Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Jumat, 12 Desember 2008

Berjuang Menuju Poznan

Sebuah Catatan Perjalanan Meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 14 di Poznan

Meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 14 di Poznan, Polandia menjadi impianku sejak di Bali. Berikut jalan panjang yang harus kulalui untuk mencapai negeri bersuhu satu derajat celcius saat pesawat yang membawaku terbang mendaratinya.

Laporan Andi Noviriyanti, Poznan
Andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Suatu siang, di Hotel Westin Bali, Desember 2007, saat meliput Konferensi Perubahan Iklim ke 13, di Nusa Dua, Bali. Aku berdiri di depan stand pameran tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim ke 14, yakni Negara Polandia tepatnya di Kota Poznan. Aku memandangi pajangan foto Kota Poznan, yang dipenuhi bangunan mirip seperti cerita dongeng Cenderela. Bangunan yang ada di kota itu seperti istana persis seperti melihat film atau buku dongeng Putri Salju. Sang pramustand pun kemudian berpromosi tentang Poznan. Udara dingin dan akan lebih nyaman, katanya. Tidak seperti di Bali yang sangat panas. Pikiranku melayang, tahun depan aku harus ke Kota Poznan.
Bagaimana caranya, aku belum tahu. Hanya yang terpikir saat itu adalah lewat Climate Change Media Partnership (CCMP) fellowship programme (Program Beasiswa Peliputan Perubahan Iklim) seperti yang kudapatkan di Bali. Namun hal itu tentu tidak gampang. Mengingat kursi untuk wartawan Indonesia pasti sangat sedikit dibandingkan ketika di Bali yang jumlahnya belasan dari 40 yang mendapatkan beasiswa liputan.

Namun, semua hal harus dicoba. Memperbaiki kemampuan bahasa Inggris dan mendapatkan referensi lebih banyak lagi menjadi kewajiban yang harus aku persiapkan. Itu sebabnya tiap kali ada kesempatan workshop, aku mengaplikasikan diri. Begitu juga setiap ada perlombaan menulis tentang lingkungan, terus aku lakukan, baik ditingkat nasional maupun internasional. Mengingat referensi seperti itulah yang bisa mengantarkanku ke Poznan.
Sepanjang tahun 2007, tiga kali mencoba untuk mendapatkan workshop di luar negeri. Dua di antaranya gagal yakni ke Monaco dan Spanyol dan hanya satu yang lolos yakni ke Filipina. Workshop itu tentang bagaimana memberitakan perubahan iklim di Asia yang dilaksanakan oleh Philippine Science Journalists Association, Inc.
Referensi yang kudapatkan untuk menuju Poznan tidak cukup kuat. Ada sekitar 1000-an wartawan di seluruh negara berkembang, mulai Brazil, Afrika, dan Asia memperebutkan 40 kursi itu. Dari Indonesia untuk kategori koran yang terpilih Stevie Emilia dari Jakarta Post. Wanita satu ini telah mengikuti lima kali konferensi perubahan iklim dan menjabat sebagai redaktur fiture yang juga memegang halaman lingkungan. Lawan yang sangat berat.
Pupus sudah harapanku untuk ke Poznan. Di pertengahan November tiba-tiba ada email dari Harry Surjadi, Direktur Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Ada lowongan dari Asia-Europa Foundation, untuk membiayai satu orang wartawan dari Asia selama tiga hari di Poznan untuk meliput side event Konferensi Perubahan Iklim. Memang tidak bisa mengikuti acara Konferensi Perubahan Iklim secara keseluruhan yakni tanggal 1-12 Desember, namun setidaknya itu kesempatan pengganti yang sangat bagus.
Berbekal aplikasiku ke Poznan yang gagal di CCMP, akupun mengaplikasikan diri kembali. Dalam beberapa hari aku mendapat balasan dari ASEF, bahwa mereka akan mempertimbangkan aku menjadi satu-satunya wartawan Asia itu. Tepat Jumat (21/11) sore sekitar pukul lima, ASEF mengirim kabar, bahwa aku diterima dan akan diberangkatkan ke Polandia.
Sayangnya email itu baru terbaca Sabtu (22/11) pagi. Reaksi pertama, aku gembira luar biasa. Namun kemudian aku tahu banyak sekali hambatan. Terutama aku harus mengurus visa, sebuah kewajiban yang harus dilakukan pemilik paspor Indonesia untuk masuk ke Eropa (Schengen). Sesuatu yang tidak dipersyaratkan bagi pemilik paspor negeri serumpun seperti Malaysia, Singapura, dan Brunai.

Diambang Putus Asa
Berdasarkan informasi dari Stevie Emelia yang telah lebih dulu mengurus visa, dibutuhkan waktu dua minggu untuk mendapatkannya. Sementara aku hanya punya waktu sekitar seminggu. Menurut Stevie, aku mungkin bisa mendapatkan lebih cepat jika meminta tolong pada pihak kedutaan. Sebenarnya hari itu aku ingin memutuskan mundur, apalagi aku sedang terserang flu. Rasanya hampir mustahil. Namun ketika hal itu kuutarakan kepada pihak keluarga dan kantor, semua bersepakat aku harus coba. Kesempatan tidak datang dua kali.
Alhasil aku mempersiapkan segala sesuatunya. Sayangnya, persiapan itu aku lakukan disaat semua orang sedang libur, yaitu Hari Sabtu (22/11) dan Minggu (23/11). Jadi tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun atas restu dari kantor akhirnya aku berangkat juga ke Jakarta untuk mengurus visa pada pesawat penerbangan Senin (24/11) pagi. Meskipun aku sudah bergadang hingga jam dua pagi dan bangun lagi pada pukul empat pagi untuk keberangkatan itu belum semua perlengkapan visa aku miliki. Setidaknya aku belum mendapatkan travel insurance dan juga surat dari panitia acara di Polandia. Tapi kata coba, membuat juga aku berangkat. Apalagi kantor dari Pekanbaru hingga perwakilan Jakarta sangat mendukung keberangkatan itu.
Untuk mengurus visa, ternyata waktunya sangat terbatas. Hanya dari jam 9 pagi hingga pukul 12 siang. Berbekal dengan persyaratan visa yang belum lengkap akhirnya aku pergi ke Kedutaan Polandia. Pegawai di Kedutaan, mengatakan permintaanku hampir mustahil. Namun, aku meminta berbicara dengan konsular Polandia. Konsular yang bernama Damian Irzyk itupun mengatakan tidak bisa memberikan jaminan apalagi mempercepat penerbitan visa. Meskipun ditanganku sudah ada surat rekomendasi dari James Fahn, Executive Director of Internews' Earth Journalism Network EJN, sebuah organisasi yang mendorong pengembangan kapasitas wartawan di negara-negara berkembang bidang lingkungan. Meski tidak berjanji apa-apa, dia meminta aku melengkapi semua persyaratan.
Selasa (25/11) pagi, barulah semuanya lengkap dan pulang ke Pekanbaru pada pesawat terakhir. Rabu (26/11) aku menanti, Kamis (27/11) kuberanikan bertanya. Damian pun menyatakan aku tidak bisa mendapatkan visa Eropa, dia sudah berusaha. Tapi aku bisa mendapatkan visa Polandia. Namun persoalan baru muncul. Aku tidak boleh lewat Jerman, Francis, Belanda atau negara Eropa manapun. Satu-satunya jalan, kata Damian adalah lewat London atau Turki.
Aku pun mengecek hal itu di kedutaan Inggris. Menurut perempuan yang menerima telponku hal itu memungkinkan. Asal aku punya tiket terusan ke Poznan, tetapi harus bisa meyakinkan pihak imigrasi Inggris. Dia menunjukkan alamat website tempat tercantumnya regulasi itu. Tertera ada regulasi yang menyatakan paspor Indonesia bisa singgah di Bandara London kurang dari 24 jam.
Aku terpaksa ke travel agen lagi mengubah jadwal penerbangan. Malangnya, regulasi yang harus lewat London itu membuat penerbanganku harus berputar-putar. Buntutnya harga tiket yang hanya 2000 USD bila via Jerman membengkak menjadi sekitar 4250 USD, setara Rp55 juta. Pihak Asia Europa Foundation pun menyerah. Tidak mungkin membiayai biaya perjalanan semahal itu. Apalagi sebenarnya mereka punya anggaran 1700 USD. Tetapi kalau 2000 USD pun masih mereka usahakan.
Hari itu nyaris dalam keputusasaan. Tapi entah mengapa aku sangat yakin akan berangkat. Tidak tahu bagaimana caranya, hingga pukul enam pagi akhirnya aku menulis surat, kepada Asia Europa Foundation betapa rumitnya aku melalui hal ini. Bagaimana pengorbanan kantorku yang telah memberi izin dan usahaku. Aku menyatakan aku telah melakukan yang terbaik yang aku bisa, dan aku mengatakan aku akan sangat menghargai bila mereka berusaha untuk membiayaiku.
Pilihan yang sangat sulit bagi ASEF. Akhirnya mereka bersepakat mengganti semua uang yang aku keluarkan untuk mengurus visa. Namun jika ada tiket yang murah atau ada yang mau membantu biaya tambahan perjalanan, mereka akan tetap senang membantuku. Akhirnya aku kembali ke travel agen dan setelah menunggui hampir satu harian akhirnya ada tiket via Jakarta-Kuala Lumpur-London-Warsaw-Poznan seharga 2220 USD. Setelah bernegosiasi, akhirnya ASEF mengabulkan biaya perjalananku.

Diajak Memicu Adrenalin
Perjalananpun dimulai dari Kota Pekanbaru, sekitar pukul 09.30. Sesampai di Jakarta bertemu teman yang telah membawakan visa serta perlengkapan baju dingin yang ku pesan, karena tidak ada yang menjual di Pekanbaru. Berangkat lagi ke Kuala Lumpur, pada pukul 15.45. Sesampai di Kuala Lumpur harus menunggu penerbangan ke London pukul 11.25 malam waktu Malaysia (cepat satu jam dari Indonesia). Dalam tahapan menunggu inilah aku bertemu Ningsi. Seorang pegawai swasta yang hendak berangkat ke Cina untuk sebuah pertemuan kantor. Penerbangannya baru akan jalan sekitar pukul 01.00 dini hari untuk itu dia mengajakku menguji adrenalin.”Aku sekedar ingin memicu adrenalin, kita ke Petronas sebentar. Keluar imigrasi setengah jam, perjalanan setengah jam, lihat-lihat satu jam, terus kita kembali. Mau ikut?” ujarnya menantangku.
Awalnya aku ikut hingga sampai ke pintu Imigrasi, ingin juga mencoba dari pada berlama-lama di bandara. Tetapi kemudian aku berpikir ulang, tidak mungkin aku pergi. Bila aku melakukan kesalahan sedikit saja dan terlambat, maka ada tida penerbangan lagi yang harus kulalui sampai ke Poznan. Aku akhirnya menyerah, mengatakan aku tidak ingin mengambil resiko.
Akhirnya dia pergi dan aku menunggu penerbangan ke London tepat pukul 11.55 waktu Malaysia. Pilot penerbangan menyatakan penerbangan ke London membutuhkan waktu 12 jam perjalanan. Kami akan tiba waktu pukul 05.00 pagi waktu London.

Tertahan di Imigrasi
Saat berada di Pesawat seorang pramugari berkali-kali mendekati seorang wanita untuk menanyakan berbagai keperluannya dalam bahasa Malaysia yang sangat mirip dengan bahasa Indonesia. Hal itu menarik perhatianku, hingga akhirnya aku berkenalan dengan perempuan itu. Maksud hati, kalau perempuan itu mendapatkan bantuan untuk penerbangan ini, aku juga harus ambil itu. Mengingat bandara di London sangat besar dan akan sangat bagus kalau aku mendapatkan bantuan.
Akhirnya karena ikut si ibu tadi – Tarmi, namany- aku juga mendapatkan bantuan untuk menuju penerbangan berikutnya ke Warsaw, Ibukota Polandia. Namun, di pintu Imigrasi ketika hendak mengambil bagasi karena pesawatku tidak bersambungan, aku ditahan pihak Imigrasi. Mereka menanyakan mengapa aku mengambil bagasinya di London, mengapa tidak langsung ke Poznan. Aku menerangkan bahwa pesawatkan tidak ada yang conneting flight. Dari Jakarta-Kuala Lumpur-London dengan Malaysia Airlines, sementara dari London-Warsaw-Poznan dengan LOT (Polish Airlines). Menurut regulasi yang kubaca, aku bisa singgah di bandara itu asal kurang dari 24 jam. Namun pihak Imigrasi mengatakan informasi yang kuterima salah dan dia meminta aku menunggu.
Saat itulah giliran Tarmi melewati pintu Imigrasi. Dia diminta mengisi form kedatangan, namun Tarmi sama sekali tidak mengerti karena tidak berbahasa Inggris. Saat dia diwawancarai pihak imigrasi juga pihak imigrasi kebingungan. Disaat itulah aku membantu menterjemahkan pembicaraan mereka berdua. Aku menerangkan kedatangan si Ibu adalah untuk melihat anaknya yang baru saja melahirkan. Menantunya orang Inggris dan akan tinggal di Inggris selama tiga bulan. Setelah membantu si Ibu, pihak imigrasipun melayaniku dengan sangat baik tanpa bertanya banyak hal lagi. Mereka membiarkan aku mengambil bagasi dan menuju termina keberangkatanku ke Poznan.
Berangkat ke Polandia. Aku tepat tiba di Kota Poznan, pada pukul 5.30 sore atau pukul 11.30 malam waktu Indonesia. Untunglah begitu sampai di Bandara, aku melihat seorang wanita muda, memegang tulisan Asia Europa Foundation. Sampailah aku di Kota Poznan dan memulai liputan Side Event Konferensi Perubahan Iklim yang dilaksanakan oleh Asia Europa Foundatation keesokan harinya berjudul Towards Integrated Adaptation and Mitigation Measures in Agriculture. (ndi)

0 komentar: