Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 26 Januari 2009

”Habitat Kami untukmu Jua!”

Kepunahan satwa liar berarti juga kepunahan habitat mereka. Kepunahan habitat mereka berarti kepunahan hutan alam. Kepunahan hutan alam berarti umat manusia makin dekat dengan malapetaka dunia.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru novi792000@yahoo.com


Jonet, si orangutan (Pongo pygmaeus) berusia 17 tahun itu hanya terduduk diam di sudut kerangkeng besi yang mengurungnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tatapan di sepasang bola matanya yang kecil itu juga kosong. Ia terlihat sangat uzur (tua). Padahal usianya belum separuh dari usia orangutan kebanyakan yang bisa mencapai umur 60 tahun.

Satu-satunya reaksi yang ia lakukan hanyalah jika ada orang lewat di depan kerangkeng besinya nan sempit. Berukuran sekitar dua kali dua meter. Reaksinya itupun hanya sekedar mengulurkan tangannya yang bertapak hitam legam ke luar kerangkeng. Ia ingin meminta kacang atau buah segar dari pengunjung. Keadaannya tak ubah seperti pengemis jalanan.
Si penghuni Kebun Binatang Kasang Kulim, Kabupaten Kampar ini, sebenarnya bukan makhluk pemalas dan peminta-minta. Ia memiliki kodrat sebagai primata arboreal, yaitu hidup di atas pepohonan. Tangannya yang panjang itu seharusnya digunakan untuk bergayut dari satu pohon ke pohon lain. Dilihat dari badannya yang besar dan kekar pastilah yang dibutuhkannya pepohonan yang besar pula dan biasanya terdapat di rimba raya.

Namun, takdirlah yang membuat jonet harus jadi peminta-minta. Kisahnya di mulai sekitar 15 tahun silam. Ia adalah salah satu satwa liar asli Kalimantan yang hendak diseludupkan ke Singapura lewat Riau. Upaya penyeludupan itu berhasil digagalkan dan akhirnya ia dipelihara H Usman, pegawai Dinas Pertanian yang sangat mencintai satwa liar. H Usman-saat ini sudah almarhum- kebetulan saat itu telah mendirikan kebun binatang pribadi kecil-kecilan bernama Kasang Kulim. Kebun binatang itu, adalah kebun binatang pertama dan satu-satunya di Riau.

Sejak itulah Jonet menghabiskan waktunya di kerangkeng. Awalnya, Jonet masih belum dikurung dan masih sering digendong anggota keluarga H Usman. Namun, kata Agustina -anaknya H Usman yang kini mengelolah Kebun Binatang Kasang Kulim- karena Jonet semakin hari tumbuh besar dan tenaganya lebih kuat, akhirnya Jonet terpaksa dikurung di dalam jeruji besi itu.

Jonet baru terlihat bergairah, bila dia mengalami masa kawin. Ia akan lebih garang dan hasratnya sebagai pejantan diperlihatkannya lewat bulu dan alat kelaminnya yang berdiri. Sayangnya masa itu terkadang hanya dilewati begitu saja oleh Jonet. Karena ia memang tak punya pasangan. Padahal seharusnya sebagai pejantan dari golongan kera besar ini sudah bisa bersenggama sejak usia tujuh tahun.

Namun untunglah penderitaan tidak bisa bersetubuh bagi Jonet sudah berakhir satu tahun yang lalu. Kebun binatang tempatnya tinggalnya itu memberinya seorang istri, orangutan Sumatera bernama Lisa. Meski telah memperistri Lisa, pasangan yang belum dikaruniai keturunan ini tidak hidup dalam satu kandang. Mereka hanya bertemu ketika masa kawin sekitar dua tahun sekali lalu kembali ke kandang masing-masing. Agustina beralasan pemisahan itu karena kasihan melihat Jonet. Kalau tidak masa kawin Jonet jadi makhluk pendiam dan takut pada Lisa.

Jonet mungkin terlihat sangat tidak beruntung hidup di jeruji besi itu, sama seperti 33 jenis satwa liar lainnya yang hidup di dalam kebun binatang itu. Tetapi bisa jadi ia jauh lebih beruntung dari teman-temannya sesama satwa liar yang hidup di belantara alam. Setidaknya ia tak perlu ketakutan saat habitatnya di rusak oleh pelaku pembalakan liar atau perambah hutan. Ia juga tidak akan terpanggang hidup-hidup karena kebakaran hutan dan lahan yang kini kerap terjadi di Indonesia. Ia juga tidak akan dibunuh secara masal oleh masyarakat yang merasa keberadaan satwa liar sebagai hama.

***
TEMAN-teman Jonet sesama satwa liar di alam kini memang tengah mengalami problem besar. Mereka kini kehilangan habitat sebagai tempat mereka tinggal, mencari makan dan kawin. Manusia seakan tidak mau menyisakan habitat bagi mereka. Sejumlah kawasan konservasi yang menjadi habitat terakhir mereka juga kerap diganggu, dirambah, bahkan dibakar untuk dialihfungsikan.

Di Riau sendiri, dari sekitar 18 kawasan konservasi berdasarkan komplisasi data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Departemen Kehutanan dan data sejumlah Lembaga Swada Masyarakat (LSM) hampir keseluruhannya rusak bahkan ada yang sudah hilang. Satu-satunya kawasan konservasi yang kondisinya baik hanya Taman Nasional Zamrud. Sementara 17-nya lagi, yaitu Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Tesso Nilo, Cagar Alam Pulau Berkey, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Suaka Margasatwa Kerumutan, Suaka Margasatwa Tasik Tanjung Padang, Suaka Margasatwa Tasik Belat, Suaka Margasatwa Bukit Batu, Suaka Margasatwa Balai Raja, Suaka Margasatwa Tasih Besar (Tasik Metas), Suaka Margasatwa Tasik Serkap (Tasik Sarang Burung), Suaka Margasatwa Bukit Rimbang (Bukit Baling), Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Taman Hutan Raya Sultan Syarif Kasim (Tahura SSK), Pusat Latihan Gajah Sebanga Duri, dan Hutan Lindung Senepis dalam keadaan sedikit rusak hingga rusak parah. Malah Suaka Margasatwa Balai Raja di Duri, Kabupaten Bengkalis seluas 18 ribu hektar dan PLG Duri seluas 5.873 hektar boleh dibilang sudah tidak ada lagi.

Hilangnya Suaka Margasatwa Balai Raja yang menjadi kawasan konservasi gajah yang berganti dengan kawasan pemukiman penduduk dan perkantoran itu, membuat kawasan yang secara hukum masih diakui sebagai kawasan konservasi itu sering menjadi tempat konflik gajah dan manusia. Malah dalam dua tahun terakhir ini, masalah konflik ini tetap terjadi. Di lokasi itu awal tahun 2006 lalu, gajah sempat merobohkan rumah warga dan merusak lahan pertanian. Bahkan hingga Kamis (28/2) kemarin, masih ada gajah yang merusak pagar SMP Cendana Duri. Padahal di lokasi ini, sudah delapan gajah Balai Raja yang dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo dan dua ekor mati karena tetanus dan ditusuk orang.

Konflik satwa yang dilindugi ini dengan manusia tidak saja terjadi di Balai Raja. Tetapi hampir dimana-mana. Untuk di Riau, konflik gajah dengan manusia berdasarkan data World Wide Fund For Nature (WWF) pada awal 2007 saja tercatat tiga orang meninggal dan dua orang cedera. Sementara gajah yang mati, berdasarkan data BBKSDA tahun 2005-2008 ada sebanyak 24 ekor. Sementara yang direlokasi ke Taman Nasional Tesso Nilo 15 ekor dan Pusat Latihan Gajah di Tahura SSK sebanyak delapan ekor.

Konflik lainnya antara manusia dengan satwa liar tidak saja pada gajah, tetapi juga dengan harimau. Dari tahun 2005 sampai tahun 2007 dari data BBKSDA terdapat empat orang meninggal, sepuluh cedera, dan puluhan ternak mati akibat diterkam harimau. Sementara harimau yang mati dari tahun 2006-2008 ada sepuluh ekor dan yang direlokasi ke Taman Safari Indonesia dari tahun 2002-2007 jumlahnya sembilan ekor dan yang dilepasliarkan di Hutan Lindung Senepis dari tahun 2003-2008 dua ekor.

Meskipun di Riau kerap kali yang terdengar satwa liar yang dilindungi hanya gajah dan harimau, namun sebenarnya ada 34 jenis satwa liar di Riau. Berdasarkan data BBKSDA 34 jenis itu terdiri dari 18 jenis mamalia, sebelas jenis aves (burung), empat jenis reptil dan satu jenis pisces (ikan). Kedelapan belas jenis mamalia itu adalah gajah, Harimau Sumatera, harimau dahan, beruang madu, orangutan, rusa, lutung, siamang, kambing sumatera, badak sumatera, duyung, kucing hutan, landak, trenggiling, kukang, macan tutul, tapir, dan kancil. Sementara itu jenis aves terdiri dari burung enggang, kuntul putih, raja udang, elang laut, kuau, bangau putih, itik air, burung alap-alap, burung pengisap madu, dan burung madu. Kemudian jenis reptil adalah tuntong, penyu hijau, buaya muara, dan senyulong. Terakhir dari jenis pisces adalah ikan arwana.

Konflik antara harimau dan gajah dengan manusia membuat banyak orang yang berpikir itulah satwa liar di Riau yang diambang kepunahan. Tapi sebenarnya berdasarkan data BBKSDA yang lebih para ancaman kepunahannya adalah orangutan, badak sumatera, dan tapir. Karena jumlah gajah dan harimau masih diperkirakan berjumlah diatas 100. Harimau sekitar 100-130 ekor sementara gajah 140-170 ekor. Namun orangutan, badak sumatera, dan tapir kurang dari 60 ekor.

Malah menurut Ririe Bogar, salah seorang pencetus Miss Big Indonesia yang menjadi duta penyelamatan badak, mengungkapkan kemungkinan telah punahnya badak Sumatera di Riau. Wildlife Biologist WWF Riau Sunarto menambahkan bahwa jejak badak Sumatera terakhir kali di Riau yang tercatat ada pada pada tahun 1982. Sementara untuk orangutan sudah puluhan tahun hampir tidak diketahui keberadaannya. Dan yang kini yang sulit dipercayai adalah akan punah tapir.

“Tapir itu dulu rasanya banyak di Riau. Kami sering dapat kiriman tapir hasil tangkapan masyarakat yang dari kampung-kampung. Namun sudah dua bulan terakhir ini saya pesan tapir, namun tidak ada yang masyarakat yang mengantarnya. Padahal tapir itu adalah makhluk paling laku kalau dijadikan pertukaran satwa antar kebun binatang. Apa saja kita minta, pasti dikasih untuk ditukarkan,” ujar Agustina yang bercita-cita menukar tapir dengan seekor hewan asal Afrika bernama kuda nil untuk menjadi pasangan seekor kuda nil yang kini ada dalam kebun binatangnya.

Senada dengan itu, Sahadah, warga Baserah, Kabupaten Kuantan Singingi, juga mengungkapkan dulu sekitar tahun 1980-an paling banyak tapir di kampungnya. Tapir itu di daerahnya di kenal dengan nama Cipen. Ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari sapi lebih besar dari kambing. Muncungnya agak mirip babi. Kulitnya dibagian belakang berwarna putih di bagian depan berwarna hitam. Namun sekarang menurutnya mungkin tidak ada lagi, kalaupun ada hanya satu dua.

***

MENGAPA manusia harus risau dengan kepunahan satwa liar? Dilontari pertanyaan seperti itu Kepala BBKSDA Riau Rachman Sidik, Flagship Species Program Coordinator WWF Riau Achmad Yahya, dan Wildlife Biologist WWF Riau Sunarto dan Pencetus Miss Big Indonesia Ririe tersenyum sesaat sebelum memulai jawabannya. “Pertanyaannya sederhana, tetapi maknanya sangat dalam,” ungkap mereka hampir senada.

Kepunahan mereka, menurut Ririe, suatu hari akan menjadi ironi dan penyesalan bangsa ini. Karena hewan-hewan tersebut hanya akan menjadi sekedar cerita dongeng menjelang tidur bagi generasi bangsa selanjutnya. Namun yang lebih memiriskan hati, tambah Ririe, satwa-satwa yang punah itu akan berada di kawasan konservasi di luar negeri. “Sekarang saja, badak Sumatera yang kabarnya punah di Riau ada ada di Kebun Binatang Cincinnati Amerika dan Kebun Binatang London Inggris,” ujarnya mengingatkan bahwa kelak bisa jadi anak Indonesia hanya bisa melihat satwa asli Indonesia itu di negara lain.

Di balik kisah kepunahan mereka, menurut Rachman, Yayah, dan Sunarto yang dikhawatirkan adalah kepunahan habitat mereka. Pasalnya habitat mereka yang berupa hutan alam memiliki arti penting bagi keseimbangan alam dan ekosistem. Bila hutan alam punah maka tidak akan ada sumber-sumber air yang mengisi sungai, danau, dan rawa. Berarti tidak ada pula sumber air untuk mengairi sawah bahkan tempat-tempat yang menjadi sumber air minum masyarakat. Kekeringan akan terjadi dimana-mana. Akhirnya krisis pangan pun terjadi.

Ketika hujan mengguyur bumi, karena hutan yang menjadi habitat satwa liar tidak ada lagi, maka akan terjadi banjir seperti yang kini sering melanda Indonesia. Berbagai produk hasil pembangunan yang dibangun bertahun-tahun dan dana miliaran rupiah akan berangsur lapuk dan kemudian rusak sehingga tak dapat dimanfaatkan.

Hutan yang hilang juga akan mempercepat malapetaka global berupa perubahan iklim. Sebagai akibat tidak ada lagi oksigen yang bisa diproduksi oleh dedaunan hijau dari dalam hutan. Tidak ada pula penghisap gas karbondioksida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan itu.

Masihkah kita menganggap pelestarian satwa liar tidak penting? Seandainya satwa liar itu bisa bicara, ia akan meneriakkan,” Habitat Kami untukmu jua!” ***


0 komentar: