Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Rabu, 14 Januari 2009

Sulitnya Mencari para Setia Lestari Bumi


Jejak Pertamanya pun Sudah Tenggelam


Tak mudah mencari para setia lestari bumi di Riau. Para pengabdi dan penyelamat lingkungan tanpa pamrih itu terkadang harus tersembunyi di tengah hutan, di tepian laut nan garang, atau tersembunyi di hiruk pikuknya kota metropolis. Jangankan untuk mencari yang baru, jejak pertama penyelamat lingkungan yang diakui tingkat nasional melalui penghargaan Kalpataru itu pun kini sudah tenggelam. Tenggelam saat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang dibangun.

Laporan Andi Noviriyanti
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Hari itu, akhir Desember 2007 menjelang sore, di tengah lautan. Sebuah perahu motor berpenghuni tim pemantau usulan penerima penghargaan Kalpataru 2008 sempat terombang ambing. Perahu motor mereka tiba-tiba mogok, sementara angin laut bertiup kencang. Hujan seperti muntah dari langit. Komat kamit doa terus berkumandang di bibir Hasmi Achmad, Selamat Tarigan, Ratna Juita dan empat penumpang lainnya yang tergabung dalam pemantau usulan penerima penghargaan Kalpataru untuk tahun 2008.



Dada mereka berdebar kencang. Ada siratan ketakutan juga. Pasalnya perahu motor itu telah berkali-kali mogok. Sementara hujan tidak juga berhenti. Terpal yang meneduhkan mereka diatas perahu tidak cukup bisa membuat mereka tidak basah. Namun untunglah perjalanan yang memakan waktu dua jam itu akhirnya berakhir juga, ketika perahu motor mereka berhasil mencapai pelabuhan di Kota Tembilahan, Ibukota Kabupaten Indragiri Hilir.
Tim pemantau usulan yang sehari-hari bekerja di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) tersebut, hari itu tengah menjalankan tugas mereka. Memantau kawasan bakau buah karya Abbas HU. Seoang pria berusia 38 tahun, yang hendak diusulkan menjadi penerima penghargaan Kalpataru. Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan oleh presiden atas nama Pemerintah Republik Indonesia kepada mereka yang dianggap telah menunjukkan kepeloporan dan memberikan sumbangsihnya bagi upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penghargaan itu sekaligus mengamalkan amanat Undang-undang Nomor 23 tahun 1997, pasal sepuluh, butir satu yang menyebutkan pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan kepada orang, lembaga, atau kelompok masyarakat yang berjasa di bidang lingkungan hidup.
Abbas HU yang hendak diusulkan menerima Penghargaan Kalpataru itu adalah orang yang berhasil melakukan penghijauan seluas 50 hektar di areal rawa tidak produktif dengan tanaman bakau. Dia menanam bakau secara swadaya sebanyak 500 ribu batang. Hasil kerja kerasnya yang dimulai tahun 2002 menujukkan hasil yang menggembirakan. Tidak saja membuat kawasan itu hijau tetapi juga telah menjadikannya sebagai areal produktif. Itu ditandai dengan makin banyaknya nelayan yang hilir mudik masuk ke kawasan sekitar bakau itu karena kini ditempat itu banyak ikan, udang, kepiting dan fauna laut lainnya.
Untuk melihat hasil kerja Abbas HU bagi lingkungan itu, tim harus naik perahu motor. Melewati sungai-sungai kecil dan akhirnya sampai tepian pesisir pantai Desa Sungai Asam. Sungai-sungai dapat dilalui, karena hari itu sedang pasang besar. Namun ketika hari menjelang siang, air sudah mulai surut. Jalan sungai tadi tidak bisa dilewati. Terpaksalah tim harus melewati laut. Dari tempat itu, menuju ke Tembilahan, ibukota Indragiri Hilir memakan waktu dua jam perjalanan dengan perahu motor.
Tembilahan sendiri baru bisa dicapai dari Kota Pekanbaru, sekitar enam jam bila menggunakan kendaraan roda empat. Perjalanan yang melelahkan sekaligus mendebarkan itu telah menjadi bagian tugas dari tim pemantau usulan penerima Kalpataru tersebut.
Kedatangan tim ke lokasi untuk mencari tahu, apakah mereka yang diusulkan untuk menerima penghargaan kalpataru itu benar-benar telah melakukan berbuatan mulia bagi lingkungan? Apakah pekerjaan itu telah dilakukan secara berkelanjutan dan benar-benar bermanfaat bagi lingkungan hidup di tempat itu? Apakah kegiatan itu memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya?
Dalam mencari jawaban itulah tim pemantau terkadang harus menyebarangi lautan, masuk ke hutan dan daerah-daerah terpencil lainnya. Tanpa turunnya mereka ke lapangan, tidak akan pernah ada usulan-usulan yang bisa muncul untuk mengorbitkan nama penyelamat lingkungan dari Riau.
***

Jejak pertama penerima Kalpataru di Riau dimulai di Desa Pongkai, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Masyarakat tani di desa itu berhasil menghentikan kebiasan ladang berpindah dengan membuat sistem perladangan menetap. Dengan ladang menetap, mereka bisa melindungi Hutan Lindung Bukit Suligi dari kebakaran hutan dan perambahan. Mereka juga berhasil melakukan intensifikasi pertanian di ladang yang tidak berpindah itu.
Kesuksesan itulah yang kemudian mengantarkan kelompok tani di desa itu menjadi penerima penghargaan Kalpataru pertama dari Provinsi Riau. Kelompok Tani Desa Pongkai menerima penghargaaan Kalpataru pada tahun 1984 kategori penyelamat lingkungan.
Namun keariban lokal dari masyarakat itu tinggal jadi kenangan dalam bentangan sejarah lingkungan Provinsi Riau. Desa itu telah ditenggelamkan pada tahun 1992, saat PLTA Koto Panjang didirikan.
Untunglah saat jejak pertama itu tenggelam, Riau kembali mendapatkan penghargaan Kalpataru dari seorang pria bernama H Ismail Husein. Pegawai di instansi kehutanan ini berhasil meraih penghargaan Kalpataru karena telah menjadi inovator menghijaukan Kabupaten Indragiri Hulu dengan Gerakan Sejuta Sungkainya.
Lalu setahun berikutnya ada Anjar Suharmini, penerima penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan. Dia berhasil mengajak menyarakat memanfaatkan lahan tidur seluas 500 hektar menjadi sawah cetak dengan irigasi, di
Desa Kuapan RT/RW II, Kecamatan Perwakilan Kampar Tambang, Kabupaten Kampar. Petugas lapangan pertanian ini merintis pembentukan kelompok tani dan membekali pengetahuan serta keterampilan bertani bagi masyarakat. Akhirnya desa itu berhasil menjadi desa berswasembada beras.
Selama lima tahun berikutnya, tidak satupun prestasi penghargaan Kalpataru diraih Riau. Namun di tahun ke enam, tepatnya tahun 1999, Riau berhasil meraih dua penghargaan Kalpataru, yaitu atas nama Sumarni dan Kelompok Tani Mekar Sari.
Sumarni mendapatkan penghargaan Kalpataru kategori pengabdi lingkungan. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sehari-hari bertugas sebagai penyuluh pertanian ini berhasil meyakinkan masyarakat Desa Sungai Upih Kecamatan, Kuala Kampar, Kabupaten Kampar untuk membuat parit dan tanggul. Pembuatan parit dan tanggul itu dilakukan secara swadaya dengan panjang dua kilometer dan tinggi satu meter. Upaya yang dilakukan secara swadaya itu dipergunakan untuk menahan masuknya air laut ke kawasan pertanian penduduk.
Sementara itu, Kelompok Tani Mekar Sari, Desa Bantan Air, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis mendapatkan penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan. Kelompok tani yang dipimpin oleh Sakdullah ini berhasil melakukan penanaman pohon bakau secara bergotong royong. Kegiatan itu untuk menyelamatkan lahan, kebun, sawah, dan ladang mereka dari kikisan gelombang laut. Mereka juga berhasil menekan terjadinya abrasi pantai sekaligus membuat populasi ikan dan udang menjadi banyak di lahan bakau yang mereka tanami itu. Akibatnya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di desa itu.
Setelah itu, Riau kembali absen dalam mendapatkan penghargaan lingkungan bergengsi itu. Sampai akhirnya pada tahun 2003, kisah seorang patih (tetua adat) di Desa Talang Durian Cacar, Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu berhasil meyakinkan tim penilai Kalpataru. Pria bernama Laman dan dikenal dengan sebutan Patih Laman itu berhasil mempertahankan keberadaan hutan adat Suku Talang Mamak, salah satu suku asli di Riau.
Patih Laman yang didukung masyarakat adatnya berhasil menghentikan kegiatan perambahan hutan dan penebangan liar (illegal logging). Termasuk juga menggagalkan izin usaha maupun operasi kegiatan perusahaan perkebunan yang ingin menyerobot hutan adat mereka. Memperjuangkan hak atas tanah dan hutan ulayat Talang Mamak. Melestarikan tumbuhan obat dan pohon sialang serta padi varietas lokal.
Setelah Patih Laman berbagai usulan dari pemerintah Provinsi Riau untuk menerima penghargaan Kalpataru selalu saja tidak berhasil menjadi nominator. Sampai akhirnya tidak disangka-sangka tahun 2007 lalu, pengabdi lingkungan itu justru datang dari Kota Metropolis Pekanbaru. Penerima penghargaan itu seorang perempuan bernama Erni Suarti. Dia seorang penyuluh pertanian yang mengembangkan pertanian organik melalui pembuatan kompos dan mampu mengelolah sampah organik menjadi pupuk berbau wangi tape.
***
Selama kurun waktu 27 tahun sejak penghargaan Kalpataru yang dimulai tahun 1980 itu diberikan, baru hanya tujuh pahlawan lingkungan Riau yang mendapatkan penghargaan tersebut. Itupun munculnya sering berjarak. Setelah bertahun-tahun tidak ada baru muncul kembali.
”Sulit mencari mereka para setia lestari bumi yang akan kita usulkan menjadi penerima penghargaan Kalpataru. Terkadang kita terpaksa melakukan pembinaan kembali kepada mereka yang telah diusulkan tetapi tidak menang. Kita bina mereka terus, hingga akhirnya bisa kita usulkan lagi dan menerima penghargaan itu,” ungkap Ina Mulyani, Kasubid Pembinaan Lingkungan Hidup Bapedal Riau yang membidangi urusan pengusulan penerima penghargaan Kalpataru.
Dia mencontohkan bahwa Abbas HU, dulu telah pernah diusulkan untuk menerima. Tetapi kemudian tidak menjadi nominator. ”Setelah beberapa waktu kita bina terus dan melihat ada perkembangannya, kita akan usulkan kembali tahun 2008 ini. Karena bakaunya sudah besar-besar dan areal penghijauannya sudah tambah luas. Kita berharap kali ini Abbas bisa mendapatkan penghargaan itu,” tambah Ina.
Sementara untuk mencari para setia lestari bumi yang baru, Ina mengaku masih kesulitan. Menurutnya instansinya tidak pernah bosan meminta partisipasi kepada kabupaten/kota, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun masyarakat lainnya untuk mengusulkan para penerima penghargaan Kalpataru. Namun seringkali semua hanya berkata, ”Kami belum menemukannya. Belum ada yang kelihatan”
Ina hanya bisa berharap kedepan akan bermunculan pahlawan-pahlawan lingkungan Riau. Mereka bisa perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan dan pembina lingkungan. Semakin banyak yang bisa diusulkan dan menerima penghargaan Kalpataru, maka akan semakin banyak muncul pahlawan-pahlawan baru. Suatu saat, kedepan tidak sulit lagi mencari para Setia Lestari Bumi di Bumi Riau.***

Daftar Penerima Penghargaan Kalpataru
Kelompok Tani Desa Pongkai dengan kegiatan Sistem Pertanian (1984)
H Ismail Husin dengan kegiatan Penghijauan (1992)
Anjar Suharmini dengan kegiatan Pemanfaatan lahan tidur (1993)
Sumarni dengan kegiatan Penyuluhan pertanian (1999)
Kelompok Tani Mekar Sari dengan kegiatan Penyelamatan tanah dan air (1999)
Patih Laman dengan kegiatan Penyelamatkan hutan adat (2003)
Erni Suarti dengan kegiatan Penyuluhan pertanian organik (2007)
LSM Bahtera Melayu dengan melestarikan lingkungan hidup (2008)
Abbas H Usman dengan kegiatan penghijauan (2008)


0 komentar: