Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id
Suatu sore, di penghujung tahun 2004, pada pertemuan Jambore Lingkungan se Indonesia, di Sariater, Jawa Barat, seorang pria berkulit kuning dengan muka yang bersih, berkata pada peserta jambore.
“Persoalan lingkungan itu kompleks sehingga sulit dimengerti, penuh ketidakpastian, dan dampaknya baru terbukti atau dirasakan dalam kurun waktu yang lama,” ujar pria yang gaya bahasanya agak kebarat-baratan ini. Pria itu adalah Nabiel Makarim. Saat itu dia menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Ucapan pria yang menamatkan pendidikan universitasnya di Australia dan Amerika ini, bukanlah ucapan tanpa dasar. Setidaknya belajar dari kisah pencemaran lingkungan paling fenomenal yang ditulis Rachel Carson berjudul “The Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi)” yang diterbitkan tahun 1962. Perempuan berlatar belakang pendidikan kimia ini mengemukakan bahwa pestisida jenis DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) telah mengubah dunia di sekitarnya. Dimana di musim semi yang seharusnya dipenuhi dengan kicauan burung, kini tidak ditemukannya lagi. Karena burung-burung serta sejumlah makhluk hidup lainnya telah ikut mati bersama hama target yang dibunuh oleh DDT.
Namun pernahkah sebelumnya orang mengira DDT akan benar-benar menjadi bencana lingkungan dunia? DDT pertama kali diproduksi dalam laboratorium pada tahun 1873. Selama setengah abad, ia hanyalah menjadi produksi laboratorium yang tidak diketahui apa manfaatnya. Pada tahun 1939, seorang ahli kimia Swiss Paul Hermann Muller menemukan bahwa DDT sangat bermanfaat untuk membunuh serangka penyebab penyakit khususnya malaria dan hama tanaman pertanian. Untuk kerja keras itu, Muller pun mendapatkan Hadiah Nobel bidang obat-obatan pada tahun 1948. Setelah itu penggunaan DDT booming di seluruh penjuru dunia, sebagai pestisida sintetis yang sangat efektif.
Tetapi siapa pula yang menyangka 12 tahun sesudahnya, Rachel Carson meluncurkan hasil penelitian bahwa DDT memang telah berhasil membunuh serangga yang menjadi hama pertanian, tetapi sekaligus membunuh makhluk hidup lainnya, terutama burung-burung. Burung-burung yang ada sangat sulit bereproduksi, telurnya banyak yang tidak bisa menetas. Hingga akhirnya DDT dilarang penggunaannya di sedikitnya di 86 negara kecuali beberapa negara untuk memberantas penyakit malaria. Pada perkembangan selanjutnya diketahui pula ternyata pestisida ini juga bersifat karsinogenik atau pemicu penyakit kanker dan juga penyebab kematian.
Penelitian World Health Organization (WHO) dan Program Lingkungan PBB pada tahun 2000-an memperkirakan ada tiga juta orang yang bekerja di sektor pertanian di negara-negara berkembang yang terkena racun pestisida. Sekitar 18 ribu di antaranya meninggal setiap tahunnya. Di Cina diperkirakan setiap tahunnya setengah juta orang keracunan pestisida dan 500 orang di antaranya meninggal. Bahkan penelitian Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya.
Siapa yang menyangka, pria yang dulunya menerima Hadiah Nobel ternyata di akhir ceritanya malah memberikan bencana lingkungan bagi kehidupan umat manusia? Namun begitulah yang dikemukakan Nabiel Makarim, bencana lingkungan itu penuh ketidakpastian dan jangka waktunya terlalu lama.
Membuat keputusan bagi lingkungan memang sangat sulit. Hal itupun dikemukakan Budhi Soesilo, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, beberapa bulan lalu, saat menjadi pembicara di Hotel Grand Zury pada seminar Pendidikan Lingkungan pada Usia Dini. Pria bertubuh tinggi ini mengilustrasikan bahwa persoalan lingkungan seperti melihat sebuah segitiga sama kaki, namun bagian garis tengahnya saling tidak menyambung. Sehingga potongan garis yang menyiku itu tidak membentuk segitiga dalam bentuk utuh. Tetapi seperti potongan segitiga-segitiga kecil.
Di saat itulah pria ini bertanya kepada peserta, ada beberapa segitiga dalam gambar itu? Ada yang menjawab satu, ada yang menjawab tiga, ada yang menjawab tidak ada. Budhi hanya tertawa menanggapi jawaban para peserta, itulah yang menurutnya menjadi persoalan saat ini. Meskipun objek lingkungan itu sama, seperti gambar potongan segitiga tidak jadi itu, namun setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda melihatnya. Ditambah faktor kepentingan lainnya, baik secara politis maupun keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Kompleksitas persoalan lingkungan membuat persoalan lingkungan harus ditanggapi dengan hati-hati dan penuh perhitungan serta penuh dengan kajian ilmiah.
Misalkan saja, tragedi yang beberapa bulan terakhir ini menimpa Provinsi Riau. Siapa yang menyangka tanaman sawit yang sempat diagung-agungkan sebagai komoditi untuk menuju kekayaan abadi, tiba-tiba anjlok. Di sejumlah media massa, tersiar kabar bahwa di Kampar Kiri, Kerinci Kanan, dan sejumlah daerah yang masyarakatnya mengandalkan perkebunan sawit kini tengah diliputi mendung besar. Ada yang bunuh diri, ada yang batal naik haji, dan yang terpaksa membiarkan alat transportasi mereka baik sepeda motor dan mobil dan truk dikembalikan kepada pihak dealer. Sejumlah orang tua juga telah menyurati anak-anak mereka yang bersekolah di kota, bahwa kini orang tuanya tidak mampu lagi. “Pandai-pandailah di kampung orang. Sawit sudah tidak laku lagi,” ujar mereka.
Tak hanya itu, dalam sebulan terakhir ini, tersiar pula kabar di media massa, Riau Pulp, perusahaan pulp and paper terbesar di Asia Tenggara menghadapi kenyataan pahit harus melakukan efisiensi besar-besaran dan mengarah kepada PHK besar-besaran pula. Pulp dan kertas yang mereka hasilkan tidak laku dijual di pasar Eropa dan Amerika yang selama ini menjadi basis pasar mereka. Sebagai buah dari krisis global yang melanda negara adidaya yang dalam perkiraan awalnya dinyatakan tidak mungkin terkena krisis seperti negara-negara berkembang lainnya.
Keberadaan perusahaan pulp and paper dan juga hasil perkebunan sawit yang menjulang tinggi itu pernah mengharumkan nama Riau di kancah nasional dan internasional. Riau dikenal sebagai daerah sangat kaya. Bukan saja karena minyak dan gasnya yang sudah lebih dulu menjadi lambang kejayaan Riau, tetapi juga dengan produksi pulp dan kertas serta sawitnya. Namun kini, kejayaan Riau itu tengah di pertaruhkan? Akankah perusahaan pulp di Riau bertahan? Akankah harga sawit lebih baik ke depan? Tidak ada yang tahu pasti.
Namun menurut Endang Sukara, Deputi Bidang Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, semua yang kini menimpa Riau adalah bentuk peringatan dini. Sebagai daerah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, pemilik bahan baku dari banyak sektor industri, seharusnya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan ketahanan daerah sendiri. Yakni dengan membuat industri-industri hilir. Jadi tidak meluluh mengeksploitasi sumber daya alamnya, mengurangi jumlah hutannya, hanya untuk terus menerus memproduksi bahan baku yang harganya tidak seberapa dibandingkan kalau mampu mengolah hingga ke industri hilir.
“Seandainya saja industri-industri yang ada tidak diproduksi hanya sampai ahan mentah seperti pulp, CPO (Crude Palm Oil) dan batu bara mentah, maka berbagai produk bahan baku yang ada di Riau tidak akan serta merta dipermainkan harga dunia,” ujar Endang.
Apa yang disampaikan Endang benar adanya. Contohnya saja perusahaan pulp satunya lagi di Riau. Perusahaan Indah Kiat atau dalam grup Sinar Mas Forestry lebih mampu bertahan. Pasalnya perusahaan yang bermasis di Perawang ini memproduksi produk pulp dan kertas mereka sampai ke bentuk tissu. Lihat saja, di berbagai rumah makan, restoran, dan hotel produk milik Sinar Mas ini terpampang jelas. Artinya jika produk itu diproduksi hingga ke hilir, maka bahan baku dari Riau tidak perlu dipermainkan harga dunia.
Selanjutnya, diversifikasi komoditi dan produk yang dihasilkan Riau juga menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Secara teori biologi telah dinyatakan, jangan sekali-kali mengandalkan monokultur, karena tanaman sejenis itu rentan terkena hama yang memicu bencana ekologis. Tapi tidak ada yang percaya saat itu, kecuali sekelompok kecil yang tidak memegang kebijakan.
Saat ini mungkin belum terjadi, tetapi coba bayangkan apa yang terjadi di Riau bila hama ulat api pada tanaman sawit yang kini menimpa petani sawit di Pasaman Barat, Sumatera Barat? Bisa dibayangkan hamparan sawit yang maha luas di Riau itu hanya akan menjadi hamparan tanaman lidi dan batang sawit. Karena hama ulat api, menggigit seluruh daun-daun sawit, hingga tinggal lidinya saja.
Secara tiori ekonomi juga sudah dikatakan jangan menggantungkan sesuatu pada satu produk. Misalnya selama ini sawit yang adi di Riau kebanyakan hanya dihasilkan sampai Crude Palm Oil (CPO). Sementara produk hilirnya yang beranekaragam hanya diproduksi dengan sangat terbatas. Padahal sawit bisa diolah menjadi berbagai macam produk, mulai dari biodisel, margarin, minyak goreng, deterjen, sabun, cocoa buuter, dry shop mixes, sugar confectionery, biscuit cream fats, filled milk, oli, minyak tekstil dan lainnya.
Memang untuk mewujudkan hal itu, bukanlah perkara gampang. Keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana dan prasarana selalu menjadi alasan klise sepanjang zaman. Untuk itu menurut Endang Sukara, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan, dan hal-hal untuk mengatasi kemiskinan harus melibatkan kalangan akademis dan harus berorientasi pada keseimbangan lingkungan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemerintah daerah, kalangan akademis, harus membuat rencana pembangunan yang lebih berkelanjutan. Bukan saja untuk generasi yang ada saat ini, tetapi juga nanti.
Susanto Kurniawan, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) juga menyatakan pentingnya pembangunan yang mempertimbangkan kepentingan lingkungan. “Saya tegaskan, kami bukan anti pembangunan. Namun kami ingin kebijakan apapun yang dibangun pemerintah benar-benar berpihak kepada lingkungan. Bukan menolak adanya pembangunan industri di Riau, seperti pulp dan sawit. Yang kami suarakan hanyalah bagaimana industri itu berjalan dalam koridor yang benar. Tidak membangun lahan konsensi di lahan gambut dalam. Usulan jeda tebang juga untuk memberikan kepastian, dan melakukan identifikasi mana yang boleh atau tidak. Bukan serta merta anti pembangunan,” ujar Susanto Kurniawan.
Program-program pemerintah seperti kebun sawit K2I juga perlu kembali ditinjau ulang. Apakah itu memang akan membawa masyarakat akan keluar dari kemiskinan atau hanya menambah beban baru. Persoalan tentang rencana tata ruang daerah juga memerlukan percepatan penyelesaiannya. Mengingat itulah sabagai acuan dari segala bentang alam di Riau.
Meski demikian, Endang Sukara maupun Kepala Dinas Perkebunan Kuantan Singingi Hardi Yakuf berharap tata ruang yang dibuat tidak lagi berdasarkan informasi di atas kertas. Harus benar-benar turun ke lapangan. Pasalnya menurut Hardi Yakuf, tata ruang yang ada misalnya menyatakan kawasan Desa Jake hingga Taluk Kuantan di Kabupaten Kuantan Singingi ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada Perda Nomor 10 Tahun 1994. Padahal kawasan itu menurutnya merupakan hamparan kebun karet yang sudah dimulai di era tahun 1980-an. Bahkan kebun karet itu merupakan bantuan bank dunia.
Berbagai ketidaksamaan informasi dan ketidaksingkronan itu menurut Emil Salim tidak perlu dipertahankan terus menerus. Buatlah keputusan menurutnya yang berpihak kepada lingkungan. Apapun orientasi pembangunan galilah berdasarkan kearifan lokal dan keberpihakan untuk menyelamatkan lingkungan. Sembari terus menggali potensi-potensi daerah yang bersifat berkelanjutan.
Misalnya, menurut Endang Sukara, perdagangan karbon dari luasan lahan gambut Riau yang sangat luas. Berbagai potensi obat-obatan dan polimer-polimer yang bermanfaat dalam pengembangan teknologi hayati yang kedepan akan menjadi tren teknologi masa depan.
Hari ini Riau mungkin belum terlambat. Keputusan di tengah ketidakpastian memang harus terus diambil. Namun tetap harus bersandar kepada keseimbangan pembangunan dan lingkungan. Karena kedua hal itu seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. ***
0 komentar:
Posting Komentar