Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 27 Juli 2008

Hutan larangan Adat Kenegerian Rumbio, Bertahan di Negeri yang Gundul

Kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio telah membuat hutan larangan adat
mereka bertahan di tengah negeri gundul bernama Riau.

Laporan Andi Noviriyanti, Kampar
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Hawa segar langsung saja menyambar kulitku siang itu (19/6), saat melangkah masuk ke dalam Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio, Kabupaten Kampar, sekitar 48 kilometer dari Kota Pekanbaru. Tajuk pohon yang menutup langit hutan, membuat cahaya matahari hanya bisa mencuri masuk. Memberi terang seadanya sehingga tak mampu melawan kesejukan di dalam hutan itu. Sehingga berada di dalamnya tak jauh beda di dalam gedung yang ber-AC (air conditioner). Bahkan mungkin udara di hutan itu lebih segar udaranya.

Memadang ke bawah, tempat kakiku berpijak yang terlihat hanyalah hamparan daun-daun kering yang membentang seperti karpet coklat. Lalu memandang ke sekeliling, terlihat sejumlah pepohonan besar yang tinggi menjulang. Beberapa di antaranya ku kenal sebagai meranti, pulai, jelutung, dan kempas. Satu pohon besar yang ada di hadapanku, rasanya cukup untuk bisa mengisi satu bak truk cold diesel. Kalaulah pohon-pohon di hutan ini ditebang, pastilah banyak uang yang bisa didapat.

Namun entah apa yang terpikir oleh masyarakat di Kenegerian Rumbio ini sejak dulunya? Mengapa mereka memilih mempertahankan hutan itu dan memberinya dokrin sebagai hutan larangan adat? Dimana tak boleh dirambah atau dialihfungsikan dan tak pula boleh ditebang kayunya. Kecuali seizin ninik mamak yang diputuskan dalam rapat adat. Itupun hanya untuk keperluan pembangunan mesjid, musholla, jembatan dan rumah bagi para janda yang sangat miskin

Padahal kalau masyarakat di Kenegerian Rumbio ingin mengejar uang, mereka bisa saja menebang kayu-kayu di hutan itu. Apalagi kayu di hutan itu pasti banyak, karena luas totalnya mencapai 530 hektar. Yang membentang dalam enam kawasan rimbo (hutan), yaitu rimbo potai, rimbo silayang-layang, rimbo koto nagaro, rimbo pematang kulim, rimbo cubodak mangkarak dan rimbo panoghan.

Tapi itulah yang luar biasa dari kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio. Hingga sampai saat ini hutan larangan adat itu tetap saja bertahan. Meskipun kini di kiri kanannya penuh dengan kebun karet dan beberapa bagian kebun kelapa sawit serta lintasan jalan yang bisa diakses dengan mobil membelahnya.

Tak banyak alasan yang dikemukan para tetua adat di kenegerian itu menjawab pertanyaan mengapa mereka menetapkan kawasan itu sebagai hutan larangan adat. Datuk Ulak Simano Kamaruzzaman yang menjadi Pucuk Adat Kenegerian Rumbio hanya berujar sederhana. “Cam apo dulu, cam ituloh kini (seperti apa dulu, seperti itu pulalah kini),” ujarnya dengan tenang.

Sebuah ungkapan sederhana namun mampu mengikat seluruh masyarakat di kenegerian itu. Termasuk saat ada investor yang menawarkan uang masuk dengan cara mengalihfungsikan kawasan itu menjadi kebun kelapa sawit yang kini tengah booming. “Itu hutan larangan. Tak bisa dialihfungsikan. Hutan ini bagi kami adalah condi. Tanda masyarakat di kenegerian ini masih beradat. Kalau hutan larangan ini sudah tidak ada lagi, maka tidak ada pulalah adat istiadat yang bisa berlaku lagi di kenegerian ini,” ungkap Datuk Godang Edi Susanto yang menjadi Pucuk Pimpinan Adat Kenegerian Rumbio menjelaskan arti penting hutan itu bagi masyarakat adat di negerinya.
***

Meskipun pada dasarnya perlindungan hutan larangan adat di kenegerian itu lebih disebabkan alasan adat, namun bila ditelaah lebih lanjut secara ilmiah, ternyata kearifan lokal itu memiliki makna yang luar biasa bagi desa-desa di kenegerian tersebut. Ternyata berdasarkan peta giografis terlihat posisi hutan tersebut berada di atas bukit, di mana di bawahnya terdapat areal pertanian, perkampungan penduduk dan ditutup dengan belahan Sungai Kampar.

“Bisa dibayangkan kalau tidak ada hutan larangan itu, masyarakat di desa-desa Kenegerian Rumbio yang berada di kaki bukit ini akan dilanda banjir bandang dan longsor,” ujar Masriadi, salah seorang anak kemenakan di Kenegerian Rumbio yang kini memimpin Yayasan Pelopor.

Pernyataan itu lebih diperkuat lagi, jika dilihat bentangan peta kawasan hutan larangan adat itu. Di mana hutan itu tumbuh memanjang. “Lebarnya paling luas hanya 1 km. Namun panjangnya mencapai 10 km dan berada mengelilingi bukit. Hutan larangan adat ini menjadi benteng pertahanan bagi desa-desa di kenegerian Rumbio yang membentang di sepanjang Sungai Kampar,” tambah pria kelahiran asli Kenegerian Rumbio tepatnya di Padangmuntung, 13 Juli 1969.

Kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio makin terasa lagi manfaatnya tak kala melihat ada mata air di kaki bukit hutan larangan adat tersebut. Setidaknya, menurut Masriadi di tempat itu ada delapan titik mata air. Airnya sangat jernih, tak ubahnya seperti air mineral kemasan. Hingga tak jarang masyarakat di kawasan itu banyak yang langsung meminum air itu tanpa dimasak.

Air yang dihasilkan di kaki bukit itu ternyata tak saja dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Tetapi sebagian besar juga dijual ke daerah sekitarnya. Bahkan hingga ke Bangkinang, ibu Kota Kabupaten Kampar yang jaraknya sekitar 15 km dari tempat itu dan juga Panam, perbatasan Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Air yang dijual tersebut sampai ke konsumen dengan cara diantar dengan becak honda atau mobil pick up para penjual air.

”Pokoknya rumah makan di sepanjang jalan dari Pekanbaru ke Kampar ini, rata-rata memanfaatkan air dari mata air ini. Soalnya airnya sangat jernih,” ungkap Hamka dan Yuhermis, Ketua Divisi di Yayasan Pelopor yang juga anak kemenakan Kenegerian Rumbio.

Keberadaan sumber mata air itu memang memberikan kontribusi penting bagi masyarakat di kenegerian tersebut. Pasalnya air dari Sungai Kampar ataupun sumur warga tak banyak yang bisa diharapkan menjadi air minum, karena keruh. Itulah sebabnya di kenegerian itu banyak warga yang mengambil langsung ari di mata air itu atau membelinya kepada penjual air. Bahkan Heri (28), salah seorang penjual air di tempat itu telah menggantungkan kehidupannya lima tahun terakhir ini dari mata air itu.

Kalau hutan larangan adat itu tidak ada lagi, maka kekayaan air bersih di kenegerian itupun bisa jadi akan menghilang. Krisis air bersihpun bisa terjadi. Namun sekali lagi kearifan lokal masyarakat Kenegerian Rumbio sejak ratusan tahun silam telah membuat negeri itu tak pernah kesulitan air bersih, sekalipun di musim kemarau yang sangat panjang.
. ***

Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio sampai kini memang terjaga dengan baik. Tak ada yang mampu merambahnya apalagi menebang pohon di dalamnya. Jikalapun ada juga anak kemenakan yang nekat, maka sanksi adat langsung diberikan. ”Kok tatayok kembalikan, kok tamakan muntakan (kalau terambil kembalikan, kalau termakan muntahkan,” ujar Datok Godang tentang sanksi yang diberikan.

Tetapi seiring dengan perkembanganya zaman, hanya kaum tua atau para ninik mamak yang memegang teguh adat istiadat itu. Sementara kaum mudanya, sekitar 50 persen tidak begitu tertarik mempertahankan hutan larangan adat itu. Hal itulah yang kini menjadi kekhawatiran para anak kemenakan Kenegerian Rumbio yang ingin mempertahankan hutan larangan adat itu. Terutama Yayasan Pelopor yang berdiri tahun 2000 lalu.

Karena pemuda-pemuda yang tergabung di dalam itu secara tidak sengaja adalah perwakilan dari lima suku yang ada di kenegerian itu, yaitu Domo, Peliang, Putupang, Kampai dan Caniago mereka pun berikhtiar untuk mempertahankan hutan larangan adat itu dengan aturan tertulis. Agar ke depan hutan larangan adat itu diakui dalam hukum positif dan hukum negara.

”Posisi hutan ini sangat lemah. Pasalnya posisinya tidak termasuk dalam kawasan hutan, tetapi kawasan pemanfaatan langsung yaitu untuk kawasan perkebunan. Apalagi ada bagian hutan itu yang lokasinya berbatasan langsung dengan jalan lintas Simpang Tibun – Kebun Durian, yaitu jalan yang menghubungkan Kecamatan Kampar dengan Kampar Kiri. Tepatnya Rimbo Potai seluas 70 hektar. Kawasan itu sangat rentan menjadi tempat kegiatan illegal logging karena kemudahan akses untuk membawa kayunya,” ungkap Masriadi.

Untuk itulah Yayasan Pelopor berinisiatif mendokumentasikan aturan adat itu dalam bentuk dokumen tertulis mulai tahun 2001dan selesai tahun 2002. Lalu sejak tahun 2004, yayasan itu mengupayakan agar hutan larangan adat itu diberi status hukum oleh negara dan dicantumkan dalam tata ruang Kabupaten Kampar. Namun upaya itu sampai saat ini belum teralisasi. Satu-satunya yang berhasil adalah diterbitkannya Undang-undang Adat Kenegerian Rumbio Nomor 1 Tahun 2007 tentang Rimba Larangan Adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Kenegerian Rumbio.

Selain mempertahankan keberadaan hutan larangan adat itu secara tertulis, Yayasan Pelopor juga merintis pembuatan tapal batas di sekeliling hutan larangan adat. Terutama yang berbatasan langsung dengan kebun masyarakat. Seiring dengan itu yayasan itu juga merintis pelaksanaan patroli rutin untuk pengamanan kawasan tersebut.

Upaya-upaya masyarakat Kenegerian Rumbio baik yang dilakukan para ninik mamak dan juga anak kemenakan di negeri itu telah menjadi contoh nyata, bahwa kearifan lokal bisa mempertahankan keberadaan hutan. Sekalipun di negeri gundul bernama Riau yang sangat dikenal eksploitasi besar-besaran hutannya. ***

0 komentar: