari 40 yang mendapatkan beasiswa liputan.

Namun, semua hal harus dicoba. Memperbaiki kemampuan bahasa Inggris dan mendapatkan referensi lebih banyak lagi menjadi kewajiban yang harus aku persiapkan. Itu sebabnya tiap kali ada kesempatan workshop, aku mengaplikasikan diri. Begitu juga setiap ada perlombaan menulis tentang lingkungan, terus aku lakukan, baik ditingkat nasional maupun internasional. Mengingat referensi seperti itulah yang bisa mengantarkanku ke Poznan.
Sepanjang tahun 2007, tiga kali mencoba untuk mendapatkan workshop di luar negeri. Dua di antaranya gagal yakni ke Monaco dan Spanyol dan hanya satu yang lolos yakni ke Filipina. Workshop itu tentang bagaimana memberitakan perubahan iklim di Asia yang dilaksanakan oleh Philippine Science Journalists Association, Inc.
Referensi yang kudapatkan untuk menuju Poznan tidak cukup kuat. Ada sekitar 1000-an wartawan di seluruh negara berkembang, mulai Brazil, Afrika, dan Asia memperebutkan 40 kursi itu. Dari Indonesia untuk kategori koran yang terpilih Stevie Emilia dari Jakarta Post. Wanita satu ini telah mengikuti lima kali konferensi perubahan iklim dan menjabat sebagai redaktur fiture yang juga memegang halaman lingkungan. Lawan yang sangat berat.
Pupus sudah harapanku untuk ke Poznan. Di pertengahan November tiba-tiba ada email dari Harry Surjadi, Direktur Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Ada lowongan dari Asia-Europa Foundation, untuk membiayai satu orang wartawan dari Asia selama tiga hari di Poznan untuk meliput side event Konferensi Perubahan Iklim. Memang tidak bisa mengikuti acara Konferensi Perubahan Iklim secara keseluruhan yakni tanggal 1-12 Desember, namun setidaknya itu kesempatan pengganti yang sangat bagus.
Berbekal aplikasiku ke Poznan yang gagal di CCMP, akupun mengaplikasikan diri kembali. Dalam beberapa hari aku mendapat balasan dari ASEF, bahwa mereka akan mempertimbangkan aku menjadi satu-satunya wartawan Asia itu. Tepat Jumat (21/11) sore sekitar pukul lima, ASEF mengirim kabar, bahwa aku diterima dan akan diberangkatkan ke Polandia.
Sayangnya email itu baru terbaca Sabtu (22/11) pagi. Reaksi pertama, aku gembira luar biasa. Namun kemudian aku tahu banyak sekali hambatan. Terutama aku harus mengurus visa, sebuah kewajiban yang harus dilakukan pemilik paspor Indonesia untuk masuk ke Eropa (Schengen). Sesuatu yang tidak dipersyaratkan bagi pemilik paspor negeri serumpun seperti Malaysia, Singapura, dan Brunai.

Diambang Putus Asa
Berdasarkan informasi dari Stevie Emelia yang telah lebih dulu mengurus visa, dibutuhkan waktu dua minggu untuk mendapatkannya. Sementara aku hanya punya waktu sekitar seminggu. Menurut Stevie, aku mungkin bisa mendapatkan lebih cepat jika meminta tolong pada pihak kedutaan. Sebenarnya hari itu aku ingin memutuskan mundur, apalagi aku sedang terserang flu. Rasanya hampir mustahil. Namun ketika hal itu kuutarakan kepada pihak keluarga dan kantor, semua bersepakat aku harus coba. Kesempatan tidak datang dua kali.
Alhasil aku mempersiapkan segala sesuatunya. Sayangnya, persiapan itu aku lakukan disaat semua orang sedang libur, yaitu Hari Sabtu (22/11) dan Minggu (23/11). Jadi tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun atas restu dari kantor akhirnya aku berangkat juga ke Jakarta untuk mengurus visa pada pesawat penerbangan Senin (24/11) pagi. Meskipun aku sudah bergadang hingga jam dua pagi dan bangun lagi pada pukul empat pagi untuk keberangkatan itu belum semua perlengkapan visa aku miliki. Setidaknya aku belum mendapatkan travel insurance dan juga surat dari panitia acara di Polandia. Tapi kata coba, membuat juga aku berangkat. Apalagi kantor dari Pekanbaru hingga perwakilan Jakarta sangat mendukung keberangkatan itu.
Untuk mengurus visa, ternyata waktunya sangat terbatas. Hanya dari jam 9 pagi hingga pukul 12 siang. Berbekal dengan persyaratan visa yang belum lengkap akhirnya aku pergi ke Kedutaan Polandia. Pegawai di Kedutaan, mengatakan permintaanku hampir mustahil. Namun, aku meminta berbicara dengan konsular Polandia. Konsular yang bernama Damian Irzyk itupun mengatakan tidak bisa memberikan jaminan apalagi mempercepat penerbitan visa. Meskipun ditanganku sudah ada surat rekomendasi dari James Fahn, Executive Director of Internews' Earth Journalism Network EJN, sebuah organisasi yang mendorong pengembangan kapasitas wartawan di negara-negara berkembang bidang lingkungan. Meski tidak berjanji apa-apa, dia meminta aku melengkapi semua persyaratan.
Selasa (25/11) pagi, barulah semuanya lengkap dan pulang ke Pekanbaru pada pesawat terakhir. Rabu (26/11) aku menanti, Kamis (27/11) kuberanikan bertanya. Damian pun menyatakan aku tidak bisa mendapatkan visa Eropa, dia sudah berusaha. Tapi aku bisa mendapatkan visa Polandia. Namun persoalan baru muncul. Aku tidak boleh lewat Jerman, Francis, Belanda atau negara Eropa manapun. Satu-satunya jalan, kata Damian adalah lewat London atau Turki.
Aku pun mengecek hal itu di kedutaan Inggris. Menurut perempuan yang menerima telponku hal itu memungkinkan. Asal aku punya tiket terusan ke Poznan, tetapi harus bisa meyakinkan pihak imigrasi Inggris. Dia menunjukkan alamat website tempat tercantumnya regulasi itu. Tertera ada regulasi yang menyatakan paspor Indonesia bisa singgah di Bandara London kurang dari 24 jam.
Aku terpaksa ke travel agen lagi mengubah jadwal penerbangan. Malangnya, regulasi yang harus lewat London itu membuat penerbanganku harus berputar-putar. Buntutnya harga tiket yang hanya 2000 USD bila via Jerman membengkak menjadi sekitar 4250 USD, setara Rp55 juta. Pihak Asia Europa Foundation pun menyerah. Tidak mungkin membiayai biaya perjalanan semahal itu. Apalagi sebenarnya mereka punya anggaran 1700 USD. Tetapi kalau 2000 USD pun masih mereka usahakan.
Hari itu nyaris dalam keputusasaan. Tapi entah mengapa aku sangat yakin akan berangkat. Tidak tahu bagaimana caranya, hingga pukul enam pagi akhirnya aku menulis surat, kepada Asia Europa Foundation betapa rumitnya aku melalui hal ini. Bagaimana pengorbanan kantorku yang telah memberi izin dan usahaku. Aku menyatakan aku telah melakukan yang terbaik yang aku bisa, dan aku mengatakan aku akan sangat menghargai bila mereka berusaha untuk membiayaiku.
Pilihan yang sangat sulit bagi ASEF. Akhirnya mereka bersepakat mengganti semua uang yang aku keluarkan untuk mengurus visa. Namun jika ada tiket yang murah atau ada yang mau membantu biaya tambahan perjalanan, mereka akan tetap senang membantuku. Akhirnya aku kembali ke travel agen dan setelah menunggui hampir satu harian akhirnya ada tiket via Jakarta-Kuala Lumpur-London-Warsaw-Poznan seharga 2220 USD. Setelah bernegosiasi, akhirnya ASEF mengabulkan biaya perjalananku.

Diajak Memicu Adrenalin
Perjalananpun dimulai dari Kota Pekanbaru, sekitar pukul 09.30. Sesampai di Jakarta bertemu teman yang telah membawakan visa serta perlengkapan baju dingin yang ku pesan, karena tidak ada yang menjual di Pekanbaru. Berangkat lagi ke Kuala Lumpur, pada pukul 15.45. Sesampai di Kuala Lumpur harus menunggu penerbangan ke London pukul 11.25 malam waktu Malaysia (cepat satu jam dari Indonesia). Dalam tahapan menunggu inilah aku bertemu Ningsi. Seorang pegawai swasta yang hendak berangkat ke Cina untuk sebuah pertemuan kantor. Penerbangannya baru akan jalan sekitar pukul 01.00 dini hari untuk itu dia mengajakku menguji adrenalin.”Aku sekedar ingin memicu adrenalin, kita ke Petronas sebentar. Keluar imigrasi setengah jam, perjalanan setengah jam, lihat-lihat satu jam, terus kita kembali. Mau ikut?” ujarnya menantangku.
Awalnya aku ikut hingga sampai ke pintu Imigrasi, ingin juga mencoba dari pada berlama-lama di bandara. Tetapi kemudian aku berpikir ulang, tidak mungkin aku pergi. Bila aku melakukan kesalahan sedikit saja dan terlambat, maka ada tida penerbangan lagi yang harus kulalui sampai ke Poznan. Aku akhirnya menyerah, mengatakan aku tidak ingin mengambil resiko.
Akhirnya dia pergi dan aku menunggu penerbangan ke London tepat pukul 11.55 waktu Malaysia. Pilot penerbangan menyatakan penerbangan ke London membutuhkan waktu 12 jam perjalanan. Kami akan tiba waktu pukul 05.00 pagi waktu London.

Tertahan di Imigrasi
Saat berada di Pesawat seorang pramugari berkali-kali mendekati seorang wanita untuk menanyakan berbagai keperluannya dalam bahasa Malaysia yang sangat mirip dengan bahasa Indonesia. Hal itu menarik perhatianku, hingga akhirnya aku berkenalan dengan perempuan itu. Maksud hati, kalau perempuan itu mendapatkan bantuan untuk penerbangan ini, aku juga harus ambil itu. Mengingat bandara di London sangat besar dan akan sangat bagus kalau aku mendapatkan bantuan.
Akhirnya karena ikut si ibu tadi – Tarmi, namany- aku juga mendapatkan bantuan untuk menuju penerbangan berikutnya ke Warsaw, Ibukota Polandia. Namun, di pintu Imigrasi ketika hendak mengambil bagasi karena pesawatku tidak bersambungan, aku ditahan pihak Imigrasi. Mereka menanyakan mengapa aku mengambil bagasinya di London, mengapa tidak langsung ke Poznan. Aku menerangkan bahwa pesawatkan tidak ada yang conneting flight. Dari Jakarta-Kuala Lumpur-London dengan Malaysia Airlines, sementara dari London-Warsaw-Poznan dengan LOT (Polish Airlines). Menurut regulasi yang kubaca, aku bisa singgah di bandara itu asal kurang dari 24 jam. Namun pihak Imigrasi mengatakan informasi yang kuterima salah dan dia meminta aku menunggu.
Saat itulah giliran Tarmi melewati pintu Imigrasi. Dia diminta mengisi form kedatangan, namun Tarmi sama sekali tidak mengerti karena tidak berbahasa Inggris. Saat dia diwawancarai pihak imigrasi juga pihak imigrasi kebingungan. Disaat itulah aku membantu menterjemahkan pembicaraan mereka berdua. Aku menerangkan kedatangan si Ibu adalah untuk melihat anaknya yang baru saja melahirkan. Menantunya orang Inggris dan akan tinggal di Inggris selama tiga bulan. Setelah membantu si Ibu, pihak imigrasipun melayaniku dengan sangat baik tanpa bertanya banyak hal lagi. Mereka membiarkan aku mengambil bagasi dan menuju termina keberangkatanku ke Poznan.
Berangkat ke Polandia. Aku tepat tiba di Kota Poznan, pada pukul 5.30 sore atau pukul 11.30 malam waktu Indonesia. Untunglah begitu sampai di Bandara, aku melihat seorang wanita muda, memegang tulisan Asia Europa Foundation. Sampailah aku di Kota Poznan dan memulai liputan Side Event Konferensi Perubahan Iklim yang dilaksanakan oleh Asia Europa Foundatation keesokan harinya berjudul Towards Integrated Adaptation and Mitigation Measures in Agriculture. (ndi)

Sabtu, 29 November 2008

Bernegosiasi Menyelamatkan Bumi, Melawan Musuh Tak Berwujud

Jelang Konferensi Perubahan Iklim Dunia ke 14 di Polandia


Di setiap penghujung tahun masyarakat dunia (pemimpin negara, pelaku usaha, lembaga lingkungan dan lainnya) bernegosiasi. Mencari jalan terbaik untuk menghadapi perubahan iklim. Bila tidak disikapi dengan baik dengan cepat, perubahan iklim bisa menjadi bencana dunia yang amat menakutkan. Bahkan Al Gore, penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007 menyatakan ancaman dari perubahan iklim lebih berbahaya dari ancaman teroris.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Air mata Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) akhirnya jatuh juga pada tanggal 15 Desember 2007, di rapat pleno terakhir di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Kedua tangannya segera menutup raut wajahnya, berdiri menuju toilet meninggalkan peserta sidang dan dua orang penting di sampingnya yaitu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang kerap dipanggil SBY.
Hari itu memang hari yang luar biasa melelahkan bagi Yvo de Boer. Sidang yang ikut dipimpinnya itu harus terus diperpanjang padahal sudah lewat dari dua minggu dari jadwal yang ditetapkan. Meskipun sidang yang menemui jalan buntu itu mendapat dukungan moril dari Ban Ki-moon dan SBY dengan kehadiran mereka pada sidang itu, namun Yvo de Boer tak kuasa juga menahan gejolak. Saat delegasi dari Tiongkok menyampaikan sikapnya. Yvo de Boer kecewa karena ada pertemuan tertutup diam-diam dibelakangnya. Namun, untunglah Yvo de Boer segera cepat mengusap air matanya. Sidang perubahan iklimpun dilanjutkan.



Begitulah alotnya negosiasi yang terjadi di UNFCCC. Emosi peserta meluap-luap menghadapi negosiasi yang nyaris menemui jalan buntu. Dimana Amerika bersikeras enggan mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh Protokol Kyoto. Ejekan dan sorakan menjadi suasana yang tidak terelakkan.
Dr Roger Sedjo, pakar kehutanan dan iklim Anggota Panel Perubahan Iklim antar Pemerintah PBB (IPCC), dari Amerika Serikat kepada Riau Pos menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak sepakat pada protokol kyoto itu karena beralasan bukan hanya negaranya saja yang harus mengurangi emisi karbon. Tetapi juga harus diikuti oleh Cina dan India. Dua negara berkembang yang saat ini menggesa percepatan pembangunan yang tidak menghiraukan betapa banyaknya emisi karbon yang mereka hasilkan.
”Saat ini, Cina penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Bukan lagi Amerika Serikat. Kalau Amerika diminta untuk menurunkan emisi karbon, maka hal itu juga harus diikuti oleh Cina. Tidak ada artinya kalau hanya Amerika yang diminta menurunkan emisi,” ungkap Roger.
Tuntutan Roger atau negara Amerika agar Cina dan India serta negara-negara berkembang penghasil emisi karbon tertinggi itu sulit terpenuhi. Mengingat ada kesepakatan dalam Protokol Kyoto yang tidak mewajibkan negara berkembang menurunkan emisinya. Mengingat kalau mereka juga memotong emisi karbonnya maka roda perekonomian mereka akan tidak mampu bergerak. Hal itulah yang membuat geram dan terjadinya ketidakkesepakatan antar negara. Mengingat masing-masing negara bila mematuhi aturan untuk menurunkan emisi karbon itu beresiko menghadapi kemunduran ekonomi. Mengingat pembangunan dengan mempertimbangan pengurangan emisi karbon masih mahal.
Alotnya perdebatan itu masih akan terus mewarnai konferensi perubahan iklim. Termasuk pertemuan UNFCCC di Poznan, Negara Polandia, esok hari (1/12). Musim dingin di Polandia dengan suhu berkisar dua derajat itu diperkirakan akan menjadi perdebatan panjang yang akan melelahkan. Terlebih lagi, menurut Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, dunia tengah menghadapi persoalan krisis keuangan global dan resesi ekonomi.

Melawan Musuh Tak Berwujud
Negosiasi akan semakin menguras emosi tak kala harus menghadapi kenyataan musuh dunia bersama itu tidak berwujud. Manusia seperti di buat punya dunia hayal sendiri. Dimana ada jejeran gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dan gas lainnya yang mampu membuat bumi seakan-akan terbungkus kaca.
Gas-gas hasil dari pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan, pabrik, dan lain sebagainya itu membentuk lapisan yang cara kerjanya sama dengan kaca. Di mana cahaya boleh masuk namun tidak bisa keluar. Sehingga panas terperangkap dan meningkatkan suhu bumi. Sama halnya dengan yang dirasakan manusia saat berada di dalam mobil yang terparkir di siang hari dengan kaca tertutup.
Meningkatnya suhu itulah yang kemudian berbuntut panjang. Panas yang terperangkap tadinya akhirnya mengubah banyaknya penguapan air, pola hujan, pola angin dan lainnya. Akhirnya terjadilah perubahan iklim. Mengakibatkan musim jadi tidak menentu. Angin puting beliung menjadi-jadi. Di beberapa negara dingin terjadi panas luar biasa, seperti di Perancis. “Banyak yang meninggal gara-gara panas ekstrim dan tiba-tiba itu. Seperti di Perancis,” ungkap Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, kepada Riau Pos
Semua persoalan itu sangat sulit diruntutkan dan dihubung-hubungkan. Musuh itu sangat sulit dijelaskan kecuali oleh ribuan ahli yang tergabung dalam laporan IPCC. Bahkan Al Gore, si pemenang nobel perdamaian dunia tahun 2007 dalam film dokumenter An Inconvenient Truth mengemukakan musuh tak berwujud ini menyerang pelan namun mematikan. Dia mengilustrasikan musuh itu dalam cerita katak. Bila katak dimasukkan ke dalam bejana berisi air yang berada di atas kompor dalam kondisi mendidih, pasti si katak langsung meloncat. Namun bila si katak itu dimasukkan ke dalam bejana air itu dari awal dimasak-sebelum mendidih-, si katak pasti menikmati peningkatan suhu itu biasa-biasa saja dan menganggapnya suatu kehangatan. Ia akan tertidur lelap dan kemudian pingsan. Tanpa sadar ajalnya telah melayang.
Musuh yang menyerang pelan namun mematikan itulah yang membuat membuat banyak negara merasa bisa menunda-nunda penanggulanggannya. Tidak peduli untuk segera berbuat. Terlebih lagi para ahli pun masih berdebat semakin seru. Namun Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, mengungkapkan perdebatan itu tidak berarti, tidak membuat masyarakat dunia tidak berbuat sesuatu.
Meski sebagian besar banyak pihak yang menyikapi perubahan iklim dengan sangat lambat, namun ada juga daerah yang bergerak sangat maju. Di antaranya adalah Pemerintah Provinsi Albay, Filipina di bawah kepemimpinan Gubernur Joey Salceda. Pemerintah ini menandatangani Deklarasi Albay yakni suatu deklarasi yang seperti menjadi ideologi bagi daerah tersebut untuk berbuat atau melakukan upaya apapun mulai dari perencanaan, penganggaran, penelitian dan pelaksanaan pembangunan semuanya berorientasi berdasarkan upaya untuk mencegah dan menghadapi perubahan iklim.
”Saya pikir, mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim harus dilakukan. Terlepas apakah itu benar-benar akan terjadi atau tidak, Mengingat para ahli saat ini masih memperdebatkannya. Bagi saya, karena tidak ada yang yang jelek dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana perubahan iklim tersebut, maka sudah sepantasnya upaya mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim dilakukan,” ungkap Joey Salceda.
Setiap daerah dan negara kini memiliki pilihan masing-masing. Namun semakin lambat mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan iklim, maka semakin sulit untuk menghadapi krisis yang menurut Al Gore lebih mengerikan dari serangan teroris. Negosiasi di UNFCCC Polandia masih merupakan jalan panjang bagi negara-negara dunia untuk bersepakat menghadapi perubahan iklim.***

Senin, 27 Oktober 2008

Zamrud Khatulistiwa Itu Masih Ada

Sebuah Inisiasi Swasta Pertama di Dunia Menggagas Cagar Biosfer
Zamrud Khatulistiwa Itu Masih Ada


Zamrud Khatulistiwa yang sempat masyur menjadi ikon Indonesia di mata dunia sempat menghilang karena tingginya kasus pembalakan liar, perambahan, dan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Namun ikon itu akan segera kembali, bila mata dunia bisa menyaksikan bentangan Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil (GSK) dan SM Bukit batu serta areal konservasi Sinar Mas Forestry (SMF) yang tengah digagas oleh SMF menjadi cagar biosfer pertama di dunia yang diinisiasi oleh pihak swasta.

Laporan Andi Noviriyanti, Bengkalis
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Berada di dalam helikopter yang terbang di atas ketinggian 1.000 kaki atau 300 meter di atas permukaan laut (dpl) tepat di langit SM Giam Siak Kecil (GSK) dan SM Bukit Batu, mataku dibuat takhjub dengan keindahan hamparan hutan alam dan ratusan bahkan mungkin ribuan tasik (danau kecil) yang membentang di dalamnya. Sungguh sebuah pemandangan luar biasa, apalagi saat melihat kilatan air tasik yang menghitam, ibarat melihat berlian hitam yang tengah bersinar.

Namun menurut Kapten Ridwan Zanuddin yang menjadi pilot penerbangan helikopter jenis Eurocopter (EU) 130B4 yang kutumpangi itu, pemandangan air tasik yang seperti berlian hitam itu tidak selamanya seperti itu. Warnanya bisa berubah-ubah, termasuk juga bentuk tasik yang terlihat dari udara. Pria yang kerap terbang di atas kawasan itu, menyebutkan perubahan bentuk dan warna tasik tergantung cuaca dan musim. Lain musim hujan, lain pula musim kemarau. Warnanya bahkan bila langit sedang memerah, membuat air tasik juga bak ragam warna pelangi, menguning ataupun oranye.

Usai menyaksikan tasik-tasik yang terus membentang di sepanjang penerbangan, mataku juga sempat menyaksikan ratusan tasik berukuran mini. Kumpulan tasik itu seperti melihat kaligrafi Alquran yang menawan. “Lihat di sebelah kanan kita, itu seperti kaligrafi,” ungkap pilot yang berkomunikasi lewat earphone kepada penumpangnya.

Hamparan tasik itu, kian mempesona mata saat melihat bentangan hutan tanaman industri (HTI) yang berdampingan dengan hutan alam dan tasik. Sebuah rangkaian pemandangan yang memukau mata. Di mana HTI dengan keseragaman tanamannya, kemudian diselang-selingi seperti mozaik dengan hutan alam, lalu disambut lagi dengan hutan alam yang membentang dengan ciri pucuk dan tajuknya yang perpaduan warna hijau, kuning, oranye, dan putih. Serta ditutup dengan bentangan tasik yang berkilat-kilat.

Perpaduan itu sekaligus menggambarkan hal itu sebagai contoh nyata, kepentingan bisnis lewat HTI dan kepentingan konservasi terjaga dan terawat dengan sangat baik. Itulah yang menurut Deputi Bidang Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Endang Sukara sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan. “Kepentingan ekonomi dan konservasi yang saling berdampingan,” ungkap pria yang turut serta dalam fly over bersama Menteri Kehutanan MS Kaban untuk menyaksikan calon Cagar biosfer GSK dan Bukit Batu yang digagas di kawasan itu oleh SMF sejak tahun 2003 lalu.

SMF atau dilokal dikenal dengan nama PT Arara Abadi, sementara di internasional dikenal dengan nama Sinar Mas dan Asia Pulp and Paper (APP) mengagas insiatif itu dengan tindakan nyata. Canecio Munoz, Executive Director for Environment SMF menjelaskan tindakan nyata itu terlihat dari komitmen mereka menyisihkan kawasan hutan seluas 72.255 hektare yang terletak di antara SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu. Komitmen itu tertuang dalam Sustainability Action Plan (Rencana Aksi Berkelanjutan) yang dilansir pada bulan Februari 2004. Selanjutnya pada tahun 2006 dituangkan dalam dokumen tentang usulan Cagar Biosfer GSK yang kemudian di presentasikan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau dengan luas kawasan menjadi 172.255 hektare.

Terbentuknya cagar biosfer di tempat itu, tambah Munoz, juga sangat penting untuk melindungi SM GSK dan SM Bukit Batu dari pembalakan liar yang kini cukup marak di beberapa titik. Sekaligus melindungi ratusan tasik dari kekeringan akibat terganggu proses hidrologinya karena hilangnya hutan disekitarnya.

Inisiatif SMF itu, membuat bangga Prof Endang Sukara, yang juga menjabat sebagai Ketua Program Man and the Biosphere (MAB - Manusia dan Biosfer) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk Indonesia. Pasalnya menurut pria yang memiliki tugas mengkampanyekan program MAB ini, inisiasi oleh SMF merupakan terobosan baru. Pasalnya belum pernah ada di dunia, inisiasi pembentukan cagar biosfer oleh pihak swasta.

“Ini akan menjadi cagar biosfer inisiatif swasta pertama di dunia. Sekaligus menjadi cagar biosfer pertama di Indonesia yang tidak dibentuk hanya karena sebagai keterwakilan bentuk landscape dan sekedar dibentuk di atas taman nasional. Inilah cagar biosfer dengan konsep yang sebenarnya dikembangkan oleh UNESCO,” papar pria bergelar doktor dari Australia ini.

Endang menambahkan, cagar biosfer itu akan menjadi cagar biosfer ketujuh setelah 27 tahun cagar biosfer terakhir di Indonesia dibentuk. Cagar biosfer yang ada di Indonesia adalah Cagar Biosfer Cibodas (1977), Tanjung Putting (1977), Lore Lindu (1977), Komodo (1977), Gunung Leuser (1981) dan Pulau Siberut (1981).

UNESCO mendefinisikan cagar biosfer sebagai ekosistem daratan, ekosistem pesisir/laut, atau kombinasi lebih dari satu ekosistem, yang secara internasional diakui keberadaannya sebagai bagian dari Progam MAB. Sementara itu di Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang secara keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.

Keberadaan cagar biosfer itu, tambah Endang, tidak saja memiliki fungsi konservasi sumberdaya hayati, ekosistem dan keragaman budaya tetapi juga sebagai model untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Dimana dalam cagar biosfer terakomodir kepentingan konservasi, usaha, dan juga kehidupan budaya masyarakat. Artinya, dengan keberadaan biosfer masyarakat di dalamnya seyogyanya harus lebih sejahtera dan bisa mengambil manfaat dari keberadaan cagar biosfer.

Untuk itulah Munoz dari SMF kini juga tengah terus mengkaji berbagai potensi ekonomi bagi masyarakat yang hidup dan berdampingan di dalam cagar biosfer tersebut. Misalnya upaya pengembangan ikan salai dari jenis ikan selais yang cukup banyak ditemui di daerah itu. “Kalau dulu, masyarakat hanya mengambilnya di alam, ke depan kita mencari agar bisa dikembangbiakkan. Sehingga hasil ikan selaisnya berton-ton. Bisa juga dengan melakukan penangkaran labi-labi (mirip kura-kura, tetapi tak punya rumah) yang memang banyak di tempat itu. Kita gunakan produk itu untuk ekspor. Di Singapura harganya mahal. Satu kilo saja 17 Dolar Singapur. Pokoknya kita akan cari produk yang keringatnya sedikit tetapi hasilnya besar,” ujar Munoz tertawa.

Munoz juga memaparkan bila telah terbentuk cagar biosfer, maka juga akan dicari cara untuk menjual karbon yang ada di dalam kawasan itu. Dana yang di dapat dari perdagangan karbon itu, tambahnya, akan dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian cagar biosfer. “Kita ingin untuk mendanai cagar biosfer ini secara berkelanjutan. Jika menggunakan dana perusahaan maka sifatnya tidak mungkin berkelanjutan. Mungkin perusahaan hanya bisa membantu pada tahap awal. Namun untuk selanjutnya belum tentu. Oleh karena itu, kita harus merancang agar dananya berasal jasa lingkungan cagar biosfer. Karena hanya jasa lingkunganlah yang dananya berkelanjutan. Kita berharap ke depan ini bisa menjadi contoh dari perdagangan karbon mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries),” papar Munoz.

REDD adalah mekanisme dimana negara-negara berkembang bisa mendapatkan kompensasi dari negara maju atas hutan alam mereka yang terjaga dengan baik atau tidak dideforestasi. Kompensasi itu dihargai dari seberapa banyak karbon yang bisa diserap dari keberadaan hutan yang terjaga dengan baik itu.

Sementara itu Endang Sukara menyebutkan potensi yang juga tidak main-main adalah potensi satwa, tumbuhan, dan mikroba yang ada ditempat itu. Menurutnya satwa bernilai komersil tinggi yang biasa hidup di alam bisa ditangkarkan dan diperjual belikan. Selanjutnya dilakukan juga berbagai riset untuk menemukan obat-obatan yang bermanfaat untuk antibiotik dan obat-obatan lainnya. “Potensi hutan rawa gambut ini luar biasa. Hanya saja kita belum secara serius mengelolanya. Harga obat-obatan yang didapat dari mikroorganisme itu tidak main-main. Bisa miliaran rupiah. Oleh karena itu di cagar biosfer itu juga harus ada pusat riset rawa gambut. Dari sinilah uang itu berasal,” jelas Endang.

Masyarakat, tambahnya, juga bisa membangun industri kesadaran publik. Misalnya menjual baju kaos seri capung khusus TNZ. Atau bisa juga melakukan jual beli satwa hasil penangkaran, misalnya ikan arwana yang memang dibudidayakan oleh masyarakat sekitarnya. Sementara bagi yang tidak pandai berkebun, tidak pandai melakukan budidaya ikan dan lainnya, mungkin bisa menjadi tenaga marketing. Sebagai produk cagar biosfer maka nilai ekonominya akan tinggi.

Selain itu, tidak kalah penting, keberadaan cagar biosfer yang tengah diupayakan ini akan membuat Indonesia kembali memiliki marwah dan kekuatan untuk tampil di pentas-pentas dunia. Berbagai produk yang dihasilkan dari cagar biosfer, misalnya produksi pulp yang dimiliki Riau yang berada di areal kawasan cagar biosfer itu akan lebih gampang masuk ke pasar dunia. Legimitasi produk yang dihasilkan dari kawasan cagar biosfer juga lebih tinggi dari ekolabel.

Kekuatan cagar biosfer juga sangat kuat di dunia karena memiliki jaringan yang luas di berbagai belahan dunia. Saat ini, setidaknya menurut Endang, ada 151 negara yang memiliki cagar biosfer. Diseluruh dunia ada 532 cagar biosfer. Dengan jaringan yang kuat, maka cagar biosfer yang ada di Riau ini akan terpublikasi dengan baik. Terlebih lagi, cagar biosfer ini memiliki keunikan tersendiri, karena cagar biosfer khusus gambut. Dengan peat dome lake (danau kubah gambut)-nya yang mencapai kedalaman 20 meter, maka akan sangat spesifik.

Menteri Kehutan MS Kaban secara prinsip setelah mendengarkan pemaparan dari Endang Sukara, SMF, dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pada Kamis (16/10) malam dan Jumat (17/10) siang serta melakukan fly over di atas calon area cagar biosfer menyatakan secara prinsip mendukung terbentuknya cagar biosfer. Menurutnya itulah bentuk sumbangsih Indonesia, selaku pemilik hutan tropis yang sangat besar.

“Ini kelak akan menjadi warisan kita kepada masyarakat dunia. Hanya saja, saya meminta Sinar Mas dan pihak-pihak terkait harus mensinergikan dan saling berkoordinasi tentang menajemen pengelolaannya dan legalitasnya. Harus ada kerja sama bersama pemerintah Provinsi Riau, Kabupaten Bengkalis dan Siak, perusahaan, BKSDA, LIPI dan Departemen Kehutanan. Termasuk juga lembaga-lembaga terkait lainnya, agar cagar biosfer ini terwujud dalam konsep ideal,” paparnya.

Kaban juga mengingatkan pentingnya membangun kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan. Termasuk juga untuk menarik simpati dunia paska dideklarasikan cagar biosfer itu UNESCO. Tidak saja untuk membantu pelestarian cagar biosfer tersebut tetapi juga dalam membangun kesejahteraan manusia di sekitarnya. Termasuk juga untuk membangun image SMF di dunia untuk meningkatkan harga jual dan promosi produknya.

Usaha untuk membentuk cagar biosfer ini sedang diupayakan dan terus didemankan. Semoga cagar biosfer yang menjadi warisan dunia ini bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kesejahteraan dan mengangkat marwah Indonesia yang dulunya sebagai penghasil emisi karbon nomor tiga dunia kini menjadi penyerap karbon. Sekaligus menjadi titik bangkitnya Indonesia kembali sebagai Zamrud Khatulistiwa. ***

Minggu, 27 Juli 2008

Hutan larangan Adat Kenegerian Rumbio, Bertahan di Negeri yang Gundul

Kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio telah membuat hutan larangan adat
mereka bertahan di tengah negeri gundul bernama Riau.

Laporan Andi Noviriyanti, Kampar
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Hawa segar langsung saja menyambar kulitku siang itu (19/6), saat melangkah masuk ke dalam Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio, Kabupaten Kampar, sekitar 48 kilometer dari Kota Pekanbaru. Tajuk pohon yang menutup langit hutan, membuat cahaya matahari hanya bisa mencuri masuk. Memberi terang seadanya sehingga tak mampu melawan kesejukan di dalam hutan itu. Sehingga berada di dalamnya tak jauh beda di dalam gedung yang ber-AC (air conditioner). Bahkan mungkin udara di hutan itu lebih segar udaranya.

Memadang ke bawah, tempat kakiku berpijak yang terlihat hanyalah hamparan daun-daun kering yang membentang seperti karpet coklat. Lalu memandang ke sekeliling, terlihat sejumlah pepohonan besar yang tinggi menjulang. Beberapa di antaranya ku kenal sebagai meranti, pulai, jelutung, dan kempas. Satu pohon besar yang ada di hadapanku, rasanya cukup untuk bisa mengisi satu bak truk cold diesel. Kalaulah pohon-pohon di hutan ini ditebang, pastilah banyak uang yang bisa didapat.

Namun entah apa yang terpikir oleh masyarakat di Kenegerian Rumbio ini sejak dulunya? Mengapa mereka memilih mempertahankan hutan itu dan memberinya dokrin sebagai hutan larangan adat? Dimana tak boleh dirambah atau dialihfungsikan dan tak pula boleh ditebang kayunya. Kecuali seizin ninik mamak yang diputuskan dalam rapat adat. Itupun hanya untuk keperluan pembangunan mesjid, musholla, jembatan dan rumah bagi para janda yang sangat miskin

Padahal kalau masyarakat di Kenegerian Rumbio ingin mengejar uang, mereka bisa saja menebang kayu-kayu di hutan itu. Apalagi kayu di hutan itu pasti banyak, karena luas totalnya mencapai 530 hektar. Yang membentang dalam enam kawasan rimbo (hutan), yaitu rimbo potai, rimbo silayang-layang, rimbo koto nagaro, rimbo pematang kulim, rimbo cubodak mangkarak dan rimbo panoghan.

Tapi itulah yang luar biasa dari kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio. Hingga sampai saat ini hutan larangan adat itu tetap saja bertahan. Meskipun kini di kiri kanannya penuh dengan kebun karet dan beberapa bagian kebun kelapa sawit serta lintasan jalan yang bisa diakses dengan mobil membelahnya.

Tak banyak alasan yang dikemukan para tetua adat di kenegerian itu menjawab pertanyaan mengapa mereka menetapkan kawasan itu sebagai hutan larangan adat. Datuk Ulak Simano Kamaruzzaman yang menjadi Pucuk Adat Kenegerian Rumbio hanya berujar sederhana. “Cam apo dulu, cam ituloh kini (seperti apa dulu, seperti itu pulalah kini),” ujarnya dengan tenang.

Sebuah ungkapan sederhana namun mampu mengikat seluruh masyarakat di kenegerian itu. Termasuk saat ada investor yang menawarkan uang masuk dengan cara mengalihfungsikan kawasan itu menjadi kebun kelapa sawit yang kini tengah booming. “Itu hutan larangan. Tak bisa dialihfungsikan. Hutan ini bagi kami adalah condi. Tanda masyarakat di kenegerian ini masih beradat. Kalau hutan larangan ini sudah tidak ada lagi, maka tidak ada pulalah adat istiadat yang bisa berlaku lagi di kenegerian ini,” ungkap Datuk Godang Edi Susanto yang menjadi Pucuk Pimpinan Adat Kenegerian Rumbio menjelaskan arti penting hutan itu bagi masyarakat adat di negerinya.
***

Meskipun pada dasarnya perlindungan hutan larangan adat di kenegerian itu lebih disebabkan alasan adat, namun bila ditelaah lebih lanjut secara ilmiah, ternyata kearifan lokal itu memiliki makna yang luar biasa bagi desa-desa di kenegerian tersebut. Ternyata berdasarkan peta giografis terlihat posisi hutan tersebut berada di atas bukit, di mana di bawahnya terdapat areal pertanian, perkampungan penduduk dan ditutup dengan belahan Sungai Kampar.

“Bisa dibayangkan kalau tidak ada hutan larangan itu, masyarakat di desa-desa Kenegerian Rumbio yang berada di kaki bukit ini akan dilanda banjir bandang dan longsor,” ujar Masriadi, salah seorang anak kemenakan di Kenegerian Rumbio yang kini memimpin Yayasan Pelopor.

Pernyataan itu lebih diperkuat lagi, jika dilihat bentangan peta kawasan hutan larangan adat itu. Di mana hutan itu tumbuh memanjang. “Lebarnya paling luas hanya 1 km. Namun panjangnya mencapai 10 km dan berada mengelilingi bukit. Hutan larangan adat ini menjadi benteng pertahanan bagi desa-desa di kenegerian Rumbio yang membentang di sepanjang Sungai Kampar,” tambah pria kelahiran asli Kenegerian Rumbio tepatnya di Padangmuntung, 13 Juli 1969.

Kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio makin terasa lagi manfaatnya tak kala melihat ada mata air di kaki bukit hutan larangan adat tersebut. Setidaknya, menurut Masriadi di tempat itu ada delapan titik mata air. Airnya sangat jernih, tak ubahnya seperti air mineral kemasan. Hingga tak jarang masyarakat di kawasan itu banyak yang langsung meminum air itu tanpa dimasak.

Air yang dihasilkan di kaki bukit itu ternyata tak saja dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Tetapi sebagian besar juga dijual ke daerah sekitarnya. Bahkan hingga ke Bangkinang, ibu Kota Kabupaten Kampar yang jaraknya sekitar 15 km dari tempat itu dan juga Panam, perbatasan Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Air yang dijual tersebut sampai ke konsumen dengan cara diantar dengan becak honda atau mobil pick up para penjual air.

”Pokoknya rumah makan di sepanjang jalan dari Pekanbaru ke Kampar ini, rata-rata memanfaatkan air dari mata air ini. Soalnya airnya sangat jernih,” ungkap Hamka dan Yuhermis, Ketua Divisi di Yayasan Pelopor yang juga anak kemenakan Kenegerian Rumbio.

Keberadaan sumber mata air itu memang memberikan kontribusi penting bagi masyarakat di kenegerian tersebut. Pasalnya air dari Sungai Kampar ataupun sumur warga tak banyak yang bisa diharapkan menjadi air minum, karena keruh. Itulah sebabnya di kenegerian itu banyak warga yang mengambil langsung ari di mata air itu atau membelinya kepada penjual air. Bahkan Heri (28), salah seorang penjual air di tempat itu telah menggantungkan kehidupannya lima tahun terakhir ini dari mata air itu.

Kalau hutan larangan adat itu tidak ada lagi, maka kekayaan air bersih di kenegerian itupun bisa jadi akan menghilang. Krisis air bersihpun bisa terjadi. Namun sekali lagi kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio sejak ratusan tahun silam telah membuat negeri itu tak pernah kesulitan air bersih, sekalipun di musim kemarau yang sangat panjang.
. ***

Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio sampai kini memang terjaga dengan baik. Tak ada yang mampu merambahnya apalagi menebang pohon di dalamnya. Jikalapun ada juga anak kemenakan yang nekat, maka sanksi adat langsung diberikan. ”Kok tatayok kembalikan, kok tamakan muntakan (kalau terambil kembalikan, kalau termakan muntahkan,” ujar Datok Godang tentang sanksi yang diberikan.

Tetapi seiring dengan perkembanganya zaman, hanya kaum tua atau para ninik mamak yang memegang teguh adat istiadat itu. Sementara kaum mudanya, sekitar 50 persen tidak begitu tertarik mempertahankan hutan larangan adat itu. Hal itulah yang kini menjadi kekhawatiran para anak kemenakan Kenegerian Rumbio yang ingin mempertahankan hutan larangan adat itu. Terutama Yayasan Pelopor yang berdiri tahun 2000 lalu.

Karena pemuda-pemuda yang tergabung di dalam itu secara tidak sengaja adalah perwakilan dari lima suku yang ada di kenegerian itu, yaitu Domo, Peliang, Putupang, Kampai dan Caniago mereka pun berikhtiar untuk mempertahankan hutan larangan adat itu dengan aturan tertulis. Agar ke depan hutan larangan adat itu diakui dalam hukum positif dan hukum negara.

”Posisi hutan ini sangat lemah. Pasalnya posisinya tidak termasuk dalam kawasan hutan, tetapi kawasan pemanfaatan langsung yaitu untuk kawasan perkebunan. Apalagi ada bagian hutan itu yang lokasinya berbatasan langsung dengan jalan lintas Simpang Tibun – Kebun Durian, yaitu jalan yang menghubungkan Kecamatan Kampar dengan Kampar Kiri. Tepatnya Rimbo Potai seluas 70 hektar. Kawasan itu sangat rentan menjadi tempat kegiatan illegal logging karena kemudahan akses untuk membawa kayunya,” ungkap Masriadi.

Untuk itulah Yayasan Pelopor berinisiatif mendokumentasikan aturan adat itu dalam bentuk dokumen tertulis mulai tahun 2001dan selesai tahun 2002. Lalu sejak tahun 2004, yayasan itu mengupayakan agar hutan larangan adat itu diberi status hukum oleh negara dan dicantumkan dalam tata ruang Kabupaten Kampar. Namun upaya itu sampai saat ini belum teralisasi. Satu-satunya yang berhasil adalah diterbitkannya Undang-undang Adat Kenegerian Rumbio Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rimba Larangan Adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Kenegerian Rumbio.

Selain mempertahankan keberadaan hutan larangan adat itu secara tertulis, Yayasan Pelopor juga merintis pembuatan tapal batas di sekeliling hutan larangan adat. Terutama yang berbatasan langsung dengan kebun masyarakat. Seiring dengan itu yayasan itu juga merintis pelaksanaan patroli rutin untuk pengamanan kawasan tersebut.

Upaya-upaya masyarakat Kenegerian Rumbio baik yang dilakukan para ninik mamak dan juga anak kemenakan di negeri itu telah menjadi contoh nyata, bahwa kearifan lokal bisa mempertahankan keberadaan hutan. Sekalipun di negeri gundul bernama Riau yang sangat dikenal eksploitasi besar-besaran hutannya. ***

Nelayan Sampah



Jika dulu para nelayan datang ke sungai untuk menjaring ikan, kini para nelayan datang ke sungai untuk menjaring sampah.


Naik sampan dan membawa tangguk ke Sungai Siak bukanlah pekerjaan baru bagi Amran (42). Sudah belasan tahun aktivitas itu dilakukan pria yang tinggal di bantaran Sungai Siak ini, tepatnya di Jalan Nelayan, Kecamatan Meranti Pandak, Kota Pekanbaru. Hanya saja kini Amran tidak lagi ke sungai untuk menjaring ikan, tetapi menjaring sampah.


Amran memang sudah beralih profesi. Jika dulu dia adalah seorang nelayan ikan, namun sekarang dia adalah nelayan sampah. Sejak itu pulalah kini tidak akan ditemukan lagi ikan hidup yang menggelepar-gelepar di bagian depan sampan Amran. Tempat ikan-ikan yang meloncat-loncat ingin kembali ke sungai itu posisinya digantikan makhluk kaku bernama sampah.

“Kalau menjaring ikan, sekarang belum tentu dapat uang. Rezekinya seperti rezeki harimau. Kadang dapat, kadang tak dapat sama sekali. Tetapi kalau menjaring sampah, pasti dapat uang,” ungkap Amran terkekeh saat ditanya lebih enak mana jadi nelayan ikan atau nelayan sampah.

Amran menjelaskan kalau dia menjaring sampah, dia pasti dapat bayaran dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Pekanbaru. Jumlahnya sih memang tidak banyak, hanya Rp30 ribu. Namun bagi buruh harian lepas Operasional dan Pemeliharaan (OP) Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA) Kimpraswil Kota Pekanbaru ini, jumlah itu lebih bisa menggaransi kehidupan istri dan dua anaknya.

Profesi baru menjadi nelayan sampah, tak hanya dilakoni Amran. Tetapi juga dua orang tetangganya, yakni M Yani (34) dan Ali Hamzah (26). Karena tinggal dalam satu RT, mereka bertiga ini selalu kompak pergi bekerja sebagai nelayan sampah di bawah Jembatan Leighton. Aktivitasnya dimulai di pagi hari, sekitar pukul tujuh atau delapan pagi dan berakhir sekitar pukul tiga atau empat sore.

Meski menjadi nelayan sampah hasilnya lebih pasti, namun menurut mereka sebenarnya tidak enak. Berurusan dengan sampah menurut mereka, bisa mengakibatkan perut mulas dan mau muntah. Apalagi ketika awal-awal harus bekerja, selera makan mereka bisa hilang dan tidak bisa makan seharian.

”Gimana mau makan, kalau ketemu sampah taik yang dibungkus plastik. Kami menyebutnya WC terbang. Kadang-kadang sering juga ketemu bangkai kucing dan anjing. Pokoknya macam-macamlah,” ungkap M Yani sambil tertawa kecil ingat kalau dulu dia baru bisa normal makan setelah tiga hari bekerja berturut-turut.

Namun, menurut Ali Hamzah, sampah taik dan bangkai tidak membuatnya terlalu jengkel. Dia lebih sebal lagi kalau harus ketemu sampah pembalut wanita yang terapung-rapung di atas air sungai. ”Sebentar lagi pasti banyak tuh,” ungkapnya dengan nada suara sedikit naik sembari menunjuk ke arah datangnya sampah dari Sungai Senapelan.

Di tengah-tengah perbincangan itu tiba-tiba dua buah kantong asoi, tampak datang dari arah hulu sungai Siak. Salah satu dari mereka pun dengan gesit menaiki sampannya dan mendekati sampah itu dan mengambilnya. Ternyata isinya adalah aneka bunga tujuh rupa. ”Wah, pasti ada yang buang sial nih,” celetuk mereka sembari tertawa.

Tidak lama setelah itu, sebuah bungkus kemasan makanan anak-anak seakan-akan datang dari langit. Setelah dilihat ke atas ternyata ada orang yang membuang sampah dari atas Jembatan Leighton. Kembali lagi salah satu mereka mengejar sampah itu. Namun seperti apapun mereka giat membersihkan sampah-sampah itu, sampah itu sepertinya tidak berhenti datang. Riau Pos sendiri pun sempat menyaksikan bagaimana dalam hitungan beberapa menit saja kawasan yang tadi mereka bersihkan kembali dipenuhi sampah.

Itulah sebabnya terkadang banyak yang menduga mereka tidak bekerja. Soalnya kalau mereka istirahat sebentar saja dan tim pengawas kota datang, mereka tidak bisa mengelak kalau di tempat mereka masih banyak sampah. Meskipun kenyataannya kecepatan sampah yang mereka punguti hampir sama dengan kecepatan sampah yang datang. Jika tidak percaya bahwa jumlah sampah ditempat itu begitu banyak, menurut mereka bisa di check saat jadwal pengangkutan sampah. Sampahnya setiap hari bisa mencapai satu truk.

Amran dan Yani juga menceritakan kalau sampah yang mereka dapati di badan sungai tidak saja berasal dari mereka yang tidak kelihatan membuang sampahnya. Tetapi juga berasal dari mereka yang membuang sampah di depan hidung mereka sendiri. ”Malah saya sempat ribut dengan para penjual jagung bakar di tepian Sungai Siak ini. Mereka langsung saja membuang sampah ke dalam sungai. Makanya keranjang sampah itu saya taruh disana. Agar mereka tidak lagi membuang sampah ke dalam sungai,” tunjuk Amran ke arah tong sampah rotan yang terletak di bantaran bagian bawah Sungai Siak.

Tentang rendahnya kesadaran masyarakat membuang sampah itu juga dikemukakan M Yani. Sambil mengulum senyum dia menunjuk ke arah papan pengumuman dilarang membuang sampah yang ada di pinggiran sungai itu. ”Di papan pengumuman itu, malah paling banyak sampah dibuang,” ujarnya terkekeh.
***

Membersihkan sungai dari sampah memang tengah giat dilakukan Dinas Kimpraswil Kota Pekanbaru, khususnya seksi OP PSDA. Pasalnya kebersihan sungai menjadi salah satu indikator kebersihan Kota Pekanbaru yang telah tiga tahun berturut-turut ini jadi kota besar terbersih se Indonesia. Untuk mempertahankan prestasi itu, Kimpraswil Kota bersama dinas terkait lainnya yang ditugaskan membersihkan Kota Pekanbaru bergiat menjaga kebersihan kota sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka masing-masing.

Di OP PSDA sendiri, inisiatif yang dilakukan adalah membentuk para mantan nelayan ikan jadi nelayan sampah. ”Kita sengaja memilih mereka, para penduduk di sekitar sini yang memiliki sampan untuk membersihkan sungai. Soalnya mereka yang paling mengerti areal mereka. Apalagi Sungai Siak kan terkenal cukup angker. Kalau mereka yang terbiasa naik sampan disini, pasti lebih aman,” ungkap Syamsir Alam, Kasi OP PSDA Kimpraswil Kota Pekanbaru yang sejak tahun 2005 lalu memperkenalkan profesi baru bagi masyarakat tepian Sungai Siak dari nelayan ikan ke nelayan sampah.

Sebenarnya tidak banyak nelayan sampah yang dibentuk Syamsir Alam. Hanya tiga orang untuk di bawah Jembatan Leighton dan lima orang di sekitar Pelabuhan Sungai Duku. Pasalnya hanya lokasi itu yang memungkinkan dibersihkan oleh para nelayan sampah dan juga karena alasan hanya itulah yang menjadi kewenangan Kimpraswil Kota Pekanbaru.

Sementara itu untuk bagian sungai lain yang dangkal atau tidak memungkinkan bersampan, mereka membentuk tim renang sampah. Tugas para tim renang ini adalah memunguti sampah di dalam sungai dengan baju pelampung. Tim renang ini bisa ditemui di muara Sungai Sago, muara Sungai Limau dan Sungai Siak dekat Pelabuhan Pelita Pantai

”Kalau di Pelita Pantai, kita tidak bisa menggunakan para nelayan sampah ini. Karena sampah utama disana adalah eceng gondok. Karena air Sungai Siak itu airnya berputar maka eceng gondok itu biasanya mengumpul. Seperti membentuk pulau dan orang bisa berdiri di atasnya. Kalau pakai sampan maka tidak bisa diangkat. Jadi tenaga OP harus berenang. Kadang-kadang tiga orang bergabung mendorong eceng gondok itu ke tepian sungai. Barulah diangkat ke daratan,” ungkap Syamsir.

Untuk membersihkan sungai dan saluran primer di Kota Pekanbaru, Syamsir Alam dibantu oleh 150 orang petugas OP. Petugas itulah yang setiap hari bekerja membersihkan sungai-sungai yang membelah Kota Pekanbaru.

Meskipun mereka telah bekerja rutin, membersihkan sungai-sungai itu, menurut Syamsir tidak akan pernah bisa membersihkan sungai-sungai yang ada. ”Misalnya sampah di Sungai Siak ini. Kalau di daerah hulunya di Tapung Kampar itu tidak diantisipasi sampah eceng gondoknya, maka pasti di Pekanbaru selalu ada sampah. Kami juga tidak bisa bekerja sendiri, kalau Dinas Kimpraswil Provinsi Riau yang bertanggungjawab di wilayah sungai provinsi tidak melakukan hal yang sama,” ujarnya.

Dia juga menyinggung kesuksesan pekerjaan itu juga memerlukan dukungan masyarakat. Beberapa waktu lalu, menurutnya, dia telah menyebar selebaran agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai. Sejak itulah jumlah sampah yang dibuang langsung ke sungai sudah mulai berkurang hingga 50 persen. Ke depan dia berharap partisipasi masyarakat untuk menjaga lingkungan kian besar.***

Kamis, 17 Juli 2008

Ayo Terus Berprestasi!


Jangan berhenti berprestasi dan mengupgrade kemampuan diri

Pemanasan Global Senyata Lelehan Coklat, Sedekat Flu Burung

Disuatu siang yang panas di dalam mobil. “Eh, aku punya coklat. Itu ada di laci,” ujarku kepada Wati, rekanku sesama wartawan yang satu mobil dengan ku. Watipun membuka laci dan mengambil batangan coklat itu. ”Ah enggak, coklatnya sudah meleleh. Lumer. Aku tak mau,” ujarnya sambil memperlihatkan cairan coklat yang merembes sampai keluar bungkusnya dan melemparkan kembali coklat cair itu kedalam laci mobil. ”Astaga Wat, jangan lempar lagi ke dalam laci?,” ujarku

Peristiwa sederhana itu menjadi contoh nyata tentang peristiwa pemanasan global yang mencairkan es di kutub utara. Susanto Kurniawan, aktivis lingkungan yang kini menjadi koordinator Jikalahari, menyebutkan analognya coklat yang mencair itu sama dengan es yang mencair. Kaca mobil sama dengan gas rumah kaca di atmosfir. Ruangan di dalam mobil sama dengan kehidupan di atas permukaan bumi.
“Peristiwanya begini. Sinar matahari masuk ke dalam mobil lewat kaca jendela. Sinar matahari yang mengantar panas itu hanya bisa masuk ke dalam mobil tetapi tidak bisa keluar. Akibatnya panas terperangkap dan meningkatkan suhu di dalam mobil. Itu sebabnya kita selalu merasakan panas di dalam mobil yang terpakir di tempat panas,” ujarnya.


Peristiwa itu, lanjutnya, sama halnya sinar matahari yang masuk ke bumi. Normalnya sinar matahari yang masuk ke bumi sebagian dipantulkan lagi keluar. Sayangnya karena gas rumah kaca yang ada diatmosfir kadarnya sudah berlebihan, sekitar 430 ppm (IPCC, 2007), maka sinar yang dipantulkan tadi tidak bisa keluar. Akhirnya panas terperangkap di atmosfir bumi dan memanaskan suhu secara global. Akibatnya es pun mencair di kutub termasuk di Gunung Jaya Wijaya.

Penjelasan sederhana tentang pemanasan global, menurut Garin Nugroho, sutradara film yang kini gencar mengkampanyekan pemanasan global melalui media televisi dan poster, seringkali luput dari perhatian mereka yang berbicara tentang pemanasan global. Akibatnya peristiwa pemanasan global dianggap peristiwa yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat.

. ”Walau sering kali kita mendengar tentang pemanasan global dan efek rumah kaca, tetapi banyak juga yang tidak mengerti makna sebenarnya. Banyak yang mengartikan pemasan global itu terjadi, karena sekarang rumah banyak pakai kaca. Untuk itu persoalan pemanasan global ini harus lebih disosialisasikan lagi termasuk di dunia televisi yang kini menjadi media yang paling banyak diminati,” ungkap Garin
Menurutnya selama ini persoalan pemanasan global hanya sering diceritakan tentang mencairan es di kutub utara. Padahal untuk masyarakat Indonesia itu tidak relevan. ”Perlu dicari contoh-contoh nyata yang lebih dekat dan dikenal oleh masyarakat,” tambahnya lagi.

Peristiwa banjir, angin puting beliung, dan kekeringan menjadi contoh nyata dari peristiwa pemanasan global di Indonesia. Contoh nyata lainnya yang juga kini diselidiki sangat ketat adalah peningkatan jumlah penyakit flu burung. Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika dan juga penerima Nobel Perdamaian tahun 2007, dalam film dokumenternya ”An Inconvenient Truth” menyebutkan flu burung adalah penyakit tropis yang perkembangannya dipicu oleh pemanasan global.

Pernyataan Al Gore diperkuat oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG Prof Mezak A Ratag dan peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) Agik Suprayogi kepada media. Mereka berdua, menyatakan pemanasan global mengakibatkan meningkatnya kasus flu burung. Itu terjadi karena peningkatan suhu udara mendorong peningkatan penguapan. Akibatnya kondisi udara lebih lembab dan virus pemicu penyakit flu burung sangat menyukai kondisi lembab dan dingin.
Fakta-fakta itu membuat peristiwa pemanasan global makin dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan dr Chen Ik cen, seorang dokter kecantikan yang mendalami skin care, mengkhawatirkan kecantikan kulit wanita pun terancam akibat peningkatan suhu bumi.

Perang Melawan Pemanasan Global
”Siapkah kita kehilangan?. Ini adalah isu moral. Ini lebih hebat dari perang terhadap teroris! Dampaknya dari perbuatan kita saat ini dan pendahulu kita akan terjadi saat anak-anak kita seusia saya saat ini” ujar Al Gore dalam filmnya.
Pernyataan Al Gore dan sejumlah fakta tentang pemanasan global telah mendorong banyak pihak untuk menyatakan perang perang terhadap pemanasan global. Nila F Moloek, Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Indonesia, salah satunya. Dia menyatakan kaum perempuan pun harus diberi tahu dengan ancaman ini. Menurutnya, perempuan memiliki kontribusi besar dalam keluarga untuk mengurangi emisi melalui kegiatan hemat energi. Baik dari pemakaian listrik, penggunaan bahan bakar untuk transportasi, maupun kegiatan lainnya yang memberi kontribusi dalam melepaskan gas rumah kaca, khususnya CO2.

“Kita bisa memulainya dari rumah. Bangun rumah di lahan perumahan. Jangan merusak hutan. Jangan mengubah lahan pertanian menjadi perumahan, pabrik maupun mal. Tingkatkan kualitas hidup. Kendalikan pertumbuhan penduduk dengan keluarga berencana. Kurangi hidup boros. Budayakan prinsip 3R, reduce, reuse, dan recycle. Efisienkan penggunaan transportasi. Kurangi CO2 dan selamatkan udara dengan menanam pohon. Hemat pemakaian energi dan banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk memerangi ini,” ujar Nila.

Tak hanya itu, dengan semakin gencarnya topik pemanasan global berbagai kegiatan pengurangan pemanasan globalpun dilakukan. Tidak saja datang dari pemerintah tetapi juga dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dari pemerintah ada gerakan Indonesia menanam dan sebentar lagi Gerakan Penanaman Pohon Serentak yang dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota. Sejumlah LSM di Riau kini juga tengah memperjuangkan penyelamatan hutan gambut.

”Riau memiliki hutan gambut terluas di Sumatera. Luasnya mencapai 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total lahan gambut di Sumatera. Hutan gambut memiliki kontribusi dua kali lipat dalam melepaskan karbon tetapi juga dua kali lipat menyimpan karbon. Kalau lahan gambut diselamatkan dari deforestasi, kebakaran, dan kekeringan maka kawasan itu akan mampu mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global,” ujarnya Susanto Kurniawan.

Namun upaya penyelamatan itu, menurutnya harus pula mendapat instensif dari negara-negara maju. “Harus ada kompensasi dari hutan gambut yang kita jaga. Itulah yang kini kita perjuangkan,” ungkap Susanto yang kini bersama rekan-rekannya di Jikalahari tengah mendorong penyelamatan Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar (***)