Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Sabtu, 31 Januari 2009

Akankah Pacu Jalur Berevolusi?

Bila suatu hari nanti, tidak ada lagi pohon besar yang bisa ditebang dan dijadikan jalur, bisa jadi pacu jalur harus berevolusi. Mula-mula menjadi pacu jalur mini, kemudian menjadi sekedar pacu sampan, dan akhirnya menjadi lomba dayung perseorangan dengan perahu berbahan fiber yang diimpor.


Laporan Andi Noviriyanti, Kuantan Singingi
andi-noviriyanti@riaupos.co.id





ntong ntong ntong ntong......(bunyi canang)
“Oooo ughang kampuong…., paghenta la tibo puloo….. banso awak ken bagotong royong maelo jaluar bisuok kolom, Basamo-samo bakumpuol didokek suwow disampieng uma pak wali, alek-alek nen dibao bokal nasi ….” lantang teriak Dubalang Canang memberitahukan ke seluruh penjuru masyarakat di desanya itu, bahwa esok hari akan dilaksanakan gotong royong menarik kayu jalur dari dalam hutan.
Kayu jalur adalah kayu alam yang berukuran besar, minimal berdiameter 40 centimeter hingga satu meter dan panjangnya 25-45 meter. Kayu khusus itu biasanya di dapatkan ditengah hutan lindung, rimbo larangan, dan hutan alam yang berada di wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, tempat tradisi pacu jalur digelar. Pacu jalur adalah sejenis pertandingan pacu sampan, hanya saja sampan yang digunakannya sangat panjang, karena bisa memuat 40-60 pendayung (anak pacu).
Proses menarik kayu itu, melibatkan sekitar 100-200 warga desa. Kayu itu sebelumnya telah ditebang oleh utusan beberapa warga desa yang didampingi sang dukun yang menentukan kayu mana yang akan ditebang dan kapan waktunya. Kayu yang telah ditebang tadi ditarik ke luar hutan sampai ke tepi jalan raya. Kayu itu kemudian dibentuk semi jadi oleh tukang pembuat jalur. Jalur yang belum sempurna itu kemudian didiang, yaitu kayu tersebut dipanaskan di atas api hingga merekah atau mengembang. Biasanya proses mendiang jalur itu dihadiri oleh bupati dengan ritual adat. Proses keseluruhan dari menebang hingga jadi jalur, biasanya memakan waktu sampai dengan dua bulan. Barulah kemudian siap untuk dipacu.Mulai dengan pacu jalur antar desa dalam satu kecamatan, hingga puncaknya dilaksanakan di tingkat kabupaten. Tepatnya di Tepian Narosa Talukkuantan, sekitar minggu keempat Agustus selama empat hari berturut-turut.
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, kegiatan pacu jalur adalah tradisi yang sangat besar. Malah lebih besar dari perayaan Hari Raya. Biasanya tiap kali pacu jalur digelar, maka seluruh masyarakat kampung akan beramai-ramai terlibat dalam kegiatan pacu jalur. Masyarakat dari perantauanpun akan berlomba-lomba untuk pulang. Baik untuk membantu tim pacu jalur mereka atau pun sekedar menonton.
Menurut Bupati Kuantan Singingi Sukarmis, pacu jalur bermula dari perwujudan kegembiraan para petani usai menuai padi. “Orang-orang tua dulu mengukirkan kegembiraannya dan memanjatkan rasa syukurnya dengan cara berpacu sampan. Itulah asal muasal pacu jalur,” ujarnya.
Sementara itu UU Hamidy menyebutkan tidak ada tahun yang pasti kapan dimulainya pacu jalur. Tapi dia memastikan, pacu jalur telah dikenal paling kurang semenjak tahun 1900. Pada masa itu yang dipacukan bukanlah jalur seperti saat ini, namun berbentuk sampan besar yang bermuatan 40 orang. Biasanya sampan itu dipakai untuk mengangkut hasil bumi, misalnya tebu, pisang dan lainnya.
Kegiatan pacu jalur itu kemudian berkembang dan diperingati setiap hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, 1 Muharam dan sebagainya. Namun ketika Belanda masuk ke Daerah Rantau Kuantan dan menduduki Kota Telukkuantan sekitar tahun 1905 tradisi pacu jalur mengubah waktu pelaksanaanya. Belanda mengganti waktu pelaksanaan bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Sejak zaman Belanda itulah kegiatan pacu jalur hanya dilaksanakan sekali setahun. Namun ketika zaman penjajahan Jepang aktivitas pacu jalur kemudian berhenti. Mulai bangkit kembali sekitar tahun 1950-an hingga sekarang. Bahkan perkembangannya kian pesat.
Bila dulu hanya dilaksanakan di empat tepian, yakni Kuantan Hilir, Benai, dan Kuantan Mudik, kini menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Marwan Yohanis telah berkembang di sembilan tepian. Penambahan tepian tempat pelaksanaan pacu itu seiiring dengan pemekaran kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi yang lokasinya berada di depian Sungai Batang Kuantan. Kegiatan pacu jalur pun kian semarak, tak kala peringatannya tidak lagi sekedar dipakai untuk peringatan Hari Kemerdekaan, namun juga pada acara-acara seremonial lainnya. Baik untuk peringatan ulang tahun kecamatan maupun untuk kegiatan politik untuk mempopulerkan nama-nama calon legislatif di pemilihan umum.
Semangat pacu jalur terus menggema, menyemarakkan desa-desa di Kuantan Singingi. Pesta-pesta adatpun digelar seiring perlombaan itu, randai (tradisi bernyanyi, menarik dan bersandiwara diiringi musik talempong) pun kini berkembang pesat. Pacu jalur pun kini tercatat dalam Kalender Wisata Nasional.

Evolusi Pacu Jalur
Sayangnya dari kemeriahan besar itu, Marwan menyimpan kekhawatiran. Takut kalau-kalau kegiatan pacu jalur berevolusi. Pasalnya kayu-kayu besar yang digunakan untuk pacu sudah semakin menipis. Bila dulu diameter kayu yang diambil berada di atas satu meter dengan jenis kayu keruing dan marsawah yang kuat dan bisa dipakai untuk lima tahun atau lebih kini berganti dengan kayu-kayu meranti yang diameternya hanya 40 centimeter dan hanya bisa dipakai sekitar dua tahun.
”Kalaulah nanti tidak ada lagi kayu, mungkin ukuran jalur semakin kecil, yang ada hanya pacu jalur mini. Kalau tidak ada kayu untuk pacu jalur mini, bisa jadi nanti pacu jalur mini menjadi pacu sampan. Lalu terakhir hanya berbentuk pacu dayung, yang perahunya berisi satu orang. Perahu itu pun tidak lagi terbuat dari kayu tetapi dari bahan fiber yang diimpor,” ungkap Marwan membayangkan masa depan kegiatan pacu jalur yang mungkin berevolusi dan akhirnya punah mengingat kebutuhan kayu jalur makin meningkat sementara ketersediaan kayu makin menipis.
Ungkapan Marwan mungkin bukan sekedar isapan jempol. Setidaknya Camat Gunung Toar Akhyan Armophis mengungkapkan kalau delapan jalur yang dibuat masyarakatnya sepanjang tahun 2008 ini berasal dari kayu jalur dari daerah lain. Tepatnya dari Lubuk Ambacang, Kecamatan Hulu Kuantan. Pasalnya rimbo larangan yang mereka miliki dan menjadi salah satu tempat penyediaan kayu jalur sudah tidak berkayu lagi.
Bahkan dibeberapa tempat lainnya di Kuantan Singingi, terutama di Baserah dan Inuman, masyarakat terpaksa meminta bantuan perusahaan agar mau membawakan kayu alam di daerah konsesi mereka untuk dijadikan kayu jalur. Karena memang tidak ada lagi kayu alam di sekitar kampung mereka.
Itulah sebabnya, Wandri (34), pria yang berkampung di Baserah ini mendukung pernyataan Marwan tentang evolusi pacu jalur. Menurut pengalamannya, dulu saat duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), kayu-kayu jalur yang ditebang diameternya bisa mencapai di atas kepalanya. ”Kalau berdiri dulu dihadapan kayu itu, bisa tidak nampak ke sebelah. Tetapi kini, diameter kayu itu hanya sebesar batang kayu durian (40 centimeter). Nanti bisa-bisa karena kayu tidak ada, bisa jadi perahu plastik yang akan digunakan untuk pacu jalur,” ungkapnya.
Meskipun tidak sedramatis Marwan dan Wandri, Wakil Bupati Kuantan Singingi Mursini pun mengakui kalau ke depan mungkin yang ada hanya ada pacu jalur mini. Bila dulu muatan anak pacu bisa mencapai 60 orang, kini hanya 40-50 orang. Mungkin ke depannya lagi 30 orang dan kemungkinan bisa terus menyusut. ”Tetapi saya yakin, sepuluh tahun ke depan masih cukup kayu-kayu besar untuk kegiatan pacu jalur ini,” ungkap Mursini yang tidak yakin tradisi di tanah kelahirannya itu menghilang.
Kepala Dinas Kehutanan Kuantan Singingi Ardi Nasri juga menyatakan hal yang senada dengan Mursini. Menurutnya, masih cukup kayu-kayu hutan di Kuantan Singingi yang bisa menyuplai kebutuhan kayu jalur. Meskipun disatu sisi dia mengakui kini hutan-hutan di kabupatennya telah banyak rusak bahkan hilang menjadi sekedar nama. Misalnya untuk 36 Rimbo Larangan yang dulunya ada di Kuantan Singingi, kini hanya tersisa 15 lokasi. Sementara itu berdasarkan buku Laporan Hasil Inventarisasi dan Pemetaan Rimbo Larangan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2006, hanya ada 13 rimbo larangan yang masih ada.
Ketigabelas rimbo larangan itu adalah Rimbo Larangan Ronge, Rimbo Parotang Batang, Rimbo Tobang Kaluang, Rimbo Baluang, Bukit Marontang, Rimbo Air Hitam, Rimbo Larangan Jake, Rimbo Larangan Kayu Gading dan Rimbo Larangan Titian Tore, Rimbo Pematang Pongal (Pematang Samak), Rimbo Bukit Sangkar Puyuh, Rimbo Kopuang, Rimbo Samak dan Bukit Panarahan.
Rimbo-rimbo larangan yang memiliki total luas 1.347.06 hektar itu pun, menurut buku tersebut juga dalam keadaan kritis. Misalnya untuk Rimbo Larangan Jake, rimbo larangan terluas itu secara administratif memiliki luas 400 hektar, namun kini yang tersisa hanya 325,6 hektar. Sementara Rimbo Larangan Ronge yang luasnya 10 hektar, sekitar 50 persennya sudah menjadi kebun masyarakat. Begitu juga dengan Rimbo Pematang Pongal, Rimbo Kopuang, Rimbo Bukit Panarahan juga bernasib sama menjadi perkebunan karet tua. Selanjutnya rimbo larangan yang lain dalam keadaan rusak berat.
Begitu pula yang terjadi di kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh. Hutan lindung yang juga menjadi tempat masyarakat untuk mendapatkan kayu jalur, itupun telah dirambah masyarakat. Bahkan sepanjang jalan menuju air terjun Guruh Gemurai yang terdapat di dalam kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh, terlihat jelas hamparan hutan lindung tersebut kini telah menjadi hamparan kebun karet. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kuantan Singingi Ardi Nasri, memang ada lima rumah di tempat itu. Baik untuk tempat tinggal maupun dijadikan bedeng batu bata. Sementara jumlah kebun karet yang ada di kawasan itu, dia mengaku belum menginventarisnya dan memang jumlahnya cukup banyak.
”Itu memang kawasan lindung, namun memang banyak masyarat di Lubuk Jambi yang bersikukuh bahwa itu sebagai kawasan kebun mereka. Sekarang kami sedang melakukan pendekatan secara kekeluargaan agar mereka mau pindah dan tidak berkebun di hutan lindung itu,” jelas Ardi Nasri tentang upayanya mengamankan kawasan yang menjadi tempat kayu jalur diambil.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, tambahnya, juga tengah gigih melakukan upaya penanaman pohon meranti. Baik yang berdampingan atau berada di dalam perkebunan. Yakni dengan memadukan meranti dengan karet atau meranti dengan sawit. Selain itu juga dilakukan pengayaan ke rimbo larangan dan hutan lindung yang ada. Untuk tahun 2006-2007 saja, telah dilakukan penanaman tiga ribu batang meranti.
”Saya pikir 20 tahun ke depan, kayu-kayu itu sudah bisa dipanen untuk dijadikan kayu pacu,” ucapnya optimis bahwa tradisi pacu jalur tidak akan berevolusi atau menghilang di negeri itu.***



0 komentar: