This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 06 Oktober 2009

Membayar Bencana

Membayar bencana dengan nyawa, harta benda, dan uang. Itulah yang kini terus dan terus akan dilakukan
masyarakat dunia menghadapi rentetan bencana yang kejar mengejar. Lalu apa yang akan kita lakukan?


Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com

Entah sudah berapa nyawa yang harus melayang, harta benda yang terkuras, dan uang yang digelontorkan untuk membayar bencana-bencana yang susul menyusul ini. Untuk bencana terakhir saja, yakni gempa di Sumatera Barat, Rabu (30/9) dengan kekuatan 7,6 skala Richter, menurut Wakil Presiden diperlukan biaya Rp 3-4 triliunan. Sebuah angka yang fantatis, sehingga Pemerintah Indonesia harus menyerukan meminta bantuan kepada negara-negara sahabat.

Padahal pekan sebelumnya, negara tetangga Indonesia, Filipina juga menyerukan memohon bantuan internasional terkait dengan topan Ketsana dan banjir yang menimpa Filipina. Terutama ibukota negara mereka Manila yang nyaris lumpuh karena dihantam badai dan hujan 12 jam non stop.



Di skala lokal, Riau, pekan lalu, masyarakatnya terutama di Kecamatan Pinggir dan Mandau harus menghadapi bencana angin puting beliung. Dalam laporan Riau Pos, disebutkan ada sekitar 114 bangunan yang rusak, mulai dari rumah warga, posyandu, tungku batu bata yang menjadi tempat usaha masyarakat di sekitar situ dan lain sebagainya. Entah berapa pula uang uang harus dikucurkan untuk menanggulangi bencana ini.

Tiga bencana itu, masih dalam hitungan pekan lalu. Belum lagi pekan-pekan sebelumnya. Apalagi bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya, maka jumlah bencana yang harus dibayar sudah tak terhingga banyaknya.

Sebagai gambaran, dari data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dua tahun terakhir saja terdapat 1.231 bencana, dengan rincian 888 tahun 2007 dan 343 tahun 2008. Terutama banjir (339 kejadian tahun 2007 dan 197 kejadian tahun 2008), angin topan atau puting beliung (122 kejadian tahun 2007 dan 58 kejadian tahun 2008), banjir dan tanah longsor (52 kejadian tahun 2007 dan 22 kejadian tahun 2008).

Selanjutnya data kerugian yang dialami juga tidak sedikit. Korban meninggal dunia 1.303 tahun 2007 dan 245 jiwa tahun 2008. Korban menderita dan mengungsi 1.970.892 jiwa tahun 2007 dan 647.281 jiwa tahun 2008. Kerugian berupa rumah rusak akibat bencana mencapai 214.411 tahun 2007 dan 34.412 unit tahun 2008.
Proyeksi Bencana ke Depan?

Lalu bagaimana dengan proyeksi bencana pada tahun-tahun berikutnya? Armi Susandi PhD, Wakil Ketua Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu, menyatakan jumlah bencana ke depan akan kian banyak baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal itu terkait dengan bencana perubahan iklim, yang akan mengakibatkan musim kemarau dan hujan lebih panjang atau singkat, naiknya suhu dan permukaan air laut, serta lain sebagainya.

Musim kemarau dan hujan yang lebih panjang atau lebih pendek akan rentan mengakibatkan terjadinya banjir, kekeringan dan gagal panen. Kebakaran hutan dan lahan, asap, serta lain sebagainya juga akan semakin sering terjadi dan sulit dihindari.

Peningkatan suhu mengakibatkan angin puting beliung makin sering dan luas terjadi. Daya tahan tubuh melemah dan berbagai penyakit baru bermunculan. Dunia peternakan dan pertanian akan kacau balau karena perubahan genetis maupun fisik yang dialami tumbuhan dan hewan. Sementara itu peningkatan permukaan air laut, mengakibatkan puluhan rumah serta berbagai fasilitas di di daerah pesisir akan terendam. Berbagai dampak lainnya, juga diperkirakan tidak sedikit.

Panen bencana itu, menurut Armi Susandi sudah bisa diprediksi. Namun sulit pula untuk dihindari. Oleh karena itu, meskipun usaha mitigasi (pencegahan) terus dilakukan yang terpenting saat ini adalah upaya penggalakkan upaya adaptasi terhadap berbagai bencana yang akan ditimbulkan.

Misalnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah yang rawan terkena angin puting beliung harus membangun rumah yang permanen dan menggunakan atap dari genteng serta melakukan penanaman pohon untuk menurunkan suhu mikro. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pesisir harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Upaya memanfaatkan produk lokal, mengkonservasi air, melakukan penanaman pohon, melakukan program hemat energi dan berbagai bahan baku lainnya, serta lain sebagainya juga perlu digalakkan. Bahkan dia menyeruhkan agar pemerintah membuat program adaptasi sekarang juga.

“Jika upaya untuk beradaptasi ini tidak dilakukan pemerintah sekarang, maka biaya yang akan dikeluarkan untuk mengatasi bencana akan jauh lebih besar. Maka dengan meminimalisir dampak bencana, maka uang untuk membayar bencana akan lebih sedikit,” ungkapnya.

Masihkah kita memilih membayar bencana atau mencegah dan meminimalisasi dampaknya yang jauh lebih murah?***

Kamis, 01 Oktober 2009

Beradaptasi dengan Puting Beliung

Angin puting beliung diperkirakan akan terus melanda Riau sebagai dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim. Ahli meteorologi menyatakan bencana itu sulit sekali untuk diantisipasi atau dihindari, untuk itu yang bisa dilakukan masyarakat sekarang adalah berusaha menurunkan suhu bumi sembari beradaptasi dengan angin ribut yang bisa merobohkan rumah itu. Caranya dimulai dengan memperbanyak menanam pohon, mengenali ciri-cirinya, membangun rumah permanen dan menghindari penggunaan atap seng.


Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.com

Suatu hari di jalan baru KM 55 Simpang Kualo, Kabupaten Pelalawan, Adi (32) melihat pusaran angin dari arah Komplek Kantor Bupati Pelalawan yang tepat berada di seberang jalan tempat mobilnya yang tengah melaju. Adi melihat pusaran angin itu dengan jelas, karena tanah kuning dan sampah-sampah yang dilewati angin itu seperti terangkat dan berputar. Tingginya sekitar tiga meter membentuk cerobong. Persis seperti angin yang dilihatnya di film-film yang menceritakan tornado di Amerika Serikat. Hanya saja ukuran angin itu jauh lebih kecil dari gambaran angin di film yang pernah ditontonnya.


Pemandangan tentang angin yang berputar itu atau sering disebut dengan puting beliung itu tampaknya akan menjadi pemandangan lumrah bagi masyarakat Riau. Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini, angin puting beliung itu terjadi di lima kabupaten/kota di Riau, yakni Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, Kuntan Singingi, Indragiri Hilir. Bencana itu tidak saja memberi rasa takut atau merobohkan rumah warga, namun juga telah menelan korban jiwa di Kampar.
Itu berarti Riau tengah menghadapi musim bencana baru, setelah sebelumnya rutinitas bencana banjir dan asap, kini rutinitas bencananya bertambah satu bernama angin puting beliung. Apalagi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan Riau dan beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa menjadi daerah rawan angin puting beliung.
Angin puting beliung pada dasarnya adalah angin tornado yang umum terjadi di Amerika. Hanya saja, tornado yang kini kerap terjadi di Indonesia merupakan angin tornado golongan lemah. Kecepatan anginnya hanya berkesar kurang dari 73 Miles Per Hours (MPH) dan maksimal 112 MPH. Meskipun tergolong lemah namun kerusakan yang ditimbulkan cukup lumayan. Misalnya untuk yang kecepatan angin yang kurang dari 73 MPH kerusakan yang timbul berupa kerusakan cerobong asap, dahan pohon patah, pohon-pohon berakar dangkal terdorong dan papan penunjuk rusak. Sementara yang diatas 73 MPH hingga 112 MPH, kerusakan yang ditimbulkan berupa atap rumah berhamburan dan rumah semi permanen bergeser.
Pada dasarnya menurut Darwin Harahap, Kasi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Pekanbaru, angin puting beliung bukanlah hal baru. Hanya saja, angin yang juga dikenal dengan nama angin puyuh, angin ribut, dan angin leysus itu kini intensistasnya lebih tinggi. Bahkan jaraknya, menurut staff BMG yang telah bekerja selama 27 tahun ini, makin dekat antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal itu, katanya, terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang membuat cuaca dan iklim kini tidak lagi menentu.
Armi Susandi, pakar metereologi Indonesia, menyebutkan angin puting beliung biasanya terjadi saat peralihan musim. Angin puting beliung berasal dari awan tebal bergulung-gulung yang biasanya disebut awan comulusnimbus. Karena awan terbentuk dari uap air yang timbul karena panas, maka tidak aneh bila Riau yang kini mengalami pengundulan hutan besar-besaran menjadi tempat angin puting beliung berputar-putar.
Menurut Armi, bencana itu kedepan jumlahnya akan makin meningkat. Untuk itu, masyarakat Riau maupun masyarakat lainnya harus mulai melakukan langkah-langkah mengurangi panas bumi dan melakukan upaya adaptasi.
Langkah itu dapat dimulai dengan mengaktifkan kegiatan penanaman pohon. Mengingat pohon memiliki kemampuan menurunkan iklim mikro bahkan iklim global. Selanjutnya untuk upaya adaptasi maka perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar membuat rumah permanen yaitu yang terbuat dari batu. Termasuk juga mengganti atap rumah yang terbuat dari seng dengan genteng. Itu dilakukan agar gaya gesek yang ditimbulkan lebih kuat sehingga atap tidak terbang dan rumah roboh.
Namun untuk itu, Armi mengaku memang bukan hal yang gampang mengajak masyarakat melakukan perubahan membuat rumah permanen. Untuk itulah diperlukan peranan pemerintah agar membantu masyarakatnya yang tinggal di kawasan rawan angin puting beliung tersebut.
Selanjutnya pemerintah saat ini juga harus mulai memetakan daerah rawan angin puting beliung secara spesifik. Termasuk membuat peringatan dini kepada masyarakat. Armi menyebutkan saat ini memang sulit mendeteksinya dengan peralatan karena biasanya daerah tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk itu. Namun secara manual, doktor tamatan Jerman ini, menyebutkan lebih memungkinkan. Ditandai dengan awan besar dan cuaca mendung. Biasanya sekitar 3-4 jam setelahnya maka angin puting beliung baru muncul. Dengan demikian masih cukup waktu untuk memberi tahu kepada masyarakat.***