This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 31 Agustus 2009

Satu Jalan, Dua Cuaca

Cuaca Makin Lokal dan Sulit Diprediksi
Pola cuaca makin lokal dan sulit prediksi. Bahkan alat secanggih apapun kini tidak mampu akurat memprediksi cuaca di Indonesia.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.co.id

Ina Mulyani, Kasubid Perubahan Iklim dan Perlindungan Atsmosfir Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau, sudah beberapa kali dibuat bingung dengan pola cuaca yang tidak menentu. “Sudah beberapa kali saya bertemu dengan pola cuaca yang tidak menentu ini. Di kantor saya hujan lebat, namun di Jalan Sudirman nggak hujan,” ujarnya, Kamis (27/8).


Padahal jarak antara kantornya yang beralamat di Jalan Thamrin, Kecamatan Sail dengan Jalan Sudirman hanya kisaran tiga-lima kilometer. “Aneh juga sekarang ini, sepertinya cuaca kian lokal. Padahal dulu, bila hujan di suatu tempat, maka pasti hujan di mana-mana,” ungkapnya.

Tidak hanya Ina yang merasakan perubahan pola cuaca ini. Antony Harry, seorang jurnalis juga punya pengalaman sama. Contohnya pekan lalu, dia sedang berada di Jalan Sumatera dan karena hujan, akhirnya pria yang hari itu naik kendaraan roda dua ini terpaksa berteduh. Namun anehnya, temannya yang berada di tempat lain, yang memiliki janji bertemu dengannya, menyatakan di tempatnya sedang tidak hujan.

“Jalan Paus nggak hujan,” ungkap seorang temannya yang hari itu memilih menembus hujan meninggalkan Antony setelah mendapat informasi dari temannya. Dia menyebutkan hujan hanya terjadi di tempat itu. Sementara di Jalan Paus, yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari tempat itu hari sedang terang menderang.

Tak hanya mereka, Riau Pos juga kerap punya pengalaman yang lebih ekstrim, yakni satu jalan dua cuaca. Waktu itu, di Jalan Sudirman di depan Kantor Gubernur hari tengah hujan lebat. Namun begitu kendaraan roda empat melewati Jalan Sudirman di depan Kantor DPRD Riau hari panas terik. Tidak ada tanda-tanda hujan ataupun mau hujan.

Pola cuaca, menurut Armi Susandi, Wakil Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kamis (27/8), memang kian tidak menentu saat ini. Pola cuaca kian lokal. Secara ilmiah, itu katanya terkait dengan temperatur, massa udara, letak geografis dan banyaknya air di sekitar kawasan itu. Jadi kondisi satu jalan dua cuaca itu tidak aneh lagi. Karena itu terkait dengan jumlah kendaraan di tempat itu, jumlah penduduk atau daerah tutupan di kiri kanan jalan, letak geografis dan keberadaan air di sekitarnya.

Dosen yang membidangi iklim di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, bahkan mengungkapkan, saat ini topografi di kawasan Indonesia, apalagi di Sumatera tidak datar. Itu sebabnya, pola cuaca menjadi sangat lokal. Bahkan, menurutnya pola cuaca makin tidak bisa diprediksi. “Alat secanggih apapun, tidak akan bisa tepat memprediksi cuaca di Indonesia. Berbeda dengan di Eropa, kawasan mereka cenderung dataran. Jadi kalau alat secanggih apapun dibawa dari Eropa ke tempat kita, maka tidak akan akurat hasilnya. Sebaliknya alat di tempat kita mungkin bisa akurat di sana,” paparnya menjawab pertanyaan Riau Pos mengapa pola cuaca kini sulit diprediksi.

Apalagi, sekitar Agustus lalu, Riau Pos mengeluarkan berita dari BMKG yang menyatakan musim kemarau akan terjadi sampai Oktober. Bahkan dinyatakan pula oleh pemerintah setempat akan melakukan penundaan masa tanam, menunggu musim hujan. Namun perkiraan itu, pada pertengahan Agustus terlihat sangat meleset. Pasalnya di pertengahan Agustus di Riau terjadi hujan besar-besaran dan terus menerus. Bahkan di Sumatera Barat, provinsi tetangga Riau yang menjadi hulu beberapa sungai besar di Riau mengalami banjir.

Pola cuaca yang sulit diprediksi itu, ternyata sangat berdampak besar bagi kegiatan pertanian. Petani akan makin kesulitan menentukan masa tanam. Tak hanya itu, kegiatan perikanan juga sangat terganggu. Misalnya, seorang petani ikan sekitar Jalan Singgalang, Kecamatan Tenayanraya. Dia harus mengalami kematian ikan secara massal. “Bapak yang menyewa kolam ini, berhenti menyewa Bu. Ikan-ikannya mati semua gara-gara hujan yang tiba-tiba kemarin. Kolam ikan seperti memutih,” tutur Iyet, dua pekan lalu, yang menjadi menunggu kolam-kolam Ikan milik Asmalini menerangkan bagaimana hujan yang tiba-tiba itu menghancurkan kegiatan perikanan.

Dengan kondisi ini, menurut Armi, memang sulit mencari jalan keluarnya. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah daerah di manapun berada sekarang ini harus cepat tanggap. Memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi. Bahkan masyarakat harus mengembangkan kearifan lokal. “Bencana perubahan iklim ini ke depan akan semakin nyata, namun daerah banyak yang belum menyiapkan apa-apa,” ungkapnya khawatir.

Dari seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah yang sudah mulai memikirkan dampak perubahan iklim. Salah satunya di Nusa Tenggara Barat. “Tahun 2007 lalu, saat saya ke sana, pemerintah daerah belum membuat kebijakan apa-apa. Namun sekarang tahun 2009, saat saya berkunjung ke sana, pemerintahnya sudah melakukan sejumlah persiapan. Kini mereka memiliki sejumlah embung (kolam-kolam air). Jadi begitu musim kemarau panjang, mereka tidak akan kesulitan air bersih. Sebaliknya pada musim hujan tinggi, mereka tidak kebanjiran,” papar Armi tentang kemungkinan dampak perubahan iklim yang paling rentan di Indonesia adalah tentang musim kemarau dan musim hujan yang bisa lebih panjang atau lebih singkat.

Armi juga menyebutkan antisipasi ini harus perlu dilakukan pemerintah selaku inisiator. Mengingat upaya adaptasi untuk menghadapi musim tidak menentu ini biayanya akan lebih murah dari pada menanggulangi bencana yang terjadi.
Lambannya respon daerah dalam melakukan adaptasi tampaknya juga terjadi di Provinsi Riau. Provinsi Riau baru bergerak pada kebijakan membuat Pusat Informasi Perubahan Iklim, sementara kebijakan pembangunan ke arah adaptasi belum terjadi.

“Pusat Informasi Perubahan Iklim, baru jalan awal tahun ini. Itupun baru mengumpulkan data-data dan masih dalam tahapan pengelolaan,” papar Ina tentang persiapan Pemerintah Provinsi Riau yang persiapannya dalam menghadapi perubahan iklim baru pada level mengumpulkan informasi dan belum pada kebijakan dan aksi nyata.***


Rabu, 26 Agustus 2009

92 Persen Pernah Buang Sampah Sembarangan


DUH, ternyata hampir nggak ada orang yang nggak pernah buang sampah sembarangan. Setidaknya itulah hasil observasi GSJ di lapangan dengan melibatkan 100 orang responden. 92 persen responden yang ditanyai mengaku pernah buang sampah sembarangan.



Saat GSJ ke lapangan, GSJ juga mendapatkan seseorang yang tengah membuang sampah sembarangan. Ketika ditanya, orang itu menjawab, “Kan lebih mudah buang sampahnya. Sambil ngebut ngendarain sepeda motor, sampahnya langsung dibuang dech di tepi jalan. Kan enggak ada yang li¬hat…’’, kata warga Widya Graha itu sambil nyengir lebar.

Mereka yang kurang peduli pada lingkungan tersebut, biasanya membuang sampah di tepi-tepi parit, di aliran sungai, tanah lapang, dan juga di tepi jalan. Mereka kerap beralasan tidak ada tempat pembuangan sampah yang lain. Seperti yang dikemukakan Dewi Lestari, warga jalan Rukun Pancoran Mas perumahan Prundam.

‘’Ya… karna tidak adalagi pembuangan sampah di sini. Lagian orang-orang sini juga banyak buang sampah di tempat ini. Ya udah saya ikutan…’’, tuturnya saat ditemui membuang sampah ditepi jalan.

Tentang pendapat para siswa tentang ulah buang sembarangan ini, GSJ mewawancarai siswi SMK Muhammadiyah Pekanbaru bernama Elvi Yuli Ningsi. Doski yang mengaku sangat peduli kebersihan lingkungan ini bilang pembuangan sampah sembarangan itu adalah salah satu tindakan kriminal. Di mana akhirnya dapat menyebabkan penyakit pada warga sekitar.

‘’Di negara tetangga ajha, membuang sampah sembarangan dijadikan tindakan kriminal lho, yang buang sampah sembarangan ditangkap dan dikenai denda yang cukup besar. Lagian sampah itu adalah sarang penyakit yang dapat merugikan masyarakat sekitar yang berakhir di rumah sakit,’’ ucap doski sambil menggelengkan kepalanya.
Doski juga bilang tempat pembuangan sampah yang banyak dipilih oleh orang yang enggak peduli lingkungan adalah di tepi jalan.

Tentang dampak sampah yang menumpuk, dr Hartatik menyebutkan hal itu dapat menyebabkan penyakit. ’’Kotoran yang terdapat dipenumpukan sampah dapat menimbulkan penyakit seperti cacingan, tipus, disentri, diare dan penyakit kulit lainnya, yang mampu membuat seseorang dirawat di rumah sakit cukup lama…’’, ujarnya saat diwawancarai di rumahnya. (A.Rachman_GSJ).

 Melihat Kematian Sungai-sungai

Memuliakan Zero Stone Peradaban

Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.


 Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Teluk Kuantan andinoviriyanti@riaupos.com

Sekitar 160 kilometer, dari Kota Pekanbaru menuju Kota Telukkuantan membentang 86 Jembatan. Ada 20 jembatan besar (yang bertiang hingga ke bagian atas langit-langit jembatan) dan 66 jembatan kecil (tiangnya hanya setengah badan). Jembatan besar untuk melompati badan sungai besar dan jembatan kecil untuk melompati sungai-sungai kecil.


Menatap sungai-sungai besar itu, yang terlihat adalah air sungai yang menyusut hingga jauh meninggalkan bibir sungai. Padahal biasanya bibir-bibir sungai itu selalu mampu dibasahkannya. Bibir sungai itu pun tak lagi terjal, tetapi sudah melandai. Seakan membentuk garis pantai. Warna air sungaipun sedikit keruh, tanda terjadi sedimentasi. Sementara sungai-sungai kecil, nyaris tanpa air.

Melihat dekat Sungai Singingi yang berada di sepanjang jalan raya yang dilalui, tepatnya di Kecamatan Singingi dan Singgingi Hilir, juga menunjukkan hal yang sama. Air sungai itu hanya tersisa setinggi mata kaki. Lebarnya juga hanya sejarak tiga, empat meter. Meski begitu, seorang pengemudi truk bersama bocah laki-laki, tampak juga menampung airnya di bagian yang agak dalam untuk mencuci truk.

Tak lebih baik, keadaan sungai yang seperti menunggu ajal juga terlihat di Kota Telukkuantan. Satu anak sungai, yang lokasinya berdampingan betul dengan Batang Kuantan terlihat menghijau. Tanda sudah lama tak dialiri air, karena sudah dipenuhi tetumbuhan rumput.

Di Batang Kuantan sendiri, keadaan sungai juga tak jauh lebih baik. Di tengah hiruk pikuk meriahnya pacu jalur yang tengah digelar, bisa terlihat dengan jelas sungai itu telah mendangkal. Bahkan untuk menggelar iven itu, alat berat sempat dikerahkan. Bukan saja untuk me¬ngeruk sungai, tetapi juga membangun turap pasir.

Turap pasir itu terlihat jelas di seberang pancang pertama, tempat iven wisata yang masuk kalender nasional itu digelar. Dari Tepian Narosa terlihat bagaimana peserta pacu jalur di bagian hulu (tempat mulai pacu) terlihat hanya berjalan kaki melewati badan air. Tanda sungai itu tidak lagi dalam.

Hambo (35), pria asal Kampung Baru, Kecamatan Gunung Toar, menceritakan keadaan sungai yang mendangkallah yang menjadi alasan dibuatnya turap pasir. Turap itu untuk membendung air sungai agar tak melebar ke samping. Namun berkumpul ke bagian salah satu sisinya, agar air sungai di bagian hulu itu cukup dalam untuk menggelar pacu jalur.

“Dulu, di pancang pertama itu aliran sungai seperti berbelah dua karena ada beting (gundukan pasir seperti pulau di bagian tengah). Namun, karena air sungai sangat sedikit, tak cukup untuk berpacu maka sungai tersebut diturap agar air hanya berkumpul di satu aliran saja,” paparnya Hambo, awal Agustus kemarin.

Merisaukan Kematian Sungai-sungai
Kondisi sungai-sungai yang mengering atau menuju kekematian itu telah lama diprediksi. Apalagi dua ciri-ciri utama kematian sungai kerap terlihat, yakni sungai mulai berpantai dan debit atau jumlah air sungai pada musim kemarau dengan musim hujan sangat jauh bedanya.

“Ini bukan sekadar pengaruh kemarau yang panjang atau Elnino. Tetapi memang karena keadaan sungai-sungai di Riau tak lagi sehat,” ungkap Kasi Evaluasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri Rokan Agus Wahdudiono, awal Agustus lalu.

DAS-DAS sungai tersebut menurutnya sudah sampai pada titik kritis. Pada tahun 2008, lahan terbuka di DAS-DAS itu mencapai 424.836 hektare. Tingkat erosinya juga tinggi. Untuk erosi berat (B) mencapai 799.087 ton per ha per tahun, sementara sangat berat (SB) 680,283 ton per ha per tahun. Dengan total luasan 1,479.370 hektare.
Ditinjau dari tingkat kekeruhan (total suspended solid-TSS) juga sudah keluar dari kadar TSS air kelas I dan II yakni hanya 50 mg/liter. Nilai TSS di DAS Indragiri mencapai 212 mg per liter, sementara di DAS Kampar dan Siak 100 mg per liter dan 148 mg per liter.

Kondisi sungai-sungai yang menuju kekematian tersebut, tak saja merisaukankan orang-orang yang bergerak di bidang lingkungan. Tetapi juga bagi para budayawan Riau seperti Al Azhar dan Yusmar Yusuf.

Bagi Al Azhar, kematian sungai itu menurutnya sama artinya dengan kematian Kebudayaan Melayu yang rata-rata terinspirasi dari sungai-sungai tersebut. Konsultan Ekspedisi Empat Sungai di Riau ini, awal Agustus lalu menyontohkan, kematian Batang Kuantan, akan berdampak pada eksistensi kebudayaan pacu jalur.

“20-30 tahun ke depan, pacu jalur itu pasti tetap ada. Namun makin artificial (buatan). Hanya skadar iven berpacu. Apa bedanya dengan perahu naga, pacu dayung, pacu sampan, dan berbagai pertandingan olahraga serupa lainnya yang terdapat di daerah lain di seluruh dunia ini?” tanya Al Azhar.

Pacu jalur, tambah Al Azhar, bukanlah iven olahraga, tetapi iven budaya. Ia adalah muara dari sebuah proses kebudayaan. Bagaimana masyarakat di negeri itu mengambil kayu untuk jalur dengan upacara. Lalu menghanyutkannya ke sungai agar sampai ke kampung yang dituju. Terus berbagai rangkaian acara adat pun digelar, salah satunya mangelo (menarik) jalur,” ujarnya prihatian khawatir kalau-kalau iven budaya masyarakat Negeri Kuantan itu kelak hanya seperti tontonan bola. Hanya sebuah adu kekuatan.

Bagi Al Azhar, sungai itu ibarat akar sebuah batang pohon. Tanpa akar tersebut, batang pohon itu akan lapuk. Kebudayaan Melayu yang ada kemudian hanya akan sekadar menjadi artifac (penghuni museum). Lalu ceritanya akan terkunci pada cerita-cerita masa lampau.

Kait mengkait sungai dan eksistensi kebudayaan Melayu, menurut Al Azhar telah dimulai sejak Peradaban Melayu sampai di tanah Sumatera. Sejak abad ketujuh, saat Kerajaan Sriwijaya dibangun ditepi-tepi sungai di Sumatera.

Dalam konteks kebudayaan Melayu Riau pun, tambahnya, juga dimulai dari sungai. Lihatlah bagaimana Candi Muara Takus, situs peradaban tertua di Riau itu berada di hulu sungai. Begitu pula kerajaan-kerajaan yang ada di Riau semuanya berada ditepian sungai.

“Siak Sri Indrapura adalah negeri di tepi sungai. Indragiri juga berpusat di Sungai. Rokan dengan lima kerajaannya juga berada di tepi sungai,” papar Al Azhar.
Al Azhar juga memaparkan bagaimana kampung-kampung yang ada di Riau juga berada di pinggir-pinggir sungai. Bahkan kebudayaan ladang berpindah juga berada tak jauh dari tepian sungai.

“Jika sungai-sungai itu mati, maka mati pulalah peradaban Melayu itu,” ujar Al Azhar.

Kematian peradaban Melayu itu, tambah Yusmar, juga bisa dilihat bagaimana hampir tidak ada lagi derap kehidupan di batang-batang air. “Dulu, di Siak ada perahu kotak. Perahu itu seperti sebuah supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga. Di situ ada keramba ikan hidup. Layaknya sebuah kedai berjalan. Ia selalu hadir tepat waktu. Namun seiring kehidupan sungai mati, kini perahu kotak itu pun tak ada lagi,” ujarnya menceritakan salah satu aktivitas kehidupan sungai yang menghilang.

Hilangnya peradaban sungai, menurut Al Azhar dan Yusmar, karena pola pembangunan yang dilaksanakan di Riau dan Indonesia secara umum berprinsip benua atau daratan.
Jalan-jalan, tambah Yusmar, dibangun asimetris dengan sungai. Sungai hanya dijadikan tempat pelintasan. Padahal sungai, kata Yusmar, adalah zero stone (batu pertama) kehidupan di kampung-kampung tempat kehidupan dimulai. Seperti Kota Pekanbaru yang kehidupannya dimulai dari Kampung Senapelan yang berada di tepian Sungai Siak. Oleh karena itu meninggalkan sungai, menurut Yusmar, sama halnya tidak menghormati Bapaknya. Sama pula dengan melawan hukum alam.

Sudah saatnya, menurut Yusmar dan Al Azhar, sungai-sungai tersebut dipulihkan. Jika tidak ingin kehancuran sungai berlanjut dengan kehancuran kehidupan di atasnya, baik karena banjir, kekeringan, maupun kehilangan eksistensi kebudayaan.

Memuliakan Zero Stone Peradaban
Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Cina dengan Sungai Kuning (Yang Se)-nya, India dengan Sungai Gangga dan Indus-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.

Keindahan dan kegagahan sungai-sungai itulah yang menginspirasi kota-kota di Indonesia kini pun bergerak menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Sebut saja Palembang, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak dan lain sebagainya.
“Tahun 80-90-an, kota-kota tersebut sama saja dengan kota-kota di Riau. Merupakan daerah slum (kampung miskin yang sesak), namun 3-4 tahun terakhir, kota-kota itu berubah menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Mereka sudah memandang sungai atau badan air itu sebagai garden atau park. Mereka sudah berpikir sebagai water park. Tidak ada lagi bangunan yang membelakangi badan air,” ungkap Yusmar tentang cara memuliakan badan air sebagai zero stone peradaban.

Mereka telah menjadi water front city atau kota-kota yang berkaca air atau bercermin air. Menurut Yusmar itu mereka lakukan dengan membebaskan bagian tepi sungai dari bangunan-bangunan yang menyesak di tepian sungai. Tepian sungai kini dibiarkan kosong. Konsep pembangunan di buat perkampungan atau pembangunan di letakkan di tengah-tengah daratan. Di mana tepian sungai dibuat jalan.

Upaya memuliakan badan-badan air tersebut, menurut Yusmar, akan diikuti dengan upaya-upaya vegetatif (penananaman). Mengisi bagian tepian sungai dengan tanaman rain forest (hutan hujan) yang sebatin dengannya, bukan dengan tanaman seragam.
Sungai-sungai yang dihidupkan kembali juga menjelma menjadi tempat-tempat wisata yang unik. Seperti di Pontianak, ungkap Yusmar. Di kota itu, dibangun kapal seperti Titanic yang dibangun bertingkat-tingkat. Pada tingkat ketiga, orang bisa mencelupkan tangannya di Sungai Kapuas. Di situlah para anak-anak muda beromantis. Di kota itu juga disewakan perahu-perahu kecil yang hanya menyediakan tempat untuk pasang-pasangan. Dengan disinari hanya satu cahaya lilin. Lalu ada pengamen-pengamen yang bermain di atas perahu.

“Jadi menarik, karena mereka unik. Mematahkan image bahwa pengamen itu hanya ada di bus-bus,” paparnya.

Sungai yang terawat itu telah memberi nyawa baru buat kehidupan di atasnya. Sungai ataupun air itu telah memberikan garis horizontal yang bersifat pasif dan ketenangan. Itulah nantinya yang diharapkan pada pembangunan di Riau. Negeri yang mampu memberikan kedamaian dan kemakmuran dengan empat sungai besar dan ribuan sungai kecil yang melintasinya.***