This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Sabtu, 31 Januari 2009

Daerah Harus Beraksi Hadapi Perubahan Iklim

Deklarasi Albay: Berpikir Global, Berbuat Lokal

Ketika sejumlah daerah masih meragukan berbagai ancaman perubahan iklim, Provinsi Albay, Filipina justru mendeklarasikan diri sebagai daerah yang seluruh orientasi pembangunannya berbasiskan kepada upaya mitigasi (mencegah) dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Alasannya sederhana, karena tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasi hal itu tidak ada yang jelek atau yang bertentangan dengan komitmen pembangunan berkelanjutan.

Laporan Andi Noviriyanti, Manila
andi-noviriyanti@riaupos.co.id



Cobalah perhatikan upaya-upaya apa saja yang diserukan dalam mencegah (mitigasi) dan beradaptasi menghadapi perubahan iklim. Mulai dari upaya menghemat penggunaan bahan bakar fosil. Terlihat upaya yang dilakukan hanyalah mengajak masyarakat untuk menggunakan energi dari bahan bakar fosil seminimal mungkin. Misalnya dengan berjalan kaki atau naik sepeda untuk menempuh jarak yang dekat atau naik kendaraan umum. Bahkan jika terpaksa membawa kendaraan pribadi maka jadilah pengemudi yang ramah lingkungan dan usahakan cari kendaraan yang bahan bakarnya hemat energi.
Begitu juga dengan upaya-upaya lainnya dalam mencegah dan mengantisipasi perubahan iklim. Misalnya mengutamakan makan produk lokal (agar tidak dibutuhkan pembakaran bahan bakar fosil untuk alat transportasi pengangkut produk luar tersebut). Menghemat pemakaian listrik. Tidak melakukan deforestasi dan aktif melakukan penghijauan. Mencari bibit unggul yang tahan cuaca ekstrim, produksinya tinggi dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh itu, terlihat bukan bahwa semua hal itu adalah baik untuk menyelamatkan lingkungan.
Dengan melihat berbagai kebaikan itulah pemerintah Provinsi Albay, Filipina dibawah kepemimpinan Gubernur Joey Salceda pada tahun 2007 lalu menandatangani Deklarasi Albay. Suatu deklarasi yang seperti menjadi ideologi bagi daerah tersebut untuk berbuat atau melakukan upaya apapun mulai dari perencanaan, penganggaran, penelitian dan pelaksanaan pembangunan semuanya berorientasi berdasarkan upaya untuk mencegah dan menghadapi perubahan iklim.
”Saya pikir, mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim harus dilakukan. Terlepas apakah itu benar-benar akan terjadi atau tidak, Mengingat para ahli saat ini masih memperdebatkannya. Bagi saya, karena tidak ada yang yang jelek dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana perubahan iklim tersebut, maka sudah sepantasnya upaya mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim dilakukan,” ungkap Joey Salceda, pertengahan Agustus kepada kepada para jurnalis yang mengikuti Climate Change Media Workshop di Manila Filipina bagi wartawan-wartawan se Asia Tenggara dengan tema Reporting Climate Change: Creating a Climate of Change in Southeast Asia.
Selain alasan itu, Joey juga menyebutkan, provinsinya adalah provinsi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mengingat, provinsinya adalah provinsi kepulauan yang dikelelingi oleh laut. Selain itu, diperkirakan ancaman angin topan yang semakin sering melanda daerah mereka adalah bagian dari dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data Neda Media Report Desember 2007 saja disebutkan bahwa sekitar satu juta penduduknya merasakan akibat angin topan itu. Mereka juga harus mengalami kerusakan senilai 1.519.411.829 Peso Filipina. Untuk itulah bagi mereka tidak ada alasan menunda-nunda upaya mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim. Mereka konkritkan komitmen itu dengan nama Deklarasi Albay.
Isi deklarasi itu di antaranya menyebutkan sejumlah kesadaran masyarakat dan Pemerintah Provinsi Albay terhadap perubahan iklim. Mereka menyatakan dalam deklarasinya bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang paling luas dan paling jahat yang harus dihadapi penduduk bumi. Perubahan iklim tidak saja berdampak bagi lingkungan alami, tetapi juga pada ekonomi dan sistem sosial. Filipina sebagai negara kepulauan sangat rentan dengan resiko iklim dan gangguan cuaca. Aksi menghadapi perubahan iklim adalah tugas setiap warga negara.
Atas dasar sejumlah kesadaran itulah kemudian mereka berkomitmen, di antaranya bekerja untuk membuat adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas kebijakan dalam agenda nasional. Mengadvokasi agar anggota senat atau dewan perwakilan rakyat mereka membuat kebijakan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Mengintruksikan agar kurikulum di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, baik umum maupun kejuruan untuk mengintegrasikan kurikulumnya dengan perubahan iklim.
Selain itu mereka mempromosikan penelitian dan upaya-upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Baik yang dilakukan pemerintah, institusi penelitian dan akademisi. Mendukung pembangunan dengan memperluas penggunaan sumber energi yang dapat diperbarui. Sangat mendorong dan meningkatkan alokasi untuk adaptasi dan perubahan iklim. Mendorong terciptanya dana adaptasi dari perubahan iklim yang bersumber dari pajak yang ada, proses privatisasi dari pemerintah, bantuan dan donasi, dan penjualan sertifikat pengurangan emisi karbon (perdagangan karbon).
Kemudian mendorong pemerintah untuk bekerjasama secara bilateral dan multilateral dalam permintaan program adaptasi. Terutama dalam penggunaan lahan dan air, perubahan penggunaan lahan hutan, mereduksi emisi dan deforestasi serta degradasi. Termasuk juga dalam hal perikanan , pertanian, dan mempromosikan pembangunan dengan energi terbarukan.
Terlepas dari itu, mereka juga meminta dukungan media untuk menyebarkan informasi, mengedukasi, dan mengembangkan kesadaran masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim. Serta sejumlah komitmen lainnya yang bertujuan apapun perencanaan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masysarakat di Albay dharus mempertimbangkan dampaknya bagi perubahan iklim.

Pantas Ditiru Daerah
Komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Provinsi Albay lewat deklarasi mereka itu, menurut Dr Arief Anshori Yusuf, ekonom senior yang menjadi pembicara dalam Climate Change Media Workshop tersebut harus ditiru oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Apalagi Indonesia, tambah dosen Universitas Padjajaran, termasuk daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim.
Rentan karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang cukup panjang. Jika terjadi peningkatan air laut, maka daerah-daerah yang berada di garis pantai itu akan tenggelam. Indonesia juga mengalami elnino (musim panas yang sangat panjang dan terjadi peningkatan suhu). Indonesia juga makin sering terkena bencana. Bila tahun 1193-2000, bencana yang terjadi hanya mencapai 250 an, pada tahun 2002 mencapai 375 bencana pertahunnya. Khusus untuk banjir, pada tahun 2003/2004 terjadi 180 kejadian.
Disisi lain, Indonesia tidak memiliki sumberdaya untuk beradaptasi. Sekitar 37,17 juta orang di Indonesia adalah penduduk miskin. Ditambah lagi sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian dan perikanan, maka pola cuaca yang tidak menentu akan membuat masyarakat gagal panen dan gagal mencari ikan..
“Kita tahu, lebih dari 50 persen penduduk kita masih menggantungkan kehidupan mereka dari sektor perikanan dan pertanian. Ketika kedua hal itu terganggu karena perubahan iklim otomatis mereka kehilangan mata pencarian. Hal itu tentu mengakibatkan angka kemiskinan di Indonesia semakin meningkat,” ujar pria yang mendalami ekonomi dan lingkungan ini.
Oleh karena master tamatan universitas di London dan pendidikan doktor di Australia ini mengungkapkan mau tidak mau setidak-tidaknya pemerintah di masing-masing daerah menyadari bahwa mereka terkena dampak perubahan iklim. Dengan begitu mereka menyadari dari sekarang untuk mempersiapkan diri untuk beradaptasi. Semakin lambat upaya-upaya adaptasi dilakukan, bisa dipastikan akan semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan daerah tersebut.
Selain melakukan adaptasi, pemerintah Indonesia juga wajib melakukan mitigasi, sebagai komitmen bersama masyarakat dunia untuk mengurangi gas rumah kaca. Pasalnya, tanpa kontribusi bersama tidak mumgkin jumlah gas rumah kaca sampai pada batas normal. Untuk itu perlu mengupayakan agar Indonesia keluar dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya dengan harga BBM yang rendah itu, emisi karbon dari sektor itu kian meningkat.
“Saat ini pelaku ekonomi di Indonesia masih menganggap bahwa emisi karbon tidak ada ongkosnya. Diperlukan intervensi pemerintah untuk mengubah prilaku tersebut melalui penerapan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi dapat berupa pajak karbon atau mekanisme perdagangan ijin karbon (carbon permit). Pajak karbon diterapkan dalam bentuk pajak untuk pembelian bahan bakar berbasis fosil, dengan tingkat bervariasi tergantung dari besarnya kandungan karbon. Batu bara misalnya akan dikenakan pajak lebih tinggi daripada gas alam, karena kandungan karbon-nya yang lebih tinggi,” papar pria yang juga tergabung dalam Economy and Environment Programme for Southeast Asia (EEPSEA).***


“Ternyata Lapisan Ozon itu Gas”

Lapisan ozon yang tak dapat dilihat dan disentuh karena berbentuk gas. Membicarakannya juga seperti membahas kajian dan penelitian dalam dunia hayal. Itulah sebabnya masyarakat sulit memahami persoalan penipisan lapisan ozon dan bagaimana menyikapinya. Meskipun berbagai produk penyebab penipisan lapisan ozon itu berada di sekelilingnya manusia dan dampaknya juga pada tubuh manusia.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id




Febi Indria, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Jurusan Sistem Informasi surprise sekali mengetahui bahwa lapisan ozon itu ternyata gas. “Selama ini saya nggak kebayang apa itu lapisan ozon. Yang saya tahu dia adalah lapisan di langit yang melindungi bumi dari sinar ultraviolet. Saya baru tahu hari ini, ternyata lapisan ozon itu gas,” ungkap Febi, yang minggu keempat September lalu mengikuti Sosialisasi Program Perlindungan Lapisan Ozon bagi mahasiswa pecinta alam (mapala) se Kota Pekanbaru, di Aula Gedung Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera.
Lapisan ozon yang berbentuk gas itu pulalah yang sering membuat isu penipisan lapisan ozon menjadi sulit dipahami masyarakat. “Memang sulit bicara tentang penipisan lapisan ozon. Barangnya tak nampak, tak bisa dilihat, tak bisa disentuh pula,” ungkap Amral Fery, Kabid Pengendalian Kerusakan Lingkungan (PKL) dan Tata Lingkungan (TL) PPLH Regional Sumatera.
Misalkan saja lapisan ozon itu berada di langit lapisan stratosphere yang jaraknya dari bumi sekitar 40 kilometer. Molekul ozon yang bergabung menjadi lapisan ozon itu dipecah oleh gas pula, bernama clorin dari zat kimia bernama CFC yang berasal dari kulkas dan aerosol. Karena lapisan molekul ozon itu pecah akhirnya terjadi penipisan lapisan ozon yang kemudian membuat sinar ultraviolet masuk ke bumi. Menyebabkan penyakit katarak, kanker kulit, menurunnya tingkat kekebalan tubuh, menurunkan produksi ikan dan mengerdilkan tanaman.
”Semua pembicaraan itu, seperti mengkaji atau meneliti dalam dunia hayal. Antara sebab, penyebab, dan akibat semuanya dalam bayangan saja. Tidak bisa dilihat dalam wujud nyata,” tambah Amral.
Itulah sebabnya bagi Amral tak mengherankan bila masyarakat banyak yang belum memahami persoalan penipisan lapisan ozon. Meskipun, tambahnya, upaya untuk mencegah penipisan lapisan ozon telah dideklarasikan oleh masyarakat dunia sejak 16 September 1987 melalui Protokol Montreal. Sebuah protokol yang menjelaskan secara rinci bagaimana para pihak (masing-masing negara) harus menurunkan produksi dan konsumsi bahan-bahan kimia perusak ozon. Bahkan Indonesia pun telah meratifikasi protokol itu pada tahun 1992. Di mana bermakna, Indonesia berkewajiban menghentikan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) secara bertahap sesuai jadwal yang ditentukan.
Tentang tidak banyaknya masyarakat yang memahami tentang ozon juga dikemukakan oleh Dodi Putra, Mahasiswa Universitas Riau tahun 2007. Dodi menyebutkan pada tahun 2007 lalu dia melakukan penelitian tentang pengetahuan masyarakat tentang penipisan lapisan ozon dengan menyebar 400 quisioner kepada kepada siswa sekolah menengah atas. Hampir semua siswa yang diberi quisioner itu tidak mengenal sama sekali tentang ozon. ”Jawaban para siswa malah aneh-aneh. Ada yang mengisi Ozon adalah nama sebuah diskotik di Pekanbaru,” ujarnya tertawa. Ozon memang nama salah satu diskotik di Kota Pekanbaru.
Sama yang diungkapkan Dodi, Riau Pos juga menemukan ada sejumlah masyarakat yang tidak memahami tentang persoalan penipisan lapisan ozon. Terakhir, awal September lalu saat mewawancarai Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pekanbaru Muhammaddun. Pria yang mengetuai komisi bidang pembangunan itu mengungkapkan penipisan lapisan ozon adalah sebagai akibat bangunan banyak kaca. Dia mengemukakan itu tanpa sengaja saat menjawab pertanyaan Riau Pos bagaimana upaya Kota Pekanbaru untuk melakukan penghematan listrik. Mengingat saat ini pemadaman bergilir sering dilakukan. Apakah ada dorongan dari DPRD untuk membuat aturan gedung-gedung dibuat dengan green disain (ramah lingkunga). Artinya mampu memanfaatkan cahaya matahari seoptimal mungkin agar tidak perlu menghidupkan lampu pada siang hari.
“Nanti kalau kita bikin gedung yang bisa memanfaatkan cahaya matahari, berarti kita membangun gedung banyak kaca. Kalau banyak kaca, kita merusak lapisan ozon pula,” ungkapnya tenang dan membantah saat dikemukakannya kemungkinan pernyataannya itu salah. Untuk meyakinkan Riau Pos bahwa pernyataannya itu benar dia meminta Riau Pos bertanya pada para ahli.
Ditanyakan kepada Amral dan Tri Widayati, Kabid Perlindungan Atmosfir Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), apakah minimnya pengetahuan masyarakat tentang penipisan lapisan ozon sebagai buah minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh instansi terkait, khususnya kepada jajaran pejabat?
Amral menyebutkan, sosialisasi sampai saat ini memang tidak khusus dilakukan kepada para pejabat. Meskipun dia mengakui ketidaktahuan pejabat itu menjadi salah satu hambatan dalam sosialisasi ozon. Saat ini, tambahnya, sosialisasi yang dilaksanakan memang baru difokuskan pada tiga kelompok masyarakat. Pertama, masyarakat manufaktur. Yakni, para produsen yang dalam menghasilkan produknya menggunakan BPO, seperti pabrik foam, sepatu, dan lain sebagainya.
Kedua, masyarakat perantara. Yakni kelompok masyarakat yang tidak menggunakan BPO untuk produksi tetapi untuk memperbaiki produk tersebut atau yang mengelolah produk-produk yang masih mengandung BPO. Misalnya pemilik atau pekerja bengkel service air conditioning (AC) mobil dan kulkas. Ketiga, masyarakat penguna BPO. Misalnya ibu rumah tangga yang mengunakan berbagai produk-produk yang menggunakan BPO tersebut.
Sementara itu, Tri Widayati menolak ketidaktahuan masyarakat terhadap persoalan penipisan lapisan ozon sebagai buah dari kurangnya sosialisasi. Menurutnya, itu lebih disebabkan karena minimnya rasa keingintahuan masyarakat dan keingin untuk belajar. Pasalnya, menurutnya, berbagai informasi tentang itu sudah banyak tersedia.
“Seharusnya masyarakat juga turut aktif untuk belajar untuk isu-isu global seperti itu. Dulu saja waktu kami laksanakan perlombaan tentang ozon untuk anak SMA, mereka pada tahu semua. Jadi persoalannya bukan kurang sosialisasi,” ungkap Tri Widayati.
Meskipun banyak yang belum memahami tentang persoalan penipisan lapisan ozon, namun mereka yang tidak memahami itu akan kaget tak kalah tahu tentang apa penyebab dari penipisan lapisan ozon dan apa akibatnya. Pasalnya, menurut Rosita Erliwahyuni, pembicara yang memperkenalkan tentang BPO kepada para mahasiswa menyebutkan BPO berada di sekeliling manusia. Mulai dari pengharum ruangan, penyemprot nyamuk, minyak wangi (spray), kulkas, AC mobil, AC rumah, lemari pendingin di supermarket, mobil box es, dan rokok mild. Termasuk juga kasur busa, jok mobil, sol sepati, sandal, termos nasi, gas, laruran pembersih sirkuit elektronik, penghilang lemak logam, dry cleaning pada industri tekstil dan zat pengendali hama pertanian, karantina, serta fumigasi dipergudangan.
Diberi tahu tentang BPO oleh Rosita dalam sosialisasi itu membuat kaget juga Iyut Triani, mahasiswi UIN yang sama-sama ikut pelatihan tentang ozon di kantor PPLH Regional Sumatera bersama Febi. “Ternyata produk yang kita pakai sehari-hari adalah perusak ozon. Misalnya parfum. Ini benar-benar bisa menjadi intropeksi bagi saya pribadi dalam menggunakan berbagai bahan-bahan perusak ozon tersebut,” ujar Febi.
Sebenarnya, tambah Amral, yang merusak ozon yang dimaksud dari pernyataan Febi itu bukan pada benda-benda tersebut secara langsung. Misalnya untuk golongan parfum dan penyemprot nyamuk, BPO-nya tidak terletak pada cairan farfumnya tetapi pada zat aerosolnya. Yakni, zat untuk menstarter agar farfum itu tersemprot ke luar. Begitu pula dengan contoh produk-produk BPO lainnya. Misalnya kasur busa, jok mobil, sol sepatu, termos, dan lainnya. BPO-nya tidak terletak pada benda-benda tadi, tetapi pada proses pembuatannya di pabrik.
Oleh karena itu yang disosialisasikan saat ini adalah bagaimana mendorong peran aktif masyarakat agar mau menggunakan produk-produk yang tidak menggunakan BPO. Itu ditandai dengan logo non CFC atau logo non CFC non halon pada kemasan produk tersebut. Atau untuk benda-benda yang ukurannya kecil dibuat selebaran.
Namun persoalannya, menurut Amral, saat ini yang menjadi persoalan barang-barang pengganti BPO dengan yang ramah ozon masih sulit ditemukan dan tidak secanggih BPO. Misalkan untuk methyl bromida yang digunakan untuk fumigasi memang bisa digantikan dengan phosphine. Hanya saja kinerja phosphine tidak secanggih BPO, di mana hama yang dibasmi benar-benar habis. Selanjutnya BPO juga memiliki harga yang jauh lebih murah dari yang ramah ozon. Terkadang, ada pula BPO yang belum bisa digantikan fungsinya.
Selain itu, tambah Tri Widayati, ada juga BPO yang bisa digantikan dengan zat lain, namun sumber daya manusia untuk menggunakan itu belum memadai. Misalnya CFC bisa diganti dengan hidrokarbon. Namun karena gampang meledak, maka memerlukan penanganan khusus. Pabri produsen atau pemilik bengkel cenderung takut menggunakannya karena khawatir hidrokarbon itu meledak. “Memang untuk itu masih diperlukan peningkatan kapasitas dari para pekerja,” ungkap Tri Widayati.
Sementara itu, persoalan lainnya dalam persoalan BPO adalah adanya penyeludupan BPO ilegal. Menurut Yulia Miza Ninda, kepala seksi yang membindangi barang-barang impor di Departemen Perdagangan, mereka banyak menemukan BPO ilegal. BPO ilegal itu masuk dengan dokumen resmi sebagai zat ramah ozon, namun kenyataannya BPO. Misalnya di dokumen impor tertulis R-134a, zat pengganti CFC-12 yang ramah ozon. Namun kenyataannya dalam tabung itu bukan R-134a, namun CFC12 BPO yang dilarang tadi.
Ditambah lagi, penggunaan BPO di beberapa negara masih berlangsung. Sebagai negara yang banyak mengimpor berbagai produk BPO maka masyarakatlah yang bisa berperan aktif dalam melindungi lapisan ozon. “Artinya bila masyarakat sudah peduli dengan ozon mereka tidak akan membeli produk-produk yang mengandung atau dibuat dari BPO. Dengan cara tidak menggunakan produk yang tidak memiliki logo non CFC atau non CFC dan non halon. Jika itu terjadi, meskipun barang-barang itu masih beredar, maka barang itu akan berhenti sendiri peredarannya,” jelas Amral tentang harapannya terhadap peran aktif masyarakat dalam melindungi lapisan ozon sang payung bumi. ***


”Hasilnya Tak Kalah dari Mahasiswa S3”

Dari Lomba Kreativitas Pemanfaatan Limbah


Pernah terbayang tidak, kalau minyak goreng bekas atau minyak jelantan bisa diubah menjadi sabun cair? Atau limbah dari pabrik minyak goreng bisa dijadikan biodisel? Ternyata semua itu bisa loh dilakukan. Bukan oleh para ahli tetapi dari siswa dan mahasiswa pemenang Lomba Kreativitas Pemanfaatan Limbah yang dilaksanakan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) Riau. Seperti apa sih kreasi mereka itu?

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id



Mulanya yang terpikir oleh Ina Mulyani, Kasubid Pembinaan Lingkungan Bapedal Riau lomba kreativitas pemanfaatan limbah yang dilakukan oleh instansi tempatnya bekerja hanya akan menghasilkan produk-produk kerajinan tangan dari limbah. Tapi alangkah kagetnya dia saat tahu, hasil karya yang masuk bukan sekedar kerajinan tangan seperti itu. Tapi sebuah kreativitas dari siswa dan mahasiswa serta seorang guru yang jauh lebih bermanfaat.
Misalnya menghasilkan sabun cair dari minyak goreng bekas yang biasa tidak dimanfaatkan lagi namun dibuang dan mencemari lingkungan. Terus limbah pabrik minyak goreng yang bisa dijadikan biodisel. Termasuk juga menghasilkan pupuk cair dan padat dari limbah organik dan limbah padat rumah tangga. Bahkan ada pula peserta lomba yang hasil kreativitasnya itu imbang-imbang mahasiswa S3.
”Waktu saya melihat ada peserta lomba yang memanfaatkan limbah tandan kosong sawit untuk menghasilkan zat adatif untuk meningkatkan dan memperkuat beton saya cukup kaget. Pasalnya, saya punya teman sesama kuliah S3 saat ini yang penelitiannya mirip-mirip dengan hal itu. Hanya zatnya saja yang berbeda. Jadi hasil karya mereka tidak kalah dengan mahasiswa S3,” ungkap Firdaus MT, Kepala Bapedal Riau yang turut menilai dan melihat hasil kreativitas para peserta lomba.
Menurut Firdaus, bila penelitian milik Fitria Husna dan Amun Amri itu dikembangkan bisa jadi akan menghasilkan beton yang ringan dan berbentuk lempengan. Artinya sangat baik untuk struktur bangunan. Beton nantinya juga tidak perlu dibangun di tempat pelaksanaan pembangunan tetapi juga bisa dibuat di pabrik dalam bentuk lempengan. Lempengan beton itulah yang kemudian dijual untuk struktur bangunan, sama sepertinya batu bata.
”Waktu saya bertemu dengan mahasiswa itu saya katakan penelitiannya itu bisa terus dikembangkan. Jadi mereka bisa manfaatkan untuk penelitian S1 kemudian dikembangkan untuk penelitian S2 bahkan untuk disertasi S3. Bahkan kalau formulanya terus dipertajam dan menghasilkan beton ringan bermutu tinggi maka bisa dimanfaatkan untuk bisnis,” cerita mantan Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah ini kepada Riau Pos.
Tidak hanya dibuat kagum oleh hasil kreativitas itu, menurut Firdaus peserta lomba yang lain juga menghasilkan karya-karya yang menarik. Misalnya pemanfaatan minyak goreng bekas yang dilakukan oleh Noni Ulfah. Pemanfaatan limbah minyak goreng itu menurutnya sangat aplikatif. Bahkan di kalangan terbatas sabun cair dari minyak goreng bekas itu kini sudah diperjualbelikan secara terbatas.
Pembuatan sabun cair dari minyak goreng bekas itu, menurut Noni Ulfah, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Pekanbaru yang membuatnya, berdasarkan laporannya diawali dari keprihatinannya terhadap banyaknya minyak goreng bekas yang dihasilkan. Tidak saja oleh restoran-restoran cepat saji, industri rumah tangga tetapi juga dari rumah tangga sendiri.
Minyak goreng bekas itu bila terus dikonsumsi atau digunakan untuk menggoreng makanan juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun kalau membuangnya ke lingkungan juga mencemari lingkungan. Untuk itu tidak ada jalan lain, minyak goreng bekas itu harus dimanfaatkan. Caranya dengan menjadikannya bahan baku dari produk berbasis minyak seperti sabun, dan shampo.
Mengingat sabun cair lebih banyak penggunanya dan harganya lebih mahal dari sabun padat, maka yang diproduksi dari minyak bekas itu oleh Noni adalah sabun cair Sabun cair itu dihasilkan dari proses pembuatan arang aktif untuk mengembalikan warna minyak goreng ke bentuk semula. Selanjutnya barulah diproses seperti pembuatan sabun cair.
Dari berbagai hasil kreativitas itu Firdaus merasa perlombaan yang ditaja oleh instansi yang dipimpinannya itu sangat bermanfaat. Itulah sebabnya Firdaus menyatakan akan memprogramkan kegiatan itu sebagai kegiatan tahunan tiap kali memperingati Hari Bumi.
”Awalnya kegiatan ini hanya ingin menanamkan rasa cinta lingkungan kepada para siswa dan mahasiswa. Agar mereka lebih peduli terhadap lingkungan. Seiring pula untuk menggali kreativitas para siswa dan mahasiswa untuk memanfaatkan apa yang ada disekitar mereka, terutama limbah. Namun diluar dugaan kreativitas peserta lomba melebihi dari apa kami harapkan,” tutur Firdaus.
Untuk itu dari perlombaan tersebut Firdaus mengharapkan akan ada motivasi dari guru dan dosen di sekolah dan kampus yang bisa mendorong para siswa dan siswa mereka untuk berkreasi memanfaatkan limbah. Agar limbah-limbah yang selama ini terbuang dan menjadi beban lingkungan dapat bernilai ekonomi. Sehingga tidak saja pro lingkungan, tetapi juga pro job (memberi peluang kerja) dan pro poor (meningkatkan kesejahteraan). ***

Irwan Effendi: Memberi Oksigen

Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) Prof Dr Ir Irwan Effendi MSc ternyata punya kegemaran menanam beraneka tumbuhan. Mulai dari rotan, mahkota dewa, ketapang, hingga jati.
“Setidaknya manfaat dari pohon-pohon yang saya bibitkan dan tanam itu memberikan oksigen bagi lingkungan di sekitarnya. Selain menyejukkan lingkungan disekitarnya,” ungkap pria kelahiran Gunung Intan Mudik Rokan Hulu 48 tahun lalu ini tentang alasannya menanam berbagai tumbuhan tersebut.



Mantan Rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak) ini, bahkan pernah menyumbangkan 15 ribu bibit rotan yang dibibitkannya sendiri untuk pengayaan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (SSH). Sayangnya, menurutnya, tidak semua bibit itu ditanam, malah sebagian ada yang dibuang. “Padahal butuh waktu yang lama untuk merawatnya,” ungkapnya agak kecewa.
Di Unilak itu juga, pria yang punya kegemaran menulis ini, juga paling gemar dalam kegiatan menghijaukan kawasan kampusnya. Bahkan dia turut sumbangkan bibit pohon ketapang dan jati.
“Saya memang sudah dari dulu suka menanam pohon. Bahkan dulu saat saya kecil, saya punya kegemaran mengumpulkan biji meranti sampai kantong saya tebal. Dipikir-pikir itu pekerjaan gila. Namun itulah kegemaran saya,” ungkap pria yang juga berstatus sebagai dosen Universitas Riau ini menjelaskan sejak kapan hobinya membibitkan tanaman.
Meski tak banyak waktu luang baginya untuk melakukan aktivitas tanam menanam ini, namun tiap ada kesempatan senggang, Irwan Effendi, mengaku ingin selalu bisa menghasilkan tanaman-tanaman baru yang siap menghijaukan bumi. (a)



Akankah Pacu Jalur Berevolusi?

Bila suatu hari nanti, tidak ada lagi pohon besar yang bisa ditebang dan dijadikan jalur, bisa jadi pacu jalur harus berevolusi. Mula-mula menjadi pacu jalur mini, kemudian menjadi sekedar pacu sampan, dan akhirnya menjadi lomba dayung perseorangan dengan perahu berbahan fiber yang diimpor.


Laporan Andi Noviriyanti, Kuantan Singingi
andi-noviriyanti@riaupos.co.id





ntong ntong ntong ntong......(bunyi canang)
“Oooo ughang kampuong…., paghenta la tibo puloo….. banso awak ken bagotong royong maelo jaluar bisuok kolom, Basamo-samo bakumpuol didokek suwow disampieng uma pak wali, alek-alek nen dibao bokal nasi ….” lantang teriak Dubalang Canang memberitahukan ke seluruh penjuru masyarakat di desanya itu, bahwa esok hari akan dilaksanakan gotong royong menarik kayu jalur dari dalam hutan.
Kayu jalur adalah kayu alam yang berukuran besar, minimal berdiameter 40 centimeter hingga satu meter dan panjangnya 25-45 meter. Kayu khusus itu biasanya di dapatkan ditengah hutan lindung, rimbo larangan, dan hutan alam yang berada di wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, tempat tradisi pacu jalur digelar. Pacu jalur adalah sejenis pertandingan pacu sampan, hanya saja sampan yang digunakannya sangat panjang, karena bisa memuat 40-60 pendayung (anak pacu).
Proses menarik kayu itu, melibatkan sekitar 100-200 warga desa. Kayu itu sebelumnya telah ditebang oleh utusan beberapa warga desa yang didampingi sang dukun yang menentukan kayu mana yang akan ditebang dan kapan waktunya. Kayu yang telah ditebang tadi ditarik ke luar hutan sampai ke tepi jalan raya. Kayu itu kemudian dibentuk semi jadi oleh tukang pembuat jalur. Jalur yang belum sempurna itu kemudian didiang, yaitu kayu tersebut dipanaskan di atas api hingga merekah atau mengembang. Biasanya proses mendiang jalur itu dihadiri oleh bupati dengan ritual adat. Proses keseluruhan dari menebang hingga jadi jalur, biasanya memakan waktu sampai dengan dua bulan. Barulah kemudian siap untuk dipacu.Mulai dengan pacu jalur antar desa dalam satu kecamatan, hingga puncaknya dilaksanakan di tingkat kabupaten. Tepatnya di Tepian Narosa Talukkuantan, sekitar minggu keempat Agustus selama empat hari berturut-turut.
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, kegiatan pacu jalur adalah tradisi yang sangat besar. Malah lebih besar dari perayaan Hari Raya. Biasanya tiap kali pacu jalur digelar, maka seluruh masyarakat kampung akan beramai-ramai terlibat dalam kegiatan pacu jalur. Masyarakat dari perantauanpun akan berlomba-lomba untuk pulang. Baik untuk membantu tim pacu jalur mereka atau pun sekedar menonton.
Menurut Bupati Kuantan Singingi Sukarmis, pacu jalur bermula dari perwujudan kegembiraan para petani usai menuai padi. “Orang-orang tua dulu mengukirkan kegembiraannya dan memanjatkan rasa syukurnya dengan cara berpacu sampan. Itulah asal muasal pacu jalur,” ujarnya.
Sementara itu UU Hamidy menyebutkan tidak ada tahun yang pasti kapan dimulainya pacu jalur. Tapi dia memastikan, pacu jalur telah dikenal paling kurang semenjak tahun 1900. Pada masa itu yang dipacukan bukanlah jalur seperti saat ini, namun berbentuk sampan besar yang bermuatan 40 orang. Biasanya sampan itu dipakai untuk mengangkut hasil bumi, misalnya tebu, pisang dan lainnya.
Kegiatan pacu jalur itu kemudian berkembang dan diperingati setiap hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, 1 Muharam dan sebagainya. Namun ketika Belanda masuk ke Daerah Rantau Kuantan dan menduduki Kota Telukkuantan sekitar tahun 1905 tradisi pacu jalur mengubah waktu pelaksanaanya. Belanda mengganti waktu pelaksanaan bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Sejak zaman Belanda itulah kegiatan pacu jalur hanya dilaksanakan sekali setahun. Namun ketika zaman penjajahan Jepang aktivitas pacu jalur kemudian berhenti. Mulai bangkit kembali sekitar tahun 1950-an hingga sekarang. Bahkan perkembangannya kian pesat.
Bila dulu hanya dilaksanakan di empat tepian, yakni Kuantan Hilir, Benai, dan Kuantan Mudik, kini menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Marwan Yohanis telah berkembang di sembilan tepian. Penambahan tepian tempat pelaksanaan pacu itu seiiring dengan pemekaran kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi yang lokasinya berada di depian Sungai Batang Kuantan. Kegiatan pacu jalur pun kian semarak, tak kala peringatannya tidak lagi sekedar dipakai untuk peringatan Hari Kemerdekaan, namun juga pada acara-acara seremonial lainnya. Baik untuk peringatan ulang tahun kecamatan maupun untuk kegiatan politik untuk mempopulerkan nama-nama calon legislatif di pemilihan umum.
Semangat pacu jalur terus menggema, menyemarakkan desa-desa di Kuantan Singingi. Pesta-pesta adatpun digelar seiring perlombaan itu, randai (tradisi bernyanyi, menarik dan bersandiwara diiringi musik talempong) pun kini berkembang pesat. Pacu jalur pun kini tercatat dalam Kalender Wisata Nasional.

Evolusi Pacu Jalur
Sayangnya dari kemeriahan besar itu, Marwan menyimpan kekhawatiran. Takut kalau-kalau kegiatan pacu jalur berevolusi. Pasalnya kayu-kayu besar yang digunakan untuk pacu sudah semakin menipis. Bila dulu diameter kayu yang diambil berada di atas satu meter dengan jenis kayu keruing dan marsawah yang kuat dan bisa dipakai untuk lima tahun atau lebih kini berganti dengan kayu-kayu meranti yang diameternya hanya 40 centimeter dan hanya bisa dipakai sekitar dua tahun.
”Kalaulah nanti tidak ada lagi kayu, mungkin ukuran jalur semakin kecil, yang ada hanya pacu jalur mini. Kalau tidak ada kayu untuk pacu jalur mini, bisa jadi nanti pacu jalur mini menjadi pacu sampan. Lalu terakhir hanya berbentuk pacu dayung, yang perahunya berisi satu orang. Perahu itu pun tidak lagi terbuat dari kayu tetapi dari bahan fiber yang diimpor,” ungkap Marwan membayangkan masa depan kegiatan pacu jalur yang mungkin berevolusi dan akhirnya punah mengingat kebutuhan kayu jalur makin meningkat sementara ketersediaan kayu makin menipis.
Ungkapan Marwan mungkin bukan sekedar isapan jempol. Setidaknya Camat Gunung Toar Akhyan Armophis mengungkapkan kalau delapan jalur yang dibuat masyarakatnya sepanjang tahun 2008 ini berasal dari kayu jalur dari daerah lain. Tepatnya dari Lubuk Ambacang, Kecamatan Hulu Kuantan. Pasalnya rimbo larangan yang mereka miliki dan menjadi salah satu tempat penyediaan kayu jalur sudah tidak berkayu lagi.
Bahkan dibeberapa tempat lainnya di Kuantan Singingi, terutama di Baserah dan Inuman, masyarakat terpaksa meminta bantuan perusahaan agar mau membawakan kayu alam di daerah konsesi mereka untuk dijadikan kayu jalur. Karena memang tidak ada lagi kayu alam di sekitar kampung mereka.
Itulah sebabnya, Wandri (34), pria yang berkampung di Baserah ini mendukung pernyataan Marwan tentang evolusi pacu jalur. Menurut pengalamannya, dulu saat duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), kayu-kayu jalur yang ditebang diameternya bisa mencapai di atas kepalanya. ”Kalau berdiri dulu dihadapan kayu itu, bisa tidak nampak ke sebelah. Tetapi kini, diameter kayu itu hanya sebesar batang kayu durian (40 centimeter). Nanti bisa-bisa karena kayu tidak ada, bisa jadi perahu plastik yang akan digunakan untuk pacu jalur,” ungkapnya.
Meskipun tidak sedramatis Marwan dan Wandri, Wakil Bupati Kuantan Singingi Mursini pun mengakui kalau ke depan mungkin yang ada hanya ada pacu jalur mini. Bila dulu muatan anak pacu bisa mencapai 60 orang, kini hanya 40-50 orang. Mungkin ke depannya lagi 30 orang dan kemungkinan bisa terus menyusut. ”Tetapi saya yakin, sepuluh tahun ke depan masih cukup kayu-kayu besar untuk kegiatan pacu jalur ini,” ungkap Mursini yang tidak yakin tradisi di tanah kelahirannya itu menghilang.
Kepala Dinas Kehutanan Kuantan Singingi Ardi Nasri juga menyatakan hal yang senada dengan Mursini. Menurutnya, masih cukup kayu-kayu hutan di Kuantan Singingi yang bisa menyuplai kebutuhan kayu jalur. Meskipun disatu sisi dia mengakui kini hutan-hutan di kabupatennya telah banyak rusak bahkan hilang menjadi sekedar nama. Misalnya untuk 36 Rimbo Larangan yang dulunya ada di Kuantan Singingi, kini hanya tersisa 15 lokasi. Sementara itu berdasarkan buku Laporan Hasil Inventarisasi dan Pemetaan Rimbo Larangan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2006, hanya ada 13 rimbo larangan yang masih ada.
Ketigabelas rimbo larangan itu adalah Rimbo Larangan Ronge, Rimbo Parotang Batang, Rimbo Tobang Kaluang, Rimbo Baluang, Bukit Marontang, Rimbo Air Hitam, Rimbo Larangan Jake, Rimbo Larangan Kayu Gading dan Rimbo Larangan Titian Tore, Rimbo Pematang Pongal (Pematang Samak), Rimbo Bukit Sangkar Puyuh, Rimbo Kopuang, Rimbo Samak dan Bukit Panarahan.
Rimbo-rimbo larangan yang memiliki total luas 1.347.06 hektar itu pun, menurut buku tersebut juga dalam keadaan kritis. Misalnya untuk Rimbo Larangan Jake, rimbo larangan terluas itu secara administratif memiliki luas 400 hektar, namun kini yang tersisa hanya 325,6 hektar. Sementara Rimbo Larangan Ronge yang luasnya 10 hektar, sekitar 50 persennya sudah menjadi kebun masyarakat. Begitu juga dengan Rimbo Pematang Pongal, Rimbo Kopuang, Rimbo Bukit Panarahan juga bernasib sama menjadi perkebunan karet tua. Selanjutnya rimbo larangan yang lain dalam keadaan rusak berat.
Begitu pula yang terjadi di kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh. Hutan lindung yang juga menjadi tempat masyarakat untuk mendapatkan kayu jalur, itupun telah dirambah masyarakat. Bahkan sepanjang jalan menuju air terjun Guruh Gemurai yang terdapat di dalam kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh, terlihat jelas hamparan hutan lindung tersebut kini telah menjadi hamparan kebun karet. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kuantan Singingi Ardi Nasri, memang ada lima rumah di tempat itu. Baik untuk tempat tinggal maupun dijadikan bedeng batu bata. Sementara jumlah kebun karet yang ada di kawasan itu, dia mengaku belum menginventarisnya dan memang jumlahnya cukup banyak.
”Itu memang kawasan lindung, namun memang banyak masyarat di Lubuk Jambi yang bersikukuh bahwa itu sebagai kawasan kebun mereka. Sekarang kami sedang melakukan pendekatan secara kekeluargaan agar mereka mau pindah dan tidak berkebun di hutan lindung itu,” jelas Ardi Nasri tentang upayanya mengamankan kawasan yang menjadi tempat kayu jalur diambil.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, tambahnya, juga tengah gigih melakukan upaya penanaman pohon meranti. Baik yang berdampingan atau berada di dalam perkebunan. Yakni dengan memadukan meranti dengan karet atau meranti dengan sawit. Selain itu juga dilakukan pengayaan ke rimbo larangan dan hutan lindung yang ada. Untuk tahun 2006-2007 saja, telah dilakukan penanaman tiga ribu batang meranti.
”Saya pikir 20 tahun ke depan, kayu-kayu itu sudah bisa dipanen untuk dijadikan kayu pacu,” ucapnya optimis bahwa tradisi pacu jalur tidak akan berevolusi atau menghilang di negeri itu.***



Mesin 3R AC Mobil Itu Membisu di Sudut Bengkel

Tantangan Perlindungan Lapisan Ozon


Bahan perusak ozon (BPO) beransur-angsur telah menghilang peredarannya dan telah diganti dengan bahan-bahan yang lebih ramah ozon. Setidaknya itu ditandai dengan laporan UNEP yang menyebutkan jumlah BPO menurun hingga angka 95 persen. Meskipun usaha masyarakat dunia itu telah berhasil secara angka-angka namun untuk benar-benar memusnakannya BPO hingga angka 100 persen masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari sulitnya mengamankan CFC dari produk-produk lama, masih adanya impor ilegal produk yang mengandung BPO hingga pemalsuan produk ramah ozon dengan BPO.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id



Februari 2007, sekitar 20 jurnalis sewilayah Sumatera bagian utara yang mengikuti Pelatihan Perlindungan Laposan Ozon diperkenalkan dengan penggunaan mesin 3R (Recovery, Recycle, dan Recharging) Air Conditioning (AC) mobil. Mesin yang sedang diserahterimakan kepada Bengkel Delta, di Jalan KH Ahmad Dahlan itu memiliki fungsi untuk menghisap, mendaur ulang, dan mengisi ulang Cloro Floro Carbon (CFC) atau freon (R12) dari AC Mobil. Mesin seharga Rp40 juta itu adalah bagian dari program perlindungan lapisan ozon yang dibiayai oleh Bank Dunia yang pelaksanaannya melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Hartawan, koordinator pemberian mesin 3R kepada wartawan saat itu menyatakan dengan mesin itu, freon yang selama ini hanya dibuang percuma dengan cara melepaskannya ke udara dan merusak lapisan ozon dapat dimanfaatkan lagi. “Freon itu jika dilepas ke udara dapat menyebabkan lapisan ozon bolong. Maka dengan mesin ini, freon itu dapat dicuci dan dimanfaatkan kembali,” ujar kala itu.
Mesin itu, tambahnya, selain dapat menyelamatkan lapisan ozon juga memberikan keuntungan bagi bengkel. Bengkel tersebut, katanya, dapat menjual kembali freon bekas yang telah dicucinya dengan mesin tersebut. “Di Bandung, salah satu bengkel yang mendapatkan mesin ini, tiap bulannya dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp3 juta. Jadi selain menyelamatkan lapisan ozon mereka juga dapat memperoleh keuntungan,” tegasnya saat itu.
Hartawan lebih lanjut menjelaskan bahwa bengkel-bengkel yang diberikan hibah mesin 3R itu memiliki kewajiban untuk memberikan laporan pertigabulan. Laporan itu berguna untuk mengetahui seberapa besar freon yang dapat didaur ulang. “Bank dunia dalam memberikan bantuannya tidak ingin sia-sia. Mereka ingin dana yang dihibahkan berimbang dengan jumlah freon yang dapat di daur ulang,” imbuhnya.
Namun apa yang terjadi setelah satu tahun setengah tahun kemudian. Tepatnya September 2008. Riau Pos menemukan mesin 3R itu terlihat membisu di salah satu sudut ruang bengkel. Tertutup plastik yang sudah dipenuhi debu. Lalu, ketika Edy Wibowo, mekanik di bengkel itu menyingkap plastiknya terlihat mesin itu sangat mulus. Warna catnya masih berseri dan mengkilat. Hampir tidak ditemukan cacat apapun dari mesin itu.
Edy menyebutkan, sejak alat itu diberikan, tidak banyak yang menggunakannya. Paling banyak, katanya, hanya untuk sepuluh mobil. Pasalnya, jarang sekali mobil-mobil yang memakai freon R12 masuk ke tempat itu.
“Mobil-mobil tahun 1996 ke atas tidak lagi menggunakan R-12. Mereka sudah pakai R134a. Jadi tidak perlu alat itu lagi. Biasanya sekarang, tinggal ganti mikrofilter saja. Mungkin yang bisa memanfaatkan mesin itu adalah bengkel-bengkel yang banyak menampung mobil-mobil lama yang masih menggunakan freon,” ungkap Edy beralasan mengapa alat mahal yang bertujuan untuk mencegah penipisan lapisan ozon itu dibiarkan menjadi besi tua.
Tri Widayati dari Kementerian Lingkungan Hidup yang Februari 2007 ikut serta menjadi panitia dan pengajar dalam Pelatihan Perlindungan Lapisan Ozon ketika dihubungi tentang persoalan ini, mengaku terkejut. Dia tidak tahu sama sekali alat yang diperuntukkan untuk menangkap dan mendaur ulang freon itu hampir tidak pernah dimanfaatkan.
“Nggak bener begitu. Seharusnya mesin itu tidak ditaruh di sudut bengkel. Mesin itu tidak saja berfungsi untuk mendaur ulang freon, tetapi juga bisa dimanfaatkan dengan untuk R134a (zat pendingin AC mobil pengganti R12 yang ramah ozon tetapi termasuk penyebab pemanasan global). Mungkin pihak bengkel tersebut belum paham, akan kegunaan alat itu,” ujar Tri Widayati.
Tidak dimanfaatkannya mesin 3R AC mobil itu menunjukkan indikasi program mengamankan CFC dari produk-produk lama masih belum berjalan. “Memang inilah tantangan yang kita hadapi saat ini. Bagaimana agar CFC yang terdapat pada peralatan pendidin produk lama ini tidak terlepas lagi ke udara. Namun di-recovery agar bisa dimanfaatkan kembali atau dimusnakan namun dengan cara yang aman untuk menghindarinya lepas ke atmosfir dan merusak lapisan ozon,” ungkap perempuan yang kini menjabat sebagai Kabid Perlindungan Atmosfir di Kementerian Lingkungan Hidup.
Perempuan berjilbab ini, lebih lanjut menyebutkan selain persoalan itu, Indonesia kini juga tengah menghadapi tantangan perdagangan CFC ilegal. Baik dalam bentuk CFC-nya tersendiri, maupun peralatan-peralatan yang masih mengandung CFC.
”Di sejumlah daerah kita masih melihat banyak produk-produk dari luar negeri yang masuk ke Indonesia secara illegal. Seperti kulkas bekas dan AC bekas yang kemungkinan menggandung CFC,” ungkap Tri Widia yang saat dihubungi berada di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Keberadaannya di tempat itu, termasuk dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat di tempat itu agar barang-barang bekas dari luar negeri yang masuk melalui pelabuhan tikus mereka kemungkinan mengandung BPO.
Tri Widayati lebih lanjut menyebutkan tantangan lainnya yang kini juga dihadapi oleh Indonesia adalah maraknya produk pemalsuan. Meskipun R12 telah dilarang impornya, namun banyak produk penggantinya yaitu R134a yang dipalsukan dengan R12. Zat itu secara kasat mata tidak dapat dibedakan. Harus dengan peralatan khusus, baru bisa diketahui.
Mendengar tanganan berupa masuknya barang-barang bekas yang masih mengandung BPO tersebut, Riau Pos mencoba menelusurinya di wilayah Riau, khususnya di Pekanbaru dan Bengkalis. Dari informasi yang di dapatkan dari Adi (33) di Bengkalis, menyebutkan sudah sejak dua tahun lalu tidak lagi ada barang-barang bekas seperti itu masuk ke Riau.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rio (35), seorang pedagang kulkas dan AC bekas. ”Kulkas dan AC bekas yang ada ditempat ini, bukan produk luar. Ini sudah lokal punya. Sudah sejak dua tahun lalu barang-barang tersebut tidak masuk ke Riau. Meskipun permintaan masih banyak,” ujar pria yang juga melayani jasa service perbaikan AC dan kulkas di Jalan Senapelan, Pekanbaru ini.
Selanjutnya disinggung apakah dia bisa membedakan antara R12 dan R134a saat memperbaiki kulkas bekas. Rio menggeleng. Menurutnya secara kasat mata dia tidak tahu, apakah produk yang dibelinya itu palsu atau tidak. Menurutnya penjuallah yang tahu, karena mereka memiliki alat deteksi untuk itu.
Oleh karena itu, Rio meminta agar pemerintah pengawasi penjualan produk R134 tersebut. “Menjaga lingkungan ini harus sama-sama dan harus dari pangkalnya. Seperti saya ataupun konsumen kan tidak tahu, mana yang asli atau tidak. Jadi mesti ada yang mengawasi perdagangan BPO tersebut. Coba sesekali datang ketempat penjualan itu dan uji,” ujarnya.
Sayangnya di Riau, tidak ada yang menangani pengawasan itu. Ketika hal itu tanyakan kepada pihak Dinas Perindustrian dan Perdaganan (Disperindag), pihak Disperindag mengaku tidak bagiannya di tempat itu yang mengurusi persoalan BPO. “Kami tidak pernah tahu mengenai hal itu. Memang ada peraturan menteri perdagangan tentang pelarangan impor BPO. Tapi kami tidak pernah disosialisaikan mengenai hal itu,” ungkap Nurdin, Kasubdin Perdagangan Luar Negeri.
Sementara itu, Yulia Miza Ninda dari Departemen Perdagangan, saat dikonfirmasi siapa yang harus mengawasi perdagangan BPO, malah menyebutkan itu menjadi kewajiban Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) untuk mengawasinya. Namun pihak Bapedal pun balik menyatakan itu kewajiban Disperindag. “Instansi kamikan menyoal tentang dampak lingkungan. Bukan pengawasan barang. Peraturan pelarangan jugakan peraturan menteri mereka ,” ungkap Makruf Siregar, Kabid Pencemaran Lingkungan Bapedal.
Itulah sebagian kecil tantangan-tantangan yang belum terselesaikan dan dihadapi Indonesia untuk melindungi lapisan ozon. ***

Perubahan Iklim Makin Memiskinkan Negara-Negara Asia

Negara-negara di Asia akan makin miskin saat menghadapi berbagai dampak perubahan iklim. The Millennium Development Goals (MDGs) tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi merosot, tidak saja karena berbagai ancaman bencana yang dipicu oleh perubahan iklim, namun juga karena tidak investor yang mau masuk karena telah menganalisa berbagai kemungkinan bencana di daratan Asia..

Laporan Andi Noviriyanti, Manila
andi-noviriyanti@riaupos.co.id





Setiap tahun Negara Pilipina terus dihantui dengan persoalan angin topan. Pada tahun 2006 saja, data Badan Koordinator Bencana Nasional Pilipina, menunjukkan angin topan itu telah menyebabkan 1158 orang meninggal, 3235 orang terluka, dan 891 orang hilang. Bencana itu juga telah merusak sekitar 820.127 rumah, merusak sektor pertanian dan infrastruktur senilai 19.989 miliar Peso Pilipina.
Ke depan, menurut Rex Victor O. Cruz, Dekan Fakultas Kehutanan dan Sumberdaya Alam, Universitas Los Banos, ketakutan masyarakat Pilipina akan bertambah parah lagi. Mengingat perubahan iklim akan memicu peningkatan jumlah kejadian angin topan yang akan melanda Pilipina. Diperkirakan ketika itu terjadi, kerugian yang diderita oleh negara Pilipina akan semakin besar.
Tidak hanya itu, menurut Rex yang menjadi salah satu pembicara dalam Climate Change Media Workshop bagi wartawan Asia Tenggara di Manila, Selasa – Rabu (12-13/8) kemarin, dampak perubahan iklim di Pilipina telah mulai dirasakan dengan penurunan jumlah produksi pertanian (beras, jagung, gula tebu). Termasuk juga penurunan jumlah air bersih dan listrik tenaga air. Sementara itu kebakaran hutan justru meningkat. Kejadian itu benar-benar berpotensi membuat ambruk perekonomian negara Pilipina.
Hal serupa, menurut profesor bidang kehutanan dan menajemen tata kelola air ini, juga akan terjadi di sejumlah negara Asia lainnya. Negara-negara di Asia akan mengalami krisis air bersih, produksi pangan menurun, cuaca ekstrim akan meningkatkan kebakaran hutan dan lahan, penyakit-penyakit endemik yang makin meluas dan angka kematian yang meningkat. Ditambah dengan banjir, angin topan dan angin puyuh yang makin sering terjadi.
Semua itu akhirnya berdampak pada penurunan perekonomian negara-negara Asia. Diperparah lagi, investor tidak akan masuk ke negara-negara Asia yang rawan bencana. ”Para investor saat ini mungkin lebih pintar dari para ilmuan. Mereka bisa memprediksikan kemungkinan-kemungkinan bencana yang akan terjadi. Sehingga tidak akan menginvestasikan uang mereka di negara-negara yang rawan bencana,” ujar Rex yang menyimpulkan bahwa dampak dari perubahan iklim akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin dan memiliki sedikit dampak pada negara-negara kaya.
Bersamaan dengan itu, Rex memaparkan akan sulitnya tercapai pembangunan milinium (MDGs) yang telah disepakati negara-negara dunia agar umat manusia keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Rex menyebutkan tujuan pertama dari MDGs, yakni membasmi kemiskinan dan kelaparan ekstrim tidak akan tercapai. Pasalnya apabila terjadi peningkatan suhu tiga derajat celcius saja maka sekitar 150-550 miliar orang akan beresiko mengalami kelaparan dan 1-3 juta orang akan mati karena malnutrisi setiap tahun. Akan terjadi pertambahan 145-220 juta orang yang akan hidup di bawah 2 dolar Amerika pada tahun 2100.
Tujuan kedua, yakni pencapaian pendidikan dasar juga akan sulit dicapai. Mengingat bencana iklim dapat menghancurkan infrastuktur pendidikan sehingga menyulitkan para siswa untuk bersekolah, terutama bagi anak-anak perempuan.
Tujuan ketiga, yakni persamaan gender dan pemberdayaan perempuan juga akan bernasib sama. Pasalnya beban kerja dan tanggungjawab kaum perempuan akan semakin berat, baik dalam hal menyediakan kebutuhan air bersih bagi keluarganya, menghadapi kenaikan harga pangan dan lainnya.
Tujuan keempat, yakni menurunkan jumlah kematian anak-anak juga sulit diwujudkan. Bahkan diperkirakan akan ada penambahan 165 ribu sampai 250 ribu anak-anak yang akan meninggal pertahun di Asia Selatan dan Sub Saharan Afrika.
Tujuan kelima, yakni meningkatkan kesehatan ibu juga tidak akan tercapai karena terjadinya peningkatan malnutrisi. Tujuan keenam, yakni memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya juga bernasib sama. Walaupun suhu naik hanya satu derajat celcius, 300 ribu orang akan meninggal setiap tahun akibat perubahan iklim yang terkait dengan penyakit malaria. Pada kenaikan dua derajat celcius 60 juta orang di Afrika akan terkena Malaria.
Tujuan ketujuh, memastikan lingkungan yang berkelanjutan juga tidak akan tercapai. Pasalnya terjadi peningkatan migrasi dan konflik karena peningkatan air laut dan terjadinya penggurunan (lahan yang subur menjadi tandus). Ditambah lagi dengan pertambahan penduduk 2-3 miliar pada tahun 2050, keadaan yang penuh bencana, dan monopoli pasar akan kebutuhan dasar baik air maupun sistem kesehatan.
Tujuan kedelapan, membangun kerjasama global dalam pembangunan juga akan sulit dicapai. Pasalnya terjadi perebutan sumber daya alam karena permintaan yang tinggi yang pada akhirnya memicu kompetisi dan konflik antar negara. Perihal ini setidaknya sudah terlihat didaratan Afrika.
Menghadapi berbagai dampak itu, menurut Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, pada workshop yang sama, mengungkapkan bahwa bangsa Asia harus berjuang ekstra keras. Baik dalam melakukan mitigasi (pengurangan atau pencegahan terjadinya percepatan perubahan iklim) maupun adaptasi (upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim).
”Mulai dari sekarang, kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan adaftasi. Pasalnya perubahan iklim itu nyata dan saat ini memang sedang dihadapi umat manusia,” ungkap perempuan berkebangsaan India ini.
Misalnya untuk menghadapi banjir dan kekeringan.maka jangka pendek harus dilakukan deteksi dini dari cuaca ekstrim. Untuk jangka menengah dengan cara melakukan penganekaragaman mata pencarian. Selanjutnya untuk jangka panjang dilakukan pembangunan kapastias dalam mata pekerjaan, dilakukan penelitian dan pengembangan sumber-sumber pertanian yang tahan bencana, pola penanaman. Investasi untuk mempelajaran dampak dari banjir, kekeringan dan juga kualitas air. Termasuk juga meningkatkan kemampuan para saintis dan peranan media dalam mempublikasikannya.
”Manusia memang selalu beradaptasi dalam menghadapi perubahan, namun manusia hanya bisa beradaptasi bila perubahan itu berlangsung berlahan-lahan. Jika perubahan yang terjadi ekstrim, maka manusia tidak akan mampu bertahan. Misalnya di Perancis beberapa orang langsung meninggal karena menghadapi panas ekstrim,” ungkap Roy menanggapi pertanyaan Riau Pos bahwa ada kemungkinan manusia bisa beradaptasi menghadapi perubahan iklim.***


Hamparan Gersang Jadi Sentra Buah-buahan Segar

Melihat ranumnya jambu air jenis king rose, buah naga merah, jambu klutuk bangkok, dan belimbing demak yang terdapat di sebuah supermarket dengan label “Produk CSR”, Anda mungkin sulit mempercayai kalau buah-buah segar itu justru berasal dari hamparan tanah gersang bernama Perawang. Tapi itulah kenyataannya, jauh di dalam hamparan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Arara Abadi yang berada di Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak itu terdapat berhektar-hektar kebun buah.

Laporan Andi Noviriyanti, Perawang
andi-noviriyanti@riaupos.co.id




Baru saja saya dan rombongan siswa SD 001 Rumbai, Pekanbaru sampai di areal ke Balai Pelatihan dan Pengembangan Masyarakat (BPPM) PT Arara Abadi, di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, kami langsung melihat beberapa orang pegawai BPPM membawa aneka buah-buahan ke gazebo tempat kami duduk. Meski terbungkus plastik, kami bisa melihat dengan jelas bagaimana ranumnya buah-buahan di dalamnya. Ada jambu klutuk yang berwarna hijau terang, buah naga dan jambu air yang merah merona, belimbing yang kuning menghijau, serta buah nangka yang berwarna kuning terang.
Buah-buahan yang terkemas ala produk supermarket itu, ternyata hasil dari kebun buah yang terdapat di areal BPPM tersebut. Setidaknya, Kepala BPPM Harsono, menyebutkan setiap minggu mereka bisa memproduksi sekitar 30 kilogram (kg) buah naga, 50 kg belimbing, 20 kg jambu getas, dan buah-buahan lainnya. Produk buah mereka itu, bila dulu hanya dijual untuk lingkungan karyawan dan masyarakat Perawang, kini sudah masuk ke supermarket di Pekanbaru.
“Kalau ada label seperti ini (stiker kuning kecil bertulis produk CSR dan di bawahnya ada gambar daun hijau ), maka buah-buahan itu pasti asalnya dari sini. Sudah sejak awal tahun 2008 lalu, produk buah dari tempat ini masuk ke supermarket. Sebelumnya, buah-buah yang ada hanya dijual kepada pegawai PT Arara Abadi, Indahkiat dan masyarakat setempat,” ungkap Harsono sembari menunjukkan stiker kuning yang menempel di buah-buahan dalam kemasan itu.
Keberadaan buah-buah segar asal Perawang itu, mungkin tidak akan pernah terbayangkan. Pasalnya Perawang identik dikenal sebagai kota industri yang panas dan bertanah tandus. Selain areal perumahan dan pertokohan yang terlihat di kawasan itu, mungkin hanyalah hamparan pohon akasia dan eucalyptus yang terlihat di tempat itu. Ditambah dengan komplek pabrik kertas yang terpagar tinggi. Nyaris tak mungkin ada tempat bagi tanaman buah-buahan.
Tetapi semua identitas Perawang yang gersang dan tandus itu, mungkin sebentar lagi akan tergeserkan. Bisa saja, Perawang ke depan akan menjadi sentra buah-buahan. Mengingat ternyata di daerah Perawang itu cukup banyak buah-buahan segar yang bisa tumbuh, seperti yang kami lihat di BPPM. Selain di BPPM, kini banyak juga kelompok petani buah yang mengembangkan tanaman buah-buahan tersebut.



Riau Berbuah dan Sejuta Buah
Gerakan menaman pohon buahn yang dilakukan oleh BPPM PT Arara Abadi, bukanlah bagian dari produk baru dari perusahaan yang tergabung dalam Sinarmas Group tersebut. Gerakan yang mulai dibangun pada tahun 2005 lalu hanyalah bagian dari kegiatan Community Development (CD) PT Arara Abadi untuk memberdayakan masyarakat di sekitar areal konsesi mereka. Program itu menurut General Manager Humas PT Arara Abadi Nazaruddin adalah program ”Riau Berbuah”.
”Suatu saat nanti, kita ingin di Riau dipenuhi dengan tanaman buah-buahan. Jadi kita sebut dengan gerakan Riau Berbuah,” ugkap Nazaruddin ketika mendampingi kami berkunjung ke BPPM pada penghujung Agustus lalu.
Gerakan Riau Berbuah, menurut Nazaruddin tidak saja ada di tempat mereka. Meski dengan nama berbeda, saat ini, menurutnya di Kabupaten Pelalawan juga dilakukan gerakan yang sama. Hanya saja namanya Gerakan Sejuta Buah. Gerakan sejuta buah itu, dicanangkan pada tahun 2006 oleh T Azmun Ja’far yang kala itu menjabat sebagai Bupati Pelalawan. Azmun punya mimpi suatu saat nanti, Pelalawan sebagai salah satu daerah lintasan antar kota dan antar provinsi bisa menjadi sentra buah-buahan segar. Sehingga setiap orang yang melintasi daerah Pelalawan bisa membeli buah-buahan dari kota itu.
”Dulu, para petani yang hendak bertanam buah-buahan itu berlatihnya disini. Sudah delapan angkatan yang berlatih disini. Masing-masing angkatan 30 orang. Kita bimbing mereka sampai tahapan pendampingan,” jelas Harsono tentang keterkaitan Gerakan Riau Berbuah dan Sejuta Buah.
Gerakan menggalakkan penaman buah, tidak saja digalakkan kedua pihak itu, saat ini Pemerintah Kota Pekanbaru. Setidaknya, saat ini Dinas Pertanian Kota Pekanbaru juga telah membangun kebun koleksi buah di Desa Okura seluas sepuluh hektar. Di dalam kebun koleksi buah itu, menurut Kepala Dinas Pertanian Kota Pekanbaru Sentot Prayitno, terdapat 700 pohon tanaman buah yang berumur satu setengah tahun. Pohon buah itu di antaranya matoa, mangga, belimbing, manggis, durian monthong, rambutan, jambu biji, sukun dan salak pondoh.
Sentot menyebutkan kawasan yang sudah memiliki 700 pohon tanaman buah itu akan terus diperbanyak jumlah dan variasi tanamannya. Kelak, kawasan itu akan dijadikan tempat wisata agro Kota Pekanbaru. Pasalnya lokasi kawasan itu sejalan atau tidak berjauhan dengan Danau Buatan yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata alam di Kota Pekanbaru.

Peningkatkan Pendapatan
Menanam buah-buahan tidak selalu harus di areal khusus. Menurut Harsono, tanaman buah bisa ditanam di areal pekarangan. Selain menghijaukan kawasan rumah dan memenuhi kebutuhan buah untuk konsumsi sendiri, tanaman buah itu juga bisa meningkatkan pendapatan.
”Misalnya, kalau seseroang menanam jambu air jenis king rose, maka satu batang pohon bisa menghasilkan 15 kilogram buah, dengan masa dua kali panen dalam setahun. Harga buah jambu air tersebut saat ini Rp23 ribu. Jadi setahun satu batang pohon bisa menghasilkan pendapatan tambahan Rp690.000. Kalau dua batang tentu hasilnya bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah. Tetapi memang ini tidak bisa dijadikan pendapatan utama,” ungkap Harsono menjelaskan berapa nilai ekonomis dari bertanam buah di halaman rumah.

Memenuhi Kebutuhan Lokal
Gerakan menaman pohon buah itu, menurut Senton sangat penting. Pasalnya, di ibukota Pekanbaru saja, hampir 70 persen kebutuhan buah berasal dari daerah lain. Baik yang berasal dari provinsi tetangga maupun dari luar negeri. Sementara itu, dari datan data Dinas Ketahanan Pangan (BKP), disebutkan setiap tahun Riau mengalami peningkatan jumlah pemasukan buah-buahan dari luar daerah. Bila tahun 2001 jumlahnya hanya 25.654.00 ton, pada data terakhir BKP yakni tahun 2005 diketahui kebutuhan buah meningkat menjadi 86.554.08 ton. Ke depan diperkirakan akan terjadi peningkatan pola konsumsi buah.
”Orang-orang saat ini sudah mulai meninggalkan konsumsi karborhidrat terlalu banyak. Mereka beralih ke sayur dan buah segar. Mengingat unsur serat penting bagi kesehatan. Sehingga bisa dipastikan kebutuhan buah akan meningkat. Meskipun saat ini ada juga masyarakat Riau yang tidak mengkonsumsi buah. Karena masih dianggap kebutuhan kalangan menengah ke atas,” ungkap Khairul Zainal, Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, Sabtu (13/9) petang.
Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, saat ini Indonesia kebanjiran buah-buahan impor. Buah-buah impor itu kebanyakan berasal dari Australia, Amerika, China, dan Thailand. Untuk mengatasi hal itulah, masing-masing daerah harus mengupayakan pemenuhan kebuhan buah lokal. Pasalnya, menurut Guru Besar Kehutanan Universitas Gadja Mada Prof Suhardi, mengandalkan produk impor akan tambah memiskinkan bangsa Indonesia.
”Indonesia sangat kaya dengan berbagai aneka produk makanan. Termasuk buah-buahan. Nilai gizi antara makanan impor dengan yang kita miliki tidak jauh berbeda. Malah kita jauh lebih kaya. Lihat saja nilai vitamin dan mineral yang terdapat dari buah-buah lokal dengan buah impor itu. Gerakan memakan buah lokal sangat penting untuk ketahanan pangan kita,” ujar Prof Suhardi berkali-kali kepada Riau Pos tentang pentingnya memanfaatkan tanaman lokal untuk kebutuhan masyarakat. ***





Anjar Suharmini, Terima Satyalencana Pembangunan LH

Pahlawan lingkungan dari Riau kembali terpilih dikancah penghargaan lingkungan tingkat nasional. Bila sebelumnya di tahun 2008 ini ada Abbas Haji Usman dan LSM Bahterah Melayu menerima Kalpataru, maka hari ini 5 Nopember bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tahun 2008, pahlawan lingkungan dari Riau bernama Anjar Suharmini menerima Satyalencana Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla



Penghargaan prestesius itu diberikan kepada mereka para penerima Kalpataru yang dalam 15 tahun sesudah menerima penghargaan tertinggi di bidang lingkungan tersebut masih aktif mengabdikan diri. Anjar Suharmini adalah penerima Kalpataru tahun 1993 dan sampai ini tercatat masih aktif dalam kegiatan perbaikan lingkungan.
Petugas penyuluh pertanian lapangan ini mendapatkan Kalpataru pada tahun 1993 karena pengabdiannya di Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. Perempuan kelahiran 1 Februari 1963 ini berhasil mendorong kelompok-kelompok tani di desa itu memanfaatkan lahan tidur dengan penanaman Padi Gogo dan Padi Tadah Hujah seluas 50 hektar dan kolam ikan seluas 0,5 hektar. Istri dari Mawarli ini juga berhasil membuat pemanfaatan lahan pekarangan dengan memelihara ternak ayam buras dengan sestem kandang ren di setiap rumah penduduk. Hingga dikenal di desa itu semboyan ”Tiada Rumah Tanpa Ayam”.
Ibu dua anak ini juga berhasil membina pemuda dan pemudi tani, salah satunya yang bernama Purwati berhasil magang di Jepang selama satu tahun dan Mashuri magang di Tanjung Pinang.
Usai menerima penghargaan itu, perempuan yang saat menerima kalpataru itu masih berusia 30 tahun mendapat tugas belajar ke Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) hingga tahun 1996. Sekembalinya dari sekolah, Anjar ditempatkan di Desa Siabu, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar. Di desa yang berjarak 12 kilo meter dari Kota Bangkinang itu dia melakukan pembinaan pada kelompok petani/nelayan kecil (KPK) sebanyak enam kelompok.
Pada Mei 2001 s/d tahun 2003, Anjar pindah tugas ke Kota Pekanbaru Di Kelurahan Lembah Sari, Kecamatan Rumbai, dia tetap melakukan pembinaan kelompok petani dan nelayan kecil. Pada Mei tahun 2007, dia ditugaskan di Kelurahan Tuah Karya, Kecamatan Tampan. Di tempat terakhir ini dia berhasil membina enam kelompok tani untuk enam sayur-sayuran dan palawija serta ternak kambing, pembenihan serta pembesaran ikan lele pada kolam yang pengairannya sumur Bor.
Atas konsistensi dirinya itu, dia hari ini mendapatkan tanda kehormatan Satyalencana Pembangunan di bidang Lingkungan Hidup yang akan disematkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla. Bertepatan dengan peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2008. (and)



Menguak Potensi Hutan Rawa Gambut

LIPI, Universitas Kyoto, dan Unri Teliti Giam Siak Kecil

Telah banyak berkembang informasi bahwa kawasan rawa gambut memiliki begitu banyak potensi, terutama untuk obat-obatan. Sejumlah penyakit yang diderita umat manusia yang hingga kini belum ada obatnya, seperti kanker, HIV/AIDS diprediksi banyak ahli berada di kawasan rawa gambut. Namun, tidak banyak yang melakukan penelitian terhadap kawasan yang membentang sangat luas di Provinsi Riau. Sebagai akibat masih terbatasnya sumberdaya manusia, dana, dan fasilitas untuk melakukan berbagai penelitian itu.


Keinginan Sinar Mas Forestry (SMF) untuk menggagas kawasan rawa gambut Giam Siak Kecil (GSK) dan sebagai cagar biosfer telah membuka peluang yang sangat luas untuk meneliti kemungkinan ada berbagai potensi obat-obatan itu. Mengingat salah satu fungsi cagar biosfer adalah tempat penelitian. Untuk itulah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Kyoto, dan Universitas Riau (Unri) bermaksud melakukan penelitian mengenai berbagai potensi yang ada di kawasan itu.
Penelitian bersama itu, diawali dengan melakukan pertemuan di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unri. Hadir pada kesempatan itu Prof. Dr. Subiyanto dan Dr. Y. Purwanto (keduanya mewakili LIPI), Prof. Dr. Kasuke Mizuno, Prof. Dr. Takahisa Hayashi dan Dr. Shoko Kobayashi (mewakili Universitas Kyoto), dan Prof. Dr. Usman Tang serta 16 dosen lain (mewakili UNRI). Tujuan pertemuan yang dibuka oleh Ketua Jurusan Biologi Drs. Muhibbuddin MSi tersebut adalah untuk mensosialisasikan tentang Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan peluang kerjasama di bidang penelitian antara UNRI, LIPI dan Universitas Kyoto.
Pertemuan itu kemudian diikuti dengan sebuah fieldtrip ke desa Tasik Betung yang ada di wilayah yang akan diusulkan menjadi cagar pada Selasa (4/11) lalu. Dilanjutkan lagi dengan pertemuan di Hotel Jatra. Hasil pembicaraan mengerucut pada rencana penulisan proposal bersama yang akan diajukan ke lembaga-lembaga donor (funding agencies).
Untuk sementara ada tiga hal yang akan diteliti oleh tiga lembaga ini. Pertama, mendeskripsikan ekosistem. Maksudnya untuk mengenali habitat, yakni apa saja yang terdapat dikawasan itu dan proses-proses ekologis apa saja yang ada dikawasan itu. Hal itu, menurut Ahmad Muhammad selaku penghubung antar tiga lembaga tersebut, sangat penting untuk melakukan managemen. “Dari informasi deskripsi ekosistem itu kita bisa mengetahui apa yang terjadi, bila suatu bagian dari kawasan itu digeser atau dibuka. Misalnya jika dibuka kawasan itu, maka kita bisa memperkirakan apa yang akan terjadi,” ungkap dosen Biologi FMIPA Unri ini.
Kedua, mengesplorasi potensi yang ada di kawasan yang diusulkan di kawasan itu. Misalnya potensi ekowisata, potensi keanekaragaman hayati, terutama mikroorganiseme yang terdapat di areal itu. “Meskipun keanekaragaman hayati di kawasan rawa gambut lebih rendah dari hutan dataran rendah namun tetap saja potensi yang harus digali dikawasan itu banyak, karena ada kekhasan,” papar Ahmad. Ketiga, rencana pengelolaan landscape. Yakni penelitian bagaimana rencana pengelolaan kawasan ini yang tidak saja berkelanjutan bagi ekosistem tetapi juga bagi manusia disekitarnya.
Menanggapi akan adanya rencana penelitian itu Prof. Dr. Usman Tang, selaku Kepala Lembaga Penelitian UNRI, menegaskan kesediaan Unri menyediakan dana awal senilai tidak kurang dari Rp 100 juta untuk membiayai penelitian-penelitian eksploratif tentang ekosistem GSK oleh dosen-dosen Unri.
Sementara itu Prof. Dr. Kasuke Mizuno, Prof. Dr. Takahisa Hayashi dan Dr. Shoko Kobayashi dari Universitas Kyoto menyebutkan bahwa setidaknya kini mereka memiliki enam tema penelitian. Pertama, bagaimana bisa tercapai kolaboratif managemen dengan masyarakat lokal. Kedua, mengawasi perubahan biomassa hutan dihubungkan dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries). Ketiga, melakukan penelitian dinamika atmosfer, produksi CO2 dan metan. Keempat, meneliti siklus air dan karbon yang ada di kawasan tersebut. Kelima, keanekaragaman hayati yang ada di kawasan itu. Keenam, eksplorasi kayu pulp, mengenai riset potensi kayu pulp, bukan untuk produksi kertas, tetapi juga bioetanol. Saat ini sedang mencari jenis pohon dan mikroorganisme yang tepat. (ndi)


Berkelana ke Hutan Kertas

”Ternyata Bikin Kertas Itu Sulit, Jadi Harus Hemat Kertas”


Sabtu pagi, sekitar pukul 08.00 pagi, di penghujung Bulan Agustus. Aku dan sekitar 25 teman-teman kecilku dari siswa kelas VI SD 001 Rumbai di antaranya Romi, Siddik, Devi dan Dian, punya agenda hendak berkelana ke hutan kertas. Kebetulan teman-temanku yang sekolahnya berdampingan dengan kompleks Chevron Rumbai itu punya tugas belajar Bahasa Indonesia untuk membuat laporan perjalanan. Nah, untuk kebutuhan laporan berjalanan itu, kepala sekolah dan guru pembimbing bekerjasama dengan PT Arara Abadi mengajak kami semua ke hutan kertas milik PT Arara Abadi yang berada di Perawang. Sekitar satu jam perjalanan dari Kota Pekanbaru.

Sebenarnya apa sih hutan kertas itu? Hutan kertas itu adalah pepohonan dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menjadi bahan baku pembuat kertas. Tidak saja kertas untuk buku yang setiap hari kami tulisi dan baca, tetapi juga kertas tissu untuk mengelap keringat kami.
Perjalanan pun dimulai dari depan SD 001 Rumbai yang kini mulai tampak asri. Pasalnya di sekolah yang menjadi salah satu tempat penilaian Adipura (Kota Terbersih) itu sangat banyak pepohonan. Ada matoa, mahoni, ketapang, pulai dan lain sebagainya. Menurut Kepala Sekolah SD 001 Rumbai Jalaluddin yang ikut serta dalam perjalanan itu, dulunya sekolah mereka tidak begitu. Dulu sekolah yang memiliki halaman yang sangat luas itu, sangat gersang. Tetapi sejak tahun 2005, kepala sekolah yang sudah bertugas sejak enam tahun lalu ini, mengajak murid-muridnya menanam pohon. Satu anak satu pohon.
Pohon-pohon itu kini jumlahnya lebih dari 200 batang. Setiap pohon ada nama pemiliknya, yaitu nama para siswa. Para siswa itulah yang berkewajiban memelihara dan merawatnya. Selain ada nama siswa, pohon-pohon itu juga dilengkapi dengan nama pohon itu dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa latin serta tahun berapa mereka menanam.
Sebelum berangkat ke Perawang, aku sempat berkeliling-keliling sekolah itu. Ternyata pohon-pohon yang ditanami para siswa itu ada yang tumbuh subur tetapi ada juga yang antara hidup dan mati alias sudah sekarat. Tetapi dari sekian banyak pohon itu, yang paling menarik perhatianku adalah pohon pulai (Alstonia scholaris). Soalnya tajuk pohonnya sangat indah, seperti payung yang berbentuk datar khas payung-payung pesta adat. Berada di bawah pohon itu rasanya sangat nyaman sekali.
Kata Nazaruddin, General Manager Humas PT Arara Abadi yang ikut menemaniku berkeliling, itu adalah sumbangan dari PT Arara Abadi. Pohon yang dibibitkan dan dikembangkan di PT Arara Abadi itu disumbangkan kepada sekolah itu, dalam rangka untuk penghijauan di sekolah yang terletak di Jalan Type VI KM 2 ½ Rumbai.
Pulai itu, kata Nazaruddin, kayunya sangat ringan. Biasanya untuk membuat perahu, kayu itu yang digunakan karena gampang terapung. Sementara dari literatur yang kubaca ternyata pulai itu adalah kayu untuk membuat pensil. Pulai juga bisa dimanfaatkan untuk industri pulp dan kertas. Di sekolah pulai juga dimanfaatkan untuk papan tulis sekolah. Itulah sebabnya nama latinnya Alstonia scholaris, dimana scholaris berarti sekolah.
Selain punya manfaat itu, ternyata tanaman itu juga bisa untuk obat. Kulit kayunya bisa untuk obat demam, malaria, limpa membesar, batuk berdahak, diare, disentri, kurang nafsu makan, perut kembung, sakit perut, kolik, kencing manis, tenakan darah tinggi, wasir, anemia, gangguan haid, dan rematik akut. Sementara daunnya untuk mengatasi borok, bisul, perempuan setelah melahirkan (nifas), beri-beri dan payudara bengkak karena bendungan ASI.
Karena semua teman-teman kecilku itu sudah berkumpul semua akhirnya aku bersama mereka meninggalkan SD 001 Rumbai sekitar pukul 08.30 WIB. Perjalanan ke Perawang pun dimulai.
***

Sesampai di Perawang, teman-teman kecilku bersorak gembira. Pasalnya mereka sangat takhjud melihat jejeran pohon Eucalyptus Pellita 05 (EP05). Pohon itu kurus, tidak bercabang dan tinggi menjulang. Tingginya sekitar 40 meter. Sehingga pohon yang berbaris rapi itu terlihat sangat indah seperti ingin menggapai langit.
Pohon yang kami saksikan itu adalah tanaman hasil kultur jaringan yang dikembangkan oleh PT Arara Abadi. Sebenarnya, menurut Nazarruddin, tanaman itu sulit untuk di tanam di Riau karena persyaratan tumbuhnya berbeda dengan kondisi tanah dan iklim di Riau. Tanaman yang kebanyakan tumbuh di Australia dan bagian timur Indonesia itu, akhirnya diteliti oleh bagian penelitian dan pengembangan PT Arara Abadi. Akhirnya, didapatkan sub spesies yang pas untuk ditanam di Riau. Itulah yang kemudian dikenal dengan Eucalyptus Pellita 05. Tanaman itu, sudah di hak patenkan atau sudah didaftarkan Haki (Hak Kekayaan Intelektual)-nya oleh PT Arara Abadi. Agar tanaman itu tidak dicontek oleh pihak lain tanpa seiizin PT Arara Abadi. ”Ini bagian dari menghargai karya orang lain yang sudah bersusah-susah menelitinya,” ungkap Nazaruddin.
Setelah menyaksikan pohon-pohon yang indah itu, Nazaruddin menjelaskan kepada teman-teman kecilku bahwa pohon itulah yang akan diolah menjadi kertas. Dulu, tambahnya, PT Arara Abadi rata-rata menggunakan bahan baku kertas dari pohon akasia. Tetapi karena Eucalyptus kualitasnya lebih baik dan pohonnya lebih tinggi-tinggi, maka kini bahan baku kertas PT Arara Abadi banyak yang dari Eucalyptus. Selain itu, alasanya, pohon Eucalyptus ini ternyata tidak selalu harus ditanam. Pasalnya ia bisa tumbuh dari tunas. Jadi kalau misalnya pohon Eucalyptus ditebang, maka dari tebangan itu akan tumbuh anakkan baru.
Untuk bisa menjadi bahan baku kertas, yang digunakan manusia untuk menulis, mencetak buku, koran, majalah, membungkus goreng, kado, dan mengelap tangan dengan kertas tissu, menurut Nazaruddin membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan waktu selama enam tahun.
”Lamakan menunggunya untuk bisa dimanfaatkan jadi bahan baku kertas? Artinya, kalau anak-anak menanamnya saat kelas satu SD, maka baru bisa memanfaatkannya sebagai bahan baku kertas ketika sudah tamat SD. Jadi kalau pakai kertas harus hemat. Kalau buku tulisanya masih ada yang kosong jangan dibuang,” ujar Nazaruddin.
Sekedar tambahan, menurut Prof Dr Sudjarwadi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam media massa pernah menyebutkan bahwa satu rim kertas setara dengan satu pohon berusia lima tahun. Jadi bisa dibayangkan berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk memenuhi kebutuhan kertas manusia.
Selanjutnya, selain harus menunggu lama untuk menanti bahan baku kertas tumbuh, sulitnya membuat kertas tidaklah hanya sampai disitu. Pohon-pohon yang sudah berumur enam tahun itu setelah ditebang harus dipotong-potong atau dijadikan log. Log yang ada tadi kemudian disimpan di tempat penampungan beberapa bulan sebelum diolah dengan tujuan untuk melunakan log dan menjaga kesinambungan bahan baku. Itulah sebabnya, di pabrik kertas sering terlihat tumpukan log yang menggunung dan sangat panjang.
Kayu kemudian dibuang kulitnya dengan mesin atau dikenal dengan istilah De-Barker. Kayu dipotong - potong menjadi ukuran kecil (chip) dengan mesin chipping. Chip dimasak didalam digester untuk memisahkan serat kayu (bahan yang diunakan untuk membuat kertas) dengan lignin. Pproses pemasakan ada dua, yakni secara kimi dan secara mekanis. Hasil dari pemasakan itulah yang disebut pulp (bubur kertas). Pulp itulah yang kemudian diolah menjadi kertas pada mesin kertas.
Sebelum masuk keareal mesin kertas, pulp diolah dulu pada bagian stok persiapan. Bagian itu berfungsi untuk meramu bahan baku seperti menambahkan pewarna untuk kertas (dye), menambahkan zat retensi, menambahkan filler (untuk mengisi pori - pori diantara serat kayu), dan lainnya. Bahan yang keluar dari bagian itu disebut stock (campuran pulp, bahan kimia dan air)
Dari stock persiapan sebelum masuk ke headbox dibersihkan dulu dengan alat yang disebut cleaner. Dari cleaner stock masuk ke headbox. Headbox berfungsi untuk membentuk lembaran kertas (membentuk formasi) diatas fourdinier table.
Fourdinier berfungsi untuk membuang air yang berada dalam stock (dewatering). Hasil yang keluar disebut dengan web (kertas basah). Kadar padatnya sekitar 20 persen. Lalu, masuk pada proses press part yang berfungsi untuk membuang air dari web sehingga kadar padatnya mencapai 50 persen. Hasilnya masuk ke bagian pengering (dryer). Cara kerja press part ini adalah kertas masuk diantara dua roll yang berputar. Satu roll bagian atas di beri tekanan sehingga air keluar dari web. Bagian ini dapat menghemat energi, karena kerja dryer tidak terlalu berat (air sudah dibuang 30 %).
Kemudian dryer berfungsi untuk mengeringkan web sehingga kadar airnya mencapai enam persen. Hasilnya digulung di pop reel sehingga berbentuk gulungan kertas yang besar (paper roll). Paper roll ini yang dipotong - potong sesuai ukuran dan dikirim ke konsumen.
”Ternyata Bikin Kertas Itu Sulit, Jadi Harus Hemat Kertas” begitu teriak para siswa SD saat ditanya pengalaman mereka ke hutan kertas
***
Menghemat penggunaan kertas, ternyata tidak saja menghemat banyak pohon yang ditebang, tetapi juga menghemat penggunaan listrik, bahan kimia, dan air untuk proses pembuatan kertas itu. Selain itu, tentu saja juga mengurangi limbah yang dihasilkan. Untuk itulah, sebaiknya juga jangan terlalu royal menggunakan kertas yang berkualitas bagus. Pasalnya kertas yang lebih tebal, putih dan licin itu menggunakan listrik, bahan kimia dan menghasilkan limbah yang lebih banyak.
Menurut pengalaman Nazaruddin, di Cina, kertas yang digunakan untuk buku tulis dan buku bacaan tidaklah seperti yang dibuat di Indonesia. Kualitasnya sama seperti untuk kertas koran. Tetapi kalau soal isi buku bacaan mereka jauh lebih up to date (terkini).
Terakhir bagaimana sih cara menghemat kertas? Pertama, jangan sembarangan membuang kertas. Periksa dahulu, apakah masih ada bagian yang bisa digunakan? Kedua, kumpulkan sisa-sisa kertas yang benar-benar tidak terpakai dan serahkan atau jual kepada para pemulung. Mereka akan mengirim kertas-kertas itu ke tempat daur ulang. Ketiga, bila ingin mencetak hasil ketikan (mengeprint) maka pastikan hasil ketikan sudah sempurna. Jadi ketikan di edit di komputer saja. Lalu sebisa mungkin gunakan kertas itu timbal balik. Begitu juga saat mengfotocopi bahan bacaan.
Masih banyak lagi kok yang bisa dilakukan untuk menghemat kertas. Selamat mencoba dan berkreasi untuk menghemat kertas versi masing-masing.***


Rabu, 28 Januari 2009

Keputusan di Tengah Ketidakpastian

Persoalan lingkungan itu kompleks, sulit dimengerti, penuh ketidakpastian, dan dampaknya baru terbukti atau dirasakan dalam kurun waktu yang lama. Sehingga perlu kehati-hatian dalam membuat keputusan mengenai pemanfaatan lingkungan demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Karena bisa jadi pembangunan yang dilakukan justru mengantar masyarakat pada jurang kemiskinan yang lebih dalam

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id


Suatu sore, di penghujung tahun 2004, pada pertemuan Jambore Lingkungan se Indonesia, di Sariater, Jawa Barat, seorang pria berkulit kuning dengan muka yang bersih, berkata pada peserta jambore.
“Persoalan lingkungan itu kompleks sehingga sulit dimengerti, penuh ketidakpastian, dan dampaknya baru terbukti atau dirasakan dalam kurun waktu yang lama,” ujar pria yang gaya bahasanya agak kebarat-baratan ini. Pria itu adalah Nabiel Makarim. Saat itu dia menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Ucapan pria yang menamatkan pendidikan universitasnya di Australia dan Amerika ini, bukanlah ucapan tanpa dasar. Setidaknya belajar dari kisah pencemaran lingkungan paling fenomenal yang ditulis Rachel Carson berjudul “The Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi)” yang diterbitkan tahun 1962. Perempuan berlatar belakang pendidikan kimia ini mengemukakan bahwa pestisida jenis DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) telah mengubah dunia di sekitarnya. Dimana di musim semi yang seharusnya dipenuhi dengan kicauan burung, kini tidak ditemukannya lagi. Karena burung-burung serta sejumlah makhluk hidup lainnya telah ikut mati bersama hama target yang dibunuh oleh DDT.
Namun pernahkah sebelumnya orang mengira DDT akan benar-benar menjadi bencana lingkungan dunia? DDT pertama kali diproduksi dalam laboratorium pada tahun 1873. Selama setengah abad, ia hanyalah menjadi produksi laboratorium yang tidak diketahui apa manfaatnya. Pada tahun 1939, seorang ahli kimia Swiss Paul Hermann Muller menemukan bahwa DDT sangat bermanfaat untuk membunuh serangka penyebab penyakit khususnya malaria dan hama tanaman pertanian. Untuk kerja keras itu, Muller pun mendapatkan Hadiah Nobel bidang obat-obatan pada tahun 1948. Setelah itu penggunaan DDT booming di seluruh penjuru dunia, sebagai pestisida sintetis yang sangat efektif.
Tetapi siapa pula yang menyangka 12 tahun sesudahnya, Rachel Carson meluncurkan hasil penelitian bahwa DDT memang telah berhasil membunuh serangga yang menjadi hama pertanian, tetapi sekaligus membunuh makhluk hidup lainnya, terutama burung-burung. Burung-burung yang ada sangat sulit bereproduksi, telurnya banyak yang tidak bisa menetas. Hingga akhirnya DDT dilarang penggunaannya di sedikitnya di 86 negara kecuali beberapa negara untuk memberantas penyakit malaria. Pada perkembangan selanjutnya diketahui pula ternyata pestisida ini juga bersifat karsinogenik atau pemicu penyakit kanker dan juga penyebab kematian.
Penelitian World Health Organization (WHO) dan Program Lingkungan PBB pada tahun 2000-an memperkirakan ada tiga juta orang yang bekerja di sektor pertanian di negara-negara berkembang yang terkena racun pestisida. Sekitar 18 ribu di antaranya meninggal setiap tahunnya. Di Cina diperkirakan setiap tahunnya setengah juta orang keracunan pestisida dan 500 orang di antaranya meninggal. Bahkan penelitian Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya.
Siapa yang menyangka, pria yang dulunya menerima Hadiah Nobel ternyata di akhir ceritanya malah memberikan bencana lingkungan bagi kehidupan umat manusia? Namun begitulah yang dikemukakan Nabiel Makarim, bencana lingkungan itu penuh ketidakpastian dan jangka waktunya terlalu lama.
Membuat keputusan bagi lingkungan memang sangat sulit. Hal itupun dikemukakan Budhi Soesilo, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, beberapa bulan lalu, saat menjadi pembicara di Hotel Grand Zury pada seminar Pendidikan Lingkungan pada Usia Dini. Pria bertubuh tinggi ini mengilustrasikan bahwa persoalan lingkungan seperti melihat sebuah segitiga sama kaki, namun bagian garis tengahnya saling tidak menyambung. Sehingga potongan garis yang menyiku itu tidak membentuk segitiga dalam bentuk utuh. Tetapi seperti potongan segitiga-segitiga kecil.
Di saat itulah pria ini bertanya kepada peserta, ada beberapa segitiga dalam gambar itu? Ada yang menjawab satu, ada yang menjawab tiga, ada yang menjawab tidak ada. Budhi hanya tertawa menanggapi jawaban para peserta, itulah yang menurutnya menjadi persoalan saat ini. Meskipun objek lingkungan itu sama, seperti gambar potongan segitiga tidak jadi itu, namun setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda melihatnya. Ditambah faktor kepentingan lainnya, baik secara politis maupun keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Kompleksitas persoalan lingkungan membuat persoalan lingkungan harus ditanggapi dengan hati-hati dan penuh perhitungan serta penuh dengan kajian ilmiah.
Misalkan saja, tragedi yang beberapa bulan terakhir ini menimpa Provinsi Riau. Siapa yang menyangka tanaman sawit yang sempat diagung-agungkan sebagai komoditi untuk menuju kekayaan abadi, tiba-tiba anjlok. Di sejumlah media massa, tersiar kabar bahwa di Kampar Kiri, Kerinci Kanan, dan sejumlah daerah yang masyarakatnya mengandalkan perkebunan sawit kini tengah diliputi mendung besar. Ada yang bunuh diri, ada yang batal naik haji, dan yang terpaksa membiarkan alat transportasi mereka baik sepeda motor dan mobil dan truk dikembalikan kepada pihak dealer. Sejumlah orang tua juga telah menyurati anak-anak mereka yang bersekolah di kota, bahwa kini orang tuanya tidak mampu lagi. “Pandai-pandailah di kampung orang. Sawit sudah tidak laku lagi,” ujar mereka.
Tak hanya itu, dalam sebulan terakhir ini, tersiar pula kabar di media massa, Riau Pulp, perusahaan pulp and paper terbesar di Asia Tenggara menghadapi kenyataan pahit harus melakukan efisiensi besar-besaran dan mengarah kepada PHK besar-besaran pula. Pulp dan kertas yang mereka hasilkan tidak laku dijual di pasar Eropa dan Amerika yang selama ini menjadi basis pasar mereka. Sebagai buah dari krisis global yang melanda negara adidaya yang dalam perkiraan awalnya dinyatakan tidak mungkin terkena krisis seperti negara-negara berkembang lainnya.
Keberadaan perusahaan pulp and paper dan juga hasil perkebunan sawit yang menjulang tinggi itu pernah mengharumkan nama Riau di kancah nasional dan internasional. Riau dikenal sebagai daerah sangat kaya. Bukan saja karena minyak dan gasnya yang sudah lebih dulu menjadi lambang kejayaan Riau, tetapi juga dengan produksi pulp dan kertas serta sawitnya. Namun kini, kejayaan Riau itu tengah di pertaruhkan? Akankah perusahaan pulp di Riau bertahan? Akankah harga sawit lebih baik ke depan? Tidak ada yang tahu pasti.
Namun menurut Endang Sukara, Deputi Bidang Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, semua yang kini menimpa Riau adalah bentuk peringatan dini. Sebagai daerah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, pemilik bahan baku dari banyak sektor industri, seharusnya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan ketahanan daerah sendiri. Yakni dengan membuat industri-industri hilir. Jadi tidak meluluh mengeksploitasi sumber daya alamnya, mengurangi jumlah hutannya, hanya untuk terus menerus memproduksi bahan baku yang harganya tidak seberapa dibandingkan kalau mampu mengolah hingga ke industri hilir.
“Seandainya saja industri-industri yang ada tidak diproduksi hanya sampai ahan mentah seperti pulp, CPO (Crude Palm Oil) dan batu bara mentah, maka berbagai produk bahan baku yang ada di Riau tidak akan serta merta dipermainkan harga dunia,” ujar Endang.
Apa yang disampaikan Endang benar adanya. Contohnya saja perusahaan pulp satunya lagi di Riau. Perusahaan Indah Kiat atau dalam grup Sinar Mas Forestry lebih mampu bertahan. Pasalnya perusahaan yang bermasis di Perawang ini memproduksi produk pulp dan kertas mereka sampai ke bentuk tissu. Lihat saja, di berbagai rumah makan, restoran, dan hotel produk milik Sinar Mas ini terpampang jelas. Artinya jika produk itu diproduksi hingga ke hilir, maka bahan baku dari Riau tidak perlu dipermainkan harga dunia.
Selanjutnya, diversifikasi komoditi dan produk yang dihasilkan Riau juga menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Secara teori biologi telah dinyatakan, jangan sekali-kali mengandalkan monokultur, karena tanaman sejenis itu rentan terkena hama yang memicu bencana ekologis. Tapi tidak ada yang percaya saat itu, kecuali sekelompok kecil yang tidak memegang kebijakan.
Saat ini mungkin belum terjadi, tetapi coba bayangkan apa yang terjadi di Riau bila hama ulat api pada tanaman sawit yang kini menimpa petani sawit di Pasaman Barat, Sumatera Barat? Bisa dibayangkan hamparan sawit yang maha luas di Riau itu hanya akan menjadi hamparan tanaman lidi dan batang sawit. Karena hama ulat api, menggigit seluruh daun-daun sawit, hingga tinggal lidinya saja.
Secara tiori ekonomi juga sudah dikatakan jangan menggantungkan sesuatu pada satu produk. Misalnya selama ini sawit yang adi di Riau kebanyakan hanya dihasilkan sampai Crude Palm Oil (CPO). Sementara produk hilirnya yang beranekaragam hanya diproduksi dengan sangat terbatas. Padahal sawit bisa diolah menjadi berbagai macam produk, mulai dari biodisel, margarin, minyak goreng, deterjen, sabun, cocoa buuter, dry shop mixes, sugar confectionery, biscuit cream fats, filled milk, oli, minyak tekstil dan lainnya.
Memang untuk mewujudkan hal itu, bukanlah perkara gampang. Keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana dan prasarana selalu menjadi alasan klise sepanjang zaman. Untuk itu menurut Endang Sukara, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan, dan hal-hal untuk mengatasi kemiskinan harus melibatkan kalangan akademis dan harus berorientasi pada keseimbangan lingkungan.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemerintah daerah, kalangan akademis, harus membuat rencana pembangunan yang lebih berkelanjutan. Bukan saja untuk generasi yang ada saat ini, tetapi juga nanti.
Susanto Kurniawan, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) juga menyatakan pentingnya pembangunan yang mempertimbangkan kepentingan lingkungan. “Saya tegaskan, kami bukan anti pembangunan. Namun kami ingin kebijakan apapun yang dibangun pemerintah benar-benar berpihak kepada lingkungan. Bukan menolak adanya pembangunan industri di Riau, seperti pulp dan sawit. Yang kami suarakan hanyalah bagaimana industri itu berjalan dalam koridor yang benar. Tidak membangun lahan konsensi di lahan gambut dalam. Usulan jeda tebang juga untuk memberikan kepastian, dan melakukan identifikasi mana yang boleh atau tidak. Bukan serta merta anti pembangunan,” ujar Susanto Kurniawan.
Program-program pemerintah seperti kebun sawit K2I juga perlu kembali ditinjau ulang. Apakah itu memang akan membawa masyarakat akan keluar dari kemiskinan atau hanya menambah beban baru. Persoalan tentang rencana tata ruang daerah juga memerlukan percepatan penyelesaiannya. Mengingat itulah sabagai acuan dari segala bentang alam di Riau.
Meski demikian, Endang Sukara maupun Kepala Dinas Perkebunan Kuantan Singingi Hardi Yakuf berharap tata ruang yang dibuat tidak lagi berdasarkan informasi di atas kertas. Harus benar-benar turun ke lapangan. Pasalnya menurut Hardi Yakuf, tata ruang yang ada misalnya menyatakan kawasan Desa Jake hingga Taluk Kuantan di Kabupaten Kuantan Singingi ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada Perda Nomor 10 Tahun 1994. Padahal kawasan itu menurutnya merupakan hamparan kebun karet yang sudah dimulai di era tahun 1980-an. Bahkan kebun karet itu merupakan bantuan bank dunia.
Berbagai ketidaksamaan informasi dan ketidaksingkronan itu menurut Emil Salim tidak perlu dipertahankan terus menerus. Buatlah keputusan menurutnya yang berpihak kepada lingkungan. Apapun orientasi pembangunan galilah berdasarkan kearifan lokal dan keberpihakan untuk menyelamatkan lingkungan. Sembari terus menggali potensi-potensi daerah yang bersifat berkelanjutan.
Misalnya, menurut Endang Sukara, perdagangan karbon dari luasan lahan gambut Riau yang sangat luas. Berbagai potensi obat-obatan dan polimer-polimer yang bermanfaat dalam pengembangan teknologi hayati yang kedepan akan menjadi tren teknologi masa depan.
Hari ini Riau mungkin belum terlambat. Keputusan di tengah ketidakpastian memang harus terus diambil. Namun tetap harus bersandar kepada keseimbangan pembangunan dan lingkungan. Karena kedua hal itu seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. ***

Senin, 26 Januari 2009

”Habitat Kami untukmu Jua!”

Kepunahan satwa liar berarti juga kepunahan habitat mereka. Kepunahan habitat mereka berarti kepunahan hutan alam. Kepunahan hutan alam berarti umat manusia makin dekat dengan malapetaka dunia.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru novi792000@yahoo.com


Jonet, si orangutan (Pongo pygmaeus) berusia 17 tahun itu hanya terduduk diam di sudut kerangkeng besi yang mengurungnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tatapan di sepasang bola matanya yang kecil itu juga kosong. Ia terlihat sangat uzur (tua). Padahal usianya belum separuh dari usia orangutan kebanyakan yang bisa mencapai umur 60 tahun.

Satu-satunya reaksi yang ia lakukan hanyalah jika ada orang lewat di depan kerangkeng besinya nan sempit. Berukuran sekitar dua kali dua meter. Reaksinya itupun hanya sekedar mengulurkan tangannya yang bertapak hitam legam ke luar kerangkeng. Ia ingin meminta kacang atau buah segar dari pengunjung. Keadaannya tak ubah seperti pengemis jalanan.
Si penghuni Kebun Binatang Kasang Kulim, Kabupaten Kampar ini, sebenarnya bukan makhluk pemalas dan peminta-minta. Ia memiliki kodrat sebagai primata arboreal, yaitu hidup di atas pepohonan. Tangannya yang panjang itu seharusnya digunakan untuk bergayut dari satu pohon ke pohon lain. Dilihat dari badannya yang besar dan kekar pastilah yang dibutuhkannya pepohonan yang besar pula dan biasanya terdapat di rimba raya.

Namun, takdirlah yang membuat jonet harus jadi peminta-minta. Kisahnya di mulai sekitar 15 tahun silam. Ia adalah salah satu satwa liar asli Kalimantan yang hendak diseludupkan ke Singapura lewat Riau. Upaya penyeludupan itu berhasil digagalkan dan akhirnya ia dipelihara H Usman, pegawai Dinas Pertanian yang sangat mencintai satwa liar. H Usman-saat ini sudah almarhum- kebetulan saat itu telah mendirikan kebun binatang pribadi kecil-kecilan bernama Kasang Kulim. Kebun binatang itu, adalah kebun binatang pertama dan satu-satunya di Riau.

Sejak itulah Jonet menghabiskan waktunya di kerangkeng. Awalnya, Jonet masih belum dikurung dan masih sering digendong anggota keluarga H Usman. Namun, kata Agustina -anaknya H Usman yang kini mengelolah Kebun Binatang Kasang Kulim- karena Jonet semakin hari tumbuh besar dan tenaganya lebih kuat, akhirnya Jonet terpaksa dikurung di dalam jeruji besi itu.

Jonet baru terlihat bergairah, bila dia mengalami masa kawin. Ia akan lebih garang dan hasratnya sebagai pejantan diperlihatkannya lewat bulu dan alat kelaminnya yang berdiri. Sayangnya masa itu terkadang hanya dilewati begitu saja oleh Jonet. Karena ia memang tak punya pasangan. Padahal seharusnya sebagai pejantan dari golongan kera besar ini sudah bisa bersenggama sejak usia tujuh tahun.

Namun untunglah penderitaan tidak bisa bersetubuh bagi Jonet sudah berakhir satu tahun yang lalu. Kebun binatang tempatnya tinggalnya itu memberinya seorang istri, orangutan Sumatera bernama Lisa. Meski telah memperistri Lisa, pasangan yang belum dikaruniai keturunan ini tidak hidup dalam satu kandang. Mereka hanya bertemu ketika masa kawin sekitar dua tahun sekali lalu kembali ke kandang masing-masing. Agustina beralasan pemisahan itu karena kasihan melihat Jonet. Kalau tidak masa kawin Jonet jadi makhluk pendiam dan takut pada Lisa.

Jonet mungkin terlihat sangat tidak beruntung hidup di jeruji besi itu, sama seperti 33 jenis satwa liar lainnya yang hidup di dalam kebun binatang itu. Tetapi bisa jadi ia jauh lebih beruntung dari teman-temannya sesama satwa liar yang hidup di belantara alam. Setidaknya ia tak perlu ketakutan saat habitatnya di rusak oleh pelaku pembalakan liar atau perambah hutan. Ia juga tidak akan terpanggang hidup-hidup karena kebakaran hutan dan lahan yang kini kerap terjadi di Indonesia. Ia juga tidak akan dibunuh secara masal oleh masyarakat yang merasa keberadaan satwa liar sebagai hama.

***
TEMAN-teman Jonet sesama satwa liar di alam kini memang tengah mengalami problem besar. Mereka kini kehilangan habitat sebagai tempat mereka tinggal, mencari makan dan kawin. Manusia seakan tidak mau menyisakan habitat bagi mereka. Sejumlah kawasan konservasi yang menjadi habitat terakhir mereka juga kerap diganggu, dirambah, bahkan dibakar untuk dialihfungsikan.

Di Riau sendiri, dari sekitar 18 kawasan konservasi berdasarkan komplisasi data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Departemen Kehutanan dan data sejumlah Lembaga Swada Masyarakat (LSM) hampir keseluruhannya rusak bahkan ada yang sudah hilang. Satu-satunya kawasan konservasi yang kondisinya baik hanya Taman Nasional Zamrud. Sementara 17-nya lagi, yaitu Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Tesso Nilo, Cagar Alam Pulau Berkey, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Suaka Margasatwa Kerumutan, Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang, Suaka Margasatwa Tasik Belat, Suaka Margasatwa Bukit Batu, Suaka Margasatwa Balai Raja, Suaka Margasatwa Tasih Besar (Tasik Metas), Suaka Margasatwa Tasik Serkap (Tasik Sarang Burung), Suaka Margasatwa Bukit Rimbang (Bukit Baling), Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim (Tahura SSK), Pusat Latihan Gajah Sebanga Duri, dan Hutan Lindung Senepis dalam keadaan sedikit rusak hingga rusak parah. Malah Suaka Margasatwa Balai Raja di Duri, Kabupaten Bengkalis seluas 18 ribu hektar dan PLG Duri seluas 5.873 hektar boleh dibilang sudah tidak ada lagi.

Hilangnya Suaka Margasatwa Balai Raja yang menjadi kawasan konservasi gajah yang berganti dengan kawasan pemukiman penduduk dan perkantoran itu, membuat kawasan yang secara hukum masih diakui sebagai kawasan konservasi itu sering menjadi tempat konflik gajah dan manusia. Malah dalam dua tahun terakhir ini, masalah konflik ini tetap terjadi. Di lokasi itu awal tahun 2006 lalu, gajah sempat merobohkan rumah warga dan merusak lahan pertanian. Bahkan hingga Kamis (28/2) kemarin, masih ada gajah yang merusak pagar SMP Cendana Duri. Padahal di lokasi ini, sudah delapan gajah Balai Raja yang dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo dan dua ekor mati karena tetanus dan ditusuk orang.

Konflik satwa yang dilindugi ini dengan manusia tidak saja terjadi di Balai Raja. Tetapi hampir dimana-mana. Untuk di Riau, konflik gajah dengan manusia berdasarkan data World Wide Fund For Nature (WWF) pada awal 2007 saja tercatat tiga orang meninggal dan dua orang cedera. Sementara gajah yang mati, berdasarkan data BBKSDA tahun 2005-2008 ada sebanyak 24 ekor. Sementara yang direlokasi ke Taman Nasional Tesso Nilo 15 ekor dan Pusat Latihan Gajah di Tahura SSK sebanyak delapan ekor.

Konflik lainnya antara manusia dengan satwa liar tidak saja pada gajah, tetapi juga dengan harimau. Dari tahun 2005 sampai tahun 2007 dari data BBKSDA terdapat empat orang meninggal, sepuluh cedera, dan puluhan ternak mati akibat diterkam harimau. Sementara harimau yang mati dari tahun 2006-2008 ada sepuluh ekor dan yang direlokasi ke Taman Safari Indonesia dari tahun 2002-2007 jumlahnya sembilan ekor dan yang dilepasliarkan di Hutan Lindung Senepis dari tahun 2003-2008 dua ekor.

Meskipun di Riau kerap kali yang terdengar satwa liar yang dilindungi hanya gajah dan harimau, namun sebenarnya ada 34 jenis satwa liar di Riau. Berdasarkan data BBKSDA 34 jenis itu terdiri dari 18 jenis mamalia, sebelas jenis aves (burung), empat jenis reptil dan satu jenis pisces (ikan). Kedelapan belas jenis mamalia itu adalah gajah, Harimau Sumatera, harimau dahan, beruang madu, orangutan, rusa, lutung, siamang, kambing sumatera, badak sumatera, duyung, kucing hutan, landak, trenggiling, kukang, macan tutul, tapir, dan kancil. Sementara itu jenis aves terdiri dari burung enggang, kuntul putih, raja udang, elang laut, kuau, bangau putih, itik air, burung alap-alap, burung pengisap madu, dan burung madu. Kemudian jenis reptil adalah tuntong, penyu hijau, buaya muara, dan senyulong. Terakhir dari jenis pisces adalah ikan arwana.

Konflik antara harimau dan gajah dengan manusia membuat banyak orang yang berpikir itulah satwa liar di Riau yang diambang kepunahan. Tapi sebenarnya berdasarkan data BBKSDA yang lebih para ancaman kepunahannya adalah orangutan, badak sumatera, dan tapir. Karena jumlah gajah dan harimau masih diperkirakan berjumlah diatas 100. Harimau sekitar 100-130 ekor sementara gajah 140-170 ekor. Namun orangutan, badak sumatera, dan tapir kurang dari 60 ekor.

Malah menurut Ririe Bogar, salah seorang pencetus Miss Big Indonesia yang menjadi duta penyelamatan badak, mengungkapkan kemungkinan telah punahnya badak Sumatera di Riau. Wildlife Biologist WWF Riau Sunarto menambahkan bahwa jejak badak Sumatera terakhir kali di Riau yang tercatat ada pada pada tahun 1982. Sementara untuk orangutan sudah puluhan tahun hampir tidak diketahui keberadaannya. Dan yang kini yang sulit dipercayai adalah akan punah tapir.

“Tapir itu dulu rasanya banyak di Riau. Kami sering dapat kiriman tapir hasil tangkapan masyarakat yang dari kampung-kampung. Namun sudah dua bulan terakhir ini saya pesan tapir, namun tidak ada yang masyarakat yang mengantarnya. Padahal tapir itu adalah makhluk paling laku kalau dijadikan pertukaran satwa antar kebun binatang. Apa saja kita minta, pasti dikasih untuk ditukarkan,” ujar Agustina yang bercita-cita menukar tapir dengan seekor hewan asal Afrika bernama kuda nil untuk menjadi pasangan seekor kuda nil yang kini ada dalam kebun binatangnya.

Senada dengan itu, Sahadah, warga Baserah, Kabupaten Kuantan Singingi, juga mengungkapkan dulu sekitar tahun 1980-an paling banyak tapir di kampungnya. Tapir itu di daerahnya di kenal dengan nama Cipen. Ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari sapi lebih besar dari kambing. Muncungnya agak mirip babi. Kulitnya dibagian belakang berwarna putih di bagian depan berwarna hitam. Namun sekarang menurutnya mungkin tidak ada lagi, kalaupun ada hanya satu dua.

***

MENGAPA manusia harus risau dengan kepunahan satwa liar? Dilontari pertanyaan seperti itu Kepala BBKSDA Riau Rachman Sidik, Flagship Species Program Coordinator WWF Riau Achmad Yahya, dan Wildlife Biologist WWF Riau Sunarto dan Pencetus Miss Big Indonesia Ririe tersenyum sesaat sebelum memulai jawabannya. “Pertanyaannya sederhana, tetapi maknanya sangat dalam,” ungkap mereka hampir senada.

Kepunahan mereka, menurut Ririe, suatu hari akan menjadi ironi dan penyesalan bangsa ini. Karena hewan-hewan tersebut hanya akan menjadi sekedar cerita dongeng menjelang tidur bagi generasi bangsa selanjutnya. Namun yang lebih memiriskan hati, tambah Ririe, satwa-satwa yang punah itu akan berada di kawasan konservasi di luar negeri. “Sekarang saja, badak Sumatera yang kabarnya punah di Riau ada ada di Kebun Binatang Cincinnati Amerika dan Kebun Binatang London Inggris,” ujarnya mengingatkan bahwa kelak bisa jadi anak Indonesia hanya bisa melihat satwa asli Indonesia itu di negara lain.

Di balik kisah kepunahan mereka, menurut Rachman, Yayah, dan Sunarto yang dikhawatirkan adalah kepunahan habitat mereka. Pasalnya habitat mereka yang berupa hutan alam memiliki arti penting bagi keseimbangan alam dan ekosistem. Bila hutan alam punah maka tidak akan ada sumber-sumber air yang mengisi sungai, danau, dan rawa. Berarti tidak ada pula sumber air untuk mengairi sawah bahkan tempat-tempat yang menjadi sumber air minum masyarakat. Kekeringan akan terjadi dimana-mana. Akhirnya krisis pangan pun terjadi.

Ketika hujan mengguyur bumi, karena hutan yang menjadi habitat satwa liar tidak ada lagi, maka akan terjadi banjir seperti yang kini sering melanda Indonesia. Berbagai produk hasil pembangunan yang dibangun bertahun-tahun dan dana miliaran rupiah akan berangsur lapuk dan kemudian rusak sehingga tak dapat dimanfaatkan.

Hutan yang hilang juga akan mempercepat malapetaka global berupa perubahan iklim. Sebagai akibat tidak ada lagi oksigen yang bisa diproduksi oleh dedaunan hijau dari dalam hutan. Tidak ada pula penghisap gas karbondioksida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan itu.

Masihkah kita menganggap pelestarian satwa liar tidak penting? Seandainya satwa liar itu bisa bicara, ia akan meneriakkan,” Habitat Kami untukmu jua!” ***