This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 30 November 2010

Hasil Penilaian PROPER 2010 untuk Perusahaan di Riau

Dua Hijau, 25 Biru dan Delapan Merah

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jumat (27/11), secara resmi mengumumkan hasil penilaian kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan atau dikenal dengan PROPER. Hasilnya untuk perusahaan-perusahaan di Riau yang ikut dalam penilaian ini, dua mendapat prediket hijau, 25 biru dan delapan merah.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Dua perusahaan yang mendapatkan prediket hijau pada penilaian PROPER 2010 adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Medco E dan P Indonesia Blok Kampar (Lirik). Artinya, sesuai dengan buku panduan PROPER, perusahaan ini dinilai telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih baik dari yang dipersyaraatkan dalam peraturan melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien melalui upaya 4R (Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery) dan melakukan upaya tanggung jawab sosial (CSR/Comdev) dengan baik. Sementara itu yang mendapatkan peringkat biru ada 25 perusahaan. Mereka di antaranya adalah PTPN V Unit Sei Lindai Karet, PT Tirta Sari Surya Karet, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Pulai Sambu Guntung Minyak Kelapa, PT Adei Plantation, PT Aneka Inti Persada – Teluk Siak Factory Sawit, PT Eka Dura Indonesia, PT Indonsawit Subur II – Buatan II. Selanjutnya PT Ivo Mas Tunggal – PKS Sam-sam, PT Mitra Unggul Pusaka, PT Sari Lembah Subur 1 – PKS Ukui, PT Indah Kiat Pulp and Paper – Perawang, PT Kondur Petroleum S.A. dan lainnya.

Para perusahaan dengan prediket biru ini merupakan perusahaan yang usaha atau kegiatannya telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya untuk prediket merah ada delapan perusahaan. Kedelapan perusahaan itu adalah PTPN V PKS Sei Tapung (Rokan Hulu), PTPN V Unit Sei Galuh (Kampar), PT Sinar Perdana Caraka (Rokan hilir), PT Tor Ganda PKS Rantau Kasai (Rokan Hilir), PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) – Sumatera Light North (Siak, Bengkalis, Rojan Hulu dan Rokan Hilir), PT CPI – Sumatera Light South (Siak), PT CPI – Heavy Oil (Bengkalis) dan PT Pertamina (Persero) RU II – Kilang (Sei Pakning).

Perusahaan-perusahaan dengan prediket merah ini merupakan perusahaan yang pengelolaan lingkungannya belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan prundang-undangan dan dalam tahapan melaksanakan sanksi administrasi. Dalam penilaian PROPER tahun 2009/2010 di bagi dalam lima kategori, yakni emas, hijau, biru, merah, dan hitam. Emas merupakan peringkat terbaik. Di mana usaha dan kegiatan lingkungannya telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dan proses produksi maupun jasa serta melaksanakan bisnis beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Sementara hitam untuk perusahaan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran peraturan dan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Menteri Lingkungan Hidup (MenLH)Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta MS dalam siaran persnya yang dilangsir dalam situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup, kemarin, menegaskan bahwa perusahaan yang mendapat peringkat hitam akan dilanjutkan dengan proses penegakan hukum untuk memberikan efek jera. Selanjutnya MenLH menjelaskan salah satu dampak positif dari PROPER adalah bahwa dunia perbankan melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, peringkat PROPER dijadikan sebagai salah satu aspek pertimbangan dalam proses pemberian kredit kepada perusahaan. Perusahaan yang berperingkat baik akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan kredit, sedangkan perusahaan yang mendapat peringkat buruk akan lebih sulit untuk mendapat kredit dari bank. Saat ini, PROPER juga merupakan salah satu syarat dalam menentukan Key Performance Indicator Management di banyak perusahaan.
Menanggapi tentang telah dikeluarkannya penilaian perusahaan oleh KLH, Kepala Badan Lingkungan Hidup Fadrizal Labay, kemarin, menyatakan selamat untuk perusahaan yang telah mendapatkan prediket biru dan hijau. Dia berharap dapat lebih ditingkatkan, sehingga ada perusahaan di Riau yang mendapatkan prediket emas dan yang biru naik ke hijau. Sementara untuk yang mendapatkan prediket merah, agar memperbaiki kinerja mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup.***


Jumat, 26 November 2010

50 Green Student Ikuti Happy Hiking in Chevron




50 Green Student binaan Save The Earth Foundation (SEFo) Riau Pos, baik yang berasal dari Green Student Journalist (GSJ) maupun Green Student Ambassador (GSA), Sabtu (20/11) hingga Ahad (21/11) ini mengikuti kegiatan Happy Hiking in Chevron (H2C).

Laporan Andi Noviriyanti dan Rul GSJ, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com


Sabtu (20/11) sore, ruang rapat redaksi Kantor Riau Pos mulai dipadati oleh para Green Student yang datang dari berbagai daerah di Riau. Para Green Student tersebut berkumpul untuk saling mengenal, mendapatkan pembekalan program Green Student, sekaligus persiapan untuk pelaksanaan kegiatan H2C, di Nature Park Rumbai, Kompleks PT CPI, Ahad (21/11).

Menurut Koordinator Green Student Ivit Sutia, Sabtu (20/11) disela-sela acara, ada 50 orang Green Student yang ikut serta dalam acara tersebut. Dari 50 peserta yang ada, tambahnya, 20 orang merupakan perwakilan green student dari luar kota Pekanbaru, yakni dari Pelalawan, Kampar dan Siak.

Peserta dari luar kota yang terbanyak berasal dari Kabupaten Siak yakni sepuluh orang. Kemudian dari Pelalwan tujuh orang dan dari Kampar ada tiga orang. Masing-masing peserta dari luar kota tersebut, menurutnya, telah melewati penyeleksian yang ketat.

“Untuk bisa mengikuti hiking ini para peserta harus melewati beberapa tahap. Peserta harus mengisi formulir yang disediakan oleh panitia dari SEFo Riau Pos. Kemudian mengisi beberapa quisioner yang berhubungan dengan pengetahuan lingkungan, komunitas Green Student dan PT CPI,” ujar mahasiswi Fisipol Universitas Riau ini.

Saat menerima formulir aplikasi, menurut Tya, panggilan akrab Ivit Sutia, panitia menerima cukup banyak aplikasi. Namun karena jumlah peserta dibatasi hanya 50 orang, maka jawaban-jawaban yang mereka kirim dalam quisioner menjadi penentu keikutsertaan mereka.

Sejumlah green student yang terpilih dalam kegiatan itu mengaku senang dapat terpilih menjadi satu dari 50 peserta H2C. Misalnya Fuad Reaka dari GSJ Siak. “Wah, senang sekali bisa ikut H2C. Saya ingin menambah pengalaman, bisa mengenal PT CPI dan menambah teman,” ucap Ahmad Fuad Fuad kepada Riau Pos.

Menurut Fuat, begitu biasa dia dipanggil mengatakan bahwa banyak teman-temannya dari Siak yang ikut aplikasi H2C. Tetapi tidak semuanya seberuntung dirinya. Hanya ada tujuh orang dari Siak yang bisa ikut mengunjungi hutan konservasi PT CPI tersebut.

Begitu juga dengan Waritsa Nur Fadhilah Green Student dari SMAN 9 Pekanbaru mengaku sangat terkejut ketika mengetahui dirinya lolos seleksi. “Nggak nyangka, saya pikir saya sudah nggak diterima lagi, karena saya mengirim formulir nya sudah pada detik-detik penutupan pendaftaran, kemarin saya sudah pasrah saja kalau nggak bisa ikut kegiatan ini, wah saya sudah tidak sabar nih untuk mengunjungi hutan PT CPI,” ujar Icha, panggilan akrabnya.

Rasa antusias terhadap kegiatan ini juga diungkapkan oleh Teguh Budianto, Koordinator GSA, sekaligus peserta. Dia mengatakan jika kegiatan-kegiatan seperti itu adalah salah satu cara unutk mendekatkan diri dengan alam dan meningkatkan rasa peduli dengan alam sekitar.

“Saya rasa H2C ini memberikan inspirasi bagi Green Student dalam menjalankan misi-misi kelestarian alamnya. Selain itu hutan PT CPI Rumbai bisa dijadikan percontohan pembangunan kawasan hijau yang tertata dengan baik,” ungkap Teguh.
Sementara itu Habib, salah satu GSJ Siak yang tidak bisa mengikuti H2C mengaku sangat sedih bercampur emosi ketika menerima pemberitahuan bahwa dirinya tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut.

“Saya sudah sangat berharap bisa ikut, ternyata tidak lolos seleksi. Sedih, campur sama ingin marah. Padahal sekarang kan saya sudah kelas tiga, bisa jadi ini kegiatan terakhir yang bisa saya ikuti. Bulan-bulan ke depan pasti sudah sibuk mempersiapkan ujian,” ucapnya sedih.

Menurut Humas PT CPI, Okta Heri Fandi, kegiatan H2C tersebut bertujuan untuk menunjukkan pentingnya pelestarian hutan dalam rangka melindungi keanekaragaman hayati dan menumbuhkan rasa cinta lingkungan di kalangan generasi muda.

“Kegiatan ini juga ingin menunjukkan kepada Green Student bahwa harmonisasi manusia dan lingkungan dapat menciptakan lingkungan tinggal yang asri dan segar,” jelasnya.
Selain itu PT CPI sengaja memilih Green Student untuk kegiatan ini karena Green Student dinilai sebagai target yang tepat, dari segi minat, tingkat kepedulian, maupun ketertarikan terhadap hutan lebih tinggi dibandingkan komunitas-komunitas remaja yang lain.

“Green Student merupakn aset masa depan Riau di bidang lingkungan karena mereka kelak bisa saja jadi aktivis lingkungan, jurnalis, atau bahkan jadi pejabat. Dengan edukasi seperti ini diharapkan dapat terus menempel di kepala mereka,”papar Okta.
Selanjutnya mengenai agenda kegiatan, menurut Tya, dimulai dengan pembekalan sore itu. Dilanjutnya pada pukul 16.00 peserta dari luar daerah diberangkatkan ke Rumbai. Mereka Sabtu malam itu juga mendapatkan sedikit pembekalan tentang geologi oleh PT CPI.

Sementara untuk acara Ahad, tambah Tya, dimulai dengan memberangkat peserta dari Kota Pekanbaru dari Gedung Riau Pos, terus pembekalan dari Departement HES CPI, Ecology Club, dan presentasi tentang Nature Park Rumbai. Barulah kemudian ditutup dengan kegiatan hiking di West Park, Nature Park Rumbai. (Asrul Rahmawati – GSJ dari UMRI).

Jumat, 12 November 2010

Penting Eksistensi FORDAS: Memikirkan Secara Utuh

Sungai-sungai itu membentang tanpa mengenal batas wilayah administrasi ataupun kepentingan pemanfaatannya. Ia hanya mengalir dari hulu ke hilir dan berkelok sesuai lekukannya yang telah menjadi kodrat alam. Oleh karena itu pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pun tak bisa dilakukan hanya berdasarkan batas wilayah administrasi ataupun kepentingnya. Namun harus dikelola secara utuh. Nah, siapa yang bisa melakukan itu?

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com



Lima tahun lalu, Prof Naik Sinukaban, telah memperingatkan kepada Pemerintah DKI Jakarta, bahwa solusi untuk mengatasi banjir Jakarta bukanlah membangun banjir kanal timur yang saat itu menelan biaya sekitar Rp4,2 Triliun. Tetapi bagaimana upaya mengurangi jumlah air permukaan yang terbuang sia-sia karena rendahnya infiltrasi air ke dalam tanah. Namun saran itu tak digubris, hingga akhirnya banjir di ibukota negara Indonesia itu terus berulang. Terakhir Oktober 2010 kemarin, Jakarta seperti lumpuh. Air menggenang kemana-mana, padahal serbuhan air hujan saat itu tidak bisa dibilang terlalu luar biasa.

Mengapa banjir di Jakarta tidak bisa diatasi, meskipun telah dibangun drainase berbiaya triliunan tersebut? Jawabannya sederhana, karena pemerintah Jakarta hanya berusaha menyelesaikan persoalan banjir akibat luapan air Sungai Ciliwung tersebut di daerah hilirnya saja.

“Mengurus sungai itu tak bisa sepotong-sepotong. Sehebat apapun upaya Pemerintah Jakarta untuk mengatasi luapan air Sungai Ciliwung di hilir, maka tidak akan pernah berhasil. Bila tidak ada upaya untuk mengatasi persoalan di hulu Sungai Ciliwung,” ujar Sinukaban, saat menjadi pemateri dalam rapat internal Forum DAS Riau yang bertema Konsolidasi Forum DAS Riau Menuju Upaya Revitalisasi Organisasi, Kamis (4/11) lalu di Hotel Pangeran.

Lebih baik, kata Sinukaban, dana sebesar Rp 4,2 Triliun tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan infiltrasi (masuknya air hujan ke dalam tanah) di daerah hulu. Baik melalui kegiatan penghijauan dan pemelihaan pohon di daerah hulu ataupun memperbaiki sistem pengairan pertanian. Sehingga tingkat run off air permukaan tidak tinggi, seperti yang saat ini terjadi. “Sekitar 85 persen air hujan yang turun hanya menjadi air yang terbuang percuma. Hanya sekitar 15 persen yang masuk ke dalam tanah. Itu sebabnya di saat hujan kita kebanjiran, sementara di musim kemarau kekeringan,” papar guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Meskipun secara ideal itu bisa dilakukan, namun kenyataan, dalam teknis lapangan sangat sulit.

Pasalnya, tidak mungkin Pemerintah DKI Jakarta melakukan penghijauan di daerah Jawa Barat. Oleh karena itulah, menurut Wakil Ketua FORDAS Nasional ini, diperlukan adanya instansi atau lembaga yang bisa memikirkan persoalan DAS secara utuh.
“Di Indonesia, tidak ada satupun instansi atau lembaga yang menangani pengelolaan DAS dari hulu ke hilir. Untuk itulah diperlukan suatu lembaga yang mampu menjembati persoalan-persoalan ini. Dan itu bisa dilaksanakan oleh FORDAS,” ungkapnya.

FORDAS, tambahnya, merupakan forum koordinasi multipihak berbasis komitmen bersama yang kuat untuk mengelola ekosistem DAS secara profesional, transparan, partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan. Dibentuk untuk menjembatani dan mengoptimalkan keterlibatan para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu. Semua itu, terangnya, dalam rangka membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan menyusun pengelolaan DAS secara terpadu. Termasuk memberikan pertimbangan dalam melaksanakan pengelolaan DAS, pemantauan penggunaan atau pemanfaatan sumber daya alam DAS dan membantu evaluasi kondisi DAS.

Sayangnya, meskipun peranan FORDAS sangat penting, namun kenyataannya di Riau, FORDAS belum mampu mengambil peran strategis tersebut.
Hal itu diakui oleh Ketua FORDAS Siak Prof Adnan Kasri dan Ketua FORDAS Riau Dr Mubarak dalam rapat tersebut. Lemahnya dukungan pemerintah dan belum dipahami eksistensi dari FORDAS membuat kedua forum ini mengalami stagnasi.

Bahkan, Mardianto Manan, dalam rapat tersebut, mengungkapkan FORDAS Riau hanya bisa bergerak alias melakukan kegiatan jika ada kegiatan dan dana yang diberikan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan.

Persoalan lainnya yang juga menjadi duri dalam daging saat ini, adalah belum adanya legalitas dari FORDAS. Meskipun FORDAS di Riau termasuk si sulung di Indonesia, namun sampai saat ini, lembaga ini tidak pernah di SK-kan Gubernur seperti FORDAS lainnya di Indonesia yang lebih muda umurnya.

Untuk itulah, menurut Mubarak, rapat internal hari itu digelar. Untuk melakukan revitalisasi terhadap keberadaan FORDAS di Riau. Sekaligus melihat bagaimana perkembangan FORDAS lainnya di Indonesia melalui narasumber yang datang.

Salah satu FORDAS yang cukup berhasil di Indonesia, menurut Sinukaban adalah FORDAS Cidanau, di daerah Cilegon. FORDAS itu, katanya, mampu membuat mekanisme pembayaran bagi masyarakat petani yang melakukan pemeliharaan pohon di daerah hulu DAS Cidanau.
“Mereka mampu mendorong Perusahaan Krakatau Tirta Industri yang memanfaatkan air Cidanau untuk membayar air yang mereka manfaatkan. Nah, hal itulah juga yang seharusnya dikembangkan oleh FORDAS-FORDAS lainnya dalam menjaga keberlanjutan sungai-sungai di Indonesia,” ungkap Sinukaban.
Semoga saja, FORDAS Siak dan FORDAS Riau ke depan mampu menunjukkan eksistensinya.***


Jumat, 05 November 2010

Daerah Pinggiran Jadi Pusat Endemik Diare

Waspada, Cuaca Ekstrim Rentan Peningkatan Penyakit Diare

Fluktuasi cuaca yang ekstrim menimbulkan pengaruh terhadap kondisi kesehatan manuasia. Situasi ini sering terlihat dari tingginya angka penyakit berbasis ekosistem di masyarakat, khususnya di daerah pinggiran.

Laporan Marriokisaz, Kota Marriokisaz@riaupos.com


Akhir tahun selalu identik dengan musim penghujan, argumen ini tidak lagi menjadi patokan bagi sejumlah masyarakat dan para ahli. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang yang sering mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya aktifitas manusia.

Kondisi itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Di mana imbas yang paling dapat dirasakan adalah meningkatnya intensitas penyakit berbasis ekositem, seperti diare, demam berdarah, penyakit kulit dan penyakit lainnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dr Dahril Darwis kepada Riau Pos, pekan ini, mengatakan kondisi kesehatan masyarakat sangat berpengaruh dari kondisi cuaca dan pola hidup masyarakat. Dia memberikan contoh penyakit diare, di mana salah satu faktor penyebabnya peningkatan penyakit diare adalah kondisi cuaca yang ekstrim. Hal itu karena meningkatnya intensitas curah hujau atau tingginya suhu udara yang menyebabkan kualitas lingkungan menurun.

Menurutnya, untuk di Kota Pekanbaru tren penyakit berbasis ekosistem seperti diare cenderung tidak mengalami peningkatan yang siknifikan. Namun peningkatan sering terjadi saat cuaca ekstrim dan masyarakat tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat kondisi ini sering dirasakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah pinggiran.
‘’Daerah pinggiran memang tergolong daerah endemik diare. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah pinggiran lebih sering melakukan kontak langsung terhadap lingkungan. Namun ini dapat diantisipasi dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, apalagi saat cuaca ekstrim,’’ ujarnya.

Dia menambahkan penyakit diare pada dasarnya merupakan penyakit yang diketahui dari gejala buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua

Kondisi tersebut disebabkan karena beberapa factor, seperti infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan maupun air minum, infeksi berbagai macam virus, alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung susu) dan parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare.

Sedangkan untuk di Kota Pekanbaru terlihat daerah-daerah pinggiran yang dekat dengan aliran sungai memang ditemukan kasus diare yang cukup tinggi. Seperti di Kecamatan Rumbai, Senapelan dan Rumbai Pesisir. Dari data yang dihimpun di Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru diketahui dari bulan Juni hingga Agustus tidak terlihat tren peningkatan atau penurunan yang siknifikan. Hanya saja kasus diare masih sering ditemukan di daerah pinggiran. Pada bulan Juni ditemukan kasus diare sebanyak 869 kasus, bulan Juli 679 dan Agustus 725 kasus diare.

Contoh kasus di Puskesmas Muara Fajar Kecamatan Rumbai. Di mana sekitar 114 orang pasien dirawat. Sebagian besar pasien didominasi oleh warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak.

Kejadian luar biasa dialami sejak awal Oktober 2010 itu, tidak sempat menelan korban jiwa. Penyebab diare diduga berasal dari sanitasi yang tidak sehat. Warga sekitar sungai Siak masih banyak yang memanfaatkan air sungai Siak yang kini sudah tercemar, baik untuk mandi, cuci, kakus.

‘’Kami pernah mengambil sampel air, apakah betul air yang menyebabkan mereka diare kita juga belum bisa memastikan. Sejak awal Oktober pasien diare yang berobat di puskesmas 114 orang dari dewasa dan anak-anak, bulan September sebelumnya hanya 50 an pasien diare,’’ ucap Yeti salah seorang petugas informasi di Puskesmas Muara Fajar ketika di temui Riau Pos belum lama ini.

Ia mengatakan, meningkatkan pasien diare di bulan Oktober itu terjadi saat ketika cuaca ekstrim saat musim banjir yang melanda di perumahaan warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak beberapa pekan lalu. Air banjir menurut Yati tercemar bakteri e. coli yang berasal dari kotoran, baik kotoran hewan dan manusia. Bakteri itu dapat menular jika di konsumsi manusia.

Harja (45), salah satu warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak Jalan Nelayan Ujung Kecamatan Rumbai, mengaku tiap hari masih menggunakan air Sungai Siak untuk keperluan pribadi, baik mandi, mencuci, maupun buang hajat. Dia mengaku tidak memiliki pilihan selain menggunakan air Sungai Siak.

‘’Sumur disini untuk ramai-ramai, kalau sudah kering banyak juga warga yang memanfaatkan air sungai siak. Warga yang banyak uang tentu bisa beli air isi ulang untuk di konsumsi,’’ katanya kepada Riau Pos.

Menanggapi hal tersebut Pengamat Lingkungan Riau Prof Rifardi kepada Riau Pos mengatakan pengaruh perubahan cuaca secara tidak langsung memang berdampak pada kualitas dan kondisi lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan aktifitas manusia yang terkesan tidak memperdulikan kelestarian lingkungan.

Hal tersebut menyebabkan peran lingkungan sebagai penopang kehidupan makhluk hidup menurun seiring berjalannya waktu. Sehingga kualitas lingkungan juga menurun. Dan ini ternyata berimbas terhadap perkembangan penyakit berbasis ekosistem di lingkungan masyarakat.

‘’Kerangka berfikirnya disana. Menurunnya kesadaran manusia akan pelestarian lingkungan akan berdampak pada kondisi dan kualitas lingkungan. Secara tidak langsung ini berpengaruh pada kesehatan manusia. Namun ini idealnya dapat diantisipasi dengan meningkatkan kepedulian akan lingkungan dan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Hal ini harus didukung oleh seluruh stakeholder yang berkompeten di bidangnya,’’ terangnya.***