This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 25 Juni 2009

Belajar dari Iklan Rokok

H Ismail Husein


Semua orang tahu merokok dapat memicu berbagai penyakit dan menanam pohon adalah hal yang mulia karena menolong kehidupan bumi dari malapetaka banjir, kekeringan hingga pemanasan global . Namun orang tetap saja lebih banyak merokok dan sedikit yang mau menanam pohon. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Andi Noviriyanti


Kala itu hujan rintik-rintik mengantar penjelajahan Riau Pos ini ke Kota Bangkinang, Ibukota Kabupaten Kampar, sekitar 60 kilometer dari Kota Pekanbaru. Riau Pos hendak bertemu dengan H Ismail Husein, seorang penerima penghargaan Kalpataru 16 tahun lalu. Dia adalah orang yang berhasil penggagas Gerakan Sejuta Sungkai di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) di tahun 90-an.
Tidak sulit mencari rumah Ismail. Rumahnya tepat berada di Jalan Sudirman No 35, tidak jauh dari areal wisata Stanum, Kota Bangkinang. Rumahnya sangat asri karena memiliki pekarangan yang luas dan dikelilingi pepohonan dan kolam ikan. Di pagar depan sebelum memasuki gang kecil menuju pintu gerbang rumahnya akan terlihat dengan jelas tulisan ”Kembang Sungkai”
Di areal rumah yang memiliki luas 1,8 hektar itulah Warta Suara Bumi mendengar kisahnya. Kisah seorang penggagas penghijauan yang sangat fenomenal dalam menciptakan greget kegiatan penghijauan di Provinsi Riau sekaligus di Indonesia. Kegiatan penghijauannya yang diberi nama Gerakan Sejuta Sungkai itu sekaligus menjadi tonggak sebutan nama lain bagi Kabupaten Inhu yaitu Negeri Sejuta Sungkai.
Padahal bila dilihat dari sejarah perkembangbiakan sungkai (Peronema canescens), pohon itu bukanlah tanaman endemik yang ada di Kabupaten Inhu. Pohon itu juga banyak tumbuh di daerah lainnya. Terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan dan terdapat pula di Negara Malaysia. Namun berkat ketekunan dan kesungguhan hatinya serta dukungan Bupati dan masyarakat Inhu dia mampu membuat sungkai menjadi identitas Kabupaten Inhu.
Proses Gerakan Sejuta Sungkai, menurut Ismail tidaklah bermula di Kabupaten Inhu. Tetapi justru di Kota Tanjungpinang. Kala itu, ingatnya, dia tengah bertugas di Kota Tanjungpinang. Sebagai mantan pimpinan proyek (pimpro) reboisasi dan telah banyak bergerak di bidang kehutanan, dia memiliki keinginan untuk menghijaukan Kota Tanjung Pinang dengan tanaman sungkai yang sangat banyak tumbuh di tempat itu.
Dia pun mencari sungkai-sungkai terbaik di negeri yang kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau itu. Ismail mengaku menyukai menanam sungkai karena pohon itu memiliki kayu yang bagus namun sangat gampang tumbuhnya. Ibaratnya tinggal ditusukkan saja rantingnya ke tanah maka akan tumbuhlah pohon itu.
Di tengah keasyikan itu, ternyata dia harus berpindah tugas ke Kota Rengat. Di Kota Rengatlah perjuangan penghijauan dengan tanaman sungkai itu dilakukannya. Namun dia tidak ingin kegiatan itu hanya kegiatan sekedar tanam menanam tanpa ada target dan tanpa greget. Kegiatan tanpa target dan greget itu akan membuat gerakan penghijauan berjalan lamban, tidak banyak yang terlibat, dan tidak terukur keberhasilannya. Itulah yang kemudian melatarbelakanginya untuk melakukan Gerakan Sejuta Sungkai. Gerakan itu juga mendapat dukungan sangat kuat oleh Bupati Inhu yang menjabat saat itu.
“Ada sekitar 300 ribu orang penduduk Inhu, kalau satu orang menanam tiga pohon saja maka akan ada satu juta pohon. Di Inhu juga ada 300 desa, kalau masing-masing desa menanam tiga ribu pohon maka akan ada satu juta tanaman sungkai,” ungkap penerima tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan dari Presiden BJ Habibie ini bercerita tentang strategi penghijauannya.
Strategi itulah yang membuat gerakan penghijauan dengan tanaman sungkai itu berhasil. Sehingga sampai kini gerakan itupun masih diingat, bahkan diabadikan menjadi salah satu nama gedung di Kabupaten Inhu.
Tak cukup hanya itu, Ismail juga membuat kegiatan penghijauan itu memiliki manfaat besar bagi masyarakat Inhu. Dia menggalakkan kegiatan kerajinan dari kayu sungkai. Dia menciptakan sejumlah industri kecil yang dibina oleh perusahaan selaku bapak angkat. Itu jugalah yang menyebabkan Kabupaten Inhu dikenal sebagai penghasil kerajinan kayu sungkai.
Namun berbagai cerita keberhasilan gerakan penghijauan yang dilakukan Ismail seketika berhenti ketika sampai pada suatu pertanyaan, “adakah penerus jejaknya?”
Pria berpostur tinggi dan berkumis tebal ini terdiam sejenak lalu buliran air mata mengalir di pipinya. Baginya terlalu sulit menjawab pertanyaan sederhana namun memiliki makna yang dalam itu. Pertanyaan itu sering dilontarkan banyak orang kepadanya. Namun sulit baginya menjawab karena dia tidak melihat ada orang yang mengikuti jejaknya.
Meski begitu sebuah jawaban diplomatis akhirnya terungkap dari bibirnya. ”Saya tidak tahu siapa penerus saya, namun bagi saya siapapun yang menanam pohon adalah penerus saya,” ungkapnya sembari menanggalkan kaca matanya dan menyeka air matanya.
Kegiatan penghijauan, katanya, akan berhasil dan memiliki banyak penerus bila kegiatan penghijauan belajar dari filosopi iklan rokok. Kegiatan menanam pohon pada dasarnya adalah hal yang gampang. Asal ada cangkul, ada bibit, maka tinggal gali lobang, lalu tanam. Namun yang sulit adalah membuat orang mau menanam pohon. Untuk membuat orang mau menanam pohon itulah diperlukan ajakan dan seruan terus menerus seperti halnya iklan rokok.
Dia menyebutkan iklan rokok selalu saja menyajikan bagaimana heroik-nya seseorang yang merokok. Pria nan perkasa, bersahaja, kuat dan kesan kepahlawan lainnya. Sehingga bahaya merokok menjadi hal yang terabaikan. Iklan itu juga diputar terus menerus menghiasai layar kaca dan jalan-jalan.
“Kalau saja iklan menanam pohon juga dilakukan seperti itu. Yang menanam pohon adalah pahlawan, maka akan banyak orang yang mau menanam. Ketika orang sudah mau menanam, kegiatan penghijauan seperti apapun akan berhasil,” tuah pria kelahiran Daik, Lingga, 68 tahun silam ini.


Adakah Kehidupan Lebih Baik di Tempat Sampah Berakhir?

Laporan Andi Noviriyanti

Mata Tiur Boru Tambunan (38) dan puluhan teman-temannya tampak berbinar-binar tiap kali truk-truk pembawa sumber mata pencarian mereka datang. Dengan berlarian mereka saling berpacu mengejar ke arah mana truk itu akan menumpahkan isinya. Lalu dengan sigap mereka akan memunguti berbagai benda yang dijatuhkan dan dilemparkan dari dalam truk itu. Semakin banyak yang bisa mereka rebut semakin terpancarlah kebahagian diraut wajah mereka.
Berbeda dengan mata Tiur dan teman-temannya, mata Riau Pos justru nanar (menyiratkan kesedihan) melihat kejadian itu. Mereka yang berpacu bukannya tengah memperebutkan bahan makanan seperti yang biasa terlihat saat bantuan makanan gratis diberikan. Tetapi mereka sedang memperebutkan onggokan-onggokan sampah yang tidak jelas apa jenisnya. Bisa jadi pampers yang telah berlumur berak bayi, bangkai binatang, kotoran dan jeroan hewan, kertas bekas, sisa makanan, buah-buahan busuk dan entah apalagi.

Terpenting bagi mereka sampah-sampah yang terbungkus dalam kantong-kantong plastik itu direbut dulu. Masalah isi belakangan akan mereka pilah. Untuk yang masih berharga didaur ulang seperti karton bekas, kertas bekas, gelas plastik bekas, botol bekas, kara plastik, botol kaca, besi-besi tua akan mereka sisihkan. Terkadang mereka juga mengambil sampah kulit pisang dan sampah sayuran untuk dijual kepada pemilik ternak.
Begitulah potret kehidupan yang bisa disaksikan di sebuah tempat yang menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dari seluruh penjuru Kota Pekanbaru. Terletak sekitar 18,5 kilometer dari Kota Pekanbaru arah jalan lintas Pekanbaru- Minas, tepatnya Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru.
Sekitar 174 pemulung menggantungkan kehidupannya di TPA bersistem sanitary landfill (sampah diratakan lalu ditutup dengan tanah uruk) itu. Untuk mengais-ngais sampah yang bau itu, para pemulung yang rata-rata perempuan hanya mengandalkan tangan-tangan mereka yang terbungkus sarung tangan. Sengatan matahari yang tajam yang menikam ubun-ubun kepala mereka, hanya diatasi dengan menutup kepala mereka dengan kain atau topi. Kaki mereka terbungkus sepatu kets buruk atau sepatu bot yang umum dipakai petani. Wajah para perempuan itupun hanya dilindungi bedak beras yang dioleskan dipipi mereka.
Setiap hari mereka bekerja dari sekitar pukul delapan pagi hingga pukul delapan malam. Malah terkadang jika ingin mengais rezeki yang lebih banyak dari angka Rp20 ribu, mereka bisa datang lebih pagi dan pulang lebih malam. Karena sampah-sampah itu bisa datang setiap saat. ”Sampah itu bisa masuk pagi, siang, sore, atau malam. Tempat ini menampung sampah selama 24 jam,” ungkap Sihmanto, pria yang tiga tahun terakhir hingga awal Oktober lalu menjadi Kasi Pemanfaatan Sampah dan Kotoran Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Pekanbaru yang mengepalai TPA Muara Fajar.
Malah menurut Sihmanto, para pemulung terkadang ada yang berani menaiki truk bermuatan sampah yang masih berjalan. ”Meski telah berkali-kali dilarang karena membahayakan mereka dan membuat sampah berserakan sebelum masuk ke tempatnya, masih ada juga yang membandel,” ujar pria berperawakan kurus itu.
***

Kehidupan yang ada di TPA itu, seperti langit dan bumi bila dihadapkan dengan pusat Kota Pekanbaru, sebuah kota yang telah tiga tahun berturut-turut ini menjadi kota terbersih se Indonesia. Pasalnya sampah yang berada di pusat kota selalu saja dipindahkan dengan sigap oleh para tenaga kebersihan DKP, Dinas Pasar, dan kecamatan ke TPA. Malah untuk mengangkut sampah itu jadwal petugas kebersihan hingga tiga kali sehari. Di mulai periode pertama dari pukul enam pagi hingga pukul satu siang. Periode kedua dari pukul dua siang hingga pukul tujuh malam. Periode terakhir pukul delapan malam hingga pukul dua dini hari.
Untuk memindahkan sampah-sampah itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut Mursidi Kasubdin Operasional DKP. Untuk dinasnya saja, dibutuhkan biaya operasional untuk pengangkutan sampah dan pengelolaannya di TPA sebesar Rp5,8 miliar pertahun. Itu belum termasuk biaya pengangkutan yang dikeluarkan dinas pasar dan kecamatan yang bertanggungjawab terhadap sampah pasar dan tempat pemukiman warga.
Cekatannya pihak tenaga kebersihan itulah yang menjadi salah satu faktor penting dari prestasi penghargaan Adipura yang diterima Kota Pekanbaru sejak tahun 2005 lalu hingga sekarang. Namun, haruskah Kota Pekanbaru terlena akan prestasi yang telah diraihnya?
Sebuah fakta mencengangkan dipaparkan oleh rekan seprofesi Riau Pos, bernama Budiman. Pria yang bekerja di Suara Pembaharuan ini, dalam suatu pertemuan, menghadiahkan sebuah buku yang ditulis bersama Walikota Cimahi HM Itoc Tochija kepada Riau Pos. Buku berjudul Tragedi Leuwigajah itu memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah di kota-kota seluruh Indonesia termasuk di Pekanbaru suatu saat akan menimbulkan petaka di tempat sampah berakhir, sama halnya yang terjadi di TPA Leuwigajah.
TPA yang menjadi tempat penampungan sampah akhir dari Kota Bandung dan Cimahi itu pada tahun 2005 meledak dan longsor. Akibatnya 143 orang tewas dan 139 rumah terkubur dan hancur ditelan sampah. Kejadian ini tercatat sebagai bencana terbersar kedua di dunia yang pernah terjadi di TPA. Terbesar pertama terjadi di Payatas, Quezon City, Filipina. Longsoran sampah mengubur lebih dari 200 orang dan belum termasuk ratusan lainnya yang hilang dalam bencana tersebut.
Meledak dan longsornya TPA Leuwigajah bukan karena tempat itu sengaja hendak diledakan. Tetapi sebagai akibat tumpukan sampah yang terus menggunung itu menghasilkan gas metan (CH4) hasil penguraian sampah organik di TPA itu. Akibatnya lama-lama karena material sampah dan gas yang dihasilkannya mencari keseimbangan alam, gas metanpun meledak. Ledakan itu mengubah struktur sampah yang tadinya kokoh menjadi kosong di beberapa bagian dan akhirnya mengakibatkan longsor. Lalu sampah yang didominasi plastik itupun mengubur manusia yang berada disekitarnya.
TPA Leuwigajah pun ditutup untuk sementara waktu. Sampah dari Kota Bandung dan Cimahi pun tidak bisa masuk dan akhirnya menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Tumpukan sampah itu mengakibatkan Bandung yang dijuluki kota kembang tak lagi wangi. Karena bau busuk sampah memenuhi seluruh penjuru kota.
Lalu tidak lama berselang, di saat Kota Pekanbaru menerima penghargaan kota terbersih, Bandung menerima penghargaan kota terkotor se Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup. Meski tidak dapat dipastikan kebenarannya, namun dari pengamatan kepada kedua kota itu bisa jadi disebabkan karena Pekanbaru masih memiliki areal yang cukup luas untuk menyingkirkan sampah ke luar kota sana.
Namun soal pengelolaan sampah kedua kota itu tidak ada bedanya. Sama-sama masih mengandalkan sistem lanfill pada TPA-nya. Sama-sama memiliki pemulung diatas kubangan sampahnya. Sama-sama mengelolah sampah tanpa upaya sangat berarti untuk mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), mendaur ulang (recycling), pemanfaatan kembali (recovery) sampah-sampah yang ada.
Perbedaan mendasar hanya terletak pada kepadatan penduduk dan luas areal yang belum berpenghuni. Bandung memiliki penduduk lebih padat sehingga lahannya lebih sempit. Bila tidak ada upaya pengelolaan sampah yang lebih baik, bisa jadi Kota Pekanbaru suatu saat nanti tidak akan jadi kota terbersih lagi dan tragedi Luewigajah bisa terjadi di Muara Fajar.
***
Adakah pengelolaan sampah yang lebih baik dan lebih bermanfaat? Ada jawab satu-satunya penerima penghargaan Kalpataru Tahun 2007 Erni Suarti. Erni berhasil membuat semua sampah yang dihasilkan dari dapurnya menjadi benda bermanfaat. Ada yang dijadikannya pupuk organik, pakan ternak dan adapula yang menjadi cairan penyubur tanaman. Bau sampah dapur di rumahnya juga menjadi wangi. Untuk mengubah itu perempuan yang bekerja sebagai tenaga penyuluh pertanian ini menggunakan teknologi Effective Microorganism 4 (EM 4).
Tentang adanya pengelolaan sampah yang lebih baik juga diungkapkan oleh Budiman dan HM Itoc Tochija dalam bukunya. Hanya dibutuhkan kemauan dan kebersamaan untuk membuat sampah tidak lagi sekedar jadi limbah. Untuk sampah kertas bisa didaur ulang menjadi kerta bermutu tinggi dan dijual kembali. Caranya hanya dengan menghancurkan kertas secara manual atau dengan blender. Setelah airnya diperas airnya, bubur kertas itu tinggal dijemur sinar matahari. Dengan tambahan sedikit lem dan pewarna dalam sekejap kertas itu akan menjadi jenis kertas berstekstur unik dan alami.
Untuk sampah organik, selalin dibuat kompos juga bisa dijadikan energi untuk menghasilkan listrik seperti yang dilakukan Negara Cina. Listrik tersebut dihasilkan dari perpuataran turbin yang didorong oleh gas hasil penguraian sampah organik.
Sampah plastik, kaleng, besi, alumunium pun tidak sulit dimanfaatkan kembali. Caranya dengan mendaur ulang sampah tersebut. Baik dengan memberikannya kepada pemulung atau menjualnya kepada penampung sampah. Penampung sampah itu akan menjualnya ke pabrik daur ulang untuk membuat benda-benda baru yang bisa digunakan kembali.
Pekerjaan mengelolah sampah yang dimulai dari sumber sampah itu berasal akan mengurangi banyak sampah yang dikumpulkan di TPA. Sampah-sampah berharga yang diberikan kepada para pemulung juga akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pemulung. Sesuai dengan tujuan Millennium Development Goals (MGDs) untuk pengentasan kemiskinan.
Para pemulung juga bisa bekerja lebih baik dengan cara menjadi tenaga komposting dan pegawai pabrik daur ulang yang berada di areal TPA. Mengingat selama ini sampah-sampah yang masih berharga di daur ulang di luar Riau yaitu Medan dan Pulau Jawa. Semoga ada kehidupan yang lebih baik di tempat sampah-sampah itu berakhir! (Terbit di Harian Riau Pos, 28 Oktober 2007)

Senin, 22 Juni 2009

Jalan Panjang Pekanbaru Menuju Penghargaan Adipura


Dari Prediket Terkotor se-Riau sampai Terbersih se-Indonesia

Tahun 2000, Pekanbaru menyandang prediket Kota Terkotor se Riau, namun atas komitmen kuat dari Walikota Pekanbaru Herman Abddulah, tahun 2005 Pekanbaru ditetapkan sebagai Kota Terbersih se Indonesia. Bahkan menyandang lima tahun berturut-turut (2005-2009) Adipura (kota terbersih) kategori kota besar.

Laporan Andi Noviriyanti


Seorang pria berperawakan agak gemuk, berkumis tipis, berkulit agak gelap memandang jengkel ke tumpukan sampah yang ada dihadapannya. Rautan wajahnya yang menyiratkan kemarahan tidak bisa disembunyikan. Hatinya sedang kesal melihat tumpukan sampah yang sepertinya sudah berminggu-minggu berada di tempat itu.
Tak banyak ba bi bu (bicara, red), pria kelahiran Pekanbaru, 18 Juli 1950 ini langsung menghubungi pejabat yang bertanggungjawab terhadap tumpukan sampah itu. Tak ingin sekedar diberi janji, dia pun menunggu pejabat itu hingga datang ke lokasi sampah.
“Tolong bersihkan ini, dalam waktu sehari dua hari ini!,” tunjuk pria beralis tebal itu ke arah sampah dengan nada tegas dan tanpa kata pembukaan seketika pejabat yang dimaksud datang.


Itulah hari-hari kelam Herman Abdullah, saat program K3 (Kebersihan, ketertiban, dan keamanan) yang dicanangkannya tidak mendapat respon yang baik dari jajarannya. Ibarat seorang pengawas, diapun langsung turun ke berbagai lokasi agar tidak ada lagi tumpukkan sampah yang tidak dibersih-bersihkan. Itu pulalah sebabnya dia paling sering menghadiri pesta pernikahan warga Kota Pekanbaru.
“Kalau saya disini dan badan ini masih bisa dibawa bernapas, pasti saya menghadiri berbagai undangan pesta itu. Saat itu pulalah saya mengawasi jalan-jalan yang saya lewati agar tidak ada sampah,” ungkap pria yang terkenal berbicara blak-blakan ini, awal Juni lalu.
Apa yang membuat Herman Abdullah begitu konsen terhadap persoalan kebersihan di kotanya? Ternyata jawabannya bermula di hari pelantikannya menjadi Walikota Pekanbaru, tanggal 21 Juli 2001. Saat itu Gubernur Riau Saleh Djasit menyinggung soal status Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kota terkotor di Riau pada tahun 2000.
“Kalau kota kotor, orang pasti tidak akan memberikan penilaian terbaik pada kota. Tapi kalau kota bersih, pembangunannya biasa-biasa saja, maka orang akan memberikan penilaian yang bagus kepada Kota Pekanbaru,” ungkap Herman menirukan kata-kata Gubernur Riau kala berpidato melantik dirinya.
Kata-kata itulah yang kemudian mencambuk Herman Abdullah untuk membenahi ibu kota Provinsi Riau. Tantangan yang dihadapinya cukup besar, pasalnya kala itu pembangunan tengah gencar-gencarnya karena pengaruh otonomi daerah. Setelah berkonsultasi dengan Departemen Agama di Pekanbaru tentang arti penting kebersihan yang juga terkait dengan ayat suci Alquran yang menyatakan bersih itu sebagian dari iman, maka terwujudlah program K3.
K3, menurut Herman, sebenarnya bukanlah hal baru. Mengingat peraturan daerah (perda)nya terlah ada sejak tahun 2000. Hanya saja perda Nomor 4 tahun 2000 itu tidak jalan. Itulah sebabnya cap kota terkotor se Riau disandang Kota Pekanbaru.
Pada tahun 2002, mulailah Kota Pekanbaru mengajukan diri untuk di nilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendapatkan penghargaan Adipura. Penghargaan bagi Kota Terbersih se Indonesia itu, bersifat sukarela setelah paska reformasi. Hanya kota yang minta dinilai saja yang akan dinilai.
Namun tidak ada hasil yang mengembirakan. Di tahun 2003, ketika penilaian itu diminta kembali, juga tidak begitu menuai prestasi. Dari 58 kota se Indonesia, Kota Pekanbaru menempati urutan ke 16.
Urutan itu membuat Pekanbaru berbesar hati, maka strategi berikutnya pun diatur agar prediket Kota Bersih itu disandang. Pada tahun 2004, dibuatlah bagi-bagi tugas persoalan kebersihan. Bila dulu seluruhnya berada di tangan Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kini khusus untuk wilayah perumahan penjagaan kebersihannya menjadi kewenangan kelurahan dan kecamatan. Pasar-pasar tradisional di urus oleh Dinas Pasar. Kebersihan parit, anak-anak sungai, termasuk Sungai Siak menjadi kewenangan Dinas Pemukiman dan Prasaranan Wilayah (Kimpraswil). Dinas perhubungan mengurusi wilayah pelabuhan dan terminal. Dinas Kesehatan mengurusi puskesmas dan rumah sakit. Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) mengurusi kebersihan sekolah. Tinggalkah ruas-ruas jalan protokol yang diurusi Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Selanjutnya dibentuk pula tim pengawas yang tidak memiliki hubungan langsung dengan instansi yang dinilai. Asisten I mengawasi kebersihan di Kecamatan, Asisten II di jalan-jalan protokol, asisten III di kantor pemerintah dan swasta, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal) terminal, dan lain sebagainya. Lalu dilakukan pula rapat intensif setiap bulannya untuk evaluasi kinerja.
Namun hasilnya, ternyata juga tidak mengembirakan, malah jauh panggang dari api. Bila tahun 2003 menempati urutan 16 dari 58 kota, tahun 2004 malah berada di posisi seratusan dari 300 kota yang dinilai.
Tapi itu semua tidak membuat Herman berkecil hati. Malah upaya meningkatkan kebersihan makin dioptimalkan. Dia meyakini strategi sudah mantap, hanya mungkin perlu pengoptimalan kinerja. Ternyata keyakinan itu memang terwujud setahun berikutnya. Piagam Adipura itupun disandang oleh Kota Pekanbaru, sebagai kota terbersih untuk kategori kota besar. Kesuksesan itu terus didulang tiga tahun berturut-turut hingga saat ini.
Meski prestasi sudah diraih, ternyata langkah Kota Pekanbaru untuk menciptakan kota yang bersih bukannya makin gampang. Untuk mempertahankan pridiket itu, skop penilaian kian diperlebar. Semua hal dinilai secara intensif dan melebar kemana-mana. Pelabuhan, pasar, jalan-jalan protokol, perumahan, sungai, dan banyak lagi menjadi penilaian. Beban yang ditanggung Pekanbaru makin berat lagi, karena makin banyaknya daerah lain yang memilih studi banding ke Pekanbaru untuk membuktikan Pekanbaru sebagai kota terbersih. Terhitung hingga akhir minggu lalu, telah ada 35 Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) di luar Pekanbaru yang berkunjung.
Herman mengakui, pridiket Kota Terbersih itu belum bisa menyamakan Kota Pekanbaru dengan kota di Singapura dan Malaysia. Untuk menyamakan posisi, menurutnya, tidak bisa ditangan pemerintah saja. ”Cobalah lihat, dulu kita telah menerapkan tong sampah yang memisahkan sampah organik dan non organik sumbangan Caltex (PT Chevron Pacific Indonesia, red). Namun bukannya masyarakat membuang sampah secara terpisah, malah tong sampah itu yang didongkak (dicuri, red),” tuturnya dengan nada kecewa.
Namun tak ada kata mundur, bagi tamatan magister manajemen ini. Perubahan prilaku masyarakat memang tidak bisa berubah seperti membalik telapak tangan. Namun berlahan tapi pasti berbagai upaya tersus dilakukannya untuk membangun kesadaran. Herman juga kini tidak hanya konsen terhadap kebersihan tetapi juga soal keindahan. Itulah sebabnya kini sejumlah trotoar di jebol untuk menanam pohon peneduh jalan. Lahan wargapun dibeli untuk membuat sejumlah taman Kota di Pekanbaru. Setiap tahun 5000 batang pohon ditanam.
Ditanya tentang resep yang ditawarkannya jika ada bupati/walikota lain ingin meraih Adipura seperti di Kota Pekanbaru, Herman menuturkan resepnya dimulai dengan kemauan dan komitmen dari kepala daerah, barulah kemudian diikuti dengan staf. Lalu harus dipikirkan juga tentang anggaran khususnya kesejahteraan buruh.
“Kalau bukan mereka siapa yang akan membersihkan kota ini. Siapa yang mau masuk ke anak-anak sungai dan dalam parit-parit kotor tersebut,” ujarnya sembari menyatakan anggaran yang diberikan untuk kebersihan cukup besar yakti mencapai Rp12,5 M.
Resep lainnya yang juga tidak boleh dilupakan oleh kepala daerah adalah melakukan monitoring. Herman biasanya melakukan saat pergi undangan kawin. Kalau ada jalan yang kotor atau tempat-tempat yang tidak bersih, saya catat, kemudian perintahkan kepada dinas atau camat. “Mungkin mereka bosan dan muak dengan saya karena ini. Namunkan ini tugas,” ujarnya sembari menyunggingkan sedikit senyuman.
Semoga Kota Pekanbaru tetap bersih dan makin hijau.

Senin, 08 Juni 2009

Green Student Journalists, Jurnalis Lingkungan Masa Depan





“Your Planet Needs You, Unite to Combat Climate Change” menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh tanggal 5 Juni lalu. Pesan tema itu mengisyaratkan setiap warga bumi ikut serta menyelamatkan bumi dari perubahan iklim. Sebagai komitmen nyata dari Riau Pos untuk ikut serta menyelamatkan bumi, maka Halaman Save The Earth dan Koran Xpresi Riau Pos yang terbit tiap edisi Ahad mendeklarasikan Green Student Journalist (GSJ).


Pendeklarasian GSJ dilaksanakan di Kantor Riau Pos pada Ahad (7/6) tersebut turut disaksikan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau Fadrizal Labai, Wakil Pemimpin Redaksi Riau Pos Abdul Kadir Bey dan Manager Humas PT Arara Abadi dan Indah Kiat (Sinar Mas Forestry – SMF) Nazaruddin. Terlaksana dengan dukungan dari Sinar Mas Forestry (PT Arara Abadi dan PT Indah Kiat) dan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera.

Wakil Pemimpin Redaksi Riau Pos Abdul Kadir Bey menyebutkan tujuan dari terbentuknya GSJ tersebut untuk melahirkan jurnalis-jurnalis lingkungan masa depan. Mereka, tambahnya, akan menjadi duta lingkungan lewat tulisannya untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan.
Sementara itu Fadrizal Labai menyatakan apresiasinya atas terbentuknya GSJ. Menurutnya dengan keberadaan wartawan sekolah yang peduli lingkungan tersebut, maka penyebaran informasi lingkungan semakin meningkat. “Dengan demikian kepedulian masyarakat terhadap lingkungan juga semakin meningkat,”ujarnya.

Kegiatan tersebut diisi dengan acara pembekalan pengetahuan lingkungan. Meliputi pemutaran film tentang Perubahan Iklim dan berjudul “Ayah, Mengapa Tidak Ada lagi Air?” Selanjutnya GSJ dan kru Xpresi (Cowok-cewek Masa Depan - CCMD) diperkenalkan dengan Program Sekolah Adiwiyata dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu. Cagar Biosfer (CB) tersebut, merupakan CB pertama yang ada di Riau dan hanya ada tujuh di Indonesia. Di tingkat internasional cagar biosfer ini disebut-sebut oleh MAB UNESCO Indonesia, sebagai cagar biosfer inisiasi swasta pertama di dunia.
Kegiatan diakhiri dengan melakukan kunjungan ke Dalang Collection, yakni tempat daur ulang sampah plastik binaan Soffia Seffen, pegawai PPLH Regional Sumatera. Dalam kunjungan itu GSJ dibuat terkagum-kagum dengan berbagai produk kerajinan dari sampah plastik. Mereka juga sangat antusias menanyakan berbagai hal tentang pengelolaan sampah plastik.

“Mulai sekarang kami bertekat lebih peduli terhadap lingkungan,” ujar GSJ serempak usai setengah hari bersama di Deklarasi GSJ. (ndi)