Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 13 Januari 2009

Episode Mabuk Sawit

Krisis global, penen raya minyak nabati dari biji bunga matahari dan kedele di negara-negara lain, serta serangan hama sawit telah membawa berkah tersendiri. Setidaknya sementara ini berhasil meredam episode mabuk sawit masyarakat Riau. Sekaligus menjadi peringatan dini bagi masyarakat Riau agar tidak berjudi dengan satu kartu bernama kelapa sawit.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@yahoo.com

Dari langit Riau, di ketinggian 1000 kaki di atas permukaan laut (dpl), Oktober lalu, kulihat dengan jelas kemanapun helikopter membawaku terbang baik ke arah Kabupaten Bengkalis, Siak ataupun hanya berputar-putar di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru yang kulihat hanyalah hamparan kelapa sawit nan maha luas. Semua berjejer rapi dan elok rupanya, seperti bentangan karpet hijau bercorak segi lima berbentuk payung. Itulah wujud tanah Riau kini dari langit sana yang tidak bisa berdusta.



Tanaman asal Afrika Barat dan Amerika Selatan yang awalnya masuk ke Indonesia sebagai tanaman hias itu kini telah menguasai daratan Riau. Tidak saja masuk ke perkebunan-perkebunan swasta dan nasional, tetapi juga ke kebun-kebun penduduk. Bahkan tak jarang kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Tesso Nilo pun ikut dikuasainya. Bahkan kini di tempat komunitas adat terpencil (KAT) bermukim seperti Suku Talang Mamak pun nun di Indragiri Hulu sana, sawit pun berkuasa. Mereka (KAT) yang dulu boleh di bilang umumnya berada di dalam hutan kini justru terkurung di kebun sawit.

Mabuk Sawit
Namun siapa yang bisa menghentikan mabuk sawit itu. Harga sawit yang kala itu melambung tinggi dan menjadi komoditi primadona sudah menutup rapat-rapat telinga masyarakat yang tengah mabuk sawit. Sehingga teriakan agar konvesi lahan ke kebun sawit secara besar-besaran harus dihentikan tidak bisa lagi kedengaran. Pesan bahwa tanaman monokultur yang ditanam secara besar-besaran itu berbahaya karena rentan hama hanya lewat sambil lalu di telinga mereka yang tengah mabuk sawit.
Pemerintah pun, menurut Ahmad Muhammad dosen ekologi, jurusan Biologi FMIPA Unri, ikut-ikutan latah. Membuat program kebun kelapa sawit bagi masyarakat. Masyarakat lainnya yang memiliki modal dan pengetahuan tentang sawit yang terbatas, menurut Nyoto, pelaku dan praktisi sawit, juga ikut-ikutan latah. Ramai-ramai menanam sawit.
Pada tahun 2000, kebun kelapa sawit di Riau masih kurang dari satu juta hektar. Tahun 2005 meningkat menjadi 1,392 juta hektar. Tahun 2007 meningkat lagi menjadi 1,5 juta hektar. Pada tahun 2008, data Dinas Perkebunan Riau pun menyebutkan kini sudah ada 1,7 juta hektar kebun sawit di Riau. Namun angka itu di lapangan diperkirakan lebih luas.
”1,7 juta hektar itu yang terdata saja. Jika ditambah dengan kepemilikan masyarakat secara individual, saya kira tidak kurang dari dua juta hektar lahan kebun sawit di Riau,” ungkap Ahmad Muhammad. Bahkan Ahmad Zazali, dari Direktur Scale up (Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan) memperkirakan angkanya mencapai 2,1 juta hektar.


Usai Mabuk Sawit
Ibarat orang yang sedang mabuk, tak kala mabuk pikiran dan perasaannya diliputi rasa gembira. Dia tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, yang penting baginya happy. Tapi usai mabuk itu, si pemabuk tadipun baru merasakan pusing. Kepala seakan-akan berputar dan sesekali terpaksa muntah. Melepaskan kenikmatan sesaat yang sempat dirasakannya tadi.
Seperti itu pulalah kisah para pemabuk sawit. Kini mereka mengalami masa usai mabuk, di mana kepala mereka pusing karena segala kenikmatan yang dirasakan ketika harga sawit tinggi mulai usai. Hayalan untuk kaya raya secara abadi pun terpaksa dihentikan. Pasalnya kini harga sawit, dalam bentuk tandan buah segar (TBS) sekilonya ada yang mencapai Rp200, terutama petani sawit yang menggunakan bibit non sertifikasi alias bibit palsu.
Barang-barang konsumtif yang dulu dibeli dengan kredit di beberapa daerah produsen sawit pun kini mulai terpaksa dipulangkan secara sukarela atau paksa. Ledakan kemiskinan mulai menghantui masyarakat dan pemerintah di provinsi Riau. Akankah harga sawit bisa kembali melambung? Tak ada yang tahu karena krisis global yang bermula dari krisis keuangan Amerika serikat tak tahu kapan akan berakhir.
Selain krisis global, petani sawit di Riau pun tidak bisa berharap banyak. Pasalnya meskipun krisis global berakhir, mereka harus menghadapi lagi panen raya minyak nabati yang terjadi di beberapa negara pengimpor Crude Palm Oil (CPO). Seperti India yang kini panen raya kedele dengan biji bunga matahari. Mereka yang dulu menambung CPO Riau kini mengurangi impornya.
Di saat bersamaan, akhir Oktober lalu, Riau Pos Group mencatat terjadi serangan hama pada tanaman kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat. Sekitar 118 hektar sawit milik rakyat di Desa Koto Gadang Jaya, Kecamatan Kinali, diserang hama ulat api.
Serangan hama ulat api itu sangat cepat merusak tanaman sawit. Daun sawit akan habis dimakan ulat api dan pada akhirnya hanya tinggal lidi dan mati. Ini adalah bukti awal bahwa perkiraan para ahli biologi dan pertanian tanaman monokultur yang ditanam secara besar-besaran rentan sekali dengan hama.
Jika harga sawit tidak berharga lagi, siapa yang akan bertanggungjawab dengan bentangan tanaman sawit yang maha luas itu? Jika kebun-kebun kelapa sawit Riau yang sekitar dua juta hektar itu terserang hama dan kemudian lahan itu menjadi lahan terlantar, siapa yang akan menanggungnya?
Yang jelas jika sawit tak diurus dan dibiarkan berkembang biak dengan sendirinya maka ada potensi Riau menggurun. Pasalnya sifat tanaman sawit yang rakus air akan mengerogoti air tanah. Ditambah dengan kasus gambut Riau yang banyak mengering karena salah kelola maka kisah penggurunan akan dimulai di Riau. Usai itu, tidak tahulah apakah Riau akan menjadi gurun sama halnya dengan Afrika, tempat dimana tanaman kelapa sawit berasal.

Bangkit dari Mabuk Sawit
Setelah menghadapi rasa pusing para pemabukpun tertidur pulas. Bangun pagi barulah menyadari, bahwa kemarin kenikmatan sesudah mabuk itu sudah berakhir. Rasa pusing usai mabuk juga telah hilang. Kini adalah waktu bangkit untuk menata kembali kehidupan yang ada.
Krisis global, panen raya minyak nabati non sawit, dan serangan hama di pasaman, mungkin adalah peringatan. Peringatan kepada pemerintah dan semua pihak agar tidak latah.
Nyoto menyebutkan pemerintah harus membatasi mereka yang bertanam sawit, terutama dengan melihat kemampuan para petani itu. Bukan saja cukup modal saat menghadapi resiko saat ini, tetapi juga cukup ilmu pengetahuan tentang sawit.
”Contohnya sekarang banyak yang memiliki tidak memanen sawit. Padahal dengan membiarkan sawit busuk dibatang tidak baik untuk perkembangan buah sawit berikutnya. Terus buah sawit yang jatuh akan tumbuh, sehingga terjadi persaingan mendapatkan unsur hara di bawahnya. Jadi seharusnya pemerintah mengatur, jangan sampai asal punya lahan maka masyarakat bebas menanam sawit,” ujar nyoto.
Ahmad Muhammad memandang saat ini pemerintah dan masyarakat tengah main judi dengan memegang satu kartu. Kartu itu adalah berkebun sawit, artinya jika kebun sawit anjlok maka ledakan kemiskinan akan terjadi. Untuk itulah menurutnya diversifikasi tanaman harus dilakukan. Jangan meluluh menanam sawit.
Dia mencontohkan di Siak, di Kecamatan Dayun ada penduduk yang memilih menanam salak pondoh dibandingkan tanaman sawit. Ternyata hasil panen salah pondoh seperempat hektar hasilnya sama nilai nya dengan mereka yang menanam sawit dua hektar. ”Saya juga mendengar masyarakat Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak yang tetap mempertahankan bertanam padi dari pada beralih fungsi sawit kini juga merasa bersyukur tidak ikut-ikutan bertanam sawit. Jadi diversifikasi tanaman itu saat ini harus menjadi program pemerintah,” jelas Ahmad.
Pemerintah harus menggali agroforestry lokal. Misalnya dulu terkenal durian dari pantai timur Siak yang sampai di ekspor ke Singapura. Pohon durian itu ukurannya sampai tidak bisa dipeluk manusia, tingginya sekitar 40 meter.”Tanaman-tanaman seperti ini seharusnya digali potensinya. Begitu juga tanaman endemik lainnya. Agar kita tidak kehilangan keanekaragaman hayati,” ujar Ahmad.
Prof Suhardi dari Universitas Gadjah Mada pernah memberikan seminar di Pekanbaru tentang menanam pohon meranti di tengah-tengah hamparan tanaman sawit. Di Kabupaten Rokan Hulu, hal ini juga dikembangkan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP- Das) Indragiri Rokan dalam skala percontohan. Mungkin hal itu bisa kembali digaungkan agar Riau tidak jadi gurun. ***

0 komentar: