This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 08 November 2009

Program Donasi Perawatan Pohon?

Forum Save The Earth, 8 Nopember 2009


Banyak pihak yang telah melakukan upaya penanaman untuk penghijauan. Namun sebagian besar tanaman tersebut mati karena tidak adanya perawatan lebih lanjut. Oleh karena itu pada acara Go Green PLTA Kotopanjang (penghijauan di kawasan XIII Koto Kampar) Yayasan Save The Earth (Save The Earth Foundation-SEFo) Riau Pos akan meluncurkan program donasi (pengumpulan dana) perawatan pohon-pohon yang sudah ditanamam tersebut. Menurut pendapat Anda program donasi perawatan pohon seperti apa yang harus dilaksanakan agar masyarakat secara bersama-sama mau membiayai perawatan pohon-pohon penghijauan tersebut?




Menurut pendapat saya satu hal yang harus SEFo terapkan (kita semua juga tentunya) adalah menanamkan terlebih dahulu dihati kita dan masyarakat bahwa satu batang pohon adalah kelangsungan peradaban manusia. Jadi pohon-pohon sejati yang harus kita rawat dan pelihara sesungguhnya adalah rasa peduli dan rasa memiliki kita terhadap tanaman yang telah ditanam tersebut. Ketika kesadaran itu sudah tumbuh maka masyarakat akan dengan penuh semangat jiwa memelihara pohon kehidupan tersebut. Kemudian saran saya untuk SEFo pohon-pohon yang sudah ditanam tersebut dikelompok-kelompokkan menurut lahan atau jenis-jenisnya. Kemudian bagi juga masyarakat yang akan menjadi donaturnya sesuai dengan jenis-jenis pohon yang sudah dikelompokkan itu. Selanjutnya setiap kelompok masyarakat yang mampu dan telah merawat tanaman dengan baik sesuai dengan donatur mereka diberikan informasi secara kontiniu tentang perkembangan tanaman serta diberi reward (alias dilombakan) sehingga mereka akan terpicu untuk merawatnya dengan baik dan merekalah pahlawan bumi di bumi.
IVIT SUTIA
MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL
FISIPOL UNIVERSITAS RIAU

Bagaimana dengan cara menjual pin atau stiker yang bertema penghijauan. Keuntungannya tersebut dijadikan donasi. Atau dengan melakukan serangkaian acara yang bertemakan lingkungan. Keuntungannya juga bisa dijadikan donasi.
DEWI MARISA
PEKANBARU

Menurut saya, program donasi dilakukan di lingkungan sekolah. Karena selain mendapatkan dana dari anak sekolah, kita juga bisa menanamkan pengetahuan betapa pentingnya pohon. Selain itu tidak ada salahnya, panitia melaksanakan penyuluhan tentang betapa pentingnya peranan sebatang pohon bagi bumi yang saat ini telah semakin dasyat panasnya.
DIDI WAHYUDI
PEKANBARU

Mungkin harus dibentuk sebuah lembaga indipendent untuk mengelola dan merawatnya dan juga pengawasan publik terhadap kinerja lembaga tersebut.

WAHYU DIPUTRA
KUANTAN SINGINGI
www.kuantancares.co.cc

1. Membebankan dana Rp500 kepada pembeli dari total belanjaannya di tempat-tempat tertentu, seperti Solaria, Departemen Store, dsb.
2. Melakukan penggalangan dana di tempat-tempat umum dengan membuka stand.
3. Mengadakan suatu event dan labanya disumbangkan.
4. Mengajak para pecinta alam agar berpartisipasi untuk gerakan ini.
R YOGIE PRAWIRA W
BANDUNG

Sebenarnya permasalahan seperti itu yang sering terjadi selama ini. Kalau kita lihat program pemerintah, baik itu kabupaten, maupun propinsi mereka hanya bisa mencanangkan program serta membuat acara seremonial saja tanpa memikirkan pemeliharaannya. Kebetulan program yang dibuat kawan-kawan save the earth itu hal yang bagus dan luar biasa, karena selain melakukan kampanye dan gerakan, kawan-kawan juga memimikirkan bagaimana cara merawat pohon yang telah ditanam.
Kalau menurut saya kegiatan seperti ini harus dilakukan secara kontiniu. Hal ini juga bisa dijadikan ajang sebagai mengontrol tanaman yang telah ditanam. Contoh bisa melakukannya sekali setahun, kemudian kepada siswa atau sekolah-sekolah yang ikut kegiatan kemarin mereka diberi tanggung jawab untuk memeliharanya. Misal dibentuk kebun-kebun sekolah di lokasi penanaman kemarin. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab generasi penerus terhadap kelangsungan lingkungan ke depannya. Selanjutnya bisa mengalokasikan dana pemeliharaannya dari anggaran pusat, provinsi bahkan kabupaten. Ini menimbang dari pada dana tersebut dikorupsi kan lebih bagus dialokasikan untuk pemeliharaan pohon tersebut.
Tanam, jaga, pelihara niscaya akan berguna. Jangan sekali-kali Tanam, lupa, dibiarkan saja. Niscaya akan sia-sia. Percuma dan sengsara.
YUSRO FADLI
UJUNG BATU ROHUL

Sebagaimana komentar kami sebelumnya penanaman pohon hari Ahad lalu, sebagai starting point penyelamatan waduk PLTA Kotopanjang. Ke depan harus ada program donasi untuk pemeliharaannya. Bentuknya tetap kompetisi kelompok atau perorangan. Baik oleh kelompok atau perorangan yang membiayai maupun yang merawat. Areal yang dibiayai dan dirawat telah ditentukan sebelumnya. Tentunya kelompok atau perorangan yang merawat masyarakat di sekitar PLTA dan kelompok perorangan yang membiayai tentunya yang peduli. Tidak peduli domisilinya di mana. Penilaian yang dilakukan setiap tahun. Bravo Riau Pos.
MASRIADI
YAYASAN PELOPOR

Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya mungkin dengan membayar pekerja lokal selama satu minggu atau satu bulan atau lebih untuk merawat sampai tanaman itu benar-benar tumbuh dan sudah kuat akarnya
ARI
PETAPAHAN

Menurut saya, program yang dilakukan adalah melibatkan semua unsur masyarakat baik itu dari pihak pemerintah maupun swasta dan yang paling penting adalah dinas pariwisata dan unsur pimpinan yang ada di sekitar kawasan PLTA Kotopanjang.
MARLISDIANTO
GURU SMPN 4 XIII KOTO KAMPAR


Program donasi yang jelas pengelolaannya dan tepat sasaran. Tapi menurut saya selain program donasi tersebut, yang terpenting adalah adanya KEPEDULIAN dan KESADARAN masyarakat itu sendiri untuk merawat pohon-pohon yang telah ditanam. Saya yakin, jika masyarakat kita sudah seperti itu, maka itulah program donasi yang terbaik.
RISKY ADE MAISAL
SMAN 1 SIAK


Meneg LH Prof Dr Ir H Gusti Muhammad Hatta



Tak Ikut Rapat demi Dukung Go Green Riau Pos


Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Prof Dr Ir H Gusti Muhammad Hatta yang baru dilantik sepuluh hari, mengaku harus permisi dari rapat pentingnya bersama Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Hal itu, katanya, semata-mata demi ikut hadir dan memberikan dukungan terhadap kegiatan Go Green Riau Pos dalam penyelamatan PLTA Kotopanjang

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com


Ahad (1/11) malam, Meneg LH Gusti Muhammad Hatta hadir di studio Riau Televisi (RTv). Dengan stelan batik, menteri lingkungan hidup berpenampilan sederhana ini, tampak sumringah dalam dialog khusus Program 100 Hari Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Go Green Riau Pos.

Dalam wawancaranya di RTv, pria kelahiran Banjarmasin 57 tahun silam ini, mengaku harus permisi dari rapat menteri demi ikut hadir dalam rangkaian kegiatan Go Green Riau Pos. Menurutnya kegiatan Riau Pos Group bersama Yayasan Save The Earth (SEFo) harus mendapat dukungan dari semua pihak. Termasuk dirinya sebagai menteri lingkungan hidup.

Guru besar Universitas Lambung Mangkurat ini secara terbuka menyampaikan kekagumannya atas kegiatan Go Green Riau Pos dalam penyelamatan PLTA Kotopanjang. “Terus terang saya kagum. Pers biasanya hanya berfokus pada pemberitaan. Namun sekarang tampaknya peduli terhadap lingkungan. Mau berinisiatif dan menggerakan orang lain demi menuju Indonesia hijau. Itulah sebabnya saya memilih untuk permisi dari rapat bersama menteri koordinator perekonomian demi menghadiri rangkaian acara ini,” ujarnya di sela-sela wawancara ‘’Dialog Khusus’’ RTv yang berlangsung malam itu.

Ada banyak alasan, mengapa menteri berambut lurus, berkulit agak gelap, dan berperawakan kecil ini mendukung kegiatan Go Green Riau Pos. Menurutnya penghijauan yang dilakukan dalam kegiatan Go Green pada Ahad (1/11) pagi di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar itu penting sekali dalam menyelamatkan pembangkit listrik tenaga air tersebut.

Doktor dari Universitas Wageningen, Belanda ini menyebutkan, Presiden SBY saat ini telah mengagendakan minimalisasi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik. Pasalnya pembangkit listrik dengan tenaga batu bara tersebut termasuk penghasil emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

“Pak SBY minta kepada menteri ESDM, jika bisa meminimal penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik. Kini pembangkit listrik diarahkan untuk menggunakan energi yang ramah lingkungan. 48 persen dari panas bumi, 12 persen dari minyak bumi, dan sisanya baru batubara dan lainnya,” papar alumni universitas Gadjah Mada ini.
Penghijauan yang dilakukan di sekitar kawasan cagar budaya Candi Muara Takus tersebut, tambahnya, juga sangat penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Pohon-pohon yang kita tanam tersebut berperan penting dalam mengurangi gas-gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Oleh karena itu, bila lima ribu pohon yang ditanam tadi tumbuh semua, maka akan sangat berarti mengurangi emisi pada beberapa tahun ke depan. Apalagi bila berhasil menanam lima juta pohon seperti yang dicanangkan tadi. Di mana asumsinya satu orang masyarakat Riau menanam satu pohon,” imbuhnya.

Namun dari semua pujiannya tersebut, Gusti Muhammad Hatta juga berpesan kepada CEO Riau Pos Group Makmur SE Ak MM yang mendampingnya dalam dialog khusus tersebut untuk tidak melupakan program merawat pohon yang ditanam tersebut. Jangan sampai, menurutnya, penanaman pohon yang dia canangkan tersebut dan dilakukan penanaman serentak oleh ribuan pelajar, mahasiswa, TNI dan masyarakat mati sia-sia. “Jangan hanya seremoni saja karena ingin disorot teve,” pesannya(***

Selasa, 06 Oktober 2009

Membayar Bencana

Membayar bencana dengan nyawa, harta benda, dan uang. Itulah yang kini terus dan terus akan dilakukan
masyarakat dunia menghadapi rentetan bencana yang kejar mengejar. Lalu apa yang akan kita lakukan?


Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com

Entah sudah berapa nyawa yang harus melayang, harta benda yang terkuras, dan uang yang digelontorkan untuk membayar bencana-bencana yang susul menyusul ini. Untuk bencana terakhir saja, yakni gempa di Sumatera Barat, Rabu (30/9) dengan kekuatan 7,6 skala Richter, menurut Wakil Presiden diperlukan biaya Rp 3-4 triliunan. Sebuah angka yang fantatis, sehingga Pemerintah Indonesia harus menyerukan meminta bantuan kepada negara-negara sahabat.

Padahal pekan sebelumnya, negara tetangga Indonesia, Filipina juga menyerukan memohon bantuan internasional terkait dengan topan Ketsana dan banjir yang menimpa Filipina. Terutama ibukota negara mereka Manila yang nyaris lumpuh karena dihantam badai dan hujan 12 jam non stop.



Di skala lokal, Riau, pekan lalu, masyarakatnya terutama di Kecamatan Pinggir dan Mandau harus menghadapi bencana angin puting beliung. Dalam laporan Riau Pos, disebutkan ada sekitar 114 bangunan yang rusak, mulai dari rumah warga, posyandu, tungku batu bata yang menjadi tempat usaha masyarakat di sekitar situ dan lain sebagainya. Entah berapa pula uang uang harus dikucurkan untuk menanggulangi bencana ini.

Tiga bencana itu, masih dalam hitungan pekan lalu. Belum lagi pekan-pekan sebelumnya. Apalagi bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya, maka jumlah bencana yang harus dibayar sudah tak terhingga banyaknya.

Sebagai gambaran, dari data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dua tahun terakhir saja terdapat 1.231 bencana, dengan rincian 888 tahun 2007 dan 343 tahun 2008. Terutama banjir (339 kejadian tahun 2007 dan 197 kejadian tahun 2008), angin topan atau puting beliung (122 kejadian tahun 2007 dan 58 kejadian tahun 2008), banjir dan tanah longsor (52 kejadian tahun 2007 dan 22 kejadian tahun 2008).

Selanjutnya data kerugian yang dialami juga tidak sedikit. Korban meninggal dunia 1.303 tahun 2007 dan 245 jiwa tahun 2008. Korban menderita dan mengungsi 1.970.892 jiwa tahun 2007 dan 647.281 jiwa tahun 2008. Kerugian berupa rumah rusak akibat bencana mencapai 214.411 tahun 2007 dan 34.412 unit tahun 2008.
Proyeksi Bencana ke Depan?

Lalu bagaimana dengan proyeksi bencana pada tahun-tahun berikutnya? Armi Susandi PhD, Wakil Ketua Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu, menyatakan jumlah bencana ke depan akan kian banyak baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal itu terkait dengan bencana perubahan iklim, yang akan mengakibatkan musim kemarau dan hujan lebih panjang atau singkat, naiknya suhu dan permukaan air laut, serta lain sebagainya.

Musim kemarau dan hujan yang lebih panjang atau lebih pendek akan rentan mengakibatkan terjadinya banjir, kekeringan dan gagal panen. Kebakaran hutan dan lahan, asap, serta lain sebagainya juga akan semakin sering terjadi dan sulit dihindari.

Peningkatan suhu mengakibatkan angin puting beliung makin sering dan luas terjadi. Daya tahan tubuh melemah dan berbagai penyakit baru bermunculan. Dunia peternakan dan pertanian akan kacau balau karena perubahan genetis maupun fisik yang dialami tumbuhan dan hewan. Sementara itu peningkatan permukaan air laut, mengakibatkan puluhan rumah serta berbagai fasilitas di di daerah pesisir akan terendam. Berbagai dampak lainnya, juga diperkirakan tidak sedikit.

Panen bencana itu, menurut Armi Susandi sudah bisa diprediksi. Namun sulit pula untuk dihindari. Oleh karena itu, meskipun usaha mitigasi (pencegahan) terus dilakukan yang terpenting saat ini adalah upaya penggalakkan upaya adaptasi terhadap berbagai bencana yang akan ditimbulkan.

Misalnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah yang rawan terkena angin puting beliung harus membangun rumah yang permanen dan menggunakan atap dari genteng serta melakukan penanaman pohon untuk menurunkan suhu mikro. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pesisir harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Upaya memanfaatkan produk lokal, mengkonservasi air, melakukan penanaman pohon, melakukan program hemat energi dan berbagai bahan baku lainnya, serta lain sebagainya juga perlu digalakkan. Bahkan dia menyeruhkan agar pemerintah membuat program adaptasi sekarang juga.

“Jika upaya untuk beradaptasi ini tidak dilakukan pemerintah sekarang, maka biaya yang akan dikeluarkan untuk mengatasi bencana akan jauh lebih besar. Maka dengan meminimalisir dampak bencana, maka uang untuk membayar bencana akan lebih sedikit,” ungkapnya.

Masihkah kita memilih membayar bencana atau mencegah dan meminimalisasi dampaknya yang jauh lebih murah?***

Kamis, 01 Oktober 2009

Beradaptasi dengan Puting Beliung

Angin puting beliung diperkirakan akan terus melanda Riau sebagai dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim. Ahli meteorologi menyatakan bencana itu sulit sekali untuk diantisipasi atau dihindari, untuk itu yang bisa dilakukan masyarakat sekarang adalah berusaha menurunkan suhu bumi sembari beradaptasi dengan angin ribut yang bisa merobohkan rumah itu. Caranya dimulai dengan memperbanyak menanam pohon, mengenali ciri-cirinya, membangun rumah permanen dan menghindari penggunaan atap seng.


Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.com

Suatu hari di jalan baru KM 55 Simpang Kualo, Kabupaten Pelalawan, Adi (32) melihat pusaran angin dari arah Komplek Kantor Bupati Pelalawan yang tepat berada di seberang jalan tempat mobilnya yang tengah melaju. Adi melihat pusaran angin itu dengan jelas, karena tanah kuning dan sampah-sampah yang dilewati angin itu seperti terangkat dan berputar. Tingginya sekitar tiga meter membentuk cerobong. Persis seperti angin yang dilihatnya di film-film yang menceritakan tornado di Amerika Serikat. Hanya saja ukuran angin itu jauh lebih kecil dari gambaran angin di film yang pernah ditontonnya.


Pemandangan tentang angin yang berputar itu atau sering disebut dengan puting beliung itu tampaknya akan menjadi pemandangan lumrah bagi masyarakat Riau. Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini, angin puting beliung itu terjadi di lima kabupaten/kota di Riau, yakni Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, Kuntan Singingi, Indragiri Hilir. Bencana itu tidak saja memberi rasa takut atau merobohkan rumah warga, namun juga telah menelan korban jiwa di Kampar.
Itu berarti Riau tengah menghadapi musim bencana baru, setelah sebelumnya rutinitas bencana banjir dan asap, kini rutinitas bencananya bertambah satu bernama angin puting beliung. Apalagi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan Riau dan beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa menjadi daerah rawan angin puting beliung.
Angin puting beliung pada dasarnya adalah angin tornado yang umum terjadi di Amerika. Hanya saja, tornado yang kini kerap terjadi di Indonesia merupakan angin tornado golongan lemah. Kecepatan anginnya hanya berkesar kurang dari 73 Miles Per Hours (MPH) dan maksimal 112 MPH. Meskipun tergolong lemah namun kerusakan yang ditimbulkan cukup lumayan. Misalnya untuk yang kecepatan angin yang kurang dari 73 MPH kerusakan yang timbul berupa kerusakan cerobong asap, dahan pohon patah, pohon-pohon berakar dangkal terdorong dan papan penunjuk rusak. Sementara yang diatas 73 MPH hingga 112 MPH, kerusakan yang ditimbulkan berupa atap rumah berhamburan dan rumah semi permanen bergeser.
Pada dasarnya menurut Darwin Harahap, Kasi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Pekanbaru, angin puting beliung bukanlah hal baru. Hanya saja, angin yang juga dikenal dengan nama angin puyuh, angin ribut, dan angin leysus itu kini intensistasnya lebih tinggi. Bahkan jaraknya, menurut staff BMG yang telah bekerja selama 27 tahun ini, makin dekat antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal itu, katanya, terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang membuat cuaca dan iklim kini tidak lagi menentu.
Armi Susandi, pakar metereologi Indonesia, menyebutkan angin puting beliung biasanya terjadi saat peralihan musim. Angin puting beliung berasal dari awan tebal bergulung-gulung yang biasanya disebut awan comulusnimbus. Karena awan terbentuk dari uap air yang timbul karena panas, maka tidak aneh bila Riau yang kini mengalami pengundulan hutan besar-besaran menjadi tempat angin puting beliung berputar-putar.
Menurut Armi, bencana itu kedepan jumlahnya akan makin meningkat. Untuk itu, masyarakat Riau maupun masyarakat lainnya harus mulai melakukan langkah-langkah mengurangi panas bumi dan melakukan upaya adaptasi.
Langkah itu dapat dimulai dengan mengaktifkan kegiatan penanaman pohon. Mengingat pohon memiliki kemampuan menurunkan iklim mikro bahkan iklim global. Selanjutnya untuk upaya adaptasi maka perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar membuat rumah permanen yaitu yang terbuat dari batu. Termasuk juga mengganti atap rumah yang terbuat dari seng dengan genteng. Itu dilakukan agar gaya gesek yang ditimbulkan lebih kuat sehingga atap tidak terbang dan rumah roboh.
Namun untuk itu, Armi mengaku memang bukan hal yang gampang mengajak masyarakat melakukan perubahan membuat rumah permanen. Untuk itulah diperlukan peranan pemerintah agar membantu masyarakatnya yang tinggal di kawasan rawan angin puting beliung tersebut.
Selanjutnya pemerintah saat ini juga harus mulai memetakan daerah rawan angin puting beliung secara spesifik. Termasuk membuat peringatan dini kepada masyarakat. Armi menyebutkan saat ini memang sulit mendeteksinya dengan peralatan karena biasanya daerah tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk itu. Namun secara manual, doktor tamatan Jerman ini, menyebutkan lebih memungkinkan. Ditandai dengan awan besar dan cuaca mendung. Biasanya sekitar 3-4 jam setelahnya maka angin puting beliung baru muncul. Dengan demikian masih cukup waktu untuk memberi tahu kepada masyarakat.***



Senin, 28 September 2009

Hadiah di Hari Ulang Tahun Ozon Sedunia

Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Pesatuan Bangsa-bangsa (PBB) pernah memuji Protokol Montreal sebagai satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses.


n Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Pada 16 September lalu, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Protokol Montreal yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ozon Sedunia, Perdana Menteri Timor-Leste Xaxana Gusmao, mengumumkan meratifikasi Protokol Montreal. Keputusan negara termuda di Pacifik itu untuk meratifikasi Protokol Montreal, membuat perjanjian internasional itu menjadi kesepakatan lingkungan pertama yang diterima di seluruh dunia yakni diikuti oleh keseluruhan anggota PBB yang berjumlah 196 negara. Timor Leste menjadi negara ke 196 itu.

Ikut sertanya negara yang pernah bergabung dengan Indonesia itu, sekaligus menyempurnakan pernyataan mantan Sekjen PBB Kofi Annan, sekitar tahun 2003 lalu. Dia menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses. Mengingat perjanjian yang ditandatangani di Montreal ini, diadopsi luas dan diratifikasi banyak negara.



Dalam siaran pers yang disebarluaskan oleh United Nations Environment Program (UNEP), Gusmao menyatakan negaranya sangat senang bisa bergabung dengan negara-negara di seluruh dunia untuk melawan penipisan lapisan ozon dan berusaha untuk memperbaiki lapisan ozon yang telah rusak tersebut.

“Kami bangga menjadi bagian proses penting untuk menjaga lapisan ozon dan melakukan implementasi dan mematuhi Protokol Montreal seperti negara-negara lainnya yang telah lebih dulu dalam perjalanan penting ini,” ujar Gusmao, 16 September 2009.
Protokol Montreal adalah penjabaran tentang pelaksanaan konvensi perlindungan lapisan ozon yang memuat secara rinci langkah-langkah yang perlu diambil oleh negara pihak dalam pengawasan produksi dan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Protokol ini menetapkan ada sekitar 100 bahan kimia yang berhubungan dengan kerusakan lapisan ozon.

Dalam catatan sejarahnya, Protokol Montreal merupakan tindak lanjut dari Konvensi Wina, Australia, pada tahun 1985, yakni pertemuan internasional pertama yang membahas tentang penipisan lapisan ozon. Penelitian tentang penipisan ozon dimulai dari penelitian Kimiawan Frank Sherwood Rowland dan Mario Molina pada University of California, Irvine, pada tahun 1973 yang meneliti dampak CFC di atmosfer bumi. Mereka menemukan bahwa molekul CFC cukup stabil untuk tetap berada di atmosfer sampai ke tengah stratosfer. Selanjutnya CFC (setelah rata-rata 50-100 tahun untuk dua jenis CFC) akan diuraikan oleh radiasi ultraviolet menjadi atom Clorin. Rowland dan Molina kemudian mengusulkan bahwa atom clorin ini kemungkinan menjadi penyebab kerusakan dalam jumlah besar ozon (O3) di stratosfer.

Konsekuensi dari penemuan ini adalah bahwa karena ozon di stratosfer menyerap sebagian besar radiasi ultraviolet-B (UV-B) yang akan mencapai permukaan bumi, maka penipisan lapisan ozon oleh CFC akan mengarah pada peningkatan radiasi UV-B menuju permukaan bumi, yang mengakibatkan peningkatan dalam kanker kulit dan dampak lain seperti kerusakan pada tanaman dan fitoplankton laut.

Pada bulan Juni 1974, Rowland dan Molina bersaksi di hadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Desember 1974 tentang analisa penelitiannya tersebut. Setelah kesaksian Rowland dan Molina di DPR Amerika Serikat ini, disediakan dana besar untuk mempelajari berbagai aspek dari masalah dan untuk mengkonfirmasi temuan awal. Pada tahun 1976 National Academy of Sciences (NAS) Amerika Serikat  merilis sebuah laporan yang menyatakan kredibilitas ilmiah penipisan ozon hipotesis. NAS terus menerbitkan penilaian dari ilmu yang bersangkutan untuk dekade berikutnya.
Kemudian, pada tahun 1985, ilmuwan British Antartic Survey Farman, Shanklin dan Gardiner mengejutkan komunitas ilmiah ketika mereka menerbitkan hasil kajian yang menunjukkan lubang ozon dalam jurnal Nature - yang menunjukkan penurunan ozon di kutub jauh lebih besar daripada yang diantisipasi.

Itu yang mendasari 20 negara, yaitu pada tahun 1985, termasuk sebagian besar produsen CFC utama, menandatangani Konvensi Wina, yang menetapkan kerangka kerja bagi negosiasi internasional ozon - peraturan tentang zat penipis ozon. Diikuti dengan penandatanganai Protokol Montreal.

Mesipun Protokol Montreal ditandatangani 16 September 1987, namun baru berlaku pada 1 Januari 1989 yang diikuti dengan pertemuan di Helsinki, Mei 1989. Sejak pertemuan di Helsinki, Protokol Montreal telah mengalami tujuh kali revisi. Yaitu pada tahun 1990 di London, Inggris, tahun 1991 di Nairobi, tahun 1992 di Kopenhagen, tahun 1993 di Bangkok, tahun 1995 di Wienwina, tahun 1997 di Montreal, dan tahun 1999 di Beijing.

Achim Steiner, Eksekutif Direktor dari UNEP menyatakan keterlibatan Timor Leste telah membuat Peringatan Hari Lapisan Ozon tahun ini menjadi sangat spesial dan menjadi hadiah khusus. Sekaligus menjadi tanda bagaimana seluruh dunia bersatu dalam menghadapi tangangan lingkungan.

Achim menuturkan tanpa Protokol Montreal dan Konvensi Wina, penipisan lapisan ozon akan mencapai sepuluh kali lipat pada tahun 2050. “Pada gilirannya bisa jadi menyebabkan 20 juta lebih kasus kanker kulit dan 130 juta lebih kasus penyakit katarak mata, dan jangan sebut apa yang terjadi dengan sistem kekebalan manusia, satwa liar dan pertanian,” ujarnya.***

Kamis, 10 September 2009

Pohon Kehidupan Itu Diambil Pergi

”Siapa yang Tak Malu, Kecewa dan Sedih?”


Kalpataru memiliki makna pohon kehidupan. Itu sebabnya namanya dilekatkan sebagai nama penghargaan lingkungan paling prestesius di Indonesia. Diberikan langsung oleh Presiden Indonesia dan dilaksanakan di Istana Negara pada Hari Lingkungan Hidup sedunia tiap tanggal 5 Juni.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Rabu (2/9) siang, sekitar pukul 12.30 WIB, lima orang pria dan seorang wanita datang berkunjung ke kantor Riau Pos, di Jalan Subrantas. Rombongan itu mengaku masyarakat dari Desa Buluhcina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.

Masing-masing memperkenalkan diri dengan nama Edi Effendi, Ali Amran, Lidya Hastuty, Azrianto, dan Sadikin. Sementara satu orang lagi tidak sempat memperkenalkan diri. Edi Effendi mengaku sebagi Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Buluhcina, sementara Ali Amran, Lidya Hastuty mengaku anggota BPD, dan tiga orang lainnya mengaku sebagai tokoh pemuda masyarakat Buluhcina.

Keenam orang ini, menyampaikan rasa risaunya dan sekitar 232 masyarakat Buluhcina yang menandatangani surat pernyataan. Mereka tidak terima dengan perkataan sejumlah pihak di pemberitaan media massa yang menyatakan masyarakat Buluhcina tak berkomitmen menjaga hutan mereka. Apalagi pernyataan bahwa masyarakat Buluhcina bersepakat membelah hutan wisata provinsi yang menjadi titik awal alasan dicabutnya penghargaan Kalpataru yang diterima masyarakat adat desa berpenduduk 1.500 jiwa dengan luasan enam kilometer persegi ini.

“Itu hanya dilakukan oleh beberapa oknum ninik mamak, bukan keseluruhan dari kami,” ujar Edi Effendi yang juga diamini oleh rekan-rekannya yang lain.
Hari itu suasana hati Edi dan kawan-kawan dan memang tengah terusik. Pasalnya hari itu, mereka membaca berita di Harian Riau Pos bahwa penghargaan Kalpataru bagi desa mereka dicabut. Apalagi, hari itu juga, hanya beberapa meter di depan Kantor Riau Pos, pada pagi harinya sekitar pukul 10.00 WIB, tepatnya di Kantor Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera, Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung Dahlan Datuk Mojolelo perwakilan desa mereka resmi mengembalikan penghargaan Kalpataru tersebut.

Padahal penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia dan berskala nasional serta diserahkan langsung oleh Presiden Indonesia itu baru Juni lalu diterima. “Siapa yang tak malu, sedih dan kecewa. Ini bukan hanya malu kami, tetapi malu Provinsi Riau. Kami tidak setuju penghargaan itu dicabut, itu harga diri masyarakat. Apalagi ini pertama kali dalam sejarah Indonesia,” ungkap Ali Amran yang juga mantan Kepala Desa Buluhcina, periode 1994-2001 prihatin.

Dicabutnya penghargaan itu, oleh KLH, tersebab Ninik Mamak Enam Tanjung yang dipimpin Dahlan Datuk Majolelo membelah kawasan hutan wisata yang menjadi dasar penghargaan tersebut diberikan. Alasan Datuk Dahlan untuk membuka jalan itu untuk membuka keterisoliran, setelah diselidiki dianggap dianggap mengada-ada oleh KLH, karena jalan yang dibuka terlalu lebar dan tidak betul ditemukan ada desa yang terisolir yang sangat membutuhkan jalan tersebut.

Apalagi, kemudian diketahui pada saat pengusulan Kalpataru, Ninik Mamak ini menyembunyikan fakta penting, yakni rencana membelah hutan wisata tersebut untuk membuka jalan yang tergolong sangat luas karena lebar 15-20 meter.

Ali Amran, menuturkan, sejak awal hutan wisata itu dibelah, mereka sudah protes. Apalagi masyarakat telah menyadari arti penting keberadaan hutan wisata yang dilengkapi dengan tujuh danau tersebut. Hutan wisata yang menyimpan berbagai kekayaan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun itu, katanya, telah diberikan kepada Gubernur Riau untuk dijadikan Hutan Wisata Provinsi seluas 1.000 hektare, yang dikukuhkan dalam SK Gubernur tahun 2006.

Itulah sebabnya kawasan itu menjadi sangat layak untuk mendapatkan penghargaan di tingkat nasional. Namun karena kelakuan oknum ninik mamak mereka, yang membelah kawasan hutan itu, akhirnya penghargaan Kalpataru yang bermakna pohon kehidupan itu diambil pergi hari itu.

Sejak awal, saat mengetahui pembukaan jalan tersebut, Ali Amran menuturkan dia dan rekannya di BPD dan masyarakat lainnya telah menentangnya. Namun mereka mengaku tidak berdaya dengan kekuatan para ninik mamak yang memiliki berbagai sumber daya finansial. Tapi mereka tidak hanya lepas tangan, mereka bahkan telah membuat surat pernyataan dan melaporkan hal itu yang ditandatangani oleh lima dari tujuh anggota BPD dan 232 masyarakat desa Buluhcina ke instansi terkait, termasuk pemerintah kabupaten dan provinsi. Tetapi laporan mereka itu tidak segera direspon pihak-pihak terkait, hingga hutan terlanjur dibuka dan penghargaan Kalpataru hari itu di bawah kembali oleh utusan KLH ke Jakarta.

Tak hanya bagian masyarakat Buluhcina tersebut yang menyampaikan rasa sedih dan kecewa dengan dicabutnya penghargaan tersebut kepada Riau Pos. Penerima Kalpataru 2007 dari Riau Erni Suarti juga mengungkapkan rasa sedihnya. Lewat pesan pendek melalui telepon selulernya, dia mengirimkan pesan Kamis (4/9) pagi usai membaca pemberitaan di media massa tentang dicabutnya penghargaan itu.

“Maafkan kami atas aksi orang-orang yang belum memahami arti Kalpataru yang sebenarnya. Saya sedih penarikan penghargaan Kalpataru untuk pertama kali dari tahun 1980-2009 terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Doa saya semoga hal ini tidak akan pernah terjadi lagi di pelosok manapun. Amin,” tulisnya.***

Senin, 31 Agustus 2009

Satu Jalan, Dua Cuaca

Cuaca Makin Lokal dan Sulit Diprediksi
Pola cuaca makin lokal dan sulit prediksi. Bahkan alat secanggih apapun kini tidak mampu akurat memprediksi cuaca di Indonesia.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.co.id

Ina Mulyani, Kasubid Perubahan Iklim dan Perlindungan Atsmosfir Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau, sudah beberapa kali dibuat bingung dengan pola cuaca yang tidak menentu. “Sudah beberapa kali saya bertemu dengan pola cuaca yang tidak menentu ini. Di kantor saya hujan lebat, namun di Jalan Sudirman nggak hujan,” ujarnya, Kamis (27/8).


Padahal jarak antara kantornya yang beralamat di Jalan Thamrin, Kecamatan Sail dengan Jalan Sudirman hanya kisaran tiga-lima kilometer. “Aneh juga sekarang ini, sepertinya cuaca kian lokal. Padahal dulu, bila hujan di suatu tempat, maka pasti hujan di mana-mana,” ungkapnya.

Tidak hanya Ina yang merasakan perubahan pola cuaca ini. Antony Harry, seorang jurnalis juga punya pengalaman sama. Contohnya pekan lalu, dia sedang berada di Jalan Sumatera dan karena hujan, akhirnya pria yang hari itu naik kendaraan roda dua ini terpaksa berteduh. Namun anehnya, temannya yang berada di tempat lain, yang memiliki janji bertemu dengannya, menyatakan di tempatnya sedang tidak hujan.

“Jalan Paus nggak hujan,” ungkap seorang temannya yang hari itu memilih menembus hujan meninggalkan Antony setelah mendapat informasi dari temannya. Dia menyebutkan hujan hanya terjadi di tempat itu. Sementara di Jalan Paus, yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari tempat itu hari sedang terang menderang.

Tak hanya mereka, Riau Pos juga kerap punya pengalaman yang lebih ekstrim, yakni satu jalan dua cuaca. Waktu itu, di Jalan Sudirman di depan Kantor Gubernur hari tengah hujan lebat. Namun begitu kendaraan roda empat melewati Jalan Sudirman di depan Kantor DPRD Riau hari panas terik. Tidak ada tanda-tanda hujan ataupun mau hujan.

Pola cuaca, menurut Armi Susandi, Wakil Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kamis (27/8), memang kian tidak menentu saat ini. Pola cuaca kian lokal. Secara ilmiah, itu katanya terkait dengan temperatur, massa udara, letak geografis dan banyaknya air di sekitar kawasan itu. Jadi kondisi satu jalan dua cuaca itu tidak aneh lagi. Karena itu terkait dengan jumlah kendaraan di tempat itu, jumlah penduduk atau daerah tutupan di kiri kanan jalan, letak geografis dan keberadaan air di sekitarnya.

Dosen yang membidangi iklim di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, bahkan mengungkapkan, saat ini topografi di kawasan Indonesia, apalagi di Sumatera tidak datar. Itu sebabnya, pola cuaca menjadi sangat lokal. Bahkan, menurutnya pola cuaca makin tidak bisa diprediksi. “Alat secanggih apapun, tidak akan bisa tepat memprediksi cuaca di Indonesia. Berbeda dengan di Eropa, kawasan mereka cenderung dataran. Jadi kalau alat secanggih apapun dibawa dari Eropa ke tempat kita, maka tidak akan akurat hasilnya. Sebaliknya alat di tempat kita mungkin bisa akurat di sana,” paparnya menjawab pertanyaan Riau Pos mengapa pola cuaca kini sulit diprediksi.

Apalagi, sekitar Agustus lalu, Riau Pos mengeluarkan berita dari BMKG yang menyatakan musim kemarau akan terjadi sampai Oktober. Bahkan dinyatakan pula oleh pemerintah setempat akan melakukan penundaan masa tanam, menunggu musim hujan. Namun perkiraan itu, pada pertengahan Agustus terlihat sangat meleset. Pasalnya di pertengahan Agustus di Riau terjadi hujan besar-besaran dan terus menerus. Bahkan di Sumatera Barat, provinsi tetangga Riau yang menjadi hulu beberapa sungai besar di Riau mengalami banjir.

Pola cuaca yang sulit diprediksi itu, ternyata sangat berdampak besar bagi kegiatan pertanian. Petani akan makin kesulitan menentukan masa tanam. Tak hanya itu, kegiatan perikanan juga sangat terganggu. Misalnya, seorang petani ikan sekitar Jalan Singgalang, Kecamatan Tenayanraya. Dia harus mengalami kematian ikan secara massal. “Bapak yang menyewa kolam ini, berhenti menyewa Bu. Ikan-ikannya mati semua gara-gara hujan yang tiba-tiba kemarin. Kolam ikan seperti memutih,” tutur Iyet, dua pekan lalu, yang menjadi menunggu kolam-kolam Ikan milik Asmalini menerangkan bagaimana hujan yang tiba-tiba itu menghancurkan kegiatan perikanan.

Dengan kondisi ini, menurut Armi, memang sulit mencari jalan keluarnya. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah daerah di manapun berada sekarang ini harus cepat tanggap. Memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi. Bahkan masyarakat harus mengembangkan kearifan lokal. “Bencana perubahan iklim ini ke depan akan semakin nyata, namun daerah banyak yang belum menyiapkan apa-apa,” ungkapnya khawatir.

Dari seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah yang sudah mulai memikirkan dampak perubahan iklim. Salah satunya di Nusa Tenggara Barat. “Tahun 2007 lalu, saat saya ke sana, pemerintah daerah belum membuat kebijakan apa-apa. Namun sekarang tahun 2009, saat saya berkunjung ke sana, pemerintahnya sudah melakukan sejumlah persiapan. Kini mereka memiliki sejumlah embung (kolam-kolam air). Jadi begitu musim kemarau panjang, mereka tidak akan kesulitan air bersih. Sebaliknya pada musim hujan tinggi, mereka tidak kebanjiran,” papar Armi tentang kemungkinan dampak perubahan iklim yang paling rentan di Indonesia adalah tentang musim kemarau dan musim hujan yang bisa lebih panjang atau lebih singkat.

Armi juga menyebutkan antisipasi ini harus perlu dilakukan pemerintah selaku inisiator. Mengingat upaya adaptasi untuk menghadapi musim tidak menentu ini biayanya akan lebih murah dari pada menanggulangi bencana yang terjadi.
Lambannya respon daerah dalam melakukan adaptasi tampaknya juga terjadi di Provinsi Riau. Provinsi Riau baru bergerak pada kebijakan membuat Pusat Informasi Perubahan Iklim, sementara kebijakan pembangunan ke arah adaptasi belum terjadi.

“Pusat Informasi Perubahan Iklim, baru jalan awal tahun ini. Itupun baru mengumpulkan data-data dan masih dalam tahapan pengelolaan,” papar Ina tentang persiapan Pemerintah Provinsi Riau yang persiapannya dalam menghadapi perubahan iklim baru pada level mengumpulkan informasi dan belum pada kebijakan dan aksi nyata.***


Rabu, 26 Agustus 2009

92 Persen Pernah Buang Sampah Sembarangan


DUH, ternyata hampir nggak ada orang yang nggak pernah buang sampah sembarangan. Setidaknya itulah hasil observasi GSJ di lapangan dengan melibatkan 100 orang responden. 92 persen responden yang ditanyai mengaku pernah buang sampah sembarangan.



Saat GSJ ke lapangan, GSJ juga mendapatkan seseorang yang tengah membuang sampah sembarangan. Ketika ditanya, orang itu menjawab, “Kan lebih mudah buang sampahnya. Sambil ngebut ngendarain sepeda motor, sampahnya langsung dibuang dech di tepi jalan. Kan enggak ada yang li¬hat…’’, kata warga Widya Graha itu sambil nyengir lebar.

Mereka yang kurang peduli pada lingkungan tersebut, biasanya membuang sampah di tepi-tepi parit, di aliran sungai, tanah lapang, dan juga di tepi jalan. Mereka kerap beralasan tidak ada tempat pembuangan sampah yang lain. Seperti yang dikemukakan Dewi Lestari, warga jalan Rukun Pancoran Mas perumahan Prundam.

‘’Ya… karna tidak adalagi pembuangan sampah di sini. Lagian orang-orang sini juga banyak buang sampah di tempat ini. Ya udah saya ikutan…’’, tuturnya saat ditemui membuang sampah ditepi jalan.

Tentang pendapat para siswa tentang ulah buang sembarangan ini, GSJ mewawancarai siswi SMK Muhammadiyah Pekanbaru bernama Elvi Yuli Ningsi. Doski yang mengaku sangat peduli kebersihan lingkungan ini bilang pembuangan sampah sembarangan itu adalah salah satu tindakan kriminal. Di mana akhirnya dapat menyebabkan penyakit pada warga sekitar.

‘’Di negara tetangga ajha, membuang sampah sembarangan dijadikan tindakan kriminal lho, yang buang sampah sembarangan ditangkap dan dikenai denda yang cukup besar. Lagian sampah itu adalah sarang penyakit yang dapat merugikan masyarakat sekitar yang berakhir di rumah sakit,’’ ucap doski sambil menggelengkan kepalanya.
Doski juga bilang tempat pembuangan sampah yang banyak dipilih oleh orang yang enggak peduli lingkungan adalah di tepi jalan.

Tentang dampak sampah yang menumpuk, dr Hartatik menyebutkan hal itu dapat menyebabkan penyakit. ’’Kotoran yang terdapat dipenumpukan sampah dapat menimbulkan penyakit seperti cacingan, tipus, disentri, diare dan penyakit kulit lainnya, yang mampu membuat seseorang dirawat di rumah sakit cukup lama…’’, ujarnya saat diwawancarai di rumahnya. (A.Rachman_GSJ).

 Melihat Kematian Sungai-sungai

Memuliakan Zero Stone Peradaban

Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.


 Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Teluk Kuantan andinoviriyanti@riaupos.com

Sekitar 160 kilometer, dari Kota Pekanbaru menuju Kota Telukkuantan membentang 86 Jembatan. Ada 20 jembatan besar (yang bertiang hingga ke bagian atas langit-langit jembatan) dan 66 jembatan kecil (tiangnya hanya setengah badan). Jembatan besar untuk melompati badan sungai besar dan jembatan kecil untuk melompati sungai-sungai kecil.


Menatap sungai-sungai besar itu, yang terlihat adalah air sungai yang menyusut hingga jauh meninggalkan bibir sungai. Padahal biasanya bibir-bibir sungai itu selalu mampu dibasahkannya. Bibir sungai itu pun tak lagi terjal, tetapi sudah melandai. Seakan membentuk garis pantai. Warna air sungaipun sedikit keruh, tanda terjadi sedimentasi. Sementara sungai-sungai kecil, nyaris tanpa air.

Melihat dekat Sungai Singingi yang berada di sepanjang jalan raya yang dilalui, tepatnya di Kecamatan Singingi dan Singgingi Hilir, juga menunjukkan hal yang sama. Air sungai itu hanya tersisa setinggi mata kaki. Lebarnya juga hanya sejarak tiga, empat meter. Meski begitu, seorang pengemudi truk bersama bocah laki-laki, tampak juga menampung airnya di bagian yang agak dalam untuk mencuci truk.

Tak lebih baik, keadaan sungai yang seperti menunggu ajal juga terlihat di Kota Telukkuantan. Satu anak sungai, yang lokasinya berdampingan betul dengan Batang Kuantan terlihat menghijau. Tanda sudah lama tak dialiri air, karena sudah dipenuhi tetumbuhan rumput.

Di Batang Kuantan sendiri, keadaan sungai juga tak jauh lebih baik. Di tengah hiruk pikuk meriahnya pacu jalur yang tengah digelar, bisa terlihat dengan jelas sungai itu telah mendangkal. Bahkan untuk menggelar iven itu, alat berat sempat dikerahkan. Bukan saja untuk me¬ngeruk sungai, tetapi juga membangun turap pasir.

Turap pasir itu terlihat jelas di seberang pancang pertama, tempat iven wisata yang masuk kalender nasional itu digelar. Dari Tepian Narosa terlihat bagaimana peserta pacu jalur di bagian hulu (tempat mulai pacu) terlihat hanya berjalan kaki melewati badan air. Tanda sungai itu tidak lagi dalam.

Hambo (35), pria asal Kampung Baru, Kecamatan Gunung Toar, menceritakan keadaan sungai yang mendangkallah yang menjadi alasan dibuatnya turap pasir. Turap itu untuk membendung air sungai agar tak melebar ke samping. Namun berkumpul ke bagian salah satu sisinya, agar air sungai di bagian hulu itu cukup dalam untuk menggelar pacu jalur.

“Dulu, di pancang pertama itu aliran sungai seperti berbelah dua karena ada beting (gundukan pasir seperti pulau di bagian tengah). Namun, karena air sungai sangat sedikit, tak cukup untuk berpacu maka sungai tersebut diturap agar air hanya berkumpul di satu aliran saja,” paparnya Hambo, awal Agustus kemarin.

Merisaukan Kematian Sungai-sungai
Kondisi sungai-sungai yang mengering atau menuju kekematian itu telah lama diprediksi. Apalagi dua ciri-ciri utama kematian sungai kerap terlihat, yakni sungai mulai berpantai dan debit atau jumlah air sungai pada musim kemarau dengan musim hujan sangat jauh bedanya.

“Ini bukan sekadar pengaruh kemarau yang panjang atau Elnino. Tetapi memang karena keadaan sungai-sungai di Riau tak lagi sehat,” ungkap Kasi Evaluasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri Rokan Agus Wahdudiono, awal Agustus lalu.

DAS-DAS sungai tersebut menurutnya sudah sampai pada titik kritis. Pada tahun 2008, lahan terbuka di DAS-DAS itu mencapai 424.836 hektare. Tingkat erosinya juga tinggi. Untuk erosi berat (B) mencapai 799.087 ton per ha per tahun, sementara sangat berat (SB) 680,283 ton per ha per tahun. Dengan total luasan 1,479.370 hektare.
Ditinjau dari tingkat kekeruhan (total suspended solid-TSS) juga sudah keluar dari kadar TSS air kelas I dan II yakni hanya 50 mg/liter. Nilai TSS di DAS Indragiri mencapai 212 mg per liter, sementara di DAS Kampar dan Siak 100 mg per liter dan 148 mg per liter.

Kondisi sungai-sungai yang menuju kekematian tersebut, tak saja merisaukankan orang-orang yang bergerak di bidang lingkungan. Tetapi juga bagi para budayawan Riau seperti Al Azhar dan Yusmar Yusuf.

Bagi Al Azhar, kematian sungai itu menurutnya sama artinya dengan kematian Kebudayaan Melayu yang rata-rata terinspirasi dari sungai-sungai tersebut. Konsultan Ekspedisi Empat Sungai di Riau ini, awal Agustus lalu menyontohkan, kematian Batang Kuantan, akan berdampak pada eksistensi kebudayaan pacu jalur.

“20-30 tahun ke depan, pacu jalur itu pasti tetap ada. Namun makin artificial (buatan). Hanya skadar iven berpacu. Apa bedanya dengan perahu naga, pacu dayung, pacu sampan, dan berbagai pertandingan olahraga serupa lainnya yang terdapat di daerah lain di seluruh dunia ini?” tanya Al Azhar.

Pacu jalur, tambah Al Azhar, bukanlah iven olahraga, tetapi iven budaya. Ia adalah muara dari sebuah proses kebudayaan. Bagaimana masyarakat di negeri itu mengambil kayu untuk jalur dengan upacara. Lalu menghanyutkannya ke sungai agar sampai ke kampung yang dituju. Terus berbagai rangkaian acara adat pun digelar, salah satunya mangelo (menarik) jalur,” ujarnya prihatian khawatir kalau-kalau iven budaya masyarakat Negeri Kuantan itu kelak hanya seperti tontonan bola. Hanya sebuah adu kekuatan.

Bagi Al Azhar, sungai itu ibarat akar sebuah batang pohon. Tanpa akar tersebut, batang pohon itu akan lapuk. Kebudayaan Melayu yang ada kemudian hanya akan sekadar menjadi artifac (penghuni museum). Lalu ceritanya akan terkunci pada cerita-cerita masa lampau.

Kait mengkait sungai dan eksistensi kebudayaan Melayu, menurut Al Azhar telah dimulai sejak Peradaban Melayu sampai di tanah Sumatera. Sejak abad ketujuh, saat Kerajaan Sriwijaya dibangun ditepi-tepi sungai di Sumatera.

Dalam konteks kebudayaan Melayu Riau pun, tambahnya, juga dimulai dari sungai. Lihatlah bagaimana Candi Muara Takus, situs peradaban tertua di Riau itu berada di hulu sungai. Begitu pula kerajaan-kerajaan yang ada di Riau semuanya berada ditepian sungai.

“Siak Sri Indrapura adalah negeri di tepi sungai. Indragiri juga berpusat di Sungai. Rokan dengan lima kerajaannya juga berada di tepi sungai,” papar Al Azhar.
Al Azhar juga memaparkan bagaimana kampung-kampung yang ada di Riau juga berada di pinggir-pinggir sungai. Bahkan kebudayaan ladang berpindah juga berada tak jauh dari tepian sungai.

“Jika sungai-sungai itu mati, maka mati pulalah peradaban Melayu itu,” ujar Al Azhar.

Kematian peradaban Melayu itu, tambah Yusmar, juga bisa dilihat bagaimana hampir tidak ada lagi derap kehidupan di batang-batang air. “Dulu, di Siak ada perahu kotak. Perahu itu seperti sebuah supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga. Di situ ada keramba ikan hidup. Layaknya sebuah kedai berjalan. Ia selalu hadir tepat waktu. Namun seiring kehidupan sungai mati, kini perahu kotak itu pun tak ada lagi,” ujarnya menceritakan salah satu aktivitas kehidupan sungai yang menghilang.

Hilangnya peradaban sungai, menurut Al Azhar dan Yusmar, karena pola pembangunan yang dilaksanakan di Riau dan Indonesia secara umum berprinsip benua atau daratan.
Jalan-jalan, tambah Yusmar, dibangun asimetris dengan sungai. Sungai hanya dijadikan tempat pelintasan. Padahal sungai, kata Yusmar, adalah zero stone (batu pertama) kehidupan di kampung-kampung tempat kehidupan dimulai. Seperti Kota Pekanbaru yang kehidupannya dimulai dari Kampung Senapelan yang berada di tepian Sungai Siak. Oleh karena itu meninggalkan sungai, menurut Yusmar, sama halnya tidak menghormati Bapaknya. Sama pula dengan melawan hukum alam.

Sudah saatnya, menurut Yusmar dan Al Azhar, sungai-sungai tersebut dipulihkan. Jika tidak ingin kehancuran sungai berlanjut dengan kehancuran kehidupan di atasnya, baik karena banjir, kekeringan, maupun kehilangan eksistensi kebudayaan.

Memuliakan Zero Stone Peradaban
Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Cina dengan Sungai Kuning (Yang Se)-nya, India dengan Sungai Gangga dan Indus-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.

Keindahan dan kegagahan sungai-sungai itulah yang menginspirasi kota-kota di Indonesia kini pun bergerak menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Sebut saja Palembang, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak dan lain sebagainya.
“Tahun 80-90-an, kota-kota tersebut sama saja dengan kota-kota di Riau. Merupakan daerah slum (kampung miskin yang sesak), namun 3-4 tahun terakhir, kota-kota itu berubah menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Mereka sudah memandang sungai atau badan air itu sebagai garden atau park. Mereka sudah berpikir sebagai water park. Tidak ada lagi bangunan yang membelakangi badan air,” ungkap Yusmar tentang cara memuliakan badan air sebagai zero stone peradaban.

Mereka telah menjadi water front city atau kota-kota yang berkaca air atau bercermin air. Menurut Yusmar itu mereka lakukan dengan membebaskan bagian tepi sungai dari bangunan-bangunan yang menyesak di tepian sungai. Tepian sungai kini dibiarkan kosong. Konsep pembangunan di buat perkampungan atau pembangunan di letakkan di tengah-tengah daratan. Di mana tepian sungai dibuat jalan.

Upaya memuliakan badan-badan air tersebut, menurut Yusmar, akan diikuti dengan upaya-upaya vegetatif (penananaman). Mengisi bagian tepian sungai dengan tanaman rain forest (hutan hujan) yang sebatin dengannya, bukan dengan tanaman seragam.
Sungai-sungai yang dihidupkan kembali juga menjelma menjadi tempat-tempat wisata yang unik. Seperti di Pontianak, ungkap Yusmar. Di kota itu, dibangun kapal seperti Titanic yang dibangun bertingkat-tingkat. Pada tingkat ketiga, orang bisa mencelupkan tangannya di Sungai Kapuas. Di situlah para anak-anak muda beromantis. Di kota itu juga disewakan perahu-perahu kecil yang hanya menyediakan tempat untuk pasang-pasangan. Dengan disinari hanya satu cahaya lilin. Lalu ada pengamen-pengamen yang bermain di atas perahu.

“Jadi menarik, karena mereka unik. Mematahkan image bahwa pengamen itu hanya ada di bus-bus,” paparnya.

Sungai yang terawat itu telah memberi nyawa baru buat kehidupan di atasnya. Sungai ataupun air itu telah memberikan garis horizontal yang bersifat pasif dan ketenangan. Itulah nantinya yang diharapkan pada pembangunan di Riau. Negeri yang mampu memberikan kedamaian dan kemakmuran dengan empat sungai besar dan ribuan sungai kecil yang melintasinya.***




Jumat, 24 Juli 2009

Generasi Masker


Riau sedang menciptakan generasi baru, yakni generasi masker. Bocah-bocah kecil yang kini tak lagi bisa bernafas bebas, menghirup udara segar, kecuali menggunakan masker yang seakan menggunci hidung dan mulut mereka.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com

Entah apa dosa anak-anak itu. Hingga untuk bernafas saja mereka sangat sulit. Bahkan belasan ribu mereka kini tercatat sebagai penderita Insfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di berbagai puskesmas, balai pengobatan, praktik dokter dan rumah sakit di Riau.




Satu dari ribuan anak-anak itu adalah Audry (5). Bocah kecil yang bersekolah di TK Al Azhar itu, sudah menderita ISPA sejak umur dua tahun. Tepatnya saat orang tuanya pindah tugas ke Kota Pekanbaru tiga tahun silam. Sejak itulah, bila musim asap datang, dia selalu menderita sakit tenggorokan dan batuk.
Meskipun tiap kali ke luar rumah, ibunya selalu memakaikannya masker. Walaupun biasanya Audry sudah lari duluan ke dalam rumah, bila melihat udara yang berasap. Meski sudah begitu, ISPA tetap saja menggerayangi tubuh mungilnya. Sudah seminggu ini, deman bersemayam di tubuhnya. Menghilangkan senyum dan tawanya.
***
Waluyo Eko Cahyono dari Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang melakukan penelitian tentang peningkatan konsentrasi Partikulat Meter (PM) 10 dan Karbon Monoksida (CO) akibat kebakaran hutan, lewat email-nya, kemarin, menjelaskan bahwa kebakaran hutan, nyata telah menyebabkan terjadinya peningkatan pencemar udara. Selain PM 10 dan CO, juga menghasilkan SO2, CO2, NO2, dan Ozon (O3).
Kepala Laboratorium Udara Kota Pekanbaru Syahrial juga membenarkan hal itu. Pasalnya, selalu terjadi peningkatan jumlah polutan udara tiap kali kebakaran hutan dan lahan. “Penelitian khusus untuk itu tidak ada. Hanya berdasarkan pengalaman saya, selama hampir sepuluh tahun bertugas di laboratorium ini, hal itu terus terjadi,” ungkapnya, awal pekan lalu.
Tentang evaluasi kualitas udara yang ada di Kota Pekanbaru, menurutnya, tahun 2009 ini memang beberapa kali ditemukan kualitas udara tidak sehat. Namun, ucapnya, belum sampai pada skala berbahaya. Namun, menurutnya, perlu kehati-hatian menyikapi data kualitas udara. Misalnya masyarakat sering terkecoh dengan data yang ada di display. Data tersebut menurutnya bukanlah data real time, tapi sehari sebelumnya.
“Itu sebabnya, kadang-kadang, ada yang bertanya kok sudah berasap begini dibilang masih baik atau sedang. Selain itu bukan data real time, itu juga rata-rata 24 jam dari tiga titik di Kota Pekanbaru. Pernah, suatu kali dalam beberapa jam ada data yang menunjukkan kualitas udara berbahaya, namun kemudian karena hembusan angin yang kencang dan udara panas, segera berubah. Kualitas udara jadi sedang atau tidak sehat,” papar pria kelahiran 27 Juli 1962 ini.
Menurutnya, bila ada yang terpapar kualitas udara yang berbahaya itu pada jam tersebut, maka disaat itulah, ditemukan orang langsung pingsan atau langsung tumbang. Meskipun kualitas udara di display terlihat sedang.
Dia juga mengungkapkan bahwa data yang mereka miliki adalah data Kota Pekanbaru. Sementara asap itu sering berasal dari daerah lain. Artinya, menurutnya, daerah tempat asap itu berasal, bisa jadi kualitas udaranya sudah sangat tidak sehat atau berbahaya.
***
Dua dokter spesialis paru-paru, dr Rohani SpP dan dr Zulkarnain SpP, memastikan bahwa asap dipastikan menimbulkan gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru. Hal itu, salah satunya, menurut dr Rohani yang bertugas sebagai dokter spesialis keliling puskesmas di Pekanbaru dilihat dari jumlah pasien dan kunjungan.
“Kita merasakan peningkatan jumlah pasien ini. Asap memang menjadi pemicu ISPA, apalagi bagi mereka yang sudah memang memiliki gejala tersebut,” ujar perempuan berkacamata yang ditemui di tempat praktiknya di Apotik Jakarta.
Namun soal seberapa dampaknya, dokter spesialis paru ini, menyebutkan belum ada penelitian sejauh apa dampak asap kebakaran hutan dan lahan. Apalagi terhadap anak-anak. Namun yang jelas, jika asap terpapar terus menerus pastilah berdampak buruk bagi kesehatan. Tak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi orang dewasa.
Menurutnya, penyakit yang paling terparah dampaknya dari asap menurutnya adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia. Dan pada tahun 2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Sementara itu, Zulkarnain, seperti yang dilansir oleh Riau Pos, akhir pekan lalu, menyebutkan dampak asap bagi kesehatan sama halnya dengan merokok 24 jam. Kondisi itu, tambahnya, tentu sangat mengkhawatirkan. Terutama bagi ibu-ibu hamil. “Dampaknya sama seperti ibu hamil merokok 24 jam,” paparnya.
Selain penyakit PPOK, Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru seperti yang dilangsir Riau Pos, pekan lalu, menyatakan asap dapat menimbulkan enam penyakit berbahaya. terdiri dari dua bagian yaitu ISPA pneumonia dan ISPA Non pneumonia, asma bronkial, iritasi mata, diare dan muntah-muntah.
Dengan berbagai penyakit itulah, generasi Riau akan tumbuh dan berkembang. Sekarang tinggal sikap dan tindakan semua pihak menyelamatkan generasi yang kini hidup dengan masker.(ndi)


Senin, 13 Juli 2009

Pabrik Pupuk Organik di Perut Sapi


Boleh percaya atau tidak. Pabrik pupuk kini berada di perut sapi.

Laporan Andi Noviriyanti, Kuansing
andinoviriyanti@riaupos.com

Rabu (24/6) pagi, di areal Peternakan Sapi PT Tri Bakti Sarimas (TBS). Sekitar 50 Km dari Kota Telukkuantan atau 210 Km dari Kota Pekanbaru. Ratusan ekor sapi yang berbadan gemuk dengan kulit mengkilat terlihat menikmati pakannya. Tetapi bukan rumput, seperti lazimnya dikonsumsi hewan herbivora ini. Sapi-sapi itu terlihat sedang mengunyah makanan yang bentuknya seperti dedak dan juga pelet berukuran sekitar 3-5 Cm.
Direktur TBS Gunawan berseloroh, “sapi di sini tidak lagi makan rumput, mereka makan humberger,” ujarnya tergelak memberi nama pakan sapi mereka sembari memperlihatkan pakan ternak sapi yang berwarna kehitaman, kering, penuh serat, dan tak berbau.


Menurut pria keturunan Tionghoa ini, sapi mereka memang beda dari sapi-sapi yang lain di Indonesia. Pasalnya perternakan sapi mereka tidak lagi memanfaatkan rumput sebagai pakan ternak. Sapi-sapi mereka yang berjumlah sekitar 700-an ekor itu memakan limbah pertanian dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang telah mereka olah.
Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, kakao, kelapa hibrida, pinang, peternakan sapi dan lainnya ini memang beberapa tahun belakangan ini mencoba mengembangkan diri menjadi perusahaan yang zero waste (tanpa limbah). Itulah sebabnya limbah-limbah yang berasal dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit mereka olah. Mulai dari bungkil kelapa, lumpur sawit, bungkil sawit, kulit kakao fermentasi, serbuk kakao, hingga fiber sawit mereka olah menjadi pakan ternak.
Perusahaan swasta nasional yang didirikan sejak tahun 1986 bahkan menyebutkan bahwa olahan limbah yang dimakan oleh sapi-sapi itu, bukan saja jadi pakan bagi sapi. Namun pencernaan (perut) sapi itu telah menjadi pabrik pembuatan pupuk organik. Pasalnya berbagai limbah yang ada di kawasan perkebunan itu diolah sapi-sapi itu di dalam perutnya. Dengan mekanisme pencernaannya dan sejumlah enzim di dalam perutnya lalu keluarlah kotoran sapi yang berasal dari limbah tadi. Lalu kotoran itu dijadikan salah satu bahan utama pupuk organik yang mereka produksi.
***
Perusahaan yang berkedudukan di Bukit Payung, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi ini merupakan perusahaan swasta nasional yang melakukan perkebunan terpadu (integrated plantation). Memiliki kawasan perkebunan kakao monokultur seluas 2.028 Ha, kakao tumpang sari dengan kelapa 703,87 Ha, kelapa hibrida 1.422 Ha, kebun sawit HGU TBS 10.932,35 Ha, dan kebun sawit mitra 9.316 Ha (namun yang produktif hanya 7.600 Ha). Mereka juga memiliki peternakan sapi dengan jumlah 700-an ekor sapi dan juga perkebunan kakao yang tumpang sari dengan tanaman pinang serta pabrik kelapa sawit (PKS)
Sebagai kawasan perkebunan terpadu, peternakan dan juga memiliki PKS, perusahaan ini memiliki banyak sekali produk yang tidak terpakai atau limbah. Misalnya dari perkebun kelapa mereka memiliki limbah sabut kelapa. Pasalnya hanya isi kelapa yang mereka manfaatkan untuk dijadikan santan dan produksi minuman kelapa yang pabriknya berada di Sumatera Barat. Beberapa tahun lalu, sabut kelapa itu hanya menjadi limbah dan mereka harus membayar orang untuk membakar sabut kelapa tersebut. Namun kemudian dengan sebuah inovasi, perusahaan itu berhasil memanfaatkan sabut kelapa itu.
Dengan mesin ciptaan mereka, maka setiap sabut kelapa yang dihasilkan dari kupasan kelapa itu dimasukkan ke dalam mesin. Mesin itu kemudian menghacurkan sabut kelapa sehingga antara serat dan serbuknya terpisah. Serat mereka keringkan dan padatkan sehingga layak ekspor. Serat sabut kelapa itu kini sedang laku untuk pembuatan jok mobil mewah atau fiber dinding peredam suara. Sementara serbuknya mereka manfaatkan untuk alas di kandang sapi. Hal itu berimbas baik bagi sanitasi kandang sapi mereka yang menjadi kering, hangat dan bersih.
“Coba bandingkan dengan peternakan sapi lainnya. Di sini kandang sapinya tidak bau dan tidak dikerubungi lalat. Soalnya kandangnya bersih dan hangat. Urine dan kotoran sapi jatuh di atas serbuk. Kalau sudah basah, serbuknya kami ganti,” ujar Gunawan yang hari itu berkesempatan membawa Riau Pos dan juga Kepala BBKSDA Rahman Siddik berkeliling di areal perkebunan terpadu mereka.
Serbuk kelapa yang telah bercampur dengan kotorang dan urine sapi dibawa ke pabrik pembuatan pupuk organik yang hanya berjarak 50-100 meter dari peternakan sapi itu. Serbuk sabut kelapa itu kemudian dicampur lagi dengan tandan kosong sawit cacah, solid, fiber, kulit kakao giling, abu pembakaran dan air limbah PKS yang selama ini menjadi limbah di PKS dan perkebunan mereka. Untuk menyempurnakan pupuk organik mereka, berbagai bahan itu difermentasi dengan menambahkan koloni mikroba pengurai.
Dengan cara itu mereka tidak saja menyelesaikan soal limbah, tetapi juga mengatasi persoalan pupuk bagi lahan pertanian dan perkebunan mereka. Pupuk organik yang mereka hasilkan mencapai 3-4 ribu ton per bulan. Keberadaan pupuk organik itu telah menekan penggunaan pupuk kimia hingga 50 persen. Bahkan di tahun 2010 mereka punya target untuk menghasilkan 10 ribu ton per bulan. Dengan demikian mereka ke depan tidak perlu lagi memakai pupuk kimia dan menjualnya ke pasaran.
“Saat ini kami lebih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan perkebunan,” ujar Gunawan.
Itu sebabnya, kini sapi-sapi yang mereka pelihara tidak lagi diutamakan untuk penjualan. Namun lebih dijadikan sebagai pabrik pupuk organik. Menurut keterangan GM Farming Entreprise Fauzi Suherman dan Manager Kompos Ir Akmal, sapi-sapi mereka lebih dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang telah mereka buat untuk menjadi pakan ternak untuk menjadi pupuk organik. Itu bisa dilihat dari rata-rata penjualan sapi mereka yang perbulan hanya 25 ekor.
***
Inovasi untuk memanfaatkan limbah dan memproduksi pupuk organik itu, ternyata menurut Gunawan dan Akmal bermula dari krisis global pada tahun 1997. Sebagai perusahaan perkebunan yang sangat membutuhkan banyak pupuk mereka kewalahan dengan harga pupuk yang terus melambung. Akhirnya terpikirlah untuk membuat pupuk sendiri. Dari hasil eksperimen di perkebunan mereka, akhirnya terciptalah pupuk yang berasal dari limbah di kawasan perkebunan itu. Dilengkapi dengan perut sapi, yang secara alami mampu mengubah limbah tersebut lebih lanjut untuk dijadikan bahan dasar pupuk organik. Sembari juga menyelesaikan persoalan pakan ternak mereka yang semakin hari kesulitan mencari rumput.
Pupuk dan pakan ternak yang mereka hasilkan itu kini telah memiliki nama dagang yakni TOC Organic Fertilizer dan Samco Pakan Ternak. Gunawan menyebutkan pupuk itu memiliki sejumlah keunggulan. Mulai dari mengandung unsur makro dan mikro lengkap, lebih efisien dan ekonomis, serta memperbaiki pH tanah dan kehidupan mikroba tanah. Sementara itu pakan ternak sapi mereka juga telah teruji membuat bobot sapi mereka meningkat dan aman.
“Kami telah mengujinya bertahun-tahun dan telah melihat hasilnya,” imbuh Gunawan dengan senyum mengambang.
Semoga perusahaan ini menjadi contoh bagi kawasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit lainnya.***


Kamis, 25 Juni 2009

Belajar dari Iklan Rokok

H Ismail Husein


Semua orang tahu merokok dapat memicu berbagai penyakit dan menanam pohon adalah hal yang mulia karena menolong kehidupan bumi dari malapetaka banjir, kekeringan hingga pemanasan global . Namun orang tetap saja lebih banyak merokok dan sedikit yang mau menanam pohon. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Andi Noviriyanti


Kala itu hujan rintik-rintik mengantar penjelajahan Riau Pos ini ke Kota Bangkinang, Ibukota Kabupaten Kampar, sekitar 60 kilometer dari Kota Pekanbaru. Riau Pos hendak bertemu dengan H Ismail Husein, seorang penerima penghargaan Kalpataru 16 tahun lalu. Dia adalah orang yang berhasil penggagas Gerakan Sejuta Sungkai di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) di tahun 90-an.
Tidak sulit mencari rumah Ismail. Rumahnya tepat berada di Jalan Sudirman No 35, tidak jauh dari areal wisata Stanum, Kota Bangkinang. Rumahnya sangat asri karena memiliki pekarangan yang luas dan dikelilingi pepohonan dan kolam ikan. Di pagar depan sebelum memasuki gang kecil menuju pintu gerbang rumahnya akan terlihat dengan jelas tulisan ”Kembang Sungkai”
Di areal rumah yang memiliki luas 1,8 hektar itulah Warta Suara Bumi mendengar kisahnya. Kisah seorang penggagas penghijauan yang sangat fenomenal dalam menciptakan greget kegiatan penghijauan di Provinsi Riau sekaligus di Indonesia. Kegiatan penghijauannya yang diberi nama Gerakan Sejuta Sungkai itu sekaligus menjadi tonggak sebutan nama lain bagi Kabupaten Inhu yaitu Negeri Sejuta Sungkai.
Padahal bila dilihat dari sejarah perkembangbiakan sungkai (Peronema canescens), pohon itu bukanlah tanaman endemik yang ada di Kabupaten Inhu. Pohon itu juga banyak tumbuh di daerah lainnya. Terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan dan terdapat pula di Negara Malaysia. Namun berkat ketekunan dan kesungguhan hatinya serta dukungan Bupati dan masyarakat Inhu dia mampu membuat sungkai menjadi identitas Kabupaten Inhu.
Proses Gerakan Sejuta Sungkai, menurut Ismail tidaklah bermula di Kabupaten Inhu. Tetapi justru di Kota Tanjungpinang. Kala itu, ingatnya, dia tengah bertugas di Kota Tanjungpinang. Sebagai mantan pimpinan proyek (pimpro) reboisasi dan telah banyak bergerak di bidang kehutanan, dia memiliki keinginan untuk menghijaukan Kota Tanjung Pinang dengan tanaman sungkai yang sangat banyak tumbuh di tempat itu.
Dia pun mencari sungkai-sungkai terbaik di negeri yang kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau itu. Ismail mengaku menyukai menanam sungkai karena pohon itu memiliki kayu yang bagus namun sangat gampang tumbuhnya. Ibaratnya tinggal ditusukkan saja rantingnya ke tanah maka akan tumbuhlah pohon itu.
Di tengah keasyikan itu, ternyata dia harus berpindah tugas ke Kota Rengat. Di Kota Rengatlah perjuangan penghijauan dengan tanaman sungkai itu dilakukannya. Namun dia tidak ingin kegiatan itu hanya kegiatan sekedar tanam menanam tanpa ada target dan tanpa greget. Kegiatan tanpa target dan greget itu akan membuat gerakan penghijauan berjalan lamban, tidak banyak yang terlibat, dan tidak terukur keberhasilannya. Itulah yang kemudian melatarbelakanginya untuk melakukan Gerakan Sejuta Sungkai. Gerakan itu juga mendapat dukungan sangat kuat oleh Bupati Inhu yang menjabat saat itu.
“Ada sekitar 300 ribu orang penduduk Inhu, kalau satu orang menanam tiga pohon saja maka akan ada satu juta pohon. Di Inhu juga ada 300 desa, kalau masing-masing desa menanam tiga ribu pohon maka akan ada satu juta tanaman sungkai,” ungkap penerima tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan dari Presiden BJ Habibie ini bercerita tentang strategi penghijauannya.
Strategi itulah yang membuat gerakan penghijauan dengan tanaman sungkai itu berhasil. Sehingga sampai kini gerakan itupun masih diingat, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama gedung di Kabupaten Inhu.
Tak cukup hanya itu, Ismail juga membuat kegiatan penghijauan itu memiliki manfaat besar bagi masyarakat Inhu. Dia menggalakkan kegiatan kerajinan dari kayu sungkai. Dia menciptakan sejumlah industri kecil yang dibina oleh perusahaan selaku bapak angkat. Itu jugalah yang menyebabkan Kabupaten Inhu dikenal sebagai penghasil kerajinan kayu sungkai.
Namun berbagai cerita keberhasilan gerakan penghijauan yang dilakukan Ismail seketika berhenti ketika sampai pada suatu pertanyaan, “adakah penerus jejaknya?”
Pria berpostur tinggi dan berkumis tebal ini terdiam sejenak lalu buliran air mata mengalir di pipinya. Baginya terlalu sulit menjawab pertanyaan sederhana namun memiliki makna yang dalam itu. Pertanyaan itu sering dilontarkan banyak orang kepadanya. Namun sulit baginya menjawab karena dia tidak melihat ada orang yang mengikuti jejaknya.
Meski begitu sebuah jawaban diplomatis akhirnya terungkap dari bibirnya. ”Saya tidak tahu siapa penerus saya, namun bagi saya siapapun yang menanam pohon adalah penerus saya,” ungkapnya sembari menanggalkan kaca matanya dan menyeka air matanya.
Kegiatan penghijauan, katanya, akan berhasil dan memiliki banyak penerus bila kegiatan penghijauan belajar dari filosopi iklan rokok. Kegiatan menanam pohon pada dasarnya adalah hal yang gampang. Asal ada cangkul, ada bibit, maka tinggal gali lobang, lalu tanam. Namun yang sulit adalah membuat orang mau menanam pohon. Untuk membuat orang mau menanam pohon itulah diperlukan ajakan dan seruan terus menerus seperti halnya iklan rokok.
Dia menyebutkan iklan rokok selalu saja menyajikan bagaimana heroik-nya seseorang yang merokok. Pria nan perkasa, bersahaja, kuat dan kesan kepahlawan lainnya. Sehingga bahaya merokok menjadi hal yang terabaikan. Iklan itu juga diputar terus menerus menghiasai layar kaca dan jalan-jalan.
“Kalau saja iklan menanam pohon juga dilakukan seperti itu. Yang menanam pohon adalah pahlawan, maka akan banyak orang yang mau menanam. Ketika orang sudah mau menanam, kegiatan penghijauan seperti apapun akan berhasil,” tuah pria kelahiran Daik, Lingga, 68 tahun silam ini.


Adakah Kehidupan Lebih Baik di Tempat Sampah Berakhir?

Laporan Andi Noviriyanti

Mata Tiur Boru Tambunan (38) dan puluhan teman-temannya tampak berbinar-binar tiap kali truk-truk pembawa sumber mata pencarian mereka datang. Dengan berlarian mereka saling berpacu mengejar ke arah mana truk itu akan menumpahkan isinya. Lalu dengan sigap mereka akan memunguti berbagai benda yang dijatuhkan dan dilemparkan dari dalam truk itu. Semakin banyak yang bisa mereka rebut semakin terpancarlah kebahagian diraut wajah mereka.
Berbeda dengan mata Tiur dan teman-temannya, mata Riau Pos justru nanar (menyiratkan kesedihan) melihat kejadian itu. Mereka yang berpacu bukannya tengah memperebutkan bahan makanan seperti yang biasa terlihat saat bantuan makanan gratis diberikan. Tetapi mereka sedang memperebutkan onggokan-onggokan sampah yang tidak jelas apa jenisnya. Bisa jadi pampers yang telah berlumur berak bayi, bangkai binatang, kotoran dan jeroan hewan, kertas bekas, sisa makanan, buah-buahan busuk dan entah apalagi.

Terpenting bagi mereka sampah-sampah yang terbungkus dalam kantong-kantong plastik itu direbut dulu. Masalah isi belakangan akan mereka pilah. Untuk yang masih berharga didaur ulang seperti karton bekas, kertas bekas, gelas plastik bekas, botol bekas, kara plastik, botol kaca, besi-besi tua akan mereka sisihkan. Terkadang mereka juga mengambil sampah kulit pisang dan sampah sayuran untuk dijual kepada pemilik ternak.
Begitulah potret kehidupan yang bisa disaksikan di sebuah tempat yang menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dari seluruh penjuru Kota Pekanbaru. Terletak sekitar 18,5 kilometer dari Kota Pekanbaru arah jalan lintas Pekanbaru- Minas, tepatnya Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru.
Sekitar 174 pemulung menggantungkan kehidupannya di TPA bersistem sanitary landfill (sampah diratakan lalu ditutup dengan tanah uruk) itu. Untuk mengais-ngais sampah yang bau itu, para pemulung yang rata-rata perempuan hanya mengandalkan tangan-tangan mereka yang terbungkus sarung tangan. Sengatan matahari yang tajam yang menikam ubun-ubun kepala mereka, hanya diatasi dengan menutup kepala mereka dengan kain atau topi. Kaki mereka terbungkus sepatu kets buruk atau sepatu bot yang umum dipakai petani. Wajah para perempuan itupun hanya dilindungi bedak beras yang dioleskan dipipi mereka.
Setiap hari mereka bekerja dari sekitar pukul delapan pagi hingga pukul delapan malam. Malah terkadang jika ingin mengais rezeki yang lebih banyak dari angka Rp20 ribu, mereka bisa datang lebih pagi dan pulang lebih malam. Karena sampah-sampah itu bisa datang setiap saat. ”Sampah itu bisa masuk pagi, siang, sore, atau malam. Tempat ini menampung sampah selama 24 jam,” ungkap Sihmanto, pria yang tiga tahun terakhir hingga awal Oktober lalu menjadi Kasi Pemanfaatan Sampah dan Kotoran Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Pekanbaru yang mengepalai TPA Muara Fajar.
Malah menurut Sihmanto, para pemulung terkadang ada yang berani menaiki truk bermuatan sampah yang masih berjalan. ”Meski telah berkali-kali dilarang karena membahayakan mereka dan membuat sampah berserakan sebelum masuk ke tempatnya, masih ada juga yang membandel,” ujar pria berperawakan kurus itu.
***

Kehidupan yang ada di TPA itu, seperti langit dan bumi bila dihadapkan dengan pusat Kota Pekanbaru, sebuah kota yang telah tiga tahun berturut-turut ini menjadi kota terbersih se Indonesia. Pasalnya sampah yang berada di pusat kota selalu saja dipindahkan dengan sigap oleh para tenaga kebersihan DKP, Dinas Pasar, dan kecamatan ke TPA. Malah untuk mengangkut sampah itu jadwal petugas kebersihan hingga tiga kali sehari. Di mulai periode pertama dari pukul enam pagi hingga pukul satu siang. Periode kedua dari pukul dua siang hingga pukul tujuh malam. Periode terakhir pukul delapan malam hingga pukul dua dini hari.
Untuk memindahkan sampah-sampah itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut Mursidi Kasubdin Operasional DKP. Untuk dinasnya saja, dibutuhkan biaya operasional untuk pengangkutan sampah dan pengelolaannya di TPA sebesar Rp5,8 miliar pertahun. Itu belum termasuk biaya pengangkutan yang dikeluarkan dinas pasar dan kecamatan yang bertanggungjawab terhadap sampah pasar dan tempat pemukiman warga.
Cekatannya pihak tenaga kebersihan itulah yang menjadi salah satu faktor penting dari prestasi penghargaan Adipura yang diterima Kota Pekanbaru sejak tahun 2005 lalu hingga sekarang. Namun, haruskah Kota Pekanbaru terlena akan prestasi yang telah diraihnya?
Sebuah fakta mencengangkan dipaparkan oleh rekan seprofesi Riau Pos, bernama Budiman. Pria yang bekerja di Suara Pembaharuan ini, dalam suatu pertemuan, menghadiahkan sebuah buku yang ditulis bersama Walikota Cimahi HM Itoc Tochija kepada Riau Pos. Buku berjudul Tragedi Leuwigajah itu memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah di kota-kota seluruh Indonesia termasuk di Pekanbaru suatu saat akan menimbulkan petaka di tempat sampah berakhir, sama halnya yang terjadi di TPA Leuwigajah.
TPA yang menjadi tempat penampungan sampah akhir dari Kota Bandung dan Cimahi itu pada tahun 2005 meledak dan longsor. Akibatnya 143 orang tewas dan 139 rumah terkubur dan hancur ditelan sampah. Kejadian ini tercatat sebagai bencana terbersar kedua di dunia yang pernah terjadi di TPA. Terbesar pertama terjadi di Payatas, Quezon City, Filipina. Longsoran sampah mengubur lebih dari 200 orang dan belum termasuk ratusan lainnya yang hilang dalam bencana tersebut.
Meledak dan longsornya TPA Leuwigajah bukan karena tempat itu sengaja hendak diledakan. Tetapi sebagai akibat tumpukan sampah yang terus menggunung itu menghasilkan gas metan (CH4) hasil penguraian sampah organik di TPA itu. Akibatnya lama-lama karena material sampah dan gas yang dihasilkannya mencari keseimbangan alam, gas metanpun meledak. Ledakan itu mengubah struktur sampah yang tadinya kokoh menjadi kosong di beberapa bagian dan akhirnya mengakibatkan longsor. Lalu sampah yang didominasi plastik itupun mengubur manusia yang berada disekitarnya.
TPA Leuwigajah pun ditutup untuk sementara waktu. Sampah dari Kota Bandung dan Cimahi pun tidak bisa masuk dan akhirnya menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Tumpukan sampah itu mengakibatkan Bandung yang dijuluki kota kembang tak lagi wangi. Karena bau busuk sampah memenuhi seluruh penjuru kota.
Lalu tidak lama berselang, di saat Kota Pekanbaru menerima penghargaan kota terbersih, Bandung menerima penghargaan kota terkotor se Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup. Meski tidak dapat dipastikan kebenarannya, namun dari pengamatan kepada kedua kota itu bisa jadi disebabkan karena Pekanbaru masih memiliki areal yang cukup luas untuk menyingkirkan sampah ke luar kota sana.
Namun soal pengelolaan sampah kedua kota itu tidak ada bedanya. Sama-sama masih mengandalkan sistem lanfill pada TPA-nya. Sama-sama memiliki pemulung diatas kubangan sampahnya. Sama-sama mengelolah sampah tanpa upaya sangat berarti untuk mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), mendaur ulang (recycling), pemanfaatan kembali (recovery) sampah-sampah yang ada.
Perbedaan mendasar hanya terletak pada kepadatan penduduk dan luas areal yang belum berpenghuni. Bandung memiliki penduduk lebih padat sehingga lahannya lebih sempit. Bila tidak ada upaya pengelolaan sampah yang lebih baik, bisa jadi Kota Pekanbaru suatu saat nanti tidak akan jadi kota terbersih lagi dan tragedi Luewigajah bisa terjadi di Muara Fajar.
***
Adakah pengelolaan sampah yang lebih baik dan lebih bermanfaat? Ada jawab satu-satunya penerima penghargaan Kalpataru Tahun 2007 Erni Suarti. Erni berhasil membuat semua sampah yang dihasilkan dari dapurnya menjadi benda bermanfaat. Ada yang dijadikannya pupuk organik, pakan ternak dan adapula yang menjadi cairan penyubur tanaman. Bau sampah dapur di rumahnya juga menjadi wangi. Untuk mengubah itu perempuan yang bekerja sebagai tenaga penyuluh pertanian ini menggunakan teknologi Effective Microorganism 4 (EM 4).
Tentang adanya pengelolaan sampah yang lebih baik juga diungkapkan oleh Budiman dan HM Itoc Tochija dalam bukunya. Hanya dibutuhkan kemauan dan kebersamaan untuk membuat sampah tidak lagi sekedar jadi limbah. Untuk sampah kertas bisa didaur ulang menjadi kerta bermutu tinggi dan dijual kembali. Caranya hanya dengan menghancurkan kertas secara manual atau dengan blender. Setelah airnya diperas airnya, bubur kertas itu tinggal dijemur sinar matahari. Dengan tambahan sedikit lem dan pewarna dalam sekejap kertas itu akan menjadi jenis kertas berstekstur unik dan alami.
Untuk sampah organik, selalin dibuat kompos juga bisa dijadikan energi untuk menghasilkan listrik seperti yang dilakukan Negara Cina. Listrik tersebut dihasilkan dari perpuataran turbin yang didorong oleh gas hasil penguraian sampah organik.
Sampah plastik, kaleng, besi, alumunium pun tidak sulit dimanfaatkan kembali. Caranya dengan mendaur ulang sampah tersebut. Baik dengan memberikannya kepada pemulung atau menjualnya kepada penampung sampah. Penampung sampah itu akan menjualnya ke pabrik daur ulang untuk membuat benda-benda baru yang bisa digunakan kembali.
Pekerjaan mengelolah sampah yang dimulai dari sumber sampah itu berasal akan mengurangi banyak sampah yang dikumpulkan di TPA. Sampah-sampah berharga yang diberikan kepada para pemulung juga akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pemulung. Sesuai dengan tujuan Millennium Development Goals (MGDs) untuk pengentasan kemiskinan.
Para pemulung juga bisa bekerja lebih baik dengan cara menjadi tenaga komposting dan pegawai pabrik daur ulang yang berada di areal TPA. Mengingat selama ini sampah-sampah yang masih berharga di daur ulang di luar Riau yaitu Medan dan Pulau Jawa. Semoga ada kehidupan yang lebih baik di tempat sampah-sampah itu berakhir! (Terbit di Harian Riau Pos, 28 Oktober 2007)

Senin, 22 Juni 2009

Jalan Panjang Pekanbaru Menuju Penghargaan Adipura


Dari Prediket Terkotor se-Riau sampai Terbersih se-Indonesia

Tahun 2000, Pekanbaru menyandang prediket Kota Terkotor se Riau, namun atas komitmen kuat dari Walikota Pekanbaru Herman Abddulah, tahun 2005 Pekanbaru ditetapkan sebagai Kota Terbersih se Indonesia. Bahkan menyandang lima tahun berturut-turut (2005-2009) Adipura (kota terbersih) kategori kota besar.

Laporan Andi Noviriyanti


Seorang pria berperawakan agak gemuk, berkumis tipis, berkulit agak gelap memandang jengkel ke tumpukan sampah yang ada dihadapannya. Rautan wajahnya yang menyiratkan kemarahan tidak bisa disembunyikan. Hatinya sedang kesal melihat tumpukan sampah yang sepertinya sudah berminggu-minggu berada di tempat itu.
Tak banyak ba bi bu (bicara, red), pria kelahiran Pekanbaru, 18 Juli 1950 ini langsung menghubungi pejabat yang bertanggungjawab terhadap tumpukan sampah itu. Tak ingin sekedar diberi janji, dia pun menunggu pejabat itu hingga datang ke lokasi sampah.
“Tolong bersihkan ini, dalam waktu sehari dua hari ini!,” tunjuk pria beralis tebal itu ke arah sampah dengan nada tegas dan tanpa kata pembukaan seketika pejabat yang dimaksud datang.


Itulah hari-hari kelam Herman Abdullah, saat program K3 (Kebersihan, ketertiban, dan keamanan) yang dicanangkannya tidak mendapat respon yang baik dari jajarannya. Ibarat seorang pengawas, diapun langsung turun ke berbagai lokasi agar tidak ada lagi tumpukkan sampah yang tidak dibersih-bersihkan. Itu pulalah sebabnya dia paling sering menghadiri pesta pernikahan warga Kota Pekanbaru.
“Kalau saya disini dan badan ini masih bisa dibawa bernapas, pasti saya menghadiri berbagai undangan pesta itu. Saat itu pulalah saya mengawasi jalan-jalan yang saya lewati agar tidak ada sampah,” ungkap pria yang terkenal berbicara blak-blakan ini, awal Juni lalu.
Apa yang membuat Herman Abdullah begitu konsen terhadap persoalan kebersihan di kotanya? Ternyata jawabannya bermula di hari pelantikannya menjadi Walikota Pekanbaru, tanggal 21 Juli 2001. Saat itu Gubernur Riau Saleh Djasit menyinggung soal status Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kota terkotor di Riau pada tahun 2000.
“Kalau kota kotor, orang pasti tidak akan memberikan penilaian terbaik pada kota. Tapi kalau kota bersih, pembangunannya biasa-biasa saja, maka orang akan memberikan penilaian yang bagus kepada Kota Pekanbaru,” ungkap Herman menirukan kata-kata Gubernur Riau kala berpidato melantik dirinya.
Kata-kata itulah yang kemudian mencambuk Herman Abdullah untuk membenahi ibu kota Provinsi Riau. Tantangan yang dihadapinya cukup besar, pasalnya kala itu pembangunan tengah gencar-gencarnya karena pengaruh otonomi daerah. Setelah berkonsultasi dengan Departemen Agama di Pekanbaru tentang arti penting kebersihan yang juga terkait dengan ayat suci Alquran yang menyatakan bersih itu sebagian dari iman, maka terwujudlah program K3.
K3, menurut Herman, sebenarnya bukanlah hal baru. Mengingat peraturan daerah (perda)nya terlah ada sejak tahun 2000. Hanya saja perda Nomor 4 tahun 2000 itu tidak jalan. Itulah sebabnya cap kota terkotor se Riau disandang Kota Pekanbaru.
Pada tahun 2002, mulailah Kota Pekanbaru mengajukan diri untuk di nilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendapatkan penghargaan Adipura. Penghargaan bagi Kota Terbersih se Indonesia itu, bersifat sukarela setelah paska reformasi. Hanya kota yang minta dinilai saja yang akan dinilai.
Namun tidak ada hasil yang mengembirakan. Di tahun 2003, ketika penilaian itu diminta kembali, juga tidak begitu menuai prestasi. Dari 58 kota se Indonesia, Kota Pekanbaru menempati urutan ke 16.
Urutan itu membuat Pekanbaru berbesar hati, maka strategi berikutnya pun diatur agar prediket Kota Bersih itu disandang. Pada tahun 2004, dibuatlah bagi-bagi tugas persoalan kebersihan. Bila dulu seluruhnya berada di tangan Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kini khusus untuk wilayah perumahan penjagaan kebersihannya menjadi kewenangan kelurahan dan kecamatan. Pasar-pasar tradisional di urus oleh Dinas Pasar. Kebersihan parit, anak-anak sungai, termasuk Sungai Siak menjadi kewenangan Dinas Pemukiman dan Prasaranan Wilayah (Kimpraswil). Dinas perhubungan mengurusi wilayah pelabuhan dan terminal. Dinas Kesehatan mengurusi puskesmas dan rumah sakit. Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) mengurusi kebersihan sekolah. Tinggalkah ruas-ruas jalan protokol yang diurusi Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Selanjutnya dibentuk pula tim pengawas yang tidak memiliki hubungan langsung dengan instansi yang dinilai. Asisten I mengawasi kebersihan di Kecamatan, Asisten II di jalan-jalan protokol, asisten III di kantor pemerintah dan swasta, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal) terminal, dan lain sebagainya. Lalu dilakukan pula rapat intensif setiap bulannya untuk evaluasi kinerja.
Namun hasilnya, ternyata juga tidak mengembirakan, malah jauh panggang dari api. Bila tahun 2003 menempati urutan 16 dari 58 kota, tahun 2004 malah berada di posisi seratusan dari 300 kota yang dinilai.
Tapi itu semua tidak membuat Herman berkecil hati. Malah upaya meningkatkan kebersihan makin dioptimalkan. Dia meyakini strategi sudah mantap, hanya mungkin perlu pengoptimalan kinerja. Ternyata keyakinan itu memang terwujud setahun berikutnya. Piagam Adipura itupun disandang oleh Kota Pekanbaru, sebagai kota terbersih untuk kategori kota besar. Kesuksesan itu terus didulang tiga tahun berturut-turut hingga saat ini.
Meski prestasi sudah diraih, ternyata langkah Kota Pekanbaru untuk menciptakan kota yang bersih bukannya makin gampang. Untuk mempertahankan pridiket itu, skop penilaian kian diperlebar. Semua hal dinilai secara intensif dan melebar kemana-mana. Pelabuhan, pasar, jalan-jalan protokol, perumahan, sungai, dan banyak lagi menjadi penilaian. Beban yang ditanggung Pekanbaru makin berat lagi, karena makin banyaknya daerah lain yang memilih studi banding ke Pekanbaru untuk membuktikan Pekanbaru sebagai kota terbersih. Terhitung hingga akhir minggu lalu, telah ada 35 Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) di luar Pekanbaru yang berkunjung.
Herman mengakui, pridiket Kota Terbersih itu belum bisa menyamakan Kota Pekanbaru dengan kota di Singapura dan Malaysia. Untuk menyamakan posisi, menurutnya, tidak bisa ditangan pemerintah saja. ”Cobalah lihat, dulu kita telah menerapkan tong sampah yang memisahkan sampah organik dan non organik sumbangan Caltex (PT Chevron Pacific Indonesia, red). Namun bukannya masyarakat membuang sampah secara terpisah, malah tong sampah itu yang didongkak (dicuri, red),” tuturnya dengan nada kecewa.
Namun tak ada kata mundur, bagi tamatan magister manajemen ini. Perubahan prilaku masyarakat memang tidak bisa berubah seperti membalik telapak tangan. Namun berlahan tapi pasti berbagai upaya tersus dilakukannya untuk membangun kesadaran. Herman juga kini tidak hanya konsen terhadap kebersihan tetapi juga soal keindahan. Itulah sebabnya kini sejumlah trotoar di jebol untuk menanam pohon peneduh jalan. Lahan wargapun dibeli untuk membuat sejumlah taman Kota di Pekanbaru. Setiap tahun 5000 batang pohon ditanam.
Ditanya tentang resep yang ditawarkannya jika ada bupati/walikota lain ingin meraih Adipura seperti di Kota Pekanbaru, Herman menuturkan resepnya dimulai dengan kemauan dan komitmen dari kepala daerah, barulah kemudian diikuti dengan staf. Lalu harus dipikirkan juga tentang anggaran khususnya kesejahteraan buruh.
“Kalau bukan mereka siapa yang akan membersihkan kota ini. Siapa yang mau masuk ke anak-anak sungai dan dalam parit-parit kotor tersebut,” ujarnya sembari menyatakan anggaran yang diberikan untuk kebersihan cukup besar yakti mencapai Rp12,5 M.
Resep lainnya yang juga tidak boleh dilupakan oleh kepala daerah adalah melakukan monitoring. Herman biasanya melakukan saat pergi undangan kawin. Kalau ada jalan yang kotor atau tempat-tempat yang tidak bersih, saya catat, kemudian perintahkan kepada dinas atau camat. “Mungkin mereka bosan dan muak dengan saya karena ini. Namunkan ini tugas,” ujarnya sembari menyunggingkan sedikit senyuman.
Semoga Kota Pekanbaru tetap bersih dan makin hijau.

Senin, 08 Juni 2009

Green Student Journalists, Jurnalis Lingkungan Masa Depan





“Your Planet Needs You, Unite to Combat Climate Change” menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh tanggal 5 Juni lalu. Pesan tema itu mengisyaratkan setiap warga bumi ikut serta menyelamatkan bumi dari perubahan iklim. Sebagai komitmen nyata dari Riau Pos untuk ikut serta menyelamatkan bumi, maka Halaman Save The Earth dan Koran Xpresi Riau Pos yang terbit tiap edisi Ahad mendeklarasikan Green Student Journalist (GSJ).


Pendeklarasian GSJ dilaksanakan di Kantor Riau Pos pada Ahad (7/6) tersebut turut disaksikan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau Fadrizal Labai, Wakil Pemimpin Redaksi Riau Pos Abdul Kadir Bey dan Manager Humas PT Arara Abadi dan Indah Kiat (Sinar Mas Forestry – SMF) Nazaruddin. Terlaksana dengan dukungan dari Sinar Mas Forestry (PT Arara Abadi dan PT Indah Kiat) dan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera.

Wakil Pemimpin Redaksi Riau Pos Abdul Kadir Bey menyebutkan tujuan dari terbentuknya GSJ tersebut untuk melahirkan jurnalis-jurnalis lingkungan masa depan. Mereka, tambahnya, akan menjadi duta lingkungan lewat tulisannya untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan.
Sementara itu Fadrizal Labai menyatakan apresiasinya atas terbentuknya GSJ. Menurutnya dengan keberadaan wartawan sekolah yang peduli lingkungan tersebut, maka penyebaran informasi lingkungan semakin meningkat. “Dengan demikian kepedulian masyarakat terhadap lingkungan juga semakin meningkat,”ujarnya.

Kegiatan tersebut diisi dengan acara pembekalan pengetahuan lingkungan. Meliputi pemutaran film tentang Perubahan Iklim dan berjudul “Ayah, Mengapa Tidak Ada lagi Air?” Selanjutnya GSJ dan kru Xpresi (Cowok-cewek Masa Depan - CCMD) diperkenalkan dengan Program Sekolah Adiwiyata dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu. Cagar Biosfer (CB) tersebut, merupakan CB pertama yang ada di Riau dan hanya ada tujuh di Indonesia. Di tingkat internasional cagar biosfer ini disebut-sebut oleh MAB UNESCO Indonesia, sebagai cagar biosfer inisiasi swasta pertama di dunia.
Kegiatan diakhiri dengan melakukan kunjungan ke Dalang Collection, yakni tempat daur ulang sampah plastik binaan Soffia Seffen, pegawai PPLH Regional Sumatera. Dalam kunjungan itu GSJ dibuat terkagum-kagum dengan berbagai produk kerajinan dari sampah plastik. Mereka juga sangat antusias menanyakan berbagai hal tentang pengelolaan sampah plastik.

“Mulai sekarang kami bertekat lebih peduli terhadap lingkungan,” ujar GSJ serempak usai setengah hari bersama di Deklarasi GSJ. (ndi)

Senin, 02 Maret 2009

Sedekade Lebih Terkepung Asap

Sudah satu dekade lebih masyarakat Riau dikepung asap kebakaran hutan dan lahan. Mengapa bencana itu tak usai juga dan bagaimana keluar dari musibah tahunan itu?

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru

SELASA (17/2) pagi menjelang siang, di sela-sela peringatan pencapaian produksi 11 miliar barel produksi minyak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Minas, terdengar sedikit kasak-kusuk. Sejumlah tamu undangan dan wartawan dari Jakarta yang sedianya hadir pada acara itu ternyata tidak bisa mendaratkan kakinya di Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II. Bandara SSK II pagi itu diselimuti asap tebal sehingga jarak pandang di bandara itu mulai dari pukul 07.00 WIB menurun, berkisar 300-500 meter. Mengingat kondisi itu membahayakan, maka Bandara SSK pun ditutup.





Pagi itu, semua penerbangan menuju SSK II dialihkan. Ratusan penumpang yang berada di dalam pesawat Garuda Indonesia, Lion Air, Pelita Air, Riau Airlines, dan Air Asia diterbangkan ke sejumlah bandara di luar Riau, yakni Polinia Medan, Hang Nadim Batam, dan Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Pesawat yang hendak terbang dari Bandara SSK II juga terpaksa ditunda, satu di antaranya Riau Airlines menuju Malaka.

Hari itu, ratusan penumpang pesawat harus mengalami kerugian moril dan materil. Semua rencana dan janji yang telah mereka atur sedemikian rupa terpaksa mengalami keterlambatan dan ada yang dibatalkan. Sejumlah maskapai penerbangan juga mengalami kerugian karena harus mengalihkan penerbangan dan ada pula yang membatalkan penerbangan hari itu.

Gara-gara asap tebal itu, tidak saja industri penerbangan yang mengalami kerugian, tetapi juga industri pelayaran, wisata, dan lainnya. Masyarakat juga harus mengalami kerugian menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Dalam sepekan ini saja untuk Kota Pekanbaru berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru disebutkan ada 1.141 warga yang menderita ISPA.

Ini bukan kejadian pertama di Riau. Sudah satu dekade lebih kejadian ini berulang. Kisah masyarakat Riau terkepung asap sudah mulai ada pada tahun 1994. Namun kejadian terparah pertama pada 1997. Pada tahun itu, bahkan sekolah sempat diliburkan. Para ekspatriat dari PT CPI sempat diungsikan ke Singapura karena kondisi asap sudah berada pada bendera hitam pada pengukuran kualitas udara di tempat mereka yang berarti sangat berbahaya.

Ekspansi Sawit Instan
Di era 90-an untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan untuk mengembangan perkebunan sawit secara cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Itulah awal musibah asap, menurut Nabiel Makarim, mantan Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Megawati.

“Awal Januari 1997, Presiden Soeharto menyadari perkembangan sawit secara instan itu telah membuat terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena pembukaan lahan. Akhirnya dia mengeluarkan imbauan untuk melakukan penghentian pembakaran. Namun orang-orang sudah terlanjur merasa enak dengan pengembangan sawit dan membuka lahan dengan membakar. Himbauan itu tidak digubris,” ujar Nabiel, Jumat (20/2).

Ekspansi sawit itulah yang hingga kini belum juga berhenti. Pembakaran lahan bahkan hutan tetap terus dilakukan untuk mengembangkan tanaman monokultur itu. Bukan hanya perusahaan, masyarakat bahkan pemerintahan provinsi dan kabupaten juga terus melakukan ekspansi sawit dalam sejumlah programnya.

Pembukaan lahan secara besar-besaran itu membuat kondisi tanah menjadi kering. Apalagi untuk kawasan tanah gambut yang kalau sudah mengalami kekeringan gampang terbakar. “Jadi kebakaran sekarang ini bukan saja karena ulah manusia tetapi juga secara alami. Dua-duanya memberikan kontribusi,” ungkap Nabiel.

Ekspansi sawit sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan itu, dibenarkan oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Rachman Sidik dan Kepala Daerah Operasional Siak BBKSDA Riau Ismail Hasibuan. Rachman menemukan lahan kebun K2I (kebun sawit program pemerintah provinsi Riau) yang terbakar. “Ini fotonya. Tangan saya sendiri yang menjepret kamera ke plank lahan kebun K2I yang belum ditanami itu,” ujar Rachman.

Sementara itu Ismail Hasibuan Februari ini menemukan kebakaran di Desa Dayun, Kecamatan Dayun tepatnya perbatasan lahan masya­rakat dan kebun sawit program Pemerintah Daerah Kabupaten Siak.

“Membakar lahan untuk pembukaan lahan memang cara yang paling instans. Biayanya murah. Dianggap menyuburkan lahan. Diawal-awal memang iya, namun seterusnya malah tandus,” ujar Rachman.

Sekali Terbakar jadi Langganan
Persoalan ekspansi sawit di Riau diperparah dengan sebagian besar lahan di Riau adalah lahan gambut. “Kalau gambut ini sudah terbakar, maka akan menjadi langganan,” ungkap Ismail Hasibuan. Pria berusia 39 tahun ini, telah lama bergabung dalam tim Manggala Agni, yakni tim pemadaman kebakaran hutan milik Departemen Kehutanan.

Prihal menjadi langganan itu dikarenakan sifat gambut irreversible (tak bisa kembali). Pada dasarnya lahan gambut, menurut Haris Gunawan, dosen biologi FMIPA Universitas Riau merupakan kawasan yang memiliki sifat seperti spon. Mampu menyerap air dengan perbandingan sekitar satu banding delapan. Artinya satu kubik gambut bisa menyerap air delapan kubik. Namun, saat gambut telah kering, maka sifat menyerap airnya tidak ada lagi. Maka kawasan gambut yang telah kering, maka akan kering selamanya. Itulah sebabnya kawasan gambut yang sudah terbakar, akan membuat kawasan di sekelilingnya yang telah kering ikut terbakar pada kebakaran berikutnya.

“Kalau ada informasi kebakaran, biasanya kami sering bilang, oh… tempat langganan yang biasa,” ungkap Ismail, awal pekan ini, usai melakukan pemadaman di Mempura, KM 3 dekat arah Pelabuhan Buton.

Berurusan dengan kebakaran di kawasan gambut menurut Ismail Hasibuan bukan perkara mudah. Pasalnya kawasan itu kerap kali apinya menjalar di bawah. “Apinya makan bawah,” ungkap Ismail mengistilahkan kebakaran yang terjadi di kawasan gambut.

Tentang kebakaran makan bawah itu, juga dikemukakan oleh General Manager Public Affair PT IKPP dan PT Arara Abadi Nazaruddin. Menurutnya seringkali kebakaran dari luar areal konsensi mereka merembet dari dalam tanah hingga sampai ke areal mereka. Pernah suatu kali, katanya, regu pemadaman kebakaran dari PT Arara Abadi dibuat lari ketakutan. Pasalnya api menjalar dari dalam tanah, melewati kanal yang mereka bangun.

“Kalau fenomena api meloncat di atas melewati kanal sudah biasa terjadi. Namun ini apinya menjalar di bawah melewati kanal. Dan yang lebih mengerikan lagi, air di kanal itu seperti mendidih. Jadi bisa dibayangkan berapa hebatnya kebakaran di dalam tanah tersebut. Melihat itu anggota langsung kabur,” ungkap Nazaruddin.

Begitulah fenomena kebakaran di kawasan gambut, parahnya sebagian besar kawasan Riau adalah kawasan gambut. Selain harus menghadapi api makan bawah, Ismail menyebutkan bahwa mereka kerap kesulitan menemukan sumber air di kawasan gambut yang telah terbakar itu karena kering. Selain itu banyak akses yang sangat sulit dijangkau karena jauh dari kendaraan mereka.

Kalau sudah begitu, menurut Rachman Siddik, satu-satunya cara memadamkan adalah dengan cara menyiram dengan helikopter. Biaya yang dikeluarkan untuk penyiraman itu boleh dibilang tidak sedikit. Pasalnya untuk satu jam biaya penyewaan helikopter dengan kaapasitas tangki lima ribu liter diperlukan biaya perjamnya 2.000 Dollar Amerika (sekitar Rp22 juta).

Asap, Kekeringan, dan Banjir
Bencana asap, kekeringan dan banjir adalah setali tiga uang. Artinya ketiga bencana itu seperti rangkaian bencana yang susul menyusul. Fenomena itu disebabkan lagi-lagi karena kawasan Riau umumnya gambut.

Pada kawasan gambut, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan maka terjadi kebakaran di dalam tanah. Itulah yang menyebabkan kebakaran sering hanya terlihat asapnya. “Kalau kebakarannya baru-baru apinya memang kelihatan. Karena yang terbakar lapisan gambut bagian atas. Tetapi kalau sudah bakar bawah, maka yang muncul hanya asap,” ungkap Ismail Hasibuan.

Ketika bencana asap sudah usai, karena hujan yang terus menerus terjadi, maka yang terjadi kemudian adalah bencana banjir. Pasalnya bila semula kawasan gambut memiliki kemampuan untuk menyerap air delapan kali lipat dari beratnya, kini yang terjadi kawasam gambut tidak memiliki kapasitas untuk menyerap air sama sekali. “Inilah yang kemudian membuat Riau menjadi makin rentan dengan bencana banjir,” ungkap Haris.

Jika musim banjir sudah usai, maka musibah berikutnya adalah kekeringan. Pasalnya air hujan yang sedianya mengendap di dalam tubuh gambut tadi, tidak tertampung sama sekali. Bahkan parahnya, air yang terdapat di kawasan gambut yang seharusnya mengalir ke anak-anak sungai dan sungai juga tidak ada lagi. Maka sungai-sungai pun menjadi kering. Itulah, tambah Haris, yang membuat fenomena debit air sungai antara musim kemarau dan musim hujan jauh sekali. Keseimbangan benar-benar terganggu.

Bencana asap, kekeringan, dan banjir disempurnakan lagi, tambah Haris dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan suhu meningkat. “Kawasan gambut yang terbakar melepaskan emisi karbon, salah satu gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Dengan suhu yang meningkat maka kebakaran hutan dan lahan makin mudah terjadi,” papar Haris.

Jadi dibalik bencana asap, ada serangkaian bencana lagi yang akan menimpah Riau. Dari hari ke hari, bila tidak segera dicegah kondisi bencana itu kian lama akan kian parah. Rachman Sidik dan Ismail Husin mengungkapkan tidak ada cara yang paling efektif menghentikan kebakaran hutan dan lahan, kecuali dengan melakukan penghentian pembukaan lahan dengan cara membakar. Menurut mereka itulah awal dari segala bencana kebakaran dan asap tersebut.

Manajemen Gambut
Masnellyarti Hilman, Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Riau harus dilakukan manajemen gambut. Pasalnya kawasan gambut Riau seluas 4,044 juta hektar itu saat ini hanya 38 persen yang belum tereksploitasi.

“Riau bisa meniru Kalteng (Kalimantan Tengah) dalam manajemen gambut. Mereka membangun kanal blocking agar kawasan gambut tidak kering. Masing-masing kabupaten/ kota juga menganggarkan uang Rp1 miliar untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Dengan dana itu juga digunakan bagi masyarakat untuk membuka lahan tanpa bakar,” ujar Masnellyarti yang biasa disapa dengan Nelly.

Selain itu, Canecio Munoz, executive director for environment at Sinar Mas Forestry menyebutkan juga penting sekali untuk menertibkan penduduk terutama para imigran. Menurut pria asal Philipina yang sudah bertugas di Riau pada era 90-an ini, hampir semua pelaku pembukaan lahan di Riau adalah para imigran. “Sekitar 70 persen adalah imigran, sementara penduduk asli sedikit sekali,” ujarnya.

Terkait dengan rentannya kebakaran di daerah kawasan gambut, Munoz, memastikan bahwa solusinya harus diikuti dengan mengharamkan pembakaran pada pembukaan lahan. Jika pembakaran untuk membuka lahan tidak dihentikan ditambah tidak ada manajemen gambut, dipastikan dekade-dekade selanjutnya Riau masih terkepung asap.***

Terbit 22 Februari 2009 di Harian Pagi Riau Pos