Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Rabu, 14 Januari 2009

Gajah dan Manusia Sama-sama Mati


Ketika Kawasan Konservasi Gajah Itu Diubah Jadi Kota Kecil


Satu kematian untuk gajah, satu kematian pula untuk manusia. Manusia dan gajah di Kecamatan Pinggir dan Mandau, Kabupaten Bengkalis sama-sama mati gara-gara berebut lahan. Penyebabnya dimulai dari hilangnya kawasan konservasi gajah bernama Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja seluas 18 ribu hektar yang diubah jadi sebuah kota kecil. Tempat berdirinya Kantor Camat Pinggir, Pabrik Kelapa Sawit, dan pemukiman penduduk.

Laporan Andi Noviriyanti, Pinggir
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Sabtu (19/7) pagi sekitar pukul 10.00 WIB, Ronald Silalahi (49) dan tiga temannya Sinaga, Kabul dan Anto bersepakat melakukan pengusiran kawanan gajah yang kelihatan akan merangsek tanaman pertanian mereka. Untuk menakut-nakuti kawanan gajah yang sudah dari kemarin malam berada di sekitar areal pertanian mereka itu, tepatnya di Balai Makam, Kecamatan Mandau, dihidupkanlah mesin gergaji rantai (chainsaw). Suara chainsaw yang menderu dan dipegang Ronald itu bukannya berhasil menakut-nakuti kawanan gajah itu, tetapi malah membuat kawanan gajah itu melakukan serangan balik. Kawanan gajah itu mengejar Ronald Silalahi dan kawan-kawannya.



Kencangnya lari Ronald, ternyata tak mampu mengalahkan kejaran seekor gajah besar yang menjadikan Ronald dan chainsawnya sebagai target. Saat Ronald terjatuh dan tersungkur, gajah besar itu dengan sigap menginjak tubuh Ronald. Pinggang dan perut Ronald pun remuk. Tangan kirinya pun ikut patah. Dalam sakit yang tidak tertahankan itu, Ronald berusaha berteriak meminta pertolongan. Ketiga temannya yang mendengar teriakan itu, tidak kuasa untuk menolong. Pasalnya mereka pun sedang lari tunggang langgang ketakutan. Setelah kawanan gajah itu pergi barulah mereka berani menolong Ronald dan mengantarnya pulang ke kediamannya. Hanya beberapa saat, sekitar pukul 11.00 WIB, Ronald menghembuskan nafas terakhir.

Kematian Ronal di Desa Balai Makam, akibat diinjak gajah bukanlah kematian pertama di kawasan Kecamatan Mandau dan kecamatan pemekarannya yakni Kecamatan Pinggir. Sebelumnya di dua kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bengkalis itu ada nama Ponibi (27) yang juga mati diinjak gajah pada April 2007. Sebelumnya lagi ada nama Widodo (25) yang juga mati dengan cara yang sama pada akhir tahun 2004. Nama-nama itu diperkirakan lebih banyak lagi. Mengingat nama-nama itu hanyalah yang terekspos di media masa.

Kematian manusia akibat diinjak gajah itu jika dilihat data 2007-2008, berbanding lurus jumlahnya dengan kematian gajah. Misalnya kematian Ronal di tahun 2008 ini, hanya berselang satu bulan dengan kematian seekor gajah di Balai Pungut, Kecamatan Pinggir. Gajah itu mati dalam keadaan kaki dan belalainya terjerat kawat sementara gadingnya menghilang. Selanjutnya kematian Ponibi tahun 2007 berselang dua bulan dengan kematian seekor gajah yang mati dalam keadaan ditusuk benda tajam semacam tombak.

Gajah dan manusia sama-sama mati di tempat ini untuk mempertahankan arealnya masing-masing bagi kelangsungan hidupnya masing-masing pula.

Awal Saling Bunuh
Tidak ada data pasti sejak kapan peristiwa saling bunuh antara gajah dan manusia itu terjadi. Namun dugaan kuat, peristiwa saling bunuh itu mencuat setelah gajah di kawasan itu makin terdesak di habitatnya. Bahkan benteng terakhir mereka yang dilindungi Undang-undang berupa SM Balai Raja seluas 18 ribu hektar yang terletak di Kecamatan Pinggir pun telah disulap menjadi sebuah kota kecil. Di kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi gajah sejak tahun 1986 hingga saat ini tersebut telah berubah menjadi kawasan kantor camat, perkebunan dan pabrik kelapa sawit serta pemukiman penduduk.

Bagaimana hal itu bisa terjadi dan siapa yang bersalah atas hilangnya kawasan itu? Tak ada satu pihak pun yang mengaku bertanggungjawab akan hilangnya kawasan konservasi itu. Namun berdasarkan penelusuran data yang Riau Pos lakukan diketahui jauh sebelum areal tersebut ditunjuk sebagai kawasan konservasi, PT Caltec Pacific Indonesia (yang kini bernama PT Chevron Pacific Indonesia – Chevron) telah beroperasi pada tahun 1973. Mereka juga telah mendiirikan sekolah di Desa Pinggir sebagai program pengembangan masyarakat. Kawasan konservasi itu juga dibangun di atas kawasan eks HPH PT Chandra, sehingga di dalam kawasan itu sudah ada jalan-jalan operasional. Kondisi itu membuat kawasan tersebut dari awal sudah rawan terhadap kegiatan perambahan.

Untuk mengantisipasi kerawanan itu, pada tahun 1993 dilakukan penataan batas kawasan sepanjang 51 KM. Pada tahun 1993 itu berhasil dituntaskan tata batas sepanjang 33,72 KM. Dalam penataan batas itulah diketahuilah bahwa di dalam kawasan telah berdiri sejumlah kebun karet dan sawit. Bahkan naasnya pada tahun 1995, pos jaga untuk kawasan SM Balai Raja itu dibakar oleh pihak tertentu.

Namun karena telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi maka kawasan tersebut tetap harus dipertahankan. Untuk itulah tim Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) melakukan patroli dan operasi gabungan di kawasan itu. Mengingat ada ancaman perambahan terhadap kawasan itu, pada tahun 1996, dikeluarkan surat kepada Kepala Inspektur Wilayah Provinsi Riau agar menertibkan kepala desa yang mengeluarkan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) di kawasan konservasi tersebut. Itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 593/1984 kepala desa dan camat tidak memiliki kewenangan untuk memberi ijin membuka tanah.

Selanjutnya, pada tahun 2001, Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Riau juga menyurati bupati walikota se Riau untuk memberitahukan kawasan konservasi di masing-masing wilayah dengan diberlakukannya otonomi daerah. Bupati walikota juga diminta berperan dalam menjaga keberadaan kawasan konservasi yang ada.

Namun bukan tanggapan positif yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkalis. Pemkab Bengkalis justru mulai tahun 2002 mulai membangun Pabrik Kelapa Sawit dan Kantor Kecamatan Pinggir di kawasan Konservasi Balai Raja itu. Bahkan pemberitahuan secara lisan oleh petugas lapangan KSDA tidak dipedulikan.

Pada Desember 2003 digelar rapat koordinasi penanganan masalah perambahan hutan di SM Balai Raja. Saat itu dipimpin oleh Jhon Kenedie selaku Kepala BKSDA Riau dan turut dihadiri oleh Fadrizal Labai dari Dinas Kehutanan (saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Kehutanan), Abdul Hamid mewakili Dinas Kehutanan Bengkalis, dan berbagai instansi terkait termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan kepolisian. Dalam pertemuan itu disepakati di antaranya, komitmen untuk mengatasi perambahan, membentuk tim inventarisasi, dan melaksanakan upaya penangangan secara tegas terhadap pelaku perambahan. Namun butir-butir kesepakatan itu tidak terealisasi sampai saat ini.

Itulah sebabnya kini, dari sekitar 18 ribu hektar kawasan konservasi SM Balai Raja yang tersisa hanya sekitar 500 hektar. Itupun adalah Hutan Lindung Talang yang terletak di tepi Kompeks Perumahan Talang Chevron. Selebihnya kawasan konservasi yang membentang dari Kantor Camat Pinggir hingga ke Hutan Lindung Talang telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang dilengkapi berbagai fasiltas umum termasuk pabrik kelapa sawit, kebun kelapa sawit dan perumahan penduduk.

Seiring dengan itu, kawasan konservasi gajah lainnya yang letaknya tak jauh dari SM Balai Raja yakni Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga, Duri, seluas 5.873 hektar juga terdegradasi. Tempat sekolah gajah itu sempat dibakar dan dirambah secara besar-besaran hingga akhirnya tidak bisa dipertahankan. Kawanan gajah itu akhirnya ditumpang titipkan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim (SSK) yang kemudian dikenal dengan nama PLG Minas.

Sejak hilangnya dua kawasan konservasi di wilayah Kecamatan Mandau dan Pinggir itulah diperkirakan konflik antara gajah dan manusia di dua kecamatan itu menjadi-jadi. Tanaman pertanian yang siap panen di kawasan itu kerap kali dijarah gajah. Sesekali rumah penduduk yang kebanyakan terbuat dari papan pun diluluhlantakkannya. Bahkan kawanan gajah itu, sejak beberapa tahun terakhir kerap kali mendatangi komplek perumahan Chevron yang lokasinya berbatasan langsung dengan SM Balai Raja. Durasinya, menurut Tiva Permata Iswahyudi, humas Chevron wilayah Duri, rata-rata tiga bulan sekali. Sementara untuk kasus kematian, biasanya hanya sekali setahun.

Jalan Damai
Hampir tidak ada jalan damai dari perseteruan antara gajah-gajah di kawasan itu dengan manusia di sekitarnya. Pernah suatu kali, di Maret 2006, dicarikan solusi untuk menghentikan konflik antara gajah dan manusia di tempat itu. Kala itu dilakukan pertemuan antara aparat desa dan kecamatan, Dinas Kehutanan Riau, Balai KSDA, World Wide Fund for Nature (WWF) Riau, dan Chevron di Posko Amuk Gajah, Kecamatan Pinggir.

Ada tiga opsi yang dihasilkan dalam pertemuan itu. Pertama, melakukan pengusiran bagi gajah-gajah itu. Kedua, merelokasi gajah-gajah itu ke Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Ketiga, menggiring ke blok hutan Libo yang masih memiliki hutan. Opsi pertama tidak memungkinkan karena kalau diusir gajah-gajah itu tidak ada tempat mau diarahkan kemana. Mengingat kawasan disekitar itu tidak ada lagi yang memiliki hutan yang memadai bagi kehidupan gajah. Satu ekor gajah memiliki daerah jelajah sekitar 400 hektar. Opsi kedua juga tidak memungkinkan. Pasalnya kawasan di TNTN, tempat yang akan menjadi tempat penampungan gajah itu sudah over kapasitas. Persoalan relokasi juga mendapat penolakan dari WWF mengingat relokasi begitu jauh dan memungkinkan gajah-gajah itu akan mati saat pemindahan. Opsi ketiga juga tidak lebih baik. Hutan Libo yang dimaksud ternyata kawasan rawa yang tidak mungkin di tempati gajah.

Ketika opsi kedua dipaksakan dan dilakukan penangkapan dan pembiusan terhadap gajah-gajah di Balai Raja tersebut, ditambah-tambah terkatung-katungnya masalah relokasi, akhirnya gajah tersebut justru mati.

Sejak itulah persoalan konflik gajah di kawasan itu cendrung dibiarkan. “Kami sudah menyurati pihak BKSDA untuk melakukan pengusiran gajah-gajah yang masih berkeliaran di sekitar Balai Makam tempat Ronald Silalahi diinjak gajah. Namun sampai saat ini belum ada yang turun melakukan pengusiran,” keluh Camat Mandau Djoko Edy Imhar, akhir pekan lalu kepada Riau Pos.

Kepala BKSDA Rachman Sidik, mengaku, setakat ini memang tidak ada kegiatan apa-apa yang dilakukan. Pasalnya melakukan pengusiran kembali akan gajah-gajah itu sifatnya hanya solusi sementara. “Sekarang siapa yang mau diusir, Gajah yang mengganggu manusia atau justru manusia yang mengganggu gajah? Pemkab Bengkalislah yang harus bertanggung jawab akan hal ini. Merekalah yang harus mencarikan kawasan pengganti bagi gajah-gajah tersebut,” ujar Rachman Sidik sembari menyatakan BBKSDA akan meneruskan kasus hukum hilangnya kawasan itu.

Menanggapi tuntutan itu, Camat Mandau yang menjadi perpanjangan tangan dari Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang lokasinya sangat jauh di tempat itu mengaku tak tahu menahu ihwal ittu. Bagi pria yang dulu juga menjadi camat di Kematan Pinggir ini, persoalan satwa liar menjadi tanggungjawab BKSDA sebagai perwakilan pemerintah pusat. ”Merekalah yang harus bertanggungjawab. Karena kita tidak tahu siapa yang dulu menghuni tempat itu. Ini sama saja mengkaji mana duluan ayam atau telur?,” ungkapnya sembari menyebutkan Pemkab Bengkalis telah telah mengalokasikan dana untuk membantu BKSDA menyelesaikan persoalan gajah-gajah tersebut.

Persoalan konflik gajah dan manusia di dua kecamatan itu, menurut Nurul Qomar, dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau yang memiliki latar belakang pendidikan S1 dan S2 bidang kehutanan, menyebutkan persoalan itu memang telah menjadi konflik akut. Tak ada pilihan, kecuali pilihan-pilihan ekstrim. Pilihan mengembalikan fungsi kawasan sebagai kawasan konservasi dan memindahkan manusia dari kawasan itu, menurutnya akan sangat mahal biayanya. Pilihan memindahkan ke tempat baru, juga tidak bisa karena hampir semua kawasan konservasi yang ada kini juga sedang rusak berat. ”Tidak ada pilihan,” ujarnya mentertawakan kasus tanpa solusi itu.

Namun sedikit alternatif lain yang ditawarkannya adalah menumpangtitipkan gajah-gajah itu ke perusahaan. Seperti yang dilakukan oleh Arara Abadi dan Riau Pulp yang memilihara gajah liar. Beberapa ekor gajah itu menjadi tanggungjawab kedua perusahaan itu, baik makannya maupun pemeliharannya. Alternatif lain adalah mendosmetikan gajah tersebut seperti di India. Gajah itu hidup berdampingan dengan manusia. Di mana manusia memiliharanya layaknya hewan peliharaan seperti kuda.

Alternatif lainnya juga untuk sementara agar tidak ada lagi korban manusia adalah berusaha menjauhi gajah-gajah yang berkeliaran tersebut, seperti yang dilakukan oleh Chevron. Tiva menyebutkan, mereka selalu menghimbau kepada penghuni kompleks perumahan mereka untuk mengurangi aktivitas di luar rumah pada sore dan malam hari serta selalu waspada terhadap kemungkinan munculnya kawanan gajah liar itu. Bila menemui kawanan gajah itu jangan mengganggunya ataupun mengusirnya. Biarkan pihak yang kompeten yang mengembalikannya ke hutan. Menghubungi pihak keamanan untuk penanganan lebih lanjut.

Semoga peristiwa ini menjadi peringatan bagi daerah-daerah lain yang masih bisa menyelamatkan kawasan koservasinya. Agar kelak konflik akut manusia dan satwa liar serta bencana lingkungan lainnya tidak terjadi karena diubahnya kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya. ***

Diterbitkan di Riau Pos, tanggal 3 Agustus 2008


0 komentar: