This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 10 Februari 2009

Pers & Gerakan Lingkungan

Di Indonesia, jurnalisme lingkungan tumbuh seiring dengan stabilnya kondisi politik dalam negeri pada akhir dekade 1970-an. Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya kesadaran yang lebih terfokus di kalangan pers Tanah Air. Di antaranya diakomodasinya isu lingkungan pada rencana pembangunan Indonesia (GBHN) pada tahun 1972, dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup tahun 1978, lahirnya organisasi gerakan lingkungan berskala yang lebih besar misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 1980 dan terbitnya Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1982. Dalam UU tersebut dijamin adanya peran serta masyarakat dalam hal pelestarian lingkungan.



Pada 22 April, 38 tahun lalu, ratusan ribu orang berkumpul di Fifth Avenue, New York, Amerika Serikat, untuk menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan hidup bagi kehidupan.

Tanggal itu lantas disepakati sebagai Hari Bumi yang diperingati hingga kini. Aksi tersebut menandai babak baru dari gerakan lingkungan yang lebih terorganisasi, kritis, massal dan berpengaruh. Demonstrasi fenomenal itu tidak muncul begitu saja tetapi setelah melalui pergulatan panjang yang lantas memunculkan kesadaran baru di berbagai kalangan masyarakat, termasuk kalangan pers.

Di AS, gerakan lingkungan hidup yang lebih kritis mulai tumbuh sejak terbitnya buku karya ahli biologi Rachel Carlson berjudul Silent Spring yang ditulis pada tahun 1962. Dalam buku itu Carlson menuliskan kecemasannya terhadap industri pestisida, terutama DDT, yang ternyata berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Sejak saat itu, berbagai kalangan termasuk kelompok media mulai menyadari bahwa ada ancaman yang cukup serius terkait dengan kerusakan lingkungan. Berita terkait lingkungan hidup pun semakin mendapat tempat, mendampingi isu-isu perang yang pada era 1960-an sangat mendominasi. Peran pers inilah yang mendorong gerakan lingkungan menemukan momentumnya yang berujung pada aksi di New York. Pada dasawarsa 1970-an, media mulai menempatkan isu lingkungan sebagai hal penting. Media-media utama seperti Time, Fortune, Newsweek, Life, Look, The New York Times dan The Washington Post, menempatkan berita-berita lingkungan di halaman depan. (Kirkpatrick Sale, 1996).

Kesadaran serupa juga tumbuh di Eropa. Pada bulan Januari 1972, majalah di Inggris, The Ecologist menurunkan artikel berjudul A Blue Print for Survival, yang ternyata sangat berdampak terhadap munculnya kesadaran lingkungan di negara itu.

Dalam artikel itu The Ecologist menyerang masyarakat industri karena bahaya-bahaya lingkungan yang ditimbulkan. Tulisan ini juga memprediksi apa yang mereka sebut ”hari kiamat” jika kecenderungan-kecenderungan kerusakan lingkungan dibiarkan apa adanya. Artikel ini mendapat tanggapan yang luar biasa, tak cuma berpengaruh di Inggris namun juga negara-negara Eropa daratan. Puncaknya dihasilkan dokumen bersama tentang penyelamatan lingkungan yang ditandatangani oleh sejumlah ilmuwan.

Di Indonesia, jurnalisme lingkungan tumbuh seiring dengan stabilnya kondisi politik dalam negeri pada akhir dekade 1970-an. Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya kesadaran yang lebih terfokus di kalangan pers Tanah Air. Di antaranya diakomodasinya isu lingkungan pada rencana pembangunan Indonesia (GBHN) pada tahun 1972, dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup tahun 1978, lahirnya organisasi gerakan lingkungan berskala yang lebih besar misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 1980 dan terbitnya Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1982. Dalam UU tersebut dijamin adanya peran serta masyarakat dalam hal pelestarian lingkungan.

Seperti diketahui pers dalam era Orde Baru adalah pers yang berada dalam cengkeraman pemerintah. Demikian halnya dengan pers peduli lingkungan yang ketika itu terbungkus dalam kemasan jurnalisme pembangunan berwawasan lingkungan. Karena pers selalu dipaksa untuk menjadi bagian dari instrumen ”menyukseskan” pembangunan, pers ketika itu mandul dan tidak kritis.

Sebagai contoh tidak maksimalnya pers mengkritisi program pertanian revolusi hijau yang sempat berujung pada bencana ekologis berupa ledakan hama tanaman atau ketidakmampuan pers mengkritisi program pembukaan lahan/hutan satu juta hektare di Kalimantan yang kini terbengkalai.

Pascatumbangnya Orde Baru, pers Indonesia menemukan kemerdekaannya. Pers kini lebih berani dan kritis menyikapi banyak hal, termasuk isu-isu lingkungan.

Permasalahannya sekarang adalah mampukah insan pers Indonesia (melalui karya-karyanya) memanfaatkan momentum ini untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup? Dari sisi sumber daya manusia, harus diakui kekuatan untuk mewujudkan itu mulai lahir. Setidaknya secara individu telah banyak bermunculan jurnalis yang memiliki ketertarikan terhadap lingkungan yang merupakan salah satu dari tiga isu utama di era globalisasi ini.

Positifnya kekuatan individu tersebut telah mulai membentuk jejaring untuk memfokuskan arah gerakan penyadaran. Sebut saja terbentuknya Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ) pada tahun 2006. Di lingkup daerah misalnya telah terbentuk jurnalis peduli lingkungan Jawa Timur, di Sulawesi ada Greenpress dan lain sebagainya. Sayangnya kekuatan individu ini masih terbentur oleh kebijakan keredaksionalan pemilik media massa yang belum menempatkan isu lingkungan sebagai hal yang butuh dipertimbangkan untuk mendapat porsi lebih. Maklum, isu ini memang belum laku dijual. Untuk media cetak, hanya media massa yang sudah mapan yang telah memberikan porsi lebih dan mengedepankan berita-berita lingkungan, sebut saja Kompas dan Media Indonesia. Tantangan ke depan adalah bagaimana, kekuatan individu ini bisa bersinergi dengan politik keredaksian pemilik media.

Terlepas dari itu ada satu hal yang bisa dijadikan catatan penting bagi jurnalis peduli lingkungan di Tanah Air. Hasil penelitian Andi Noviriyanti (2006), terhadap berita lingkungan yang disajikan koran nasional dan koran lokal di Riau, menemukan ada tujuh pelanggaran objektivitas berita. Tujuh pelanggaran itu meliputi memasukkan istilah dan definisi yang menyesatkan, membuat berita yang tidak berimbang, memasukkan opini, mengurangi informasi dan konteks sehingga mengubah cerita sebenarnya, menghilangkan informasi tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik, menggunakan fakta benar untuk menggambarkan kesimpulan hal yang salah dan tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.

Meski hasil kajian itu masih mengundang perdebatan di berbagai forum milis terkait dengan definisi objektivitas, kesimpulan penelitian tersebut setidaknya membuka pikiran bahwa skill penulisan berita-berita lingkungan masih perlu ditingkatkan. Jurnalisme lingkungan memang hendaknya tidak hanya menyajikan kejadian aktual namun harus bisa menelaah masa lampau dan mengamati masa depan.

Sumber : http://kompos.web.id/2008/09/11/pers-gerakan-lingkungan/

http://greenpressnetwork.wordpress.com/


Sabtu, 07 Februari 2009

Puspa dan Satwa Indonesia yang Diambang Kepunahan

Indonesia pernah diakui sebagai pemilik mega biodiversity. Memiliki sekitar 15 persen dari seluruh keanekaragaman hayati yang ada di dunia. Di antaranya berupa 7000 jenis tanaman obat, 450 jenis tanaman buah, 250 jenis sayuran, 70 jenis bumbu dan rempah serta 1000 jenis tanaman hias.

Di dunia, bila dilihat dari jumlah mamalia, Indonesia ditempatkan pada nomor urut dua setelah brazil. Karena memiliki sekitar 12 persen mamalia (515 spesies). Sementara jika dilihat dari jumlah reptilia dan primata, Indonesia ditempatkan pada nomor urut empat. Memiliki sekitar 16 persen reptilia (781 spesies) dan 35 spesies primata. Selain itu, 17 persen dari total spesies burung (1592 spesies) dan 270 spesies amfibi masing-masing menempatkan Indonesia pada posisi kelima dan keenam di dunia.
Namun kebanggaan sebagai negara biodiversity itu bisa jadi suatu saat akan hilang. Pasalnya Ir Rachmat Witoelar, 5 Nopember 2008 lalu, pada saat peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2008, di Jakarta, mengumumkan bahwa saat ini 701 spesies fauna terancam punah. Selanjutnya 84 persen primata Indonesia juga dalam kategori terancam punah. Itu semua sebagai akibat dari tingginya deforestasi.
Dari data Departemen Kehutanan memperkirakan kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,83 juta hektar per tahun dan tutupan hutan hanya sekitar 94 juta hektar. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh FAO, pada tahun 2005 tutupan hutan Indonesia hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8 persen dari total luas lahan dan 46,5 persen dari total luas wilayah Indonesia.
Kondisi itu diperparah lagi dengan isu perubahan iklim. Para ahli dalam IPCC (International Panel on Climate Change) bulan April 2007 menyebutkan bahwa dampak kerentanan dan adaptasi akibat perubahan iklim telah menyebabkan sekitar 20-30 persen tumbuhan dan hewan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5 – 2,5 oC.
Dengan kondisi seperti itu, Rachmat Witoelar mengajak semua pihak, baik pemerintah, swasta, daerah, dan masyarakat untuk makin peduli terhadap lingkungan. Menurutnya, menyelamatkan puspa dan satwa adalah tanggungjawab bersama. (ndi)

Diterbitkan di Riau Pos, 9 Nopember 2008

Selasa, 03 Februari 2009

Menyelesaikan Konflik Gajah VS Manusia

Oleh: Andi Noviriyanti
Tiga pekan terakhir ini, WWF Riau mencatat sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau. Pertama, matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Riau dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Sumatera Utara. Kedua, mengamuknya sekitar 51 ekor gajah di perkampungan penduduk di Kelurahan Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau.



Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Dr. Wilistra Danny, Rabu (8/3) petang, kasus kematian massal gajah di Rohul yang diduga di racun dan amukan gajah di pemukiman penduduk hanyalah sebuah gejala bukan akar permasalahan. Akar permasalahan sebenarnya adalah karena antara gajah dan manusia kini sedang berebut lahan dan tidak adanyak kejelasan antara lahan gajah dan manusia. Gajah merasa pemukiman dan perkebunan masyarakat sebagai home range atau daerah jelajah mereka, sementara manusia merasa gajahlah yang telah tidak tahu diri memasuki wilayah mereka dan memporak-porandakannya.

Sementara itu, untuk kasus amukan gajah di Kelurahan Balai Raja, menurut Kepala Dinas Kehutanan Riau Drs. Burhanuddin Husin, MM, Rabu (8/3) petang, menyatakan pemukiman penduduklah yang berada di kawasan konservasi gajah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1986, kawasan tempat terjadinya amukan gajah itu, merupakan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja.

“Secara de jure lahan tempat terjadinya amukan gajah merupakan kawasan SM. Namun secara de facto, kawasan SM itu tidak bisa lagi dipertahankan. Hal itu karena Kantor Camat Pinggir, fasilitas milik PT. Chevron Pacifik Indonesia (CPI), pemukiman penduduk dan lain sebagainya berada di kawasan SM,” ujarnya.

Namun, Afriwan, salah seroang warga Balai Raja, menolak penetapan SM itu. Alasan penolakannya itu, karena warga Balai Raja telah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi sejak tahun 1983 dan 1984. Malah, katanya, beberapa rekannya telah memiliki sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia juga menyatakan warga baru mengetahui adanya SM Balai Raja, dua tahun terakhir, paska konflik gajah yang berkepanjangan di desa mereka.

Menurut Burhanuddin, memang keadaan yang terjadi di Balai Raja suatu dilema. Pemerintahan orde lama, khususnya Departemen Kehutanan, terkadang hanya memplotkan suatu kawasan berdasarkan peta tanpa melihat kondisi real dilapangan. Hal itu mengakibatkan kawasan SM Balai Raja yang ditetapkan tersebut ternyata berada pada kawasan pemukiman masyarakat.

Selain itu tambahnya, keadaan itu diperparah lagi, oleh banyaknya oknum kepala desa bahkan camat yang secara sembarangan menerbitkan SKT. Malah mereka tidak mau tahu, apakah SKT yang diterbitkan itu berada di kawasan konservasi. Mengenai adanya kawasan yang sudah disertifikat, menurutnya itu suatu kesalahan. “Pasti itu kejadiannya sudah terlanjur, namun saat ini pasti pihak BPN tidak berani lagi menerbitkan sertifikat tanah,” ujarnya.

Hal itu memang dibenarkan oleh masyarakat di Balai Raja. Memang saat ini, menurut Afri, tidak ada satu orangpun rekan-rekannya yang berhasil mengurus sertifikat tanah. Karena, BPN menyatakan kawasan itu merupakan kawasan SM Balai Raja.

Menyambung hal itu, Wilistra menyatakan, hal itulah yang akan ditelusuri oleh pihak pemerintah nantinya. Untuk mengetahui batasan yang jelas siapa sebenarnya pemilik lahan, apakah gajah atau manusia. Karena menurut Wilistra, tanpa adanya kejelasan kepemilikan lahan, juga akan membuat masyarakat tidak bisa memperjual belikan lahan mereka atau menggunakan lahan mereka sebagai jaminan bank untuk modal usaha. Jadi konflik kepemilikan lahan, menjadi salah satu hal penting yang harus segera diselesaikan.

Menyelesaikan konflik yang dilematis itu, menurut Burhanuddin tidak gampang. Baik gajah dan manusia telah sama-sama menjadi korban dan tidak ada yang harus dipersalahkan. Kini, katanya, yang harus dicari adalah mencari solusi. Agar gajah dan manusia tidak lagi berkonflik. Gajah tidak mati diracun seperti di perbatasan Rohul – Tapsel. Manusiapun tidak kehilangan rumah serta tanaman hasil kebun mereka karena dihancurkan gajah

Khusus untuk kasus konflik gajah dengan manusia di Balai Raja, kata Burhanuddin, ada beberapa pilihan. Pertama, mengusir kembali kawanan gajah itu ke dalam hutan yang ada. Kedua, melakukan relokasi ke tempat lain. Beberapa lokasi yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah Blok Hutan Libo, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Namun masing-masing pilihan itu, tambahnya, juga merupakan hal sulit dilaksanakan. Bila diusir kembali ke dalam hutan, sudah jelas hutan yang ada disekitar kawasan itu sudah hampir-hampir tidak ada. Jika tidak segera direlokasi, diperkirakan kawanan gajah itu akan kembali ke kawasan pemukiman penduduk. Hal itu terkait dengan kebiasaan mereka melewati daerah jelajah mereka yang dulunya hutan, tapi kini jadi pemukiman penduduk. Selain itu, rusaknya hutan tempat mereka tinggal membuat mereka harus keluar dari hutan untuk mencari makanan.

Oleh karena itu, kata Burhannudin, tidak ada jalan lain, relokasi merupakan pilihan pahit yang harus dilakukan. Meskipun, tambahnya, untuk melakukan relokasi bukan hal yang gampang. Mengingat waktu yang dibutuhkan lama dan biayanya besar. Butuh waktu lama itu, katanya, karena gajah harus ditangkap terlebih dahulu, kemudian diamankan, baru kemudian bisa dibawah ke lokasi yang baru.

Misalnya, gajah-gajah liar dari Balai Raja dipindahkan ke TNTN, maka waktu yang dibutuhkan untuk satu ekor gajah sekitar satu minggu. Biaya yang dibutuhkan untuk satu ekor gajah itu juga puluhan juta, atau dapat berkisar Rp. 15 – 30 juta.

Selanjutnya, Burhanuddin, menjelaskan pemerintah, khususnya Provinsi Riau hanya memiliki anggaran yang terbatas. Untuk Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2006 kemarin saja, katanya, tim anggaran hanya menyetujui anggaran relokasi gajah hanya bagi 15 ekor.

Dengan kondisi demikian, menurut Burhanuddin, harus ada pengertian dari semua pihak. Termasuk dari masyarakat setempat yang kini dirundung keresahaan, karena lahan pertanian dan rumah mereka diobrak-abrik gajah. Burhanuddin, mengingatkan kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan anarkis. Terutama, jangan sampai membunuh gajah. Dia menegaskan, gajah merupakan satwa liar yang dilindungi undang-undang, dengan artian, siapa yang membunuh gajah dapat dijerat hukum.

Menanggapi tentang peraturan undang-undang, yang menyatakan gajah tidak boleh di bunuh atau dicedrai, membuat masyarakat Balai Raja resah. Menurut Jonly, salah satu masyarakat Balai Raja, kebijakan itu tidak adil.
“Kalau gajah, boleh mengobrak-abrik perumahan kami, bahkan menghacurkan areal pertanian kami yang akan siap panen. Bahkan, gajah di beberapa tempat lain, telah menimbulkan korban jiwa. Apakah dengan menyatakan pelarangan itu, Dinas Kehutanan dan BKSDA bertanggungjawab terhadap kerugian yang mereka terima,” ujarnya dengan muka memerah.

Bahkan, dia mengeluarkan ancaman, bila kasus gajah masuk ke pemukiman itu tidak diselesaikan, dia menginginkan warga di Balai Raja, melakukan pemblokiran jalan. “Kalau kami blokir saja jalan ini (red: Jalan lintas Duri – Dumai) dalam waktu satu hari saja, pasti gajah-gajah itu bisa direlokasi,” tukasnya dengan maksud melakukan ancaman kepada pemerintah melalui kegiatan demonstrasi pemblokiran jalan.

Dia juga menyatakan, selama ini pemerintah selalu memberi mereka janji-janji dalam hal relokasi gajah. Mereka sudah mengerti jika untuk relokasi itu mahal dan butuh waktu. Namun mereka curiga, pemerintah hanya memberi janji, tanpa pernah memindahkan. “Kami tidak perlu, pemerintah memindahkannya secara keseluruhan, tapi cukup lima ekor gajah saja dalam setahun. Jadi ada kepastian,” tegasnya.

Menanggapi sikap masyarakat yang seperti itu, Burhanuddin, hanya menyatakan masyarakat perlu memikirkan cara-cara yang lebih baik, pemblokiran jalan menurut Burhanuddin, tidak akan menyelesaikan permasalahan. Menurutnya, Dinas Kehutanan (Dishut) dan BKSDA telah beritikat baik, untuk menyelesaikan kasus itu. Ditandai dengan kedatangan mereka ke Posko Penanggulangan Bencana Amuk Gajah di Kelurahan Balai Raja, untuk berdiskusi dengan masyarakat, lurah, dan camat setempat.

Selanjutnya Burhanuddin, menawarkan solusi agar gajah-gajah liar itu direlokasi ke TNTN. Mengingat, memang kawasan itulah di Riau yang sudah diplotkan untuk menjadi kawasan konservasi gajah. Malah, kawasan yang kini jumlahnya hanya 38 ribu hektar itu, rencananya akan segera diperluas, dengan mencabut salah satu izin dari HPH yang berada di dekat kawasan TNTN itu.

Namun usulan relokasi TNTN itu, ditolak oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Riau. Human Elephant Coordinator Monitoring Modul Leader Nurchalis Fadli, menyatakan, jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik gajah dengan manusia di Balai Raja, adalah penggiringan gajah liar ke lokasi hutan terdekat. Salah satu yang dia tawarkan adalah Blok Hutan Libo.

Hal itu karena, blok hutan tersebut masih merupakan habitat asalnya. Sementara mengenai kerusakannya, masih bisa diusahakan melalui usaha rehabilitasi. Namun dengan syarat harus mendapat dukungan dan kerjasama dari semua pihak terkait.

WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar itu. Dengan alasan, sejarah membuktikan sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam.

Seandainya pun mampu bertahan hidup, kata Nurchalis, gajah-gajah yang dilepaskan, itu akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Nurchalis mencontohkan, kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan di TNTN. Dalam waktu kurun hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga. Tim patroli gajah Flying Squad WWF, kata Nurchalis, sempat mendokumentasikan peristiwa tersebut.

Sementara itu, penolakan yang sama juga dikemukakan oleh Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN) Radaimon. “Kami menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke TNTN, karena dalam waktu dekat desa kami lah yang akan diserang,” ujarnya.

Menurutnya, FMTN, sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa mereka dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad. Usaha itu, katanya, kini sudah membuahkan hasil. Namun jika ada lagi gajah liar yang dimasukkan ke daerah mereka, maka gangguan gajah liar, pasti tidak terbendung lagi katanya.

Menghadapi penyelesaian konflik gajah dan manusia di Riau, juga mendapat perhatian dari WWF Indonesia. Species Program Director Nazir Foead, kepada Riau Tribune, mengemukakan, penangkapan gajah adalah pilihan terakhir. Itupun hanya bisa dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.

“Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah. Tim pemantau ini terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media. Selanjutnya setiap tahapan penangkapan dan pemindahan yang dilakukan, WWF menuntut dilakukannya evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir,“ tuturnya.

Selanjutnya mengenai usulan pemindahan gajah-gajah tangkapan ke TNTN, hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar disegerakan. Karena sejauh ini, kawasan konservasi selama ini yang didengung-dengungkan hanya memiliki luasan 38 ribu hektar. Luasan itu, menurutnya tidak akan bisa menampung gajah-gajah hasil tangkapan. Selain itu, dia juga menyebutkan, pentingnya upaya konkrit dari semua pihak dalam mengakhiri perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan tersebut.

Nazir juga menyampaikan usulan tentang penerapan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF Indonesia dengan Ditjen PHKA. Protokol yang telah dilakukan sejak tahun 2004 itu, diantaranya mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah. Jika itu segera terimplementasi, katanya, akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik gajah.

Protokol itu, tambahnya, juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa yang dilindungi tersebut. Salah satu contohnya, sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah. Caranya dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad). Sejak pengoperasian tim itu, kerugian berhasil diminimalisir hingga 80%. Oleh karena itu dia menyerukan agar Protokol Mitigasi Konflik Gajah segera diimplementasikan.

Semua hal yang ditawarkan WWF, juga senada dengan pernyataan Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan Adi Susmianto, Kepala BKSDA Riau Wilistra Danny, dan Direktur Eksekutif Yayasan Tropika Riau Harizal Jalil.

Namun, dari semua itu, kata mereka, yang harus juga digegas adalah penghentian semua konversi hutan alam. “Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan rumah bagi gajah semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, tambahnya populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor. Hal utama penyebabnya adalah karena ketidakberadaan hutan lagi.

Wilistra juga menyebutkan pentingnya pengembalian kawasan bagi gajah-gajah liar tersebut. Dia juga mengusulkan usaha rehabilitasi pada kawasan-kawasan hutan juga harus disesegerakan.

Sementara itu Harizal menyoroti tentang masih adanya izin-izin konversi lahan yang masih terus diberikan. Menurutnya pemberian izin untuk IUPHK Hutan Tanaman harus dihentikan. Malah dia juga meminta perizinan-perizinan yang diberikan oleh bupati/ walikota dan mantan Gubernur Riau, yang tidak prosedural harus segera dicabut.

Harizal juga mengharapkan, kawasan konservasi gajah tidak hanya difokuskan pada TNTN. Tapi harus ada beberapa kawasan lainnya yang dikembangkan untuk makluk berbelalai panjang tersebut, seperti Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Hutan Lindung Mahato, SM Bukit Rimbang Baling, Bukit Bungkuk dan tempat lainnya. Karena menurutnya, masing-masing kawasan di Riau memiliki kantong-kantong habitat gajah.

“Jika hanya difokuskan pada satu tempat, itu tidak akan cukup. Selain itu, keberadaan gajah di areal-areal konservasi itu bukan hanya untuk gajah, tapi juga melambangkan keberadaan suatu hutan sebagai penyangga kehidupan sekitarnya,” ujarnya.

Terakhir, dia menyebutkan menyelamatkan gajah, juga memiliki arti menyelamatkan banyak kehidupan yang bernaung didalamnya hutan. Seperti flora, fauna, bahkan mikroba yang kaya ada di dalamnya. Termasuk juga menjaga keberadaan air tanah, sehingga sekitar kawasan itu terhindar dari banjir, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Dengan cara demikian, menyelesaikan konflik gajah, juga akan mengakhiri episode bencana lingkungan lainnya (NVY)

Diterbitkan di Harian Riau Tribune dalam tujuh episode (9-16 Maret 2006)

Dikutip dari :http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&language=&id=NWS1142846083

(www.riautribune.com)

Dari Sejarah Pers Hingga Teknik Menulis Berita

Banyak buku tentang kewartawan. Ada yang mengulas teknik penulisan berita/ficer, ada yang bertutur pengalaman meliput, ada yang mengupas sejarah media, dan sebagainya. Berikut beberapa buku kewartawanan.


- Wartawan-wartawan Berbitjara, disunting Edmond D Coblentz. Penerbit Masa, 1961
Berisi tentang kredo dan pengalaman wartawan Amerika dalam menjalankan jurnalisme. Ada kredo dan pemikiran Joseph Pulitzer, kredo dan pemikiran trio wartawan abad ke-19 James Bennet, Charles Dana, dan Horace Greeley.

- 10 Pelajaran untuk Wartawan, Nur Zen Hae, Hawe Setiawan, dkk. LSPP, 2000 Berisi tentang panduan kewartawanan, mulai dari merencanakan liputan, menuliskannya, hingga tips menghindari stres.

- Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno Gumira Ajidarma. Bentang, 1997
Kumpulan tulisan fakta-fakta yang tak mungkin ditulis sebagai laporan jurnalistik. Seno menuliskannya dalam bentuk cerpen.

- Making Sense, Filsafat di Balik Hadline Berita, Julian Baggini. Teraju Mizan, 2003
Bagaimana sebuah berita menyimpan sebuah persoalan filosofis untuk dibincangkan? Julian Baggini menuliskannya.

- Off the Record, Zaenuddin HM. Prestasi Pustaka, 2007
Kumpulan pengalaman menjadi wartawan.

- Serbia Calling, Matthew Collin. KBR 68H, 2003
Kisah Radio B92 yang dikelola para mahasiswa di Beograd, Yugoslavia. Radio ini menjadi pusat gerakan sosial para mahasiswa: Antiperang, antinasionalisme, prodemokrasi, pro-hak asasi manusia.

- Media dan Gender, disunting Ashadi Siregar dkk. LP3Y dan Ford Foundation, 1999
Hasil penelitian di beberapa media mengenai industri media dan perspektif gender.

- Objektivitas Berita Lingkungan, Andi Noviriyanti. Takar Riau, 2006 Buku panduan tentang membuat berita isu-isu lingkungan.

- Rohana Kuddus, Fitriyanti. Yayasan d'Nanti, 2005 Kisah wartawan perempuan pertama di Indonesia.

- Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, Ahmat Adam. Hasta Mitra, 2003
Sejarah pers Indonesia kurun 18855 hingga 1913.

- Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras, Mirjam Maters. Hasta Mitra, 2003
Membahas kebebasan pers dan pemberangusan pers di Indonesia era 1906-1942.

- Jurnalistik, Teori dan Praktik, Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. Rosda, 2005
Buku ini pengetahuan dasar tentang jurnalistik. Untuk seorang pemula yang ingin mengenal dunia jurnalistik, buku ini menguraikan secara snapshot berbagai aspek yang terkait dengan kerja wartawan. pry/irf

- Jurnalisme Sastrawi, disunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Pantau.
Kumpulan laporan jurnalisme sastrawi yang pernah dimuat di majalah Pantau.

Dikutip dari Republika - Dari Sejarah Pers Hingga Teknik Menulis Berita ,
Minggu, 10 Februari 2008


Newspaper reports that change local government policies

There are 14 hospitals in Pekanbaru City (Riau Province), Sumatera Island, Indonesia. Six of them have no waste water treatment facilities. All the untreated waste water from those hospitals streams out to city drain and then to the river. And seven hospitals have no incinerators to burn medical wastes. They dump all medical wastes to public waste dump site. How did media change the government policies on hospital wastes?

There are 14 hospitals in Pekanbaru City (Riau Province), Sumatera Island, Indonesia. Six of them have no waste water treatment facilities. All the untreated waste water from those hospitals streams out to city drain and then to the river. And seven hospitals have no incinerators to burn medical wastes. They dump all medical wastes to public waste dump site.

Tribun Pekanbaru published two stories about hospital wastes with one picture of the city drain out side of Zainab Hospital full of used syringes floating (17 March 2008, page 9). Zainab Hospital, a private owned hospital, has neither waste water treatment facility nor incinerator.

Naning Nutriana, one of participants on environmental journalism training workshop in Pekanbaru, wrote the stories in Green City section, an environmental section in Tribun Pekanbaru Daily. M Hanshardi, a participant of the environmental journalism training workshop for editors, was the editor responsible to manage the new environmental section.

On 13 April 2008, Riau Pos published three hospital waste stories in one page. Andi Noviriyanti, another trainee of the environmental journalism training workshop for reporters, wrote two stories. One of the three was a story of the owner of the Zainab Hospital. And Makruf Siregar, a staff of Pekanbaru environmental protection agency, wrote an article focused on hospital waste water condition in Pekanbaru.

After the last reports, Noviriyanti has to negotiate with her editors to continue coverage on hospital wastes. She said that there was resistance from editors since the reports will criticize the government and hospital owners. She has to convince her editors that the hospital wastes topic was very important to cover.

Finally, on 20 April 2008, Riau Pos published a special report on hospital wastes in three pages. Total there were 11 multi-angles headlines and four photos. One of the headlines was written by Jarir Amrun, the editor who also joined the training workshop for editors.

The most important impact was those stories changed the local government policies and pushed the hospitals to comply with regulations. One of the photos put in Riau Pos was the same spot of city drain but no syringes floating.

“The city drain was clean. No syringes floating anymore after we published the first report,” said Noviriyanti, who got a master degree on journalism.

Local government through its authority institution, Bapedalda (Local Environmental Impact Management Agency) inspected hospitals that mentioned in the stories have no waste water treatment facilities and issued warning letters. Bapedalda also did a hospital waste management briefing for hospital management in Pekanbaru.

“Zainab hospital is now building its waste water treatment facility,” told Noviriyanti in an interview on 21 August 2008.

Noviriyanti said that the local government thanked Riau Pos for the reports. One of the hospitals was owned by the respected senior citizen in Riau. It made Bapedalda or local government was in an awkward position if they have to notify that his hospital violated the environmental regulations. But, after the cases were on newspaper, Bapedalda/local government warned him inoffensively.

Even the owner of Lancang Kuning hospital gave appreciation Riau Pos’ CEO for the balance coverage.

She frankly said that she motivated to cover hospital waste cases after joined the environmental journalism training workshop. “I just need to follow steps that explained in the workshop although it was not an easy task,” said Noviriyanti who manages “Save the Earth,” an environmental section in Riau Pos.

She has to be very “softly” asking her key sources, especially hospital owners, for interviews. “I approached them through religious consciousness or Islamic religious consciousness of the hospital owners. It is a sin doing business that makes other people suffering,” told her experiences in approaching her sources.

She felt satisfied of her works. She said that she got how environmental journalism could help make a better world or better environment by push governments and businesses to change their behaviors of polluting the environment.

She said that she will continue writing environmental stories that changing policy more environmental friendly.

Dikutip dari: http://www.knight.icfj.org/Default.aspx?tabid=62&EntryID=3185
Location: BlogsHarry Surjadi's Blog
Posted by: hsurjadi 10/8/2008 10:56 AM

Andi Noviriyanti luncurkan buku soal lingkungan

JAKARTA: Andi Noviriyanti, wartawan muda surat kabar Riau Tribune dari Pekan Baru, meluncurkan buku berjudul Objektivitas Berita Lingkungan, Jurnalistik Berkelanjutan.

Buku setebal 129 halaman ini terutama menyorot adanya keberpihakan yang membabi buta dalam liputan lingkungan terhadap nara sumber. Penulis melihat kerja wartawan lingkungan yang ingin tampil bombastis --karena kalah pamor dengan liputan lain seperti infotainmen atau olahraga-- justru seringkali jauh dari fakta.

Dari pengamatan penulis terhadap sejumlah berita mengenai lingkungan, terdapat tujuh pelanggaran objektivitas a.l. istilah yang menyesatkan, berita yang tidak berimbang, memasukan opini, mengurangi informasi dan konteks, menghilangkan berita tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik, menggunakan fakta yang benar untuk kesimpulan yang salah serta distorsi fakta yakni tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.

"Penulisan buku ini merupakan sumbang saran dan bahan belajar bagi wartawan untuk membuat berita lingkungan yang lebih baik. Sehingga pembelaan terhadap lingkungan tidak mengorbankan prinsip-prinsip dasar jurnalisme," ujar Novi, yang menyarikan bahan tulisannya dari tesis masternya di Universitas Andalan, Padang. (tw)

Rabu, 30/08/2006 16:47 WIB
oleh : Erwin Nurdin

Dikutip dari http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=466734&patop_id=W50

Kisah Coklat-Coklat yang Meleleh

Dari Oleh-oleh Singapura hingga Poznan

Ini bukan kisah pertama tentang coklat yang meleleh, namun ini bisa jadi menjadi gambaran tentang masa depan bumi nanti bila pemanasan global tidak dicegah. Seisi bumi akan kepanasan, bahkan gedung-gedung berpendingin ruangan tetap tidak akan mampu mendinginkan penghuni bumi.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Gambaran itu bisa dilihat dari kisah coklat-coklat yang meleleh di dalam mobil. Kisah itu dimulai dari kisah oleh-oleh coklat tahun 2006 lalu saat pulang dari Singapura hingga penghujung tahun 2008 lalu saat membawa oleh-oleh coklat dari Poznan, Polandia. Semua coklat yang kubawa di dalam mobil untuk diberikan kepada kerabat dan teman-teman dipastikan meleleh. Tidak peduli bagaimana cara aku menyimpannya.
Kisah pertama aku menemukan coklat yang meleleh di dalam mobil dimulai dari kisah oleh-oleh coklat dari Singapura. Saat itu posisi coklat aku letakkan di dalam kantong kertas di atas jok mobil. Coklat itu begitu cepat meleleh padahal hanya sekitar 30 menit coklat itu berada di dalam mobil, yakni dari rumahku ke kantor Riau Pos. Oleh-oleh coklat yang telah ku bawa tadi untuk teman-teman kantor terpaksa urung diberikan.
Kisah pertama itu, membuat aku membuat eksperimen baru. Coklat yang aku bawa di dalam mobil di masukkan ke dalam kotak kertas dan dimasukkan ke dalam kopor. Namun lagi-lagi coklat-coklat itu, tidak lebih baik keadaannya. Coklat itu melunak dan sebagian meleleh tak berbentuk lagi. Coklat yang meleleh masih bisa diselamatkan dengan cara membawanya ke dalam ruangan kantor yang berpendingin ruangan. Dalam waktu beberapa jam, coklat-coklat itu bisa kembali ke wujudnya yang padat.
Tak puas dengan kisah coklat yang meleleh itu, membuatku bereksperimen lagi. Bila di dalam kopor tidak berhasil juga, maka tempat terakhir di dalam mobil adalah di dalam box mobil yang terletak di bagian depan samping kursi supir. Ternyata coklat yang disimpan disitu lebih parah lagi. Benar-benar meleleh dan coklatnya merembes ke luar bungkusannya.
Beberapa eksperimen itulah yang akhirnya mengantarkanku menemukan ilustrasi sederhana tentang pemanasan global yang sejak tahun 1997 ramai dibicarakan. Tepatnya saat Protokol Kyoto disepakati. Dulu pemanasan global di gambarkan dengan rumah kaca untuk pembibitan tanaman. Di dalam rumah kaca ditemukan fenomena bahwa cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kaca itu akan terperangkap. Sifat kaca yang bisa meneruskan cahaya pembawa panas matahari yang datang tidak bisa keluar lagi. Akibatnya panas yang ada hanya berputar-putar di dalam ruangan kaca tersebut dan meningkatkan suhu di dalam ruangan tersebut, yang memang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh.
Begitu pulalah keadaan bumi bila terbungkus dengan kaca yang dalam hal ini diibaratkan dengan gas rumah kaca (GRK). GRK sebenarnya adalah gas karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon (HFCs). Gas yang rata-rata berasal dari pembakaran bahan bakar fosil itu (transportasi, pembangkit listrik, kebakaran hutan, dll) sama halnya dengan kaca di atmosfir bumi. Di mana cahaya panas matahari akan bebas masuk ke permukaan bumi melewati gas-gas itu. Namun cahaya panas itu tidak bisa keluar menembus GRK itu. Akibatnya panas matahari tadi terperangkap di dalamnya dan meningkatkan suhu bumi. Sama halnya pula dengan peningkatan suhu yang ada di dalam rumah kaca, pada posisi normal GRK yang ada yakni konsentrasi 350 ppm, sangat dibutuhkan untuk penghuni bumi. Agar bumi tetap hangat dan makluk hidup dapat tumbuh dan berkembang. Namun saat kondisinya melebihi dan terus meningkat, misalnya tahun 2007 para peneliti Intergovernmental Panel on Climate (IPCC) menemukan konsentrasi 430 ppm, maka peningkatan suhu menjadi berbahaya. Lapisan es yang selama ini memadat di kutup utara dan sejumlah pegunungan mencair. Meningkatkan permukaan air laut, mengubah pola angin, dan ujung-ujungnya terjadi perubahan iklim.
Lapisan es yang mencair itulah yang dapat diilustrasikan dengan coklat-coklat yang meleleh di dalam mobil tersebut. Di mana diibaratkan bumi adalah bagian-bagian di dalam mobil sementara kaca mobil adalah GRK. Ketika sinar matahari masuk, terutama di siang hari, maka panas matahari akan terperangkap. Memanaskan suhu di dalam mobil. Panas itulah yang mendorong coklat yang awalnya padat meleleh sama halnya dengan es yang juga mencair.
Pulang dari Poznan, Desember 2008, pengalaman tentang coklat-coklat yang meleleh mengantarkanku dengan sebuah eksperimen baru. Agar coklat-coklat senilai 130 PLN (541 ribu) itu tidak meleleh. Maka coklat tadi ditempatkan di dalam cool box (kotak pendingin), sejenis kota berlapis gabus yang biasa digunakan untuk membawa minuman dan makanan agar tetap dingin. Di dalam cool box itulah coklat-coklat tadi dimasukkan lengkap dengan batu es yang berada di bawahnya. Apa yang terjadi? Coklat-coklat tadi memang berhasil untuk bertahan, namun umurnya tidak lama. Coklat-coklat itu tetap saja melunak setelah beberapa jam kemudian.
Kisah coklat-coklat yang meleleh itu bisa menjadi gambaran masa depan bumi bila pemanasan global tidak dicegah. Bumi akan semakin panas. Tidak peduli bagaimana kita bersembunyi dari panasnya matahari itu. Sekalipun nanti saat kita berada di ruangan perpendingin. Pastilah lama-lama akan memanas juga, sama halnya coklat yang berada di dalam cool box.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 4 Januari 2009

Valerina Daniel: Jangan Cuek Aja!

Jangan cuek aja terhadap perubahan iklim,� begitu selalu ungkapan yang dilontarkan Valerina Daniel, duta lingkungan hidup Indonesia untuk perubahan iklim, ketika ditemui di Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali.

Menurut mantan runner up Putri Indonesia ini, perubahan iklim kini bisa dirasakan semua orang. Sesuatu yang tidak bisa dihindari. Misalnya gelombang pasang di Jakarta yang menyebabkan jalan ke bandara terputus, angin puting beliung yang semakin sering terjadi, cuaca yang selalu berubah, dan banyak hal lagi.

Maka waktu ini, hari ini, jam ini dan detik ini juga perubahan iklim menuntut kita untuk merubah kebiasan hidup. Menjadi virus perubahan kepada sahabat kita, saudara kita, tetangga kita dan semua orang yang kita temui dimana saja dan kapan saja. untuk peduli dengan perubahan iklim, tutur perempuan kelahiran 25 Nopember 1980 ini.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah perubahan iklim yang semakin cepat. Hal pertama harus dimulai dari diri sendiri. Dengan melakukan penghematan energi, mengelolah sampah yang ada, menghemat penggunaan BBM, dan menggunakan sepeda atau jalan kaki untuk tempat yang dekat.

Alumni Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini juga mengajak agar setiap orang mau menjadi pejuang lingkungan. Bertindaklah bila melihat terjadi kerusakan lingkungan, tegur mereka yang buang sampah sembarangan, dan bergabunglah dengan kelompok masyarakat pecinta lingkungan,ungkap pemilik senyum manis ini. (a)

Diterbitkan di Harian pagi Riau Pos, 16 Desember 2007

Kampung Jatuh ke Laut

Ombak laut dari Selat Malaka terus saja menghempaskan tubuhnya ke bibir pantai Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis. Ia menari-nari di laut, kemudian di daratan ia mengelus sekaligus menggerus tepian pantai yang berpasir dan berlumpur itu. Ujung tepi pantai yang telah gundul dari tanaman mangrove itu pun tak kuasa menolak. Butir-butir pasir dan lumpur yang dimilikinya jatuh berlahan mengikuti ombak yang kembali ke laut.

Laporan Andi Noviriyanti, Bengkalis
novi792000@yahoo.com

Mulanya hanya ujung-ujung pantai saja yang dijatuhkannya ke laut. Tetapi kemudian ombak Selat Melaka yang terkenal ganas itu kian berani menjatuhkan apapun yang ditemuinya. Mulai dari kebun hingga perumahan penduduk. Bahkan deretan perkuburan wargapun dihajarnya. Ia menenggelamkan bermeter-meter bahkan berkilometer daratan yang ada ditepian pantai itu.

Sa’dullah, seorang warga kampung Bantan Air, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis pun digeluti rasa khawatir melihat pengikisan (abrasi) pantai itu. Pria kelahiran 1938 ini cemas dan takut, kampung tempat dia tinggal itu akan habis terkena abrasi. “Takut kampung jatuh ke laut. Tak bisa lagi kita duduk-duduk di tepi pantai nanti,” ujar Sa’dullah kepada Husin, sahabatnya sekaligus juga pria yang membantunya menanam mangrove di kampungnya.

Percakapan tentang ketakutan kampung jatuh ke laut itu tidak terjadi hari ini. Tetapi sudah 12 tahun yang lalu. Saat Husin, bertanya mengapa sahabatnya itu mengajak dirinya menanam mangrove. Menurut Husin, sahabatnya yang kini telah almarhum itu, mengungkapkan mangrove yang mereka tanam itu bisa mencegah kampung mereka jatuh ke laut.

Husin tak tahu pasti, kapan sahabatnya itu mulai menanam mangrove. Seingatnya sejak tahun 1996, saat dia bekerja bersama Sa’dullah, dia telah melihat banyak pohon mangrove yang ditanam sahabatnya itu. “Saya ingat yang ditanamnya banyak tidak berhasil. Tapi dia tidak menyerah. Dia terus saja mencoba lagi. Bahkan dia sempat dianggap orang bodoh oleh warga kampung. Bagaimana mungkin menanam mangrove di laut yang terus terkena ombak. Tapi dia tidak berhenti,” ungkap Husin.

Sa’dullah memang tidak punya ilmu apa-apa dalam menanam mangrove. Dia hanya belajar dari percobaan demi percobaan yang dilakukannya. Belajar pula dari kegagalan demi kegalan yang dialaminya. Sampai akhirnya, penerima Penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan Tahun 1999 ini, di akhir masa hidupnya berhasil mewariskan delapan kilometer garis pantai hutan mangrove.

***

Kampung Sa’dullah di Bantanair bisa jadi telah aman dari abrasi pantai. Namun bagaimana dengan kampung-kampung yang lain di Bengkalis. Setidaknya, di seluruh Kabupaten Bengkalis, menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kabupaten Bengkalis Nursidin Z, ada 40 kampung (desa) yang tengah dilanda abrasi. Abrasi yang mencapai tujuh meter dalam setahun itu, bila tidak dicegah bisa jadi menerjunkan satu demi satu kampung di Bengkalis ke laut.

Untunglah di kampung lain, ada Sa’dullah lain. Para Sa’dullah muda ini berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Bahtera Melayu. Terdiri dari Defitri Akbar (Ketua), Khairul Saleh, dan M Husni Lebra. Ketiga pemuda ini melakukan pembinaan di dua kampung lainnya, yakni Desa Teluk Pambang dan Desa Jangkang di Kecamatan Bantan.

Awal keterlibatan mereka pada kegiatan pendampingan masyarakat dalam melestarikan mangrove bermula dari keterlibatan mereka pada Co-fish Project. Kegiatan itu bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat pesisir pantai, termasuk pelestarian mangrove. Dilaksanakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan.

Namun masa proyek itu hanya lima tahun. Sehingga, Defitri dan beberapa orang temannya merasa perlu menindaklanjuti program yang telah dirintis Co-fish Projek. “Kalau program ini tidak dilanjutkan, maka akan menjadi kegiatan yang mubazir. Maka sejak tahun 2003 lalu, kami melakukan pendampingan dengan melakukan pemberdayaan kelompok mangrove di dua desa tersebut,” ujar Defitri.

Di Desa Teluk Pambang ada empat kelompok yang mereka bina, yakni Belukap, Prepat, Pantai Lestari, dan Bumi Hijau. Sementara itu di Desa Jangkang ada dua kelompok, yakni Payung Penghijau dan Nelayan Sejahterah. Dari keenam kelompok itu, yang paling menonjol adalah kegiatan kelompok Belukap dan Prepat. Hingga akhirnya kedua kelompok itu dijadikan Pusat Studi Ekosistem Mangrove Kabupaten Bengkalis.

Selain melanjutkan kegiatan Co-fish Project, Defitri berharap kegiatan pendampingan yang mereka lakukan dapat memberdayakan masyarakat. “Berdaya di bidang ekonomi, berdaya di bidang sosial, dan berdaya pula dibidang politik. Karena pemberdayaan masyarakat memiliki hubungan paralel dengan peningkatan sumber daya manusia dan kelestarian alam,” ujar Defitri.
***

Kegiatan pencegahan agar kampung-kampung di Bengkalis tidak jatuh ke laut tidak saja menjadi tanggung jawab Sa’dullah dan LSM Baterah Melayu. Pemerintah Kabupaten Bengkalispun tak tinggal diam mencegah agar kampung-kampung mereka tidak jatuh ke laut. Itulah sebabnya, menurut Kepala Bapedal Nursidin dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkalis Riza Pahlefi, Pemerintah Bengkalis terus memprogramkan kegiatan pencegahan dan perbaikan kerusakan hutan mangrove.

Kegiatan pencegahan dan perbaikan itu tidak saja melalui kegiatan penanaman mangrove. Tetapi juga dengan melakukan pembangunan fisik, berupa pembangunan turap. Termasuk juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukan penebangan hutan magrove secara tidak lestari.

“Kerusakan hutan mangrove di Bengkalis sulit dihindari. Mengingat masyarakat masih mengandalkan kayu mangrove untuk dijadikan cerocok pembangunan rumah. Kita belum temukan penggantinya. Namun kita berusaha untuk mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak menebang bakau tanpa melihat kelestariannya,” ujar Nursidin.

Selain itu, Nursidin dan Riza juga berharap pemerintah di tingkat provinsi maupun pusat bersedia melakukan sharing dana mencegah terjadinya abrasi di Bengkalis. Pasalnya sebagai salah satu kawasan terluar dari Indonesia ini, Bengkalis juga menjadi penentu luas Indonesia.

“Jika garis pantai di Bengkalis mundur, maka luas Indonesiapun mundur ke Belakang. Karena batas wilayah dihitung dari 12 mil laut dari garis pantai. Indonesia bertambah kecil, sementara negara lain bertambah luas. Karena mereka melakukan penimbunan pantai,” ungkap Nursidin.

Meski sudah ada upaya pemeritah, namun Riza juga berharap ada Sa’dullah-Sa’dullah lainnya di Bengkalis. Agar ketakutan Sa’dullah tentang kampung yang jatuh ke laut tidak pernah jadi kenyataan.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 30 Maret 2008

Nike Susanti: Sempat Putus Asa

Bukan pekerjaan mudah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam membibitkan dan menanam mangrove (bakau). Meskipun mangrove yang akan ditanam itu adalah untuk kepentingan mereka sendiri. Agar rumah tempat mereka lahir, besar, dan tua tidak terjun ke laut karena terkena abrasi.

Kenyataan itulah yang dihadapi Nike Susanti. Seorang perempuan muda berstatus pegawai honor di Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera yang berkantor di Kota Pekanbaru. Alumni master Ilmu Lingkungan Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat ini sempat dibuat menangis. Bahkan karena putus asa ingin meninggalkan masyarakat Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, tempat program pembibitan mangrove dilaksanakan.

Kala itu, kenangnya, tahun 2006. Dia yang baru tiga bulan menikah dan baru saja bergabung di PPLH diperintahkan untuk ke Dumai. Sebuah kota pelabuhan yang bisa dicapai dari Kota Pekanbaru sekitar empat jam dengan kendaraan roda empat. Dia diminta menjalankan program pembibitan mangrove di Teluk Makmur, sebuah kelurahan di Dumai yang saat itu tengah dilanda abrasi hebat. Setiap tahunnya ditempat itu ada lima meter bibir pantai yang bergabung menjadi lautan.

Dengan berbekal ilmu yang dimilikinya saat dulu kuliah di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau (Unri), serta panduan dari seorang staff PPLH dia mencoba menjalankan program itu. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah melakukan pendekatan kepada masyarakat. Menanamkan sebuah kesadaran dan partisipasi agar bersama-sama meng hentikan abrasi dengan cara menanam mangrove.

Awalnya masyarakat menanggapinya dengan acuh. Masyarakat pesimis program itu akan berhasil. Pasalnya program menanam mangrove sudah sering dilakukan, namun rata-rata tidak berhasil.

“Penanaman mangrove dulu memang banyak yang tidak berhasil. Karena yang ditanam bukan jenis endemik yang umumnya tumbuh di kawasan ini. Mereka menanam Avecenia sp, sementara yang banyak tumbuh disini Rhizopora sp. Penanamannya juga tidak melibatkan masyarakat, sehingga tidak ada merawat mangrove sesudah ditanam,” ungkap Nike.

Meskipun menghadapi kepesimisan masyarakat Teluk Makmur, namun semangat Nike tak surut. Perempuan kelahiran Pekanbaru, 10 Mei 1977 ini terus melakukan pendekatan. Terlebih lagi saat itu program yang diusung PPLH jelas. Se tiap tahapan pembibitan yang melibatkan masyarakat akan dibayar. Mulai dari pencarian biji mangrove, pengisian polybag, hingga pembuatan bedeng dan perawatan. Semuanya dibayar sesuai dengan hasil kerja dan kesepakatan masyarakat.

Namun persoalan bayar-membayar itu tidak cukup sampai disana. Masyarakat yang dulu tidak peduli dengan program tersebut, mendengar ada uangnya mulai kasak kusuk. Maka bermunculanlah orang-orang yang mengaku punya kelompok yang ingin mendapatkan program tersebut. Tak sampai di situ, ada pula hasut menghasut di dalam kelompok yang sudah terbentuk. Di mana ada masyarakat yang setuju dibayar sesuai kesepakatan, ada yang minta dibayar lebih. Sampai puncaknya, hasutan itu termakan dan masyarakat akhirnya sepakat menolak melakukan tahapan penyemaian.

Menghadapi itu, kesabaran Nike habis sudah. Air matanya tumpah. Dia melaporkan hal itu ke PPLH lewat telepon. Dari PPLH, dia mendapatkan kebijakan agar memindahkan saja program itu ketempat lain jika masyarakat tetap ngotot dibayar lebih dari kesepakatan.

Di saat itulah keajaiban mulai terjadi. Masyarakat akhirnya mau menjalankan program itu sesuai dengan kesepakatan harga yang telah ditetapkan. Terbayar sudah rasa penatnya saat melihat bukan hanya orang tua saja yang terlibat dalam pembibitan itu.

Tetapi juga para anak-anak yang dengan tangan mungilnya ikut mengisi polybag Semua bekerja, saling bahu membahu.

Akhirnya program itu berjalan dan menghasilkan 60 ribu bibit mangrove pada tahun pertama. Lalu pada tahun kedua, program itu berhasil memproduksi 100 ribu bibit mangrove. Bibit-bibit itu kini telah mulai mewarnai bibir pantai di Teluk Makmur dan pantai-pantai disekitarnya.(a)
Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 13 Januari 2008

Penipisan Lapisan Ozon Tak Kenal Batas Wilayah

Seluruh penduduk bumi hanya punya satu lapisan ozon yang sama. Lapisan ozon yang sama itulah yang harus diselamatkan secara bersama-sama pula.

Laporan Andi Noviriyanti, Riau Pos
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Suatu hari, seorang teman bernama Dedy Sofhian yang tergabung dalam Jurnalis Peduli Ozon (JPO) mengusulkan idenya untuk membuat seminar tentang kerusakan lapisan ozon. Dedy yang berasal dari Sumatera Utara ini pun menuliskan idenya lewat email kepada Jurnalis Peduli Ozon. “Kawan-kawan sekalian, saya ada rencana buat seminar soal kondisi ozon di Sumatera Utara, kalian bantu ya? Saya disini dibantu dengan teman reporter Medan. Mereka tertarik dengan kegiatan dan mau gabung di Jurnalis Peduli Ozon. Gimana kalian setuju?” tulisnya di e-mail itu.

Saat menerima email itu, saya mengulum senyum. “Tentulah saya bantu teman. Hanya mungkin tidak bisa dikatakan seminar tentang kondisi ozon di Sumatera Utara. Pasalnya tidak mungkin menghitung batas antara ozon di Sumatera Utara dengan Malaysia ataupun dengan Amerika Serikat sekalipun,” ungkap saya dalam balasan e-mail itu.

Lapisan ozon yang ada di langit, tepatnya di lapisan stratosfer ketinggian 18-45 Km dari permukaan bumi memang tidak bisa dibagi-bagi milik wilayah manapun. Mengingat langit milik masyarakat bumi mulai dari dunia belahan selatan hingga dunia belahan utara sama. Justru bumi yang berputar terus pada poros. Itulah sebabnya tak ada batas wilayah kondisi lapisan ozon satu daerah dengan daerah lainnya. Lapisan ozon yang ada di langit sana menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat dunia untuk menjaganya. Bahkan masyarakat dunia telah mendeklarasikan penyelamatan ozon sejak 21 tahun yang lalu. Dikenal dengan nama Protokol Montreal yang yang ditandatangani 188 negara.

Ozon sendiri adalah molekul tipis sederhana yang terdiri dari tiga atom oksigen. Molekul tipis itu membentuk lapisan yang juga tipis bernama lapisan ozon. Meskipun tipis namun ia berfungsi sebagai penyaring atau peneduh raksasa yang melindungi tanaman, hewan, termasuk manusia dari sinar matahari berbahaya bernama radiasi ultraviolet B (UV-B) yang mematikan.

Radiasi UV-B itu dapat merubah sistem kekebalan, termasuk menghilangkan fungsi vaksinasi. Penyakit yang bisa timbul akibat berkurangnya kekebalan tubuh antara lain kulit, campak, chicken pox, herpes, malaria, leishamaniasis, TBC, kusta dan infeksi jamur seperti candidiasis. Selain itu sinar UV-B juga penyebab berkembangnya penyakit kanker kulit dan katarak penyebab kebutaan.

Penelitian dari US Environmental Protection Agency pada tahun 1985 memperkirakan bila terjadi penipisan lapisan ozon sebesar satu persen saja, maka akan terdapat tambahan sekitar 100 ribu sampai 150 ribu kasus katarak. Jumlah itu akan meningkat terus bila penipisan lapisan ozon terus berlangsung. World Health Organization (WHO) mencatat katarak adalah penyebab 17 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.

Untuk mencegah berbagai penyakit itu menimpa makhluk bumi maka manusia dimanapun berada harus mengurangi penggunaan bahan perusak ozon (BPO). BPO tersebut, di antaranya Kloro Fluoro Karbon (CFC), Karbon Tetraklorida, Metil Khloroform dan Metil Bromida.

Upaya untuk mengurangi penggunaan BPO itu bisa ditempuh dengan berbagai cara. Pertama, tidak merokok. Mengingat pada rokok yang kadar tarnya rendah digunakan CFC sebagai mengembangnya. Kedua, pilihlah produk-produk aeorosol, seperti pengharum ruangan, penyemprot nyamuk, minyak wangi (spray) yang ramah ozon atau yang berlogo non CFC pada. Ketiga, pilihlah alat pendingin seperti AC dan kulkas yang berlogo non CFC. Terus gantilah CFC (freon) yang terdapat pada alat pendingin itu dengan bahan pengganti CFC yang ramah ozon. Selanjutnya daur ulanglah freon alat pendingin ke bengkel yang memiliki sistem daur ulang.

Keempat, kurangi gonta-ganti pemakaian kasur busa, jok mobil, sol sepatu, sendal dan termos. Mengingat sebagian besar dari peralatan itu menggunakan pengembang dari BPO. Kelima, ganti gas pemadaman kebakaran dari halon dengan gas pemadaman kebakaran yang mengandung CO2 dan busa non CFC. Keenam, efisienlah dalam penggunaan pelarut perusak ozon, yang digunakan untuk membersihkan sirkuit elektronik, penghilang lemak logam selama proses fabrikasi dan dry cleaning pada industri tekstil. Ketujuh, hindari penggunakaan pengendali hama dari Methyl Bromida.***

Menghiasi Riau dengan Tanaman Hias

Riau tidak hanya memiliki potensi sumber daya alam seperti minyak, gas bumi dan perkebunan sawit. Tetapi juga potensi pengembangan jenis tanaman hias dataran rendah. Pengembangan potensi tanaman hias itu akan menjadi salah satu upaya mendinginkan bumi, menghiasi Riau, dan meningkatkan perekonomian masyarakat.

Laporan Andi Noviriyanti, Pangkalan Kerinci
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Riau tidak hanya memiliki potensi sumber daya alam seperti minyak, gas bumi dan perkebunan sawit. Tetapi juga potensi pengembangan jenis tanaman hias dataran rendah. Pengembangan potensi tanaman hias itu akan menjadi salah satu upaya mendinginkan bumi, menghiasi Riau, dan meningkatkan perekonomian masyarakat.

Laporan Andi Noviriyanti, Pangkalan Kerinci andi-noviriyanti@riaupos.co.id
“Riau akan memproduksi tanaman hias?” begitu sontak Riau Pos bertanya saat seorang teman Dimas Harya Madukusumah lewat telepon selulernya dari Jakarta menginformasikan program Corporate Social Resposibility (CRS) perusahaannya PT Transportasi Gas Indonesia (Transgasindo).

“Iya, ini sesuai dengan komitmen perusahaan untuk ikut menghijaukan bumi. Kan nggak mungkin kami ikut memberdayakan masyarakat dengan nambah tanaman sawit di Riau. Bisa tambah parah nanti Riau. Yang paling mungkin adalah tanaman hias,” ujar Dimas, pekan lalu, lewat telepon selulernya.

“Wah itu isu langitan. Siapa yang punya ide itu. Apa itu bukan sekedar ide proyek saja. Mana mungkin. Riau ini panas. Nggak mungkinlah tanaman hias,” ungkap Riau Pos tidak yakin.

Ketidakyakinan Riau Pos, juga turut membuat gamang Dimas yang memang belum pernah ke Riau. Namun gara-gara itu pula, sebelum program itu diluncurkan di Riau, Dimas memperkuat
referensi dan alasan mengapa perusahaannya ngotot agar program itulah yang paling tepat dikembangkan. Pasalnya tidak mungkin, perusahaannya yang bergerak di bidang pemipaan itu hanya memberi santunan terus. Itu sama sekali tidak mendidik dan tidak membuat masyarakat mandiri. Malah akan memupuk mental peminta-minta.

Perdebatan dan ketidakpercayaan Riau Pos terhadap pengembangan potensi tanaman hias tetap saja menyeruak. Bahkan hingga akhirnya, awal pekan ini, dia bersama tim dari perusahaannya
dan juga Direktorat Budidaya Tanaman Hias-Jakarta serta Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi)-Cianjur datang ke Pekanbaru.

Namun ketidakpercayaan Riau Pos mulai berubah tak kala para ahli tanaman hias dalam rombongan itu yaitu Ir Lily Gandawati MSi dan Dr Ir Muchdar Soedardjo Msc mulai bicara. Lily dari Direktorat Budaya Tanaman Hias Jakarta mengungkapkan tanaman hias yang akan dikembangkan di Riau memang bukan bunga potong yang memang banyak diproduksi di daerah dataran tinggi.

“Kita memang tidak akan menanam bunga potong seperti melati, sedap malam dan bunga dataran tinggi lainnya. Tanaman seperti itu memang lebih baik tumbuh di daerah dataran tinggi seperti di Berastagi, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Bandungan, Malang dan Pasuruan. Namun mesti diingat bahwa bunga potong adalah bagian dari tanaman hias. Ada kelompok besar tanaman hias lain yang bisa dikembangkan di Riau.Yakni tanaman hias daun-daun-daunan dan tanaman pot,” ungkap Lily.

Tanaman hias daun-daunan dan tanaman pot ini, memang daya tariknya tidak terletak pada bunga seperti pada bunga potong. Namun, menurut Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) di
Cianjur, Muchdar Soedardjo, lebih kepada keindahan batang dan daunnya. Tanaman hias jenis ini di Indonesia dikembangkan di Depok dan Parung yang juga panas seperti di Riau. Jenisnya terdiri dari Puring, Agrlaonema, Sansiviera, Drasena Cordyln, Palem, Dipenbachia, Anthurium dan tumbuh-tumbuhan hutan tropis lainnya.

Tanaman hias jenis dataran rendah itu juga memiliki keunikan yang luar biasa. Bahkan untuk jenis Sansiviera selain unik bentuk dan ukurannya ternyata juga mampu menyerap racun polusi lingkungan. “Jadi pengembangan potensi tanaman hias yang ada di Riau bukanlah hal yang mustahil,” jelasnya.

Hasil penelusuran Riau Pos dan tim PT Transgasindo di Kota Pekanbaru mendapatkan informasi bahwa tanaman hias yang berada di Riau selama ini banyak di pasok dari Medan. Baik untuk kebutuhan bibit maupun anakan. Di Riau, tidak ada satu pihak pun baik pemerintah dan pengusaha yang mengembangkan hal itu. Bahkan Edwar Yunus dari Dinas Pertanian Kota menyebutkan tanaman hias untuk penataan kota dan taman kota di Pekanbaru juga dipasok dari Medan.

Untuk itulah Transgasindo ingin pengembangan potensi tanaman hias di Riau untuk program CSR mereka. “Kita berharap ini nantinya menjadi altenatif baru bagi pendapatan ekonomis keluarga”
ungkap Muhamad Zulfikri, Manajer CSR Transgasindo, tentang pengembangan program tersebut.

Zulkifli juga memaparkan sejumlah keunggulan dari pengembangan tanaman hias sebagai program CSR. Menurutnya, masa jual tanaman hias tidak memakan waktu. Cukup merawatan selama empat bulan dan langsung bisa dijual. Dibandingkan dengan tanaman sawit dan karet yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Selanjutnya pada tahun 2012 mendatang Riau akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON). Berkaca dari pengalaman tuan rumah PON di Kalimantan Timur 2008 kemarin, terlihat
begitu besarnya kebutuhan akan tanaman hias. Baik untuk keperluan penanataan kota, hotel-hotel tempat menginap para atlit dan juga pendukung serta pengembira acara. Termasuk juga sekitar arena pertandingan hingga cendramata bagi atlet peraih medali.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, untung saja Kalimantan Timur, telah mempersiapkannya dengan bunga hias produksi lokal. Meskipun khusus untuk bunga potong masih minta pasokan dari luar. Belajar dari situ, tambah Zulkifli, maka Riau yang memiliki potensi daerah dan iklim seperti Kalimantan Timur hendaknya tidak kalah. Jangan sampai untuk tanaman hias kebutuhan PON lagi-lagi memasoknya dari Medan.

Lily dan Muchdar menambahkan bahwa perawatan tanaman hias juga tidak sulit. Perawatannya hampir sama dengan merawat bayi. Misalnya untuk merawat Anthurium, pemeliharaannya cukup
dengan melakukan penyiraman 1-2 kali sehari, membuang rumput disekitar tanaman, dan memotong bagian tanaman yang terserang hama.

Selama ini, tambah Lily dan Muchdar, yang menjadi kendala pengembangan tanaman hias saat ini semata-mata hanya kurangnya informasi bagaimana cara perbanyakan tanaman. Akibatnya
membudayakan tanaman hias menguras isi kantong. Padahal itu bisa disiasati dengan melakukan penyerbukan silang sendiri. Selain itu untuk jenis tanaman anthurium bisa dikembangkan
secara vegetatif dengan menggunakan umbi tanaman, cangkok, okulasi, dan stek.

Provinsi Riau juga tidak memiliki kendala dalam hal curah hujan. Mengingat bulan basahnya berkisar 5-7 bulan dan curah hujan 400-650 mm/bulan. Tanaman hias yang bisa dikembangkan selain tanaman hias dataran rendah juga bisa dikembangkan sejumlah jenis angrek.

Potensi yang mengembirakan lainnya, menurut Lily dan Muchdar, Riau pada tahun 2009 akan menjadi pintu gerbang ekspor tanaman hias. Berbagai tanaman hias dari berbagai propinsi tetangga akan transit di Riau sebelum dilempar keluar negeri. Mengingat letak strategis Provinsi Riau yang dekat dengan segitiga emas perekonomian. “Jadi sayang sekali, kalau Riau tidak mengambil kesempatan itu,” ungkap Lily.

Ketika awal pekan lalu, program itu diluncurkan di Kelurahan Kerinci Kota, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, terlihat animo masyarakat cukup besar. Camat Pangkalan Kerinci Drs H Zamur dan Lurah Kerinci Kota Mutiara juga menyambut kegiatan itu sebagai upaya untuk mensejahterahkan rakyat.

Dampak selanjutnya dari program itu, ketika permintaan terhadap bunga hias meningkat, maka secara tidak langsung akan terjadi peningkatan kebutuhan pupuk dan media tanam. Peningkatan itu akan membuka peluang usaha baru dan Riau bisa memanfaatkan pembuatan pupuk kompos dari kotoran ternak dan limbah daun sawit yang banyak di Riau.

Semoga upaya ini tidak saja sekedar meningkatkan perekonomian masyarat, tetapi juga menghias dan menghijaukan Riau lewat tanaman hias.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 27 Juli 2008

Tiap Tahun Kehilangan Lima Meter

Kota Dumai yang Terkikis Ombak


Kota Dumai tercatat sebagai kota terluas nomor dua di Indonesia setelah Manokwari, ibukota Provinsi IPapua Barat. Namun hal itu beberapa puluh tahun ke depan bisa jadi sekedar legenda. Pasalnya daratan Kota Dumai terus saja terkikis ombak. Tiap tahun ada lima meter daratan Dumai yang bergabung menjadi lautan.

Laporan Andi Noviriyanti Dumai
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Masih jelas diingatan Dul Manaf (63). Tepian pantai, tempat kakinya berpijak kini sekitar tahun 1960-an, adalah bentangan kebun durian, manggis, dan kelapa. Tak jauh dari sana ada bentangan tanah perkuburan tempat nenek moyangnya beristirahat.

“Lihat itu di sana, masih tertinggal batu nisannya. Tergelak diantara sisa-sisa tunggul pohon,” ujar pria tua itu, Selasa (8/1) sore kepada Riau Pos, di tepian pantai RT 02, dekat Jalan Mak Taim, Kelurahan Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai.

Tak hanya tanah perkuburan dan kebun yang hilang, tambahnya lagi. Dia masih ingat di depan sana --menunjuk ke arah laut-- banyak perumahan warga yang kini atapnya pun tak nampak. “Jangankan rumah, mesjid kami pun sudah hendak roboh karena terkena abrasi. Mungkin besok rumah kami lagi sasarannya,” cerita pria berbaju batik coklat ini.

Tangan Dul lalu menunjuk ke arah Pulau Rupat yang tepat di hadapannya. Dulu, pulau itu sangat dekat. Kalau naik sampan, setengah jam juga pasti akan sampai. Tetapi sekarang, walaupun setengah jam juga, tapi tak bisa lagi bersampan. Harus naik pompong (sejenis kapal motor).

Dul adalah satu dari ribuan saksi hidup bagaimana terkikisnya daratan Kota Dumai. Sebuah kota dengan luas wilayah 1.727.385 Km2. Menempati nomor urut dua sebagai kota terluas di Indonesia setelah Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat.

Setiap tahun menurut Kepala Kebersihan, Pertamanan dan Lingkungan Hidup (KPLH) Dumai Ishak Effendi, pantai Dumai memang terkikis sejauh lima meter pertahun. Bahkan menurut Camat Mendang Kampai Ahmad Ramadhan di beberapa tempat ada yang terkikis hingga 10 meter.

Abrasi memang telah terjadi hampir di seluruh pantai Kota Dumai. Semua itu sebagai akibat dari hilangnya bentangan tanaman mangrove (bakau) di kawasan pantai Kota Dumai. Perisai alami yang berfungsi menahan laju ombak itu, banyak ditebang masyarakat untuk dijadikan arang atau cerocok pembuat rumah.

Turap Tak Mampu Menahan Laju Abrasi

Manusia boleh saja berusaha menggantikan fungsi mangrove buatan Yang Maha Kuasa dengan turap. Bagunan beton yang dibangun di bibir pantai agar bisa menghentikan laju abrasi.

Namun manusiapun harus bisa menerima, bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada membiarkan alam ini dengan keseimbangan alaminya. Setidaknya itulah yang dibuktikan oleh Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera Nusirwan Taqim.

Nusirwan --yang lebih akrab disapa dengan Pak Iwan-- ini, menyebutkan turap yang dibangun mahal itu ternyata tidak mampu menahan laju abrasi. Meskipun nilai turap itu Rp5 juta permeternya, namun tetap saja retak, bolong-bolong dan hancur saat dihantam gelombang laut dan ditekan oleh rembesan air hujan dari daratan.

“Tak ada cara yang lebih baik untuk menahan laju abrasi. Hanya dengan tanaman mangrovelah yang tepat untuk kawasan pantai berlumpur ini. Tanaman mangrove ini juga akan awet sepanjang massa dan berkembang terus. Tidak seperti turap yang hanya mampu bertahan sebentar dan tidak pernah berkembang,” ungkap Nusirwan Taqim kepada Riau Pos saat memperlihatkan ribuan tanaman mangrove hasil pembibitan yang dilakukan PPLH Regional Sumatera di Kelurahan Teluk Makmur.

Mananam mangrove bukan saja untuk menahan laju abrasi. Tetapi juga untuk menanam kemakmuran kembali di Kota Dumai. Mangrove menjadi tempat bersarangnya ikan. Sumber mata pencarian yang telah turun menurun dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai.

Sejak tahun 2006, PPLH mulai melakukan pembibitan tanaman mangrove. Program pembibitan itu, menurut Nusirwan, melibatkan penuh masyarakat dikawasan yang akan ditanami mangrove. Masyarakat dilibatkan dari mulai mencari biji mangrove untuk disemaikan kemudian menjadi bibit mangrove yang utuh. Uang untuk proses pembibitan ini sekitar 70 persen diperuntukkan untuk masyarakat.

Biji mangrove yang digunakan untuk bibit itu, juga dicari yang berada disekitar tempat penanaman itu. Sehingga tanaman tersebut akan lebih tahan dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Dari tahun 2006 hingga tahun 2007, telah dihasilkan 160 ribu bibit mangrove siap tanam.

Pada tahun 2006, pembibitan dilaksanakan di Pantai Kelurahan Teluk Makmur dan ditanam di Teluk Makmur juga. Namun untuk tahun 2007, pembibitan yang semula akan dilaksanakan di Kelurahan Guntung, Kecamatan Medang Kampai batal direalisasikan. Pasalnya bibit mangrove hanya mau tumbuh bila dibibitkan di pertemuan air asin dan air tawar. Sehingga program itu hanya bisa dilaksanakan di Teluk Makmur kembali. Barulah penanamannya yang dilaksanakan di pantai Guntung.

Bambu Memecah Ombak

Bibit telah ada, namun untuk penanaman, tak semudah dugaan PPLH. Ternyata ombak laut Selat Melaka begitu kuatnya. Itu juga menjadi penyebab banyaknya mangrove yang ditanam selama ini mati.

Namun selalu ada jalan untuk tiap usaha. Sebuah keberhasilan penanaman mangrove di Sulawesi Selatan menjadi pelajaran berharga bagi usaha penanaman mangrove tersebut. Masyarakat di Sulawesi itu mengembangkat alat pemecah ombak (APO).

APO itu terbuat dari bentangan pohon bambu yang dipasang seperti pagar. Setiap ombak yang datang akan dipecahnya. Sehingga tanaman mangrove yang ditanam tidak begitu kuat dihantam gelombang. Bila dalam waktu kurun enam bulan, hal itu dipertahankan maka akar mangrove akan kuat dan tidak akan terbawa ombak lagi.

Kini mangrove itu telah berjejer di tepian pantai Teluk Makmur dan Guntung. Namun masih ada tugas panjang, agar mangrove itu dapat bertahan dan tumbuh subur seperti dulu saat batang-batang mangrove mengelilingi pantai-pantai Dumai. “Penanaman ini mungkin tidak ada artinya, kalau tidak dilakukan secara bersama-sama. Tidak hanya pantai ini yang harus ditanami bakau, tetapi pantai berlumpur lainnya. Agar Kota Dumai, sebagai kota terluas bukan sekedar legenda,” ungkap Nusirwan sembari memandang jauh ke laut lepas.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 13 Januari 2008

Senin, 02 Februari 2009

Gedung Bercabang Pohon

Green Building, Tren Gedung Abab 21

Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2008

Pernah tidak membayangkan, kalau suatu hari bukan saja pohon yang tumbuh tinggi bercabang tetapi juga gedung tinggi mencakar langit? Cabang-cabang kontruksi keluar hampir di seluruh sisi lantai. Lalu diatas cabang-cabang beton itulah tampak pohon tumbuh dengan suburnya. Kalau dari kejahuan serasa melihat gedung bercabang pohon.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id



Mungkin kita menggeleng, tetapi itulah gedung masa depan yang tampak nangkring di situs National Building Museum. Sebagai salah satu wujud green building (gedung ramah lingkungan) yang akan menjadi tren gedung abad 21.

Kalau masih sulit membayangkan itu, mari kita melihat kenyataan di Jepang, tepatnya di Kota Osaka. Di situ terdapat sebuah mal bernama Namba Park. Pepohonan dan tanaman bunga-bungaan tampak tumbuh subur di atas mal itu. Persis seperti pemandangan taman kota yang biasanya dijumpai di daratan.

Osaka sama seperti kota-kota besar lainnya di dunia. Lahan di daratannya begitu disesaki oleh tumbuhan beton. Yang semakin hari jumlahnya bukan semakin berkurang tetapi semakin padat. Alhasil tidak ada lagi tempat untuk pepohonan bisa tumbuh. Padahal pepohonan itu bukan saja membuat iklim mikro menjadi dingin, tetapi juga sangat penting untuk menghisap carbondioksida si penyebab pemanasan global.

Kalau negara maju seperti Jepang, tidak ada lahan mereka masih bisa selesaikan dengan membuat taman melayang seperti di atap Mal Namba Park itu. Dengan teknologi dan uang yang dimilikinya, mereka mampu menanam pohon di atas lautan beton itu. Tetapi kalau giliran negara-negara miskin atau berkembang tentulah hal tersebut mustahil dilakukan. Selain tidak punya dana juga karena alasan sumber daya manusianya masih pas-pasan.

Model bangunan dengan konsep taman melayang atau gedung bercabang pohon itu termasuk green building. Namun makna green buiding sebenarnya tidaklah sesederhana dipenuhi pepohonan itu. Menurut Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), yakni kerangka berpikir sertifikasi yang dirumuskan Green Buiding Council Amerika Serikat adalah gedung yang menerapkan efisiensi energi, menghemat penggunaan air dan mampu mendaur ulang penggunaannya kembali. Termasuk juga gedung yang dibangun dengan bahal lokal dan material ramah lingkungan serta proses kontruksinya ramah lingkungan.

Green building dikampanyekan karena adanya perubahan paradigma. Bila dulu ada anggapan bahwa sektor industri dan transportasi lah yang menjadi musuh utama lingkungan. Namun sekarang diketahui ternyata gedung-gedung lah musuh lingkungan sebenarnya. Situs National Building Museum menyebutkan gedung-gedung mengkonsumsi lebih dari setengah energi yang digunakan di seluruh dunia. Baik untuk pendinginan, pemanasan, penerangan, atau sistem gedung lainnya yang menggunakan energi listrik. Bahkan emisi karbon yang dihasilkan gedung-gedung tersebut mencapai angka 68 persen.

Untuk itulah penerapan konsep green building menjadi solusi dari dunia properti untuk mengambil peran dalam mengurangi dampak pada pemanasan global. Konsep green building telah diterapkan disejumlah tempat, misalnya Wisma Dharmala Sakti Jakarta, Pearl River Tower Guangzhou Cina, dan The Building and Construction Authority’s (BCA ) Academy Singapore.

Namun untuk di daerah konsep ini hampir tidak dikenal. Termasuk di Provinsi Riau. Dua gedung yang baru saja akan selesai di bangun tahun 2008 ini yaitu gedung perpustakaan Soeman Hs dan Gedung Sembilan Tingkat Gubernur Riau juga tidak menerapkan konsep green building.

“Kedua gedung itu sangat megah dan cukup fenomenal. Namun apakah gedung itu cukup ramah bagi lingkungan. Berapa energi listrik yang digunakannya? Adakah penghematan yang dilakukannya? Adakah pemanenan air hujan untuk sekedar menghemat penggunaan air?” tanya General Manager Hotel Aryaduta Pekanbaru Andreas A Stiller.

Andreas menyebutkan sebagai gedung pemerintahan seharusnya bisa menjadi contoh. Mengingat di Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau akan banyak gedung-gedung baru lainnya. “Bukan maksud saya mengkritik, tetapi bila pemerintah ingin mengajak pihak swasta dan masyarakat lainnya untuk membangun gedung ramah lingkungan, pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu. Jika tidak itu tentu tidak bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya kepada Riau Pos.

Dari keterangan Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Riau Sudirwan Hamid, gedung perpustakaan yang dibangun berbentuk rehal tersebut memang dibangun full air conditioner (AC). Begitu juga dengan penggunaan lampu. Menurutnya, lampu tetap akan hidup walaupun di siang hari.

Berdasarkan informasi dari Perusahaan PT Listrik Negara (PLN) Cabang Pekanbaru disebutkan untuk kedua gedung itu memakai listrik masing-masing sebesar 970 KVA dan 2180 KVA. Listrik sebanyak itu bisa digunakan untuk menerangi rumah sekitar 2423 rumah dengan kapasitas listrik 1300 watt.

Untuk menerapkan green building menurut Kasubdin Cipta Karya Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Zulkifli Rachman tidaklah mudah. Menurutnya memerlukan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.

“Pembangunan gedung itu sesuai dengan keinginan pemiliknya. Bila pemiliknya menginginkan gedung yang ramah lingkungan, maka secara kontruksi dan arsitektur itu pasti bisa diwujudkan. Hanya saja, sekarang seberapa peduli mereka dengan lingkungan?” ujar pria yang berlatar belakakang pendidikan arsitek ini.

Dia menyebutkan banyak rumah ataupun gedung sekarang langsung dibuat perencanaannya untuk menggunakan AC. “Kalau sudah dirancang untuk AC, maka gedung tersebut tidak akan mempertimbangkan aspek sirkulasi udara ataupun pencahayaan. Sehingga penggunaan listrik tidak bisa dihindarkan,” lanjutnya.

Konsep green building bila dibandingkan dengan konsep rumah Melayu sebenarnya bisa sama. Pasalnya rumah-rumah Melayu juga dibangun dengan model jendela dan pintu lebar, sehingga tidak mengandalkan pendinginan dari AC dan penerangan dari lampu listrik pada siang hari.

Konsep rumah Melayu itu bisa disaksilan bila kita berkunjung ke rumah Tenas Effendy, budayawan kondang Riau. Rumahnya yang terletak di Jalan Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar itu terlihat dipenuhi dengan jendela-jendela besar yang membiarkan cahaya matahari dan semilir angin bebas masuk. ***

Menyiapkan Generasi Hijau

Dari KSLH hingga Toyota Eco Youth


Minggu, 06 April 2008 (Riau Pos)

Ketika yang tua-tua sulit untuk diberikan pemahaman tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup, maka tak ada jalan lain pemahaman itu harus dilakukan lewat generasi baru. Generasi itu bernama generasi hijau.
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru novi792000@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya


Dengan menenteng sebuah gitar, empat orang pemuda mendatangi sekolah-sekolah di Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. Kedatangan keempat pemuda itu, bukan hendak mengamen apalagi membuat konser pertunjukkan. Tetapi mereka hendak memetikkan gitar sambil mengalunkan sebuah lagu tentang generasi hijau untuk menarik perhatian para siswa sekolah yang mereka kunjungi. Agar para siswa yang masih muda itu mau duduk di kelas dan belajar tentang pendidikan lingkungan.

Begitulah taktik mendekati para siswa yang dilakukan oleh Defitri Akbar, Khairul Saleh, Muhammad Husni Lebra, dan Syafrizal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bahterah Melayu. Menurut Defitri, mereka sengaja memilih cara itu. Pasalnya kalau mereka mendekati para siswa sekolah dengan cara konvensional, hanya memberikan teori dan pelajaran di dalam kelas tanpa ada unsur bermainnya, kelas yang mereka masuki bisa-bisa ditinggalkan para siswanya.

Aktivitas memberikan pendidikan lingkungan yang dilaksanakan LSM ini sudah berlangsung sejak tahun 2007 lalu. Sejak para kepala sekolah di tempat itu memberikan mereka waktu setiap Hari Sabtu untuk memberikan pendidikan lingkungan lewat kegiatan ekstrakurikuler. Untuk mempermudah gerakan mereka yang tidak bisa setiap hari Sabtu hadir ke semua sekolah, karena hanya memiliki tenaga empat orang, LSM ini pun membentuk Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH, baca: kasela) di masing-masing sekolah tersebut.

KSLH yang terdiri dari para siswa itulah yang kemudian membuat program kerja tentang gerakan peduli lingkungan di masing-masing sekolah. Gerakan menanam pohon, menjaga kebersihan sekolah, dan aksi nyata terhadap kepedulian lingkungan menjadi tumbuh dengan sendirinya. Terlebih saat mereka diberikan kesempatan untuk mengunjungi Pusat Studi Ekosistem Mangrove Kabupaten Bengkalis di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, yang juga dibangun oleh LSM ini.

Lewat perjalan ke lokasi pusat studi mangrove itulah, para siswa jadi mengenal tentang fungsi ekosistem mangrove. Terutama untuk menjaga bibir pantai mereka tidak terkena abrasi dan jatuh ke laut. Mereka juga mulai mengenal pembicaraan tentang pemanasan global, dimana dampaknya yang bisa menyebabkan naiknya permukaan air laut dan akhirnya bisa membuat pulau tempat mereka tinggal tenggelam.

Memberikan pemahaman tentang lingkungan, ternyata tidak saja bisa dilakukan melaui kegiatan belajar di kelas maupun kunjungan ke lapangan. LSM ini juga menemukan peningkatan pemahaman terhadap lingkungan melalui kegiatan lomba kreativitas. Para siswa di Bengkalis dengan antusias mengikuti Lomba Kreativitas Generasi Hijau.

Meski Riau Pos hanya bisa menyaksikan lomba kreativitas itu lewat video amatir, karena berlangsung tahun lalu, namun terlihat dengan jelas ditayangan itu bagaimana para siswa ini dengan berbagai kemampuan dan bakatnya mengkampanyekan lingkungan. Para siswa ada yang mendendangkan lagu dengan petikan gitar yang mengajak agar para generasi muda menghijaukan bumi. Ada lantunan bait-bait pantun dan puisi, agar manusia berhenti merusak alam. Ada pidato tentang pentingnya konservasi dan dampak buruk dari kegiatan pembalakan liar. Ada penampilan teater para siswa yang bercerita tentang nasib-nasib kayu yang ditebang. Ada juga para siswa yang menggambar tentang indahnya alam bila dijaga lewat lukisan yang mereka gores.

***

Bila di Bengkalis cara menyiapkan generasi hijau melalui kegigihan LSM Bahtera Melayu, di Pekanbaru kegiatan menyiapkan generasi hijau secara tidak langsung tumbuh dari kegiatan perlombaan bernama Toyota Eco Youth.

Setidaknya itulah pengakuan Geby Rhevia dan Wahri Wibowo, dua dari enam siswa yang termasuk duta lingkungan Toyota Eco Youth dari SMA Negeri 8 Pekanbaru. Pemenang peringkat dua tingkat nasional dari Toyota Eco Youth ini menyebutkan keterlibatan mereka sebagai duta lingkungan dimulai dengan cara tidak sengaja.

Mereka sebenarnya adalah para siswa yang aktif di kegiatan Karya Ilmiah Remaja (KIR) sekolah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan peduli lingkungan. Tetapi karena perlombaan Toyota Eco Youth seleksi awalnya dimulai melalui karya ilmiah, maka para siswa inipun dilibatkan oleh guru pembimbingnya. Mereka diminta menyiapkan karya ilmiah tentang bagaimana mengelolah sampah di sekolah mereka.


Dari situlah mereka berkenalan dengan berbagai persoalan sampah dan bagaimana mengelolahnya. Dari situ pula muncul karya ilmiah berjudul Pengelolaan Limbah Terpadu untuk Pembuatan Laboratorium Alam. Karya ilmiah itu pun akhirnya mengantar mereka mengelolah lahan tempat pembuangan sampah di belakang sekolah mereka menjadi laboratorium alam. Di kawasan seluas 0,5 hektar yang di dominasi sampah plastik itu pun mereka benahi agar bisa ditanami.

Disibukkan kegiatan itu, membuat mereka menghabiskan hari-harinya di halaman belakang sekolah, tempat areal yang mereka olah. Termasuk harus melewatkan liburan semester. Meskipun mereka memiliki semangat membara dan telah bekerja sangat keras, akhirnya mereka mengakui tidak mudah melaksanakan teori-teori yang mereka tulis dalam karya ilmiah. Merekapun meminta bantuan dari para siswa lainnya yang mereka lihat sering nongkrong di sekolah meskipun kegiatan belajar sudah usai. Teman-teman tambahan dan juga dukungan dari para guru, membuat program itu berlanjut hingga menghasilkan kebun tanaman obat, kebun jagung, rumah pembibitan, tempat pengelolaan sampah kering dan basah. Mereka juga berhasil melakukan kegiatan pengelolaan sampah, diantaranya memanfaatkan sampah kertas yang banyak dihasilkan di sekolah mereka menjadi berbagai cendera mata. Sampah botol plastik air mineral pun mereka ubah menjadi tas tentengan yang sangat unik.

Malah akhirnya mereka mampu mendorong suatu ekstrakurikuler baru bernama Ecological Youth Environmental Source (EYES). Kini, menurut Geby, sedikitnya ada 25 anggota aktif yang siap melanjutkan kegiatan pengelolaan sampah di sekolah mereka.

***

Meski berbeda cara namun kegiatan menyiapkan generasi hijau secara tidak langsung telah dilakukan LSM Bahtera Melayu dan juga PT Toyota Astra Motor. Kedua institusi ini menyadari pembinaan lingkungan pada generasi muda jauh lebih ampuh dari pada melakukan pembinaan kepada generasi tua.

Setidaknya, LSM Bahtera Melayu berkaca pada pengalamannya selama tujuh tahun melakukan pembinaan kepada kelompok masyarakat. “Kalau yang tua-tua hanya sedikit yang bisa masuk. Tetapi kalau sama yang muda-muda ini, mereka lebih tanggap dan gampang membangun kesadaran lingkungan. Disamping itu dengan pemahaman yang baik mereka juga bisa ikut memberitahu kepaa orang tua mereka. Kalau mereka yang menyampaikan, orang tuakan jadi malu sendiri kalau ketahuan masih merusak lingkungan,” ungkap Defitri sambil tertawa kecil menyebutkan perubahan pola pembinaan yang mereka lakukan.

Menurut Defitri, generasi yang telah melakukan pengrusakan terhadap lingkungan hampir mustahil untuk dikembalikan membenahi lingkungan yang mereka rusak. Untuk itulah perlu generasi baru yang perlu dibina sedini mungkin, agar kelak saat mereka menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif, atau memimpin berbagai organisasi, mereka telah memiliki bekal kepedulian terhadap lingkungan.

Sementara itu menruut Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Bengkalis M Nasir, Pendidikan lingkungan pada generasi muda memang sangat diperlukan. Untuk itu saat pertama kali LSM Bahtera Melayu menawarkan diri untuk memberikan pendidikan lingkungan dia sangat mendukung sekali. Terlebih lagi, di sekolahnya kegiatan peduli terhadap lingkungan telah dimulai.

“Dulu sekolah tempat saya ini boleh dibilang tandus. Tetapi sekarang sudah tidak adapun satu tempat yang tidak hijau. Apalagi sekarang setelah ada pembinaan siswa tentang lingkungan, sekolah kami jadi tambah hijau. Saya melihat cukup banyak perubahan perilaku siswa. Jika dulu masih ada yang usil mengganggu tanaman, sekarang tak ada lagi,” ungkap Nasir yang sudah enam tahun ini memimpin sekolah tersebut.

Pendidikan lingkungan bagi para siswa ternyata memang telah mengubah pola pikir mereka. Setidaknya itulah yang terucap dari Oriyana, Wakil Ketua KSLH SMP 3 Bengkalis, Geby dan Wahri dari SMA 8 Pekanbaru. Menurut mereka kegiatan lingkungan itu telah menambah pengetahuan mereka tentang lingkungan. Peningkatan ilmu pengetahuan itu sekaligus juga membuat mereka lebih peduli terhadap lingkungan.***

Menciptakan Duta Lingkungan

Riau Pos, Minggu, 09 Maret 2008

“Anak saya sekarang sudah terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Dia juga telah mengajak adiknya untuk membuang sampah seperti bungkus kue, permen, es krim ke tempat sampah. Dia juga bercerita tentang sampah organik bisa dijadikan pupuk kompos. Sejak itu, sekarang saya juga jadi ikut-ikutan tidak membuang sampah organik tetapi membuatnya menjadi pupuk kompos. Pupuk itu saya gunakan untuk memupuk pohon mangga saya yang kebetulan ada tiga batang. Semoga buahnya makin banyak”


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
novi792000@yahoo.com



Sepucuk surat nan tulus ditulis Triana Dinari, orang tua dari Abigail Juan Dika, siswa kelas IV Sekolah Dasar (SD) 005 Bukit Raya, Kota Pekanbaru. Lewat suratnya yang ditujukan kepada wali kelas Abigail itu, Triana hendak menuturkan betapa pendidikan lingkungan yang diajarkan di sekolah anaknya bisa memberikan kesadaran lingkungan pada anaknya. Malah kesadaran itu menjadi oleh-oleh yang dibawa pulang anaknya ke rumah. Abigail telah memberi contoh pada adiknya juga pada dirinya selaku orang tua.

Cerita tentang Abigail bukanlah cerita fiktif. Namun sebuah cerita nyata bahwa pendidikan lingkungan yang diberikan oleh sekolah memiliki pengaruh yang luar biasa bagi para siswanya. Malah pendidikan lingkungan itu telah menciptakan seorang Abigail yang bisa menjadi duta lingkungan. Meskipun hanya dalam lingkungan rumahnya.

Jika Abigail telah bisa menjadi duta lingkungan di rumahnya, maka bisa dipastikan 620 siswa SD 005 pun tanpa sengaja telah diciptakan menjadi duta lingkungan oleh sekolahnya. Sulit dipercaya memang, namun bila melihat bagaimana aktivitas sekolah itu dilaksanakan, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Di pagi hari, sebelum memasuki ruang kelas mereka, para siswa ini harus berbaris dahulu. Lalu secara massal mereka pun mengucapkan ikrar Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). “Satu, kami berjanji menjaga kebersihan, keindahaan dan ketertiban sekolah. Dua, kami berjanji tidak mengganggu tanaman sekolah. Tiga, kami berjanji akan memelihara tanaman sekolah. Empat, kami berjanji membuang sampah pada tempatnya. Lima, kami berjanji akan menjaga kesehatan,” ucap Abigail dan teman-temannya sebelum memulai aktivitas sekolah.

Tak cukup hanya sekedar ikrar yang terucap, Abigail dan teman-temannya harus mengotori tangan mereka untuk memungut sampah yang ada di dalam halaman sekolah maupun diluar pagar sekolah. Mereka juga harus memastikan, taman kelas yang mereka miliki terawat dengan baik. Sudah cukup siramannya dan tidak ada tanaman yang mati.

Di kelas pun setiap sekali seminggu, Abigail dan temannya mendapatkan mata pelajaran muatan lokal bernama pendidikan lingkungan. Mata pelajaran ini diajarkan dalam satu jam mata pelajaran. Terdiri dari materi tiori dan praktek. Dari praktek inilah Abigail bisa tahu cara membuat kompos dan mengajak ibunya juga membuat kompos dari sampah organik yang biasanya hanya dibuang ibunya.

Bukan hanya Abigail yang bisa membuat kompos. Teman-temannya seperti Ahmad Belqouli (12), Bella Tri Harti (11), dan Rayhan Prayoga (12), juga bisa melakukannya dengan baik. Setidaknya itu bisa dilihat dari bagaimana Ahmad, Bella, dan Rayhan menerangkan prosedur membuat kompos dengan sangat jelas kepada Riau Pos. Mereka juga mengaku tidak lagi bisa membuang sampah sembarangan. Bukan karena takut pada gurunya, tetapi memang kesadaran itu telah tumbuh sedemikian rupa karena bimbingan sekolah.

Jika masih sulit mempercayai bahwa kesadaran lingkungan bisa tumbuh di sekolah mari lihat kondisi sekolah itu. Sekolah itu memiliki luas areal 2.200 m2 dan didalamnya ada belasan ruangan dan ratusan tanaman yang perlu dirawat. Namun mereka hanya memiliki satu orang tenaga cleaning service. Jadi mustahil sekali bisa melihat sekolah yang bersih dan rindang tersebut tanpa bantuan seluruh penghuni sekolah yang terdiri dari 629 siswa dan 26 orang guru.

“Kalau siswanya tidak memiliki kesadaran di lingkungan, pasti sekolah ini sudah babak belur. Tidak akan ada tanaman yang bisa tumbuh subur karena pasti dicolek-colek mereka. Lukisan dinding yang ada juga pasti sudah dilempari. Bahkan ikan-ikan di kolam itu juga bisa jadi sasaran kenakalan mereka. Jadi ini benar-benar kesadaran mereka,” ungkap Nuranin, Kepala Sekolah SD 005 tersebut.

SD 005 telah menjadi contoh nyata bahwa kesadaran lingkungan bisa dimulai dari sekolah. Meskipun mereka memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, namun tak kala sekolah memberikan mereka kesadaran lingkungan merekapun bisa menjadi duta lingkungan yang tangguh. Keberhasilan SD ini, juga sekaligus menggagalkan mitos bahwa anak-anak yang memiliki kesadaran lingkungan hanyalah anak-anak di negara maju.

Sekolah itu sekaligus membuktikan pendidikan lingkungan tidak harus dimulai dari aturan ketat dari Dinas Pendidikan. Tetapi bisa dimulai dari kesadaran dan kreatifitas tenaga pendidik di sekolah. Misalnya yang dilakukan SD 005. Sekolah yang dipimpin oleh Nuranin ini, awalnya mengajarkan tentang cinta lingkungan secara otodidak. Dia mengajak guru-guru di sekolahnya untuk menanamkan rasa cinta kebersihan dan keindahan pada para siswanya. Larangan yang sangat tegas agar para anak-anak tidak membuang sampah sembarangan dan tidak mengganggu bunga yang ada. Untuk memotivasi anak-anak, setiap siswa kelas diberi tanggungjawab membersihkan kelasnya dan memelihara taman kelasnya. Lalu diperlombakan setiap enam bulan sekali.

Berhasil dengan sistem itu, Nuranini pun mulai tahun 2006 mulai membuat muatan lokal pendidikan lingkungan di sekolahnya. Meskipun belum ada modul dan silabus, namun mereka para gurulah yang kemudian bersepakat membuatnya sendiri. Itu dilakukan setiap hari Sabtu, disaat seharusnya guru-guru sudah boleh pulang. Tekat kuat yang dibangun membuat 26 guru ini akhirnya berhasil menciptakan silabus dan modul bagi tiap jenjang kelas. Pendidikan lingkungan makin terprogram di sekolah mereka dan duta-duta lingkungan yang mereka hasilkan nantinya akan semakin andal.

***

The United Nations Environment Programme (UNEP) mengungkapkan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi di muka bumi, 90 persennya adalah akibat ulah manusia. Artinya jika perilaku manusia dapat dikendalikan dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungannya maka bisa dipastikan bencana lingkungan bisa dieliminir.

Untuk mengendalikan perilaku manusia itulah diperlukan pendidikan lingkungan. Menurut Budhi Soesilo, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), pendidikan lingkungan adalah leverage (faktor daya ungkit paling besar) dalam upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup.

Budhi mengilustrasikan pendidikan lingkungan itu seperti sentuhan pada titik tertentu di tubuh manusia. Dalam istilah kedokteran sering disebut titik syaraf. Di mana bila bagian itu disentuh sedikit saja, efeknya akan sangat luar biasa bagi manusia. Di tubuh manusia titik itu misalnya terdapat pada bibir, telinga, leher, bayudara, dan lain sebagainya. Bila bagian itu disentuh, maka efeknya akan luar biasa mempengaruhi manusia. Namun bila bagian lain yang disentuh seperti kening, maka sampai keluar dakinya pun, menurutnya, tidak akan memberi stimulus apa-apa.

Meski begitu, Budhi mengakui pendidikan sering kali tidak berhasil pada prakteknya. Dia mencontohkan bagaimana nilai rapor anaknya untuk mata pelajaran agama mendapatkan angka sembilan. Namun anaknya tersebut kenyataannya tidak sholat. Untuk itu, dia mengingatkan pendidikan lingkungan tidak bisa dilakukan hanya dinilai berhasil dengan penilaian melalui kecerdasaran intelektual (IQ) yang ditandai dengan nilai rapor yang tinggi. Tapi harus diikuti dengan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ), sehingga pendidikan lingkungan akan menghasilkan tindakan nyata.

Apa yang disampaikan Budhi pada prakteknya telah dilakukan oleh SD 005. Mereka tidak saja memberikan pendidikan melalui muatan lokal, tetapi mereka telah menumbuhkan kesadaran. Sehingga tindakan para siswanya terhadap lingkungan dilakukan melalui tindakan nyata. Sekaligus siap menjadi duta lingkungan.***

Makhluk Tuhan yang Terpanggang Hidup-hidup

Minggu, 17 Pebruari 2008

Entah berapa banyak makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. Setiap hari jumlah mereka kian banyak, karena kebakaran hutan dan lahan itu tidak juga berakhir.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi_noviriyanti@riaupos.co.idAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya




SUATU hari di daratan Riau yang tengah terbakar terdengar lengkingan seekor monyet. “Ngik...ngik...ngik.....,” terdengar bergemuruh dan memilukan. Makin lama, suara itu makin dekat dan tiba-tiba monyet itu telah melompat ke mobil Sutjiptadi, Kapolda Riau yang hari itu tengah turun ke lapangan untuk melihat kebakaran hutan dan lahan yang melanda Riau.

Monyet itu ternyata tidak sendiri. Di pelukannya dua ekor monyet yang masih memerah tampak tengah bergelayut ketakutan. Dari balik kaca jendela, Sutjiptadi seperti jelas melihat monyet-monyet itu tengah berteriak meminta pertolongan. Agar api berhenti menjilati bulu-bulu tubuhnya dan anak-anaknya. Namun kejadian itu hanya sesaat, monyet itu terus meloncat berharap tidak turut terbakar bersama makhluk Tuhan lainnya yang tengah terpanggang hidup-hidup.

Di tempat lain, di waktu yang berbeda pula seekor beruang hitam tengah berlari sekuat tenaga. Ia tengah berusaha keluar dari kepungan api yang terus menyala dan menjalar ke mana-mana. Dia memacu keempat kakinya dan berhenti ketika menumbuk sebuah pohon. Pohon itu dipanjatnya, terus naik hingga dahan tertinggi yang bisa dicapainya.

Namun api tidak peduli dengan usaha sang beruang. Terus saja api itu mengejar bulu-bulu beruang bersamaan dengan dedaunan yang ada di pohon itu. Beruang itu mengakhiri hidupnya dengan teriakan yang memilukan. Awalnya melengking tinggi, kemudian berlahan-lahan menghilang.

Khairul Zainal, yang saat itu itu Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Riau, menyaksikan kejadian itu dengan getir di Pelintung, Dumai tahun 2005 lalu. Itulah makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. “Manusia penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sungguh kejam,” lirih suaranya.

Itu hanyalah dua dari sekian banyak makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. Masih ada puluhan bahkan ratusan ribu, bukan saja kelompok mamalia, tetapi juga ada ratusan ribu mikroba tanah, tumbuh-tumbuhan dari kelas rumput hingga pohon tinggi.

***

MESKI sudah tiga tahun, kawasan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, tetap juga masih kebakaran. Entah makhluk Tuhan apa lagi yang terbakarnya. Namun data terakhir yang dirangkum Riau Pos ada 600 hektar kawasan yang terbakar. Jumlah itu kabarnya bertambah lagi. Tim sarkolak Karhutla Kota Dumai, dr H Sunaryo memprediksi jumlahnya kini bisa jadi ribuan hektar.

Pelintung menjadi areal yang sangat gampang terbakar. Pasalnya kawasan ini merupakan kawasan gambut yang kedalamannya mencapai empat meter. Sebagai kawasan gambut, bisa saja api diatasnya padam, namun di dalam tanah masih menyala dan menyebar kemana-mana. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tim sarkorlak karhutla Kota Dumai, TNI dan Polri serta manggala agni kembali berusaha memadamkannya. Tidak hanya dengan cara manual, tetapi juga dengan sistem booming memakai helikopter.

***

PERISTIWA kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Bumi Lancang Kuning bukanlah peristiwa baru. Kawasan Riau telah terbakar sejak satu dekade silam. Sampai tahun 2005 lalu, kawasan yang terbakar berdasarkan data Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdalkarhutla) Provinsi Riau telah mencapai lebih dari 100 ribu hektar. Kebakaran hebat terjadi pada tahun 1997 seluas 26 ribu hektar dan tahun 2005 seluas 23 ribu hektar.

Menyinggung apa sebenarnya menjadi penyebab dari karhutla yang terjadi di Riau, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Rahman Siddik, mengungkapkan bukanlah peristiwa kebetulan. Tetapi murni ulah manusia yang sengaja melakukan pembakaran untuk penyiapan lahan.

“Hanya orang-orang yang tidak ke lapangan yang menyebutkan kebakaran itu bisa terjadi dengan sendirinya. Tidak ada di negara tropis yang benar-benar kering sehingga bisa terbakar secara alami. Saya pernah membuktikan di suatu kawasan yang katanya terbakar sendiri. Saya datangi kawasan itu. Begitu turun dari helikopter saya buang beberapa batang rokok yang baru saya nyalakan. Ternyata terbukti tidak terbakar sama sekali,” ungkap Rahman.

Untuk itu menurutnya, tidak ada cara lain untuk menghentikan karhutla, kecuali dengan menghentikan kebiasaan masyarakat menyiapkan lahan dengan cara membakar. Untuk masyarakat kecil yang kesulitan menyiapkan lahan dengan tanpa bakar, maka mereka harus diberi kompensasi oleh pemerintah. Seperti yang saat ini digagas di Kabupaten Kampar. “Mengenai teknisnya tentu pemda yang mengatur. Karena mereka yang memiliki masyarakat,” ujar Rahman.

Selanjutnya adalah penegakan hukum. Jika kedua hal itu diabaikan juga maka wajib dilakukan penegakan hukum. Polisi harus benar-benar menindak, mereka yang melakukan pembakaran. Termasuk kepada perusahaan yang kawasannya terbakar.

“Tidak ada dalih kalau perusahaan mengatakan kalau kebakaran di lahan mereka karena ulah masyarakat. Karena sesuai dengan aturan, pemegang izin, berkewajiban mengamankan areal mereka dari kebakaran,” tegasnya.

Rahman mengingatkan upaya pemadaman karhutla hanya efektif dilakukan kalau apinya masih kecil. Jika di lahan gambut ibaratnya hanya dibagian permukaan saja. Tetapi kalau sudah masuk ke dalam tanah maka sangat sulit.

“Kejadian yang di Dumai saat ini, sebenarnya sudah padam seminggu yang lalu. Namun kemungkinan yang padam hanya di areal permukaan. Jadi ia muncul lagi saat ini, karena api yang kemarin sesungguhnya sudah menjalar ke dalam tanah,” cerita Rahman.

Kalau kebakaran sudah sampai ke dalam tanah gambut, maka cara satu-satunya hanyalah dengan cara merendam kawasan itu dengan air. Itu yang sulit dilakukan karena air yang yang menggenangi kawasan itu harus dikalikan antara luas dan kedalaman gambut. “Saya kalau sudah separah itu, hanya mengajak anggota saya berkumpul. Lalu mengajak mereka berdoa menurut kepercayaan masing-masing agar hujan datang,” ujarnya tertawa sembari mengungkapkan karhutla adalah penyakit kambuhan di Provinsi Riau.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja (Jikalahari) Susanto Kurniawan menilai tidak selesainya persoalan kebakaran di Riau karena upaya yang dilakukan hanya dalam tataran menanggulangi saat sudah terjadi. Gerakan antisipasi sering alpa dilakukan dan kalaupun dilakukan sering setengah-setengah. Padahal menurutnya, kebakaran yang terjadi tersebut lokasinya hanya itu-itu saja.

“Seharusnya kawasan-kawasan yang sudah terdata sebagai kawasan rawan kebakaran di jaga ekstra ketat. Jadi kebakaran secara dini bisa diatasi. Tidak setelah besar baru sibuk dilakukan pemadaman. Terus kalau sudah padam karena hujan, berhenti lagi,” ujarnya.

Rahman dan Susanto sepakat persoalan penanggulan karhutla memang tidak bisa diselesaikan dengan metode tim pemadam kebakaran. Tetapi harus dilaksanakan dengan cara terprogram, terencana dan berkelanjutan. Masing-masing pihak harus memahami tanggungjawab masing-masing. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus sama-sama berperan dalam memeranginya. Jika tidak akan banyak lagi makhluk hidup yang terpanggang hidup-hidup.***