Laporan Andi Noviriyanti, Manila
andi-noviriyanti@riaupos.co.id
Setiap tahun Negara Pilipina terus dihantui dengan persoalan angin topan. Pada tahun 2006 saja, data Badan Koordinator Bencana Nasional Pilipina, menunjukkan angin topan itu telah menyebabkan 1158 orang meninggal, 3235 orang terluka, dan 891 orang hilang. Bencana itu juga telah merusak sekitar 820.127 rumah, merusak sektor pertanian dan infrastruktur senilai 19.989 miliar Peso Pilipina.
Ke depan, menurut Rex Victor O. Cruz, Dekan Fakultas Kehutanan dan Sumberdaya Alam, Universitas Los Banos, ketakutan masyarakat Pilipina akan bertambah parah lagi. Mengingat perubahan iklim akan memicu peningkatan jumlah kejadian angin topan yang akan melanda Pilipina. Diperkirakan ketika itu terjadi, kerugian yang diderita oleh negara Pilipina akan semakin besar.
Tidak hanya itu, menurut Rex yang menjadi salah satu pembicara dalam Climate Change Media Workshop bagi wartawan Asia Tenggara di Manila, Selasa – Rabu (12-13/8) kemarin, dampak perubahan iklim di Pilipina telah mulai dirasakan dengan penurunan jumlah produksi pertanian (beras, jagung, gula tebu). Termasuk juga penurunan jumlah air bersih dan listrik tenaga air. Sementara itu kebakaran hutan justru meningkat. Kejadian itu benar-benar berpotensi membuat ambruk perekonomian negara Pilipina.
Hal serupa, menurut profesor bidang kehutanan dan menajemen tata kelola air ini, juga akan terjadi di sejumlah negara Asia lainnya. Negara-negara di Asia akan mengalami krisis air bersih, produksi pangan menurun, cuaca ekstrim akan meningkatkan kebakaran hutan dan lahan, penyakit-penyakit endemik yang makin meluas dan angka kematian yang meningkat. Ditambah dengan banjir, angin topan dan angin puyuh yang makin sering terjadi.
Semua itu akhirnya berdampak pada penurunan perekonomian negara-negara Asia. Diperparah lagi, investor tidak akan masuk ke negara-negara Asia yang rawan bencana. ”Para investor saat ini mungkin lebih pintar dari para ilmuan. Mereka bisa memprediksikan kemungkinan-kemungkinan bencana yang akan terjadi. Sehingga tidak akan menginvestasikan uang mereka di negara-negara yang rawan bencana,” ujar Rex yang menyimpulkan bahwa dampak dari perubahan iklim akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin dan memiliki sedikit dampak pada negara-negara kaya.
Bersamaan dengan itu, Rex memaparkan akan sulitnya tercapai pembangunan milinium (MDGs) yang telah disepakati negara-negara dunia agar umat manusia keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Rex menyebutkan tujuan pertama dari MDGs, yakni membasmi kemiskinan dan kelaparan ekstrim tidak akan tercapai. Pasalnya apabila terjadi peningkatan suhu tiga derajat celcius saja maka sekitar 150-550 miliar orang akan beresiko mengalami kelaparan dan 1-3 juta orang akan mati karena malnutrisi setiap tahun. Akan terjadi pertambahan 145-220 juta orang yang akan hidup di bawah 2 dolar Amerika pada tahun 2100.
Tujuan kedua, yakni pencapaian pendidikan dasar juga akan sulit dicapai. Mengingat bencana iklim dapat menghancurkan infrastuktur pendidikan sehingga menyulitkan para siswa untuk bersekolah, terutama bagi anak-anak perempuan.
Tujuan ketiga, yakni persamaan gender dan pemberdayaan perempuan juga akan bernasib sama. Pasalnya beban kerja dan tanggungjawab kaum perempuan akan semakin berat, baik dalam hal menyediakan kebutuhan air bersih bagi keluarganya, menghadapi kenaikan harga pangan dan lainnya.
Tujuan keempat, yakni menurunkan jumlah kematian anak-anak juga sulit diwujudkan. Bahkan diperkirakan akan ada penambahan 165 ribu sampai 250 ribu anak-anak yang akan meninggal pertahun di Asia Selatan dan Sub Saharan Afrika.
Tujuan kelima, yakni meningkatkan kesehatan ibu juga tidak akan tercapai karena terjadinya peningkatan malnutrisi. Tujuan keenam, yakni memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya juga bernasib sama. Walaupun suhu naik hanya satu derajat celcius, 300 ribu orang akan meninggal setiap tahun akibat perubahan iklim yang terkait dengan penyakit malaria. Pada kenaikan dua derajat celcius 60 juta orang di Afrika akan terkena Malaria.
Tujuan ketujuh, memastikan lingkungan yang berkelanjutan juga tidak akan tercapai. Pasalnya terjadi peningkatan migrasi dan konflik karena peningkatan air laut dan terjadinya penggurunan (lahan yang subur menjadi tandus). Ditambah lagi dengan pertambahan penduduk 2-3 miliar pada tahun 2050, keadaan yang penuh bencana, dan monopoli pasar akan kebutuhan dasar baik air maupun sistem kesehatan.
Tujuan kedelapan, membangun kerjasama global dalam pembangunan juga akan sulit dicapai. Pasalnya terjadi perebutan sumber daya alam karena permintaan yang tinggi yang pada akhirnya memicu kompetisi dan konflik antar negara. Perihal ini setidaknya sudah terlihat didaratan Afrika.
Menghadapi berbagai dampak itu, menurut Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, pada workshop yang sama, mengungkapkan bahwa bangsa Asia harus berjuang ekstra keras. Baik dalam melakukan mitigasi (pengurangan atau pencegahan terjadinya percepatan perubahan iklim) maupun adaptasi (upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim).
”Mulai dari sekarang, kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan adaftasi. Pasalnya perubahan iklim itu nyata dan saat ini memang sedang dihadapi umat manusia,” ungkap perempuan berkebangsaan India ini.
Misalnya untuk menghadapi banjir dan kekeringan.maka jangka pendek harus dilakukan deteksi dini dari cuaca ekstrim. Untuk jangka menengah dengan cara melakukan penganekaragaman mata pencarian. Selanjutnya untuk jangka panjang dilakukan pembangunan kapastias dalam mata pekerjaan, dilakukan penelitian dan pengembangan sumber-sumber pertanian yang tahan bencana, pola penanaman. Investasi untuk mempelajaran dampak dari banjir, kekeringan dan juga kualitas air. Termasuk juga meningkatkan kemampuan para saintis dan peranan media dalam mempublikasikannya.
”Manusia memang selalu beradaptasi dalam menghadapi perubahan, namun manusia hanya bisa beradaptasi bila perubahan itu berlangsung berlahan-lahan. Jika perubahan yang terjadi ekstrim, maka manusia tidak akan mampu bertahan. Misalnya di Perancis beberapa orang langsung meninggal karena menghadapi panas ekstrim,” ungkap Roy menanggapi pertanyaan Riau Pos bahwa ada kemungkinan manusia bisa beradaptasi menghadapi perubahan iklim.***
0 komentar:
Posting Komentar