untuk mengukur objektivitasnya dalam rangka menghadirkan berita-berita yang lebih bernas dan bertanggung jawab.
Metode Hayakawa-Lowry
Metode Hayakawa mengukur objektivitas berita melalui pengategorian kalimat. Kalimat-kalimat dalam berita di kelompokkan menjadi empat kategori: (1) kalimat laporan, (2) kalimat inferensi, (3) kalimat keputusan, dan (4) kalimat lainnya.
Kalimat laporan adalah kalimat yang berisi informasi faktual atau berdasarkan fakta dan dapat diverifikasi. Kalimat inferensi adalah kalimat prediksi, interpretasi atau pernyataan tentang sesuatu yang tidak jelas dasarnya. Kalimat tersebut dapat berpotensi
subjektif dan tidak dapat langsung diverifikasi. Sehingga pada akhirnya keakuratannya melemah. Sementara kalimat keputusan adalah ekspresi dari penulis atau cuplikan dari opini narasumber mengenai pernyataan setuju atau tidak setuju pada suatu peristiwa atau orang. Sehingga kalimat tersebut sampai ke pembaca bias.
Pada perkembangan selanjutnya Lowry mengembangkan metode analisis isi Hayakawa tersebut. Dia memecah kategori kalimat laporan dan inferensi, masing-masing menjadi dua, sementara kalimat keputusan menjadi empat. Akhirnya kategorisasi kalimat terbagi dalam sembilan kategori yang kemudian dikenal dengan metode Hayakawa-Lowry.
Metode Hayakawa-Lowry tersebut mempertimbangkan atribusi dari informasi dan bias reporter. Kalimat laporan beratribut adalah informasi faktual yang mencantumkan sumber berita. Kalimat inferensi berlabel adalah kalimat yang mengandung kata-kata prediksi atau interpretasi, namun tidak mencantumkan kata-kata
yang menunjukkan kalimat tersebut subjektif.
Kalimat keputusan beratribut dan menguntungkan adalah kalimat pernyataan reporter atau narasumber setuju atau tidak setuju pada peristiwa, manusia, objek, atau situasi beratribut sumber berita dan menguntungkan bagi subjek (misalnya lingkungan).
Sementara kalimat keputusan beratribut tidak menguntungkan dengan kalimat keputusan beratribut menguntungkan hanya dibedakan pada kalimat tersebut tidak memiliki kecendrungan membela subjek.
Berita dianggap objektif bila banyak memuat kalimat laporan. Bila kalimat laporan diberi nilai satu, kalimat inferensi dua, dan kalimat keputusan tiga, dan kalimat lainnya nol, maka berita dikatakan objektif bila berada pada rentang 1,00–1,67; kurang
objektif pada rentang 1,68–2,34, dan tidak objektif pada rentang 2,35–3,00. Penetapan nilai rentang itu hanya berdasarkan hitungan matematikan biasa.
Metoda Ida
Metode Ida, objektivitas berita didasarkan pada akurasi, ketidakberpihakan, dan validitas (Bagan 3.). Akurasi diartikan sebagai kejujuran dalam pemberitaan. Sedangkan ketidakberpihakan diartikan keseimbangan dalam menyampaikan berita. Terakhir, validitas, yaitu keabsahan pemberitaan tersebut.
Akurasi dibagi dalam empat hal yaitu kesesuaian judul dengan isi berita, pencantuman waktu, adanya data pendukung, dan faktualitas berita. Kesesuaian judul, yang dimaksud adalah judul utama, bukan sub judul. Pencantuman waktu, yang dimaksud
adalah pencantuman tanggal, atau adanya kata-kata yang menunjukan waktu terjadinya peristiwa atau wawancara. Hal itu penting, karena semakin banyak transparansi yang diperlihatkan, dengan menunjukkan waktu wawancara atau kejadian, maka memiliki nilai keakuratan yang lebih tinggi.
Kemudian penggunaan data pendukung merupakan kelengkapan informasi atas kejadian yang ditampilkan. Kelengkapan data pendukung, bisa ditampilkan di dalam berita atau langsung menggunakan tabel, statistik, foto, ilustrasi gambar, dan lainnya.
Selanjutnya yang dimaksud dengan faktualitas berita adalah menyangkut ada tidaknya pencampuran fakta dengan opini wartawan yang menulis berita. Opini wartawan dapat ditandai bila terdapat kata-kata bersifat opini, seperti tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, diramalkan, seolah, agaknya, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata opini lainnya.
Untuk fairness atau ketidakberpihakan pemberitaan adalah menyangkut keseimbangan penulisan berita. Hal itu dapat dilihat dari dua hal, yaitu dilihat dari sumber berita dan ukuran luas fisik kolom yang digunakan. Dikatakan sumber berita seimbang, apabila masing-masing pihak diberitakan diberi porsi yang sama sebagai sumber berita. Sementara untuk luas fisik kolom dilihat dari ukuran fisik luas kolom (sentimeter kolom).
Menurut Kovach dan Rosentiel (2004) keseimbangan berita dimaksudkan agar wartawan tidak langsung menuliskan cerita pertama yang datang kepadanya dan tergiring oleh kesan umum yang ditangkap. Meskipun pada saat itu, si wartawan hadir di lokasi peristiwa atau mendengarkan langsung dari saksi mata. Hal itu karena saksi mata yang berbeda memberikan kesaksian yang berlainan terhadap peristiwa yang sama, baik karena menyebutkan sebagian saja, dari satu sisi atau sisi yang lainnya, atau karena ingatan yang tak sempurna.
Kemudian, validitas atau keabsahan pemberitaan diukur dari atribusi dan kompentensi pihak yang digunakan oleh sumber berita. Atribusi, yaitu pencantuman sumber berita secara jelas. Sumber berita dinyatakan jelas, apabila dalam berita dicantumkan identitas sumber berita yang dipakai seperti nama, pekerjaan atau sesuatu yang memungkinkan untuk dilakukan konfirmasi. Selanjutnya kompetensi pihak yang dijadikan sumber berita dalam mendapatkan informasi yang digunakan untuk mengetahui
validitas suatu kronologi peristiwa. Apakah berita berasal dari apa yang dilihat wartawan sendiri atau dari sumber berita yang menguasai persoalan, atau hanya sekedar kedekatannya dengan media yang bersangkutan atau karena jabatannya.
Kategori itu lebih jelasnya dibagi dalam wartawan, pelaku langsung dan bukan pelaku langsung. Disebut wartawan bila peristiwa yang diberikan merupakan hasil pengamatan wartawan secara langsung, yaitu mengungkap informasi sesuai dengan apa
yang dilihat, didengar dan diketahui oleh wartawan itu sendiri. Pelaku langsung, apabila peristiwa yang diberikan merupakan hasil wawancara wartawan dengan sumber berita yang mengalami langsung peristiwa tersebut (pelaku langsung interaksi sosial).
Misalnya saksi mata, saksi korban atau orang yang memang terlibat langsung dengan peristiwa itu sendiri, atau memang berada di lokasi ketika peristiwa itu terjadi. Bukan pelaku langsung, apabila peristiwa yang diberikan merupakan hasil wawancara dengan sumber berita yang tidak mengalami langsung peristiwa tersebut. Hanya karena jabatan atau memiliki akses infomasi lalu menjadi sumber berita. Misalnya petugas humas, juru bicara, kapuspen, atau juga para pejabat yang berwenang tetapi tidak berada di lokasi ketika peristiwa itu terjadi. Kovach dan Rosenstiel (2004) menyatakan jangan
mengandalkan ucapan pejabat atau laporan berita. Mendekatlah sebisa mungkin kepada sumber utama. Bertindaklah sistematis dan carilah bukti yang menguatkan.
0 komentar:
Posting Komentar