Deklarasi Albay: Berpikir Global, Berbuat Lokal
Ketika sejumlah daerah masih meragukan berbagai ancaman perubahan iklim, Provinsi Albay, Filipina justru mendeklarasikan diri sebagai daerah yang seluruh orientasi pembangunannya berbasiskan kepada upaya mitigasi (mencegah) dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Alasannya sederhana, karena tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasi hal itu tidak ada yang jelek atau yang bertentangan dengan komitmen pembangunan berkelanjutan.
Laporan Andi Noviriyanti, Manila
andi-noviriyanti@riaupos.co.id
Cobalah perhatikan upaya-upaya apa saja yang diserukan dalam mencegah (mitigasi) dan beradaptasi menghadapi perubahan iklim. Mulai dari upaya menghemat penggunaan bahan bakar fosil. Terlihat upaya yang dilakukan hanyalah mengajak masyarakat untuk menggunakan energi dari bahan bakar fosil seminimal mungkin. Misalnya dengan berjalan kaki atau naik sepeda untuk menempuh jarak yang dekat atau naik kendaraan umum. Bahkan jika terpaksa membawa kendaraan pribadi maka jadilah pengemudi yang ramah lingkungan dan usahakan cari kendaraan yang bahan bakarnya hemat energi.
Begitu juga dengan upaya-upaya lainnya dalam mencegah dan mengantisipasi perubahan iklim. Misalnya mengutamakan makan produk lokal (agar tidak dibutuhkan pembakaran bahan bakar fosil untuk alat transportasi pengangkut produk luar tersebut). Menghemat pemakaian listrik. Tidak melakukan deforestasi dan aktif melakukan penghijauan. Mencari bibit unggul yang tahan cuaca ekstrim, produksinya tinggi dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh itu, terlihat bukan bahwa semua hal itu adalah baik untuk menyelamatkan lingkungan.
Dengan melihat berbagai kebaikan itulah pemerintah Provinsi Albay, Filipina dibawah kepemimpinan Gubernur Joey Salceda pada tahun 2007 lalu menandatangani Deklarasi Albay. Suatu deklarasi yang seperti menjadi ideologi bagi daerah tersebut untuk berbuat atau melakukan upaya apapun mulai dari perencanaan, penganggaran, penelitian dan pelaksanaan pembangunan semuanya berorientasi berdasarkan upaya untuk mencegah dan menghadapi perubahan iklim.
”Saya pikir, mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim harus dilakukan. Terlepas apakah itu benar-benar akan terjadi atau tidak, Mengingat para ahli saat ini masih memperdebatkannya. Bagi saya, karena tidak ada yang yang jelek dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana perubahan iklim tersebut, maka sudah sepantasnya upaya mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim dilakukan,” ungkap Joey Salceda, pertengahan Agustus kepada kepada para jurnalis yang mengikuti Climate Change Media Workshop di Manila Filipina bagi wartawan-wartawan se Asia Tenggara dengan tema Reporting Climate Change: Creating a Climate of Change in Southeast Asia.
Selain alasan itu, Joey juga menyebutkan, provinsinya adalah provinsi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mengingat, provinsinya adalah provinsi kepulauan yang dikelelingi oleh laut. Selain itu, diperkirakan ancaman angin topan yang semakin sering melanda daerah mereka adalah bagian dari dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data Neda Media Report Desember 2007 saja disebutkan bahwa sekitar satu juta penduduknya merasakan akibat angin topan itu. Mereka juga harus mengalami kerusakan senilai 1.519.411.829 Peso Filipina. Untuk itulah bagi mereka tidak ada alasan menunda-nunda upaya mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim. Mereka konkritkan komitmen itu dengan nama Deklarasi Albay.
Isi deklarasi itu di antaranya menyebutkan sejumlah kesadaran masyarakat dan Pemerintah Provinsi Albay terhadap perubahan iklim. Mereka menyatakan dalam deklarasinya bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang paling luas dan paling jahat yang harus dihadapi penduduk bumi. Perubahan iklim tidak saja berdampak bagi lingkungan alami, tetapi juga pada ekonomi dan sistem sosial. Filipina sebagai negara kepulauan sangat rentan dengan resiko iklim dan gangguan cuaca. Aksi menghadapi perubahan iklim adalah tugas setiap warga negara.
Atas dasar sejumlah kesadaran itulah kemudian mereka berkomitmen, di antaranya bekerja untuk membuat adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas kebijakan dalam agenda nasional. Mengadvokasi agar anggota senat atau dewan perwakilan rakyat mereka membuat kebijakan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Mengintruksikan agar kurikulum di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, baik umum maupun kejuruan untuk mengintegrasikan kurikulumnya dengan perubahan iklim.
Selain itu mereka mempromosikan penelitian dan upaya-upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Baik yang dilakukan pemerintah, institusi penelitian dan akademisi. Mendukung pembangunan dengan memperluas penggunaan sumber energi yang dapat diperbarui. Sangat mendorong dan meningkatkan alokasi untuk adaptasi dan perubahan iklim. Mendorong terciptanya dana adaptasi dari perubahan iklim yang bersumber dari pajak yang ada, proses privatisasi dari pemerintah, bantuan dan donasi, dan penjualan sertifikat pengurangan emisi karbon (perdagangan karbon).
Kemudian mendorong pemerintah untuk bekerjasama secara bilateral dan multilateral dalam permintaan program adaptasi. Terutama dalam penggunaan lahan dan air, perubahan penggunaan lahan hutan, mereduksi emisi dan deforestasi serta degradasi. Termasuk juga dalam hal perikanan , pertanian, dan mempromosikan pembangunan dengan energi terbarukan.
Terlepas dari itu, mereka juga meminta dukungan media untuk menyebarkan informasi, mengedukasi, dan mengembangkan kesadaran masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim. Serta sejumlah komitmen lainnya yang bertujuan apapun perencanaan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masysarakat di Albay dharus mempertimbangkan dampaknya bagi perubahan iklim.
Pantas Ditiru Daerah
Komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Provinsi Albay lewat deklarasi mereka itu, menurut Dr Arief Anshori Yusuf, ekonom senior yang menjadi pembicara dalam Climate Change Media Workshop tersebut harus ditiru oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Apalagi Indonesia, tambah dosen Universitas Padjajaran, termasuk daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim.
Rentan karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang cukup panjang. Jika terjadi peningkatan air laut, maka daerah-daerah yang berada di garis pantai itu akan tenggelam. Indonesia juga mengalami elnino (musim panas yang sangat panjang dan terjadi peningkatan suhu). Indonesia juga makin sering terkena bencana. Bila tahun 1193-2000, bencana yang terjadi hanya mencapai 250 an, pada tahun 2002 mencapai 375 bencana pertahunnya. Khusus untuk banjir, pada tahun 2003/2004 terjadi 180 kejadian.
Disisi lain, Indonesia tidak memiliki sumberdaya untuk beradaptasi. Sekitar 37,17 juta orang di Indonesia adalah penduduk miskin. Ditambah lagi sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian dan perikanan, maka pola cuaca yang tidak menentu akan membuat masyarakat gagal panen dan gagal mencari ikan..
“Kita tahu, lebih dari 50 persen penduduk kita masih menggantungkan kehidupan mereka dari sektor perikanan dan pertanian. Ketika kedua hal itu terganggu karena perubahan iklim otomatis mereka kehilangan mata pencarian. Hal itu tentu mengakibatkan angka kemiskinan di Indonesia semakin meningkat,” ujar pria yang mendalami ekonomi dan lingkungan ini.
Oleh karena master tamatan universitas di London dan pendidikan doktor di Australia ini mengungkapkan mau tidak mau setidak-tidaknya pemerintah di masing-masing daerah menyadari bahwa mereka terkena dampak perubahan iklim. Dengan begitu mereka menyadari dari sekarang untuk mempersiapkan diri untuk beradaptasi. Semakin lambat upaya-upaya adaptasi dilakukan, bisa dipastikan akan semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan daerah tersebut.
Selain melakukan adaptasi, pemerintah Indonesia juga wajib melakukan mitigasi, sebagai komitmen bersama masyarakat dunia untuk mengurangi gas rumah kaca. Pasalnya, tanpa kontribusi bersama tidak mumgkin jumlah gas rumah kaca sampai pada batas normal. Untuk itu perlu mengupayakan agar Indonesia keluar dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya dengan harga BBM yang rendah itu, emisi karbon dari sektor itu kian meningkat.
“Saat ini pelaku ekonomi di Indonesia masih menganggap bahwa emisi karbon tidak ada ongkosnya. Diperlukan intervensi pemerintah untuk mengubah prilaku tersebut melalui penerapan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi dapat berupa pajak karbon atau mekanisme perdagangan ijin karbon (carbon permit). Pajak karbon diterapkan dalam bentuk pajak untuk pembelian bahan bakar berbasis fosil, dengan tingkat bervariasi tergantung dari besarnya kandungan karbon. Batu bara misalnya akan dikenakan pajak lebih tinggi daripada gas alam, karena kandungan karbon-nya yang lebih tinggi,” papar pria yang juga tergabung dalam Economy and Environment Programme for Southeast Asia (EEPSEA).***
1 komentar:
Menarik, ini ada ide cerdas terhadap keadilan karbon a la raflis
http://celoteh-senja.blogspot.com/2008/11/nilai-jual-dan-pasar-karbon.html
Barangkali bisa diwacanakan disetiap warung kopi, dan mudah2an suatu saat bisa jadi kesepakatan internasional. ha....ha...
Posting Komentar