This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 26 Desember 2010

Lima Tahun, Satu Pelukan


Melihat Kebun Bibit Rakyat di Pelalawan


Hanya butuh waktu lima tahun untuk mendapatkan pohon jabon (Anthocepalus cadamba) berdiameter satu pelukan orang dewasa dengan tinggi di atas 12 meter. Pohon berprospek cerah bernilai ratusan juta per hektare ini, menjadi primadona di Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Kabupaten Pelalawan. Bahkan, ada yang rela mengganti tanaman sawitnya dengan jabon.

Laporan Andi Noviriyanti, Pelalawan
andinoviriyanti@riaupos.com


“Coba tebak berapa umur pohon ini?” tanya Pramono, Ketua Kelompok Pengelola KBR Dejabon, Rabu (22/12) siang. Riau Pos pun memandangi pohon yang dimaksud Pramono. Tinggi pohon itu sedikit lebih tinggi dari dirinya yang kira-kira 170 Cm. Diameter pohonnya sekitar 7 Cm.

“Pohon ini umurnya baru enam bulan,” ujarnya tak sabar menunggu jawaban Riau Pos. “Pohon jabon ini sedang jadi primadona di mana-mana. Nilai jual kayunya tinggi, cepat besar, lima tahun sudah bisa dipanen. Bagus untuk meubel, plywood,” paparnya lagi.

Tak sampai di situ, Pramono pun melanjutkan ceritanya bahwa areal tempat dia membibitkan jabon itu adalah kebun sawit. “Sawitnya kami dorong ke danau (bagian curam yang tak jauh dari tempat itu). Jabon ini lebih menguntungkan dari sawit. Beberapa tahun ke depan orang akan ramai-ramai mengganti sawitnya dengan jabon,” ujarnya.

Jabon atau di Riau dikenal dengan nama klampayan dan bongkal gajah sebenarnya bukan jenis pohon baru. Pohon ini banyak ditemui di Riau khususnya di tepian sungai. Namun, namanya baru beberapa tahun belakangan ini melambung, khususnya di Pulau Jawa seiring dengan menipisnya pohon alam untuk memenuhi kebutuhan meubel dan plywood. Pohon ini banyak dikembangkan sebagai hutan tanaman rakyat dan sudah bisa dipanen dalam waktu umur lima tahun.

“Kalau di internet-internet, harga kayu jabon dalam satu hektarenya bisa Rp750 juta. Kita nggak usalah mengharap yang seperti itu, kalau satu hektarenya bisa Rp250 juta saja masyarakat sudah untung,” ujar Tohaji, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kebun Bibit Rakyat Dinas Kehutahanan Pelalawan yang hari itu bersama Riau Pos dan rombongan mengunjungi KBR di Kabupaten Pelalawan.

Hitung-hitungannya, menurut Tohaji, diambil dari harga satu kubik kayu harganya Rp1-1,5 juta. Di dalam satu hektare bisa ditanam dengan jarak 4 x 5 meter. Berarti dalam 1 ha bisa 500 batang. Satu pohon satu kubik. Dengan demikian dalam jangka waktu lima tahun, masyarakat bisa mendapatkan uang ratusan juta.

Sementara modal masyarakat tidak terlalu besar. Hanya dibutuhkan perawatan selama satu tahun. Kemudian jabon sudah bisa mandiri. Tidak seperti sawit yang harus dipupuk dan dirawat terus menerus.

Dengan keunggulan itulah, maka ketika ada program Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Kementerian Kehutanan melalui Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, pembibitkan jabon menjadi pilihan masyarakatnya.

Dari dua KBR yang Riau Pos kunjungi hari itu, yaitu KBR Dejabon di Desa Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan Pangkalankerinci dan KBR Ma’cik Manja di Kelurahan Pangkalan Bunut, Kecamatan Bunut terlihat dua-duanya membibitkan jabon. Walaupun KBR Ma’Cik Manja tidak semuanya, mereka hanya membibitkan sekitar 15 ribu batang. Alasannya, kata Ketua Kelompok Pengelola Syamsi Nurdin, belum terlalu ahli membibitkan jabon.

Untuk melihat prospek jabon, Riau Pos juga diajak berkunjung ke kantor perwakilan PT Arjuna Perdana Mahkota Plywood di Pelalawan, sebuah perusahaan yang siap menampung kayu jabon dari masyarakat. Di kantor sederhana itu, Riau Pos melihat bagaimana pintu, meja, kursi dan triplek yang terbuat dari kayu jabon. Warna kayunya putih kekuning-kuningan. Kalau diangkat, kayunya cukup ringan. Selain itu di bagian depan juga terlihat contoh pohon jabon berumur dua tahun. Pohon itu sudah dipotong bagian atasnya, sehingga yang tertinggal bagian bawah dan sedikit pangkal akar. Diameter kayunya sekitar 10-15 Cm.

“Wah, kalau kayu Meranti ni, umurnya sudah sekitar puluhan tahun,” ujar Wiwit dari BPDAS Indragiri Rokan yang ikut serta berkunjung. Pohon jabon memang cukup luar biasa cepat besarnya. Di dalam brosur PT Arjuna, terlihat gambar pohon jabon yang tengah dipeluk seorang pria dewasa. Tercatat di bawahnya, pohon jabon umur lima tahun.

Sebelum ke Pelalawan, Riau Pos juga sempat menyaksikan pohon jabon di halaman samping Kantor BPDAS Indragiri Rokan. Pohon jabon yang berumur dua tahun itu, tingginya sekitar 10-12 meter. Pohonnya tinggi lurus dengan bentuk daun lebar seperti jati.

Pohon ini digadang-gadangkan menjadi bahan baku plywood masa depan. Pasalnya, menurut Tohaji, saat uji coba pembuatan plywood dari pohon jabon umur 3 tahun terlihat bagaimana kayu pohon ini tidak retak. “Kayu jabon tak banyak matanya, jadi tidak pecah bahkan sampai ke bagian akhir kayu,” ujar Tohaji.
***

Jabon menjadi salah satu jenis pohon yang dapat dipilih masyarakat untuk dibibitkan dalam program KBR. Program KBR sendiri, menurut Kepala BPDAS Indragiri Rokan Achmad Wratsongko, Rabu (22/12), merupakan bagian dari program menanam satu miliar pohon atau yang dikenal juga dengan One Billion Indonesian Trees for The World (OBIT). Program itu untuk mencapai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen. Dengan dasar hukum Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010.

“Untuk mencapai target penanaman satu miliar pohon tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi massa saja, tetapi harus melibatkan semua pihak. Untuk itulah masyarakat luas juga dilibatkan. Agar ada rasa kepemilikian, maka penyediaan bibitnya dilaksanakan oleh masyarakat. Dengan cara alih kelola melalui kelompok pengelola yang nantinya dapat menyediakan bibit untuk kebutuhan masyarakat,” papar Achmad.

Tiap-tiap unit kelompok pengelola diberikan bantuan dana sebanyak Rp50 juta namun dengan konsekwensi harus menyediakan minimal 50.000 bibit sesuai dengan keinginan masyarakat atau anggota kelompok. Dengan demikian, masyarakat tersebut, mau menanam bibit-bibit itu yang kepemilikan dan manfaatnya menjadi hak milik yang menanam dan memelihara bibit tersebut.

Dengan demikian lewat program itu sudah tertanam sekitar 400 juta pohon baru yang ditanam secara swadaya oleh masyarakat. Baik di lahan kritis, lahan tidak produktif, lahan kosong, fasilitas umum, sekolah atau yang lainnya.

“Di seluruh Indonesia dibentuk 8.000 unit kelompok pengelola. Jadi total dana yang disediakan pemerintah Rp4 miliar. Diambil dari anggaran APBNP (Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Ini merupakan kesepakatan Menteri Kehutanan dan DPRRI,” lanjut Achmad menerangkan tentang program ini.

Selanjutnya di Riau sendiri, menurut Achmad ada 128 unit KBR yang tersebar di tujuh kabupaten di Riau. Ketujuh kabupaten itu adalah Rokan Hulu, Pelalawan, Siak, Bengkalis, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Kepulauan Meranti.

“Wilayah kerja kita sebenarnya sampai ke Sumatera Barat. Jadi totalnya sebenarnya ada 242 unit. Jadi 128 di Riau dan 118 di Sumatera Barat. Kegiatan itu juga dilaksanakan di tujuh kabupaten di Sumatera Barat yakni Payakumbuh, Sijunjung, Limapuluhkota, Sawahlunto, Tanahdatar, Kota Solok, dan Kabupaten Solok,” ujarnya.

Selanjutnya Heri Soleh, Kasi Program BPDAS Indragiri Rokan, menjelaskan bahwa program KBR baru mulai berlaku pada Oktober 2010. Dengan masa pembibitan selama tiga bulan. Dengan demikian, bibit-bibit tersebut dapat ditanam pada tahun 2011.
Mengenai pembayaran KBR tersebut langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) ke rekening kelompok pengelola. Jadi tidak singgah ke mana-mana namun langsung ke rekening kelompok.

Selanjutnya, Heri menjelaskan bahwa pembayaraan KBR dilakukan secara bertahap. “Awalnya diberikan Rp15 juta sebagai DP, selanjutnya diberikan sebesar 60 persen jika pelaksanaan program pembibitan sudah 60 persen. Selanjutnya diberikan sisanya yang 40 persen jika sudah dilaksanakan tuntas,” jelasnya.

Tentang manfaatkan program KBR tersebut, menurut Pramono, sangat mereka rasakan. Menurutnya itu menjadi tambahan modal bagi upaya bertanam jabon yang mereka laksanakan. “Kalau saat ini, sebenarnya untuk membibitkan jabon dengan nilai Rp1.000 per bibit (Rp50 juta dibagi 50.000 bibit) sebenarnya rugi. Namun untuk jangka panjang baru menguntungkan. Saat bibit-bibit jabon ini sudah tumbuh dan bisa dipanen,” ulasnya

Hal senada juga diungkapkan Syamsi Nurdin, Ketua Kelompok Pengelola KBR Ma’cik Manja yang mengembangkan bibit karet dan jabon. “Kalau hitung-hitungan harga bibit karet, untuk stek belum diapa-apakan (belum dimasukkan ke polybag dan dirawat) saja sudah Rp3.000,” ujarnya.

Namun mereka berdua tetap bersyukur dengan adanya program tersebut. Setidaknya membantu dalam menyediakan bibit bagi kebutuhan masyarakat untuk melakukan gerakan penghijauan. Sekaligus juga meningkatkan perekonomian masyarakat karena bibit yang ditanam dipulangkan kembali untuk masyarakat yang menjadi anggota kelompok atau menanam dan merawatnya.***

Minggu, 19 Desember 2010

Tahura SSH, Baru Cuma Bisa Pungut Sampah

Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Ibarat pepatah itulah yang menggambarkan keberadaan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim (SSH) yang terletak 20 km dari pusat Kota Pekanbaru. Harta karun seluas 6.172 Ha itu potensinya diabaikan.


Laporan Andi Noviriyanti, Minas andinoviriyanti@riaupos.com

Waktu yang paling tepat berjalan-jalan atau jogging di dalam hutan ternyata bukan di pagi hari. Tapi justru menjelang siang. Pasalnya, di saat itulah oksigen sedang diproduksi sebanyak-banyaknya oleh tumbuhan. Sehingga orang yang sedang jogging bisa menikmati oksigen bersih. Apalagi suasana hutan tetap dingin, meskipun matahari sudah meninggi. Sementara jika jogging dilakukan di pagi hari, maka kita akan berebut oksigen dengan tumbuhan.

Begitu, M Murod, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura SSH menjelaskan kepada Riau Pos, Rabu (15/12) siang, saat bersama-sama menyusuri jogging track di dalam Tahura. Jogging track seperti yang kami lalui itu menyebar di beberapa tempat. Total panjangnya empat kilometer dan diperuntukkan bagi pengunjung Tahura SSH yang ingin olahraga sehat.

Tahura SSH menurut Murod sangat potensial.

Pasalnya tak banyak lagi hutan alam yang cukup luas dan posisinya tak jauh dari pusat Kota Pekanbaru. Hanya butuh waktu 20 – 30 menit untuk bisa menikmati hutan alam yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati itu. Tercatat ada 127 flora dan 42 fauna. Beberapa di antaranya merupakan fauna dan flora langka. Misalnya beruang madu, harimau Sumatera, tapir, burung srigunting.

Di dalam Tahura sendiri, saat menyusurinya bersama Murod, Roni Samudra, dan Sarmaidi Sinaga dari UPT Tahura, Riau Pos, melihat cukup banyak fasilitas yang sudah tersedia. Misalnya guest house dengan tujuh kamar, pusat informasi, pendopo, gazebo, musala, areal tempat bermain, lapangan luas dan bumi perkemahan.

Selain itu ada fasilitas jalan menuju bumi perkemahan Pramuka, Pusat Latihan Gajah (PLG), dan Danau Tahura. Bahkan, Riau Pos, juga melihat kini ada pelebaran jalan jalan pasir batu (sirtu) agar bisa dilalui dua kendaraan roda empat untuk dapat berselisih.

“Wah, potensinya luar biasa juga,” ujar Riau Pos berkomentar saat menyusuri Tahura SSH dan menyinggahi sejumlah fasilitas yang ada di dalamnya. Namun, mengapa Tahura SSH tidak populer menjadi tempat kunjungan wisata? “Ya, belum banyak yang berkunjung. Kita memang sengaja tidak mempromosikan Tahura ini.

Pasalnya saat ini, Tahura cuma bisa memungut sampah,” ujar Murod. “Loh kok?” tanya Riau Pos penasaran.

Murod kemudian menghentikan langkahnya. Dia menunjukkan sampah-sampah yang berada di tepian jogging track yang kami temui. Di sana terlihat ada bungkusan permen, rokok, kue coklat, dan aneka pengemas makanan kecil lainnya.

“Semakin banyak yang masuk, pasti semakin banyakkan sampah yang mereka tinggalkan. Kita tidak dapat apa-apa dari pengunjung. Tahura SSH cuma bisa pungut sampah. Karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) Restribusi tentang pemanfaatan dan pengelolaan Tahura SSH,” ujarnya.

***
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf, berkali-kali menyatakan bahwa Tahura SSH bisa menjadi ikon wisata Riau. Setidaknya, menurut Zulkifli, Tahura sudah memiliki site plan, rencana pengelolaan tahura, master plan Tahura, detail engenering design (DED) untuk taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman Ilmu Pengetahutan dan Teknologi (IPTEK). Hanya saja, setakat ini, site plan dan dokumen lainnya itu hanyalah berkas bisu.

Belum ada political will yang kuat untuk mengembangkan Tahura SSH sesuai dengan master plan yang telah dibuat. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari minimnya anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk Tahura SSH. “APBD yang ada baru cukup untuk menggaji pegawai saja,” ujarnya.

Menurut Kadishut, Tahura hanya dianggarkan sekitar Rp200 juta setahunnya. Dengan dana itu, tentu tak banyak yang bisa dilakukan untuk pengembangkan Tahura. Mereka sebenarnya sudah berusaha menggali upaya alternatif lainnya untuk tidak bergantung kepada APBD semata.

Misalnya dengan menyurati perusahaan-perusahaan yang ada di Riau untuk ambil bagian dalam membantu mengembangkan Tahura. Misalnya saja, kini mereka mendapatkan bantuan perbaikan dan pelebaran jalan sirtu di jalan utama tahura menuju bumi perkemahan yang terdapat di dalamnya. Namun tentu saja, itu belum cukup.

Masih diperlukan perhatian daerah untuk mengembangkan potensi Tahura, terutama untuk kepentingan ekowisata.

Namun, sebelum berbicara tentang pengembangan ekowisata di Tahura SSH, ada yang terlebih dahulu harus segera diselesaikan. Yakni meluluskan Peraturan Daerah tentang tentang Restribusi Pemanfaatan dan Pengelolaan Tahura SSH, sebagai dasar agar Tahura SSH tidak sekadar cuma bisa memungut sampah.

“Draf Perda telah diajukan ke Pemerintah Provinsi Riau dan kini sedang dalam pengajuan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Saya berharap, tahun 2011 ini, Perda tersebut menjadi prioritas pembahasan di DPRD,” ujar Zulkifli.

***

Potensi wisata seperti apa saja yang bisa dibangun dan layak dikembangkan di Tahura? Kepala UPT SSH Murod menjelaskan bahwa wilayah Tahura SSH cukup luas. Malah jauh lebih luas dari Tahura Ir H Djuanda di Bandung (500-an Ha) dan Kebun Raya Bogor (87 Ha). “Walaupun saat ini, ada pencaplokan atau perambahan wilayah Tahura yang sedang terus kita tertibkan, namun untuk wilayah virgin forest saja (yang terjaga dengan baik) ada 2.300 Ha. Itu artinya masih cukup luas,” papar Murod.

Murod juga menjelaskan bahwa Tahura SSH telah dibagi dalam tiga zonasi, yakni zonasi perlindungan, zonasi pemanfaatan, dan zonasi rehabilitasi. Di zona pemanfaatan dan rehabilitasilah, potensi wisata bisa dibangun. Untuk membangun potensi wisata di kawasan itu, menurut Murod, diperlukan investasi Pemerintah Daerah. Kalau saja, Pemda mau menginvestasikan dananya Rp5 miliar saja tiap tahun, untuk mengembangkan potensi wisata di tempat ini, maka dalam waktu 2 s/d 3 tahun saja investasi itu sudah bisa kembali.

Misalnya saja, menurut Murod, dengan membangun fasilitas cotage-cotage di tepian danau Tahura, penyediaan faslitas outbound, paintball, flying fox, dan lainnya. Menurutnya, yang cukup potensial adalah permainan paintball. Permainan simulasi peperangan dengan menggunakan peluru cat tersebut saat ini sangat tren.

“Di Bandung permainan ini sangat tren. Orang-orang Cina gemar sekali bermain ini. Sekali main Rp300 ribu. Di Tahura dengan memanfaatkan areal seluas 500 haHsaja, bisa dibuat lima kelompok paintball,” ujarnya. Sebagai informasi, paintball ini biasanya ditawarkan dengan harga Rp100-350 ribu, bahkan sampai Rp700 ribu bila menginap untuk per orangnya. Dengan jumlah minimal peserta 30-40 orang. Jadi bisa dibayangkan pendapatan yang bisa diraih dari salah satu sektor ini saja.

***

Menurut Ari S Suhandi, Direktur Eksekutif Indonesian Ecotourism Center (Indecon), Sabtu (18/12), peluang tentang pengembangan ekowisata Tahura SSH di Riau memang sudah patut. Pasalnya Riau memiliki potensi pasar.

“Selama ini saya perhatikan, masyarakat Riau pasti keluar daerah ataupun ke luar negeri untuk berwisata. Nah, mereka itu bisa ditangkap sebagai pasar. Apalagi dengan isu perubahan iklim, wisata ke hutan saat ini menjadi tren. Namun tentunya, harus di kemas dengan baik,” ujarnya.

Pengembangan potensi wisata Tahura, bisa disinergikan dengan investor, perusahaan swasta, pemerintah daerah sendiri, maupun bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Kepariwisataan. Untuk pemerintah daerah, memang tidak perlu langsung jor-joran. Tetapi dilakukan secara multiyears.

Misalnya untuk menbangun taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman IPTEK. Sementara itu, dalam waktu dekat untuk mendorong aktivitas wisata di dalamnya bisa dibangun kegiatan-kegiatan low cost, high value (biaya rendah, namun manfaatnya tinggi).

“Misalnya pembangunan flying fox yang dananya sekitar Rp30-40 juta. Pembangunan jogging track, track untuk sepeda, ataupun track untuk pendidikan. Untuk track pendidikan, yang diperlukannya hanya pembangunan human resource-nya,” papar Ary.

Senada dengan Ary, Direktur Eksekutif Green Economic Research and Lifestyle (Greenomict) Indonesia Elfian Effendi juga mengungkapkan track pendidikan atau wisata pendidikan paling pas dikembangkan di Tahura SSH. Menurutnya saat ini sedang trend kegiatan ekstrakurikuler lingkungan di sekolah-sekolah yang melakukan kunjungan-kunjungan ke hutan.

“Saya pikir itu bisa juga dikembangkan di sekolah-sekolah di Riau terutama di Pekanbaru. Di sana para siswa belajar tentang berapa umur pohon, jenis-jenisnya dan lain sebagainya. Intinya mendekatkan siswa kepada hutan alam,” ujarnya.

Sebagai wisata pendidikan, maka menurut Ary dan Elfian, tidak ada alasan bagi DPRD untuk tidak mengakomodir pengembangan Tahura sebagai sarana pendidikan. Sekaligus juga dalam mendorong peran serta program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk membantu mengembangkan Tahura.***

Selasa, 30 November 2010

Hasil Penilaian PROPER 2010 untuk Perusahaan di Riau

Dua Hijau, 25 Biru dan Delapan Merah

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jumat (27/11), secara resmi mengumumkan hasil penilaian kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan atau dikenal dengan PROPER. Hasilnya untuk perusahaan-perusahaan di Riau yang ikut dalam penilaian ini, dua mendapat prediket hijau, 25 biru dan delapan merah.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Dua perusahaan yang mendapatkan prediket hijau pada penilaian PROPER 2010 adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Medco E dan P Indonesia Blok Kampar (Lirik). Artinya, sesuai dengan buku panduan PROPER, perusahaan ini dinilai telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih baik dari yang dipersyaraatkan dalam peraturan melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien melalui upaya 4R (Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery) dan melakukan upaya tanggung jawab sosial (CSR/Comdev) dengan baik. Sementara itu yang mendapatkan peringkat biru ada 25 perusahaan. Mereka di antaranya adalah PTPN V Unit Sei Lindai Karet, PT Tirta Sari Surya Karet, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Pulai Sambu Guntung Minyak Kelapa, PT Adei Plantation, PT Aneka Inti Persada – Teluk Siak Factory Sawit, PT Eka Dura Indonesia, PT Indonsawit Subur II – Buatan II. Selanjutnya PT Ivo Mas Tunggal – PKS Sam-sam, PT Mitra Unggul Pusaka, PT Sari Lembah Subur 1 – PKS Ukui, PT Indah Kiat Pulp and Paper – Perawang, PT Kondur Petroleum S.A. dan lainnya.

Para perusahaan dengan prediket biru ini merupakan perusahaan yang usaha atau kegiatannya telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya untuk prediket merah ada delapan perusahaan. Kedelapan perusahaan itu adalah PTPN V PKS Sei Tapung (Rokan Hulu), PTPN V Unit Sei Galuh (Kampar), PT Sinar Perdana Caraka (Rokan hilir), PT Tor Ganda PKS Rantau Kasai (Rokan Hilir), PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) – Sumatera Light North (Siak, Bengkalis, Rojan Hulu dan Rokan Hilir), PT CPI – Sumatera Light South (Siak), PT CPI – Heavy Oil (Bengkalis) dan PT Pertamina (Persero) RU II – Kilang (Sei Pakning).

Perusahaan-perusahaan dengan prediket merah ini merupakan perusahaan yang pengelolaan lingkungannya belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan prundang-undangan dan dalam tahapan melaksanakan sanksi administrasi. Dalam penilaian PROPER tahun 2009/2010 di bagi dalam lima kategori, yakni emas, hijau, biru, merah, dan hitam. Emas merupakan peringkat terbaik. Di mana usaha dan kegiatan lingkungannya telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dan proses produksi maupun jasa serta melaksanakan bisnis beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Sementara hitam untuk perusahaan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran peraturan dan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Menteri Lingkungan Hidup (MenLH)Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta MS dalam siaran persnya yang dilangsir dalam situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup, kemarin, menegaskan bahwa perusahaan yang mendapat peringkat hitam akan dilanjutkan dengan proses penegakan hukum untuk memberikan efek jera. Selanjutnya MenLH menjelaskan salah satu dampak positif dari PROPER adalah bahwa dunia perbankan melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, peringkat PROPER dijadikan sebagai salah satu aspek pertimbangan dalam proses pemberian kredit kepada perusahaan. Perusahaan yang berperingkat baik akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan kredit, sedangkan perusahaan yang mendapat peringkat buruk akan lebih sulit untuk mendapat kredit dari bank. Saat ini, PROPER juga merupakan salah satu syarat dalam menentukan Key Performance Indicator Management di banyak perusahaan.
Menanggapi tentang telah dikeluarkannya penilaian perusahaan oleh KLH, Kepala Badan Lingkungan Hidup Fadrizal Labay, kemarin, menyatakan selamat untuk perusahaan yang telah mendapatkan prediket biru dan hijau. Dia berharap dapat lebih ditingkatkan, sehingga ada perusahaan di Riau yang mendapatkan prediket emas dan yang biru naik ke hijau. Sementara untuk yang mendapatkan prediket merah, agar memperbaiki kinerja mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup.***


Jumat, 26 November 2010

50 Green Student Ikuti Happy Hiking in Chevron




50 Green Student binaan Save The Earth Foundation (SEFo) Riau Pos, baik yang berasal dari Green Student Journalist (GSJ) maupun Green Student Ambassador (GSA), Sabtu (20/11) hingga Ahad (21/11) ini mengikuti kegiatan Happy Hiking in Chevron (H2C).

Laporan Andi Noviriyanti dan Rul GSJ, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com


Sabtu (20/11) sore, ruang rapat redaksi Kantor Riau Pos mulai dipadati oleh para Green Student yang datang dari berbagai daerah di Riau. Para Green Student tersebut berkumpul untuk saling mengenal, mendapatkan pembekalan program Green Student, sekaligus persiapan untuk pelaksanaan kegiatan H2C, di Nature Park Rumbai, Kompleks PT CPI, Ahad (21/11).

Menurut Koordinator Green Student Ivit Sutia, Sabtu (20/11) disela-sela acara, ada 50 orang Green Student yang ikut serta dalam acara tersebut. Dari 50 peserta yang ada, tambahnya, 20 orang merupakan perwakilan green student dari luar kota Pekanbaru, yakni dari Pelalawan, Kampar dan Siak.

Peserta dari luar kota yang terbanyak berasal dari Kabupaten Siak yakni sepuluh orang. Kemudian dari Pelalwan tujuh orang dan dari Kampar ada tiga orang. Masing-masing peserta dari luar kota tersebut, menurutnya, telah melewati penyeleksian yang ketat.

“Untuk bisa mengikuti hiking ini para peserta harus melewati beberapa tahap. Peserta harus mengisi formulir yang disediakan oleh panitia dari SEFo Riau Pos. Kemudian mengisi beberapa quisioner yang berhubungan dengan pengetahuan lingkungan, komunitas Green Student dan PT CPI,” ujar mahasiswi Fisipol Universitas Riau ini.

Saat menerima formulir aplikasi, menurut Tya, panggilan akrab Ivit Sutia, panitia menerima cukup banyak aplikasi. Namun karena jumlah peserta dibatasi hanya 50 orang, maka jawaban-jawaban yang mereka kirim dalam quisioner menjadi penentu keikutsertaan mereka.

Sejumlah green student yang terpilih dalam kegiatan itu mengaku senang dapat terpilih menjadi satu dari 50 peserta H2C. Misalnya Fuad Reaka dari GSJ Siak. “Wah, senang sekali bisa ikut H2C. Saya ingin menambah pengalaman, bisa mengenal PT CPI dan menambah teman,” ucap Ahmad Fuad Fuad kepada Riau Pos.

Menurut Fuat, begitu biasa dia dipanggil mengatakan bahwa banyak teman-temannya dari Siak yang ikut aplikasi H2C. Tetapi tidak semuanya seberuntung dirinya. Hanya ada tujuh orang dari Siak yang bisa ikut mengunjungi hutan konservasi PT CPI tersebut.

Begitu juga dengan Waritsa Nur Fadhilah Green Student dari SMAN 9 Pekanbaru mengaku sangat terkejut ketika mengetahui dirinya lolos seleksi. “Nggak nyangka, saya pikir saya sudah nggak diterima lagi, karena saya mengirim formulir nya sudah pada detik-detik penutupan pendaftaran, kemarin saya sudah pasrah saja kalau nggak bisa ikut kegiatan ini, wah saya sudah tidak sabar nih untuk mengunjungi hutan PT CPI,” ujar Icha, panggilan akrabnya.

Rasa antusias terhadap kegiatan ini juga diungkapkan oleh Teguh Budianto, Koordinator GSA, sekaligus peserta. Dia mengatakan jika kegiatan-kegiatan seperti itu adalah salah satu cara unutk mendekatkan diri dengan alam dan meningkatkan rasa peduli dengan alam sekitar.

“Saya rasa H2C ini memberikan inspirasi bagi Green Student dalam menjalankan misi-misi kelestarian alamnya. Selain itu hutan PT CPI Rumbai bisa dijadikan percontohan pembangunan kawasan hijau yang tertata dengan baik,” ungkap Teguh.
Sementara itu Habib, salah satu GSJ Siak yang tidak bisa mengikuti H2C mengaku sangat sedih bercampur emosi ketika menerima pemberitahuan bahwa dirinya tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut.

“Saya sudah sangat berharap bisa ikut, ternyata tidak lolos seleksi. Sedih, campur sama ingin marah. Padahal sekarang kan saya sudah kelas tiga, bisa jadi ini kegiatan terakhir yang bisa saya ikuti. Bulan-bulan ke depan pasti sudah sibuk mempersiapkan ujian,” ucapnya sedih.

Menurut Humas PT CPI, Okta Heri Fandi, kegiatan H2C tersebut bertujuan untuk menunjukkan pentingnya pelestarian hutan dalam rangka melindungi keanekaragaman hayati dan menumbuhkan rasa cinta lingkungan di kalangan generasi muda.

“Kegiatan ini juga ingin menunjukkan kepada Green Student bahwa harmonisasi manusia dan lingkungan dapat menciptakan lingkungan tinggal yang asri dan segar,” jelasnya.
Selain itu PT CPI sengaja memilih Green Student untuk kegiatan ini karena Green Student dinilai sebagai target yang tepat, dari segi minat, tingkat kepedulian, maupun ketertarikan terhadap hutan lebih tinggi dibandingkan komunitas-komunitas remaja yang lain.

“Green Student merupakn aset masa depan Riau di bidang lingkungan karena mereka kelak bisa saja jadi aktivis lingkungan, jurnalis, atau bahkan jadi pejabat. Dengan edukasi seperti ini diharapkan dapat terus menempel di kepala mereka,”papar Okta.
Selanjutnya mengenai agenda kegiatan, menurut Tya, dimulai dengan pembekalan sore itu. Dilanjutnya pada pukul 16.00 peserta dari luar daerah diberangkatkan ke Rumbai. Mereka Sabtu malam itu juga mendapatkan sedikit pembekalan tentang geologi oleh PT CPI.

Sementara untuk acara Ahad, tambah Tya, dimulai dengan memberangkat peserta dari Kota Pekanbaru dari Gedung Riau Pos, terus pembekalan dari Departement HES CPI, Ecology Club, dan presentasi tentang Nature Park Rumbai. Barulah kemudian ditutup dengan kegiatan hiking di West Park, Nature Park Rumbai. (Asrul Rahmawati – GSJ dari UMRI).

Jumat, 12 November 2010

Penting Eksistensi FORDAS: Memikirkan Secara Utuh

Sungai-sungai itu membentang tanpa mengenal batas wilayah administrasi ataupun kepentingan pemanfaatannya. Ia hanya mengalir dari hulu ke hilir dan berkelok sesuai lekukannya yang telah menjadi kodrat alam. Oleh karena itu pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pun tak bisa dilakukan hanya berdasarkan batas wilayah administrasi ataupun kepentingnya. Namun harus dikelola secara utuh. Nah, siapa yang bisa melakukan itu?

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com



Lima tahun lalu, Prof Naik Sinukaban, telah memperingatkan kepada Pemerintah DKI Jakarta, bahwa solusi untuk mengatasi banjir Jakarta bukanlah membangun banjir kanal timur yang saat itu menelan biaya sekitar Rp4,2 Triliun. Tetapi bagaimana upaya mengurangi jumlah air permukaan yang terbuang sia-sia karena rendahnya infiltrasi air ke dalam tanah. Namun saran itu tak digubris, hingga akhirnya banjir di ibukota negara Indonesia itu terus berulang. Terakhir Oktober 2010 kemarin, Jakarta seperti lumpuh. Air menggenang kemana-mana, padahal serbuhan air hujan saat itu tidak bisa dibilang terlalu luar biasa.

Mengapa banjir di Jakarta tidak bisa diatasi, meskipun telah dibangun drainase berbiaya triliunan tersebut? Jawabannya sederhana, karena pemerintah Jakarta hanya berusaha menyelesaikan persoalan banjir akibat luapan air Sungai Ciliwung tersebut di daerah hilirnya saja.

“Mengurus sungai itu tak bisa sepotong-sepotong. Sehebat apapun upaya Pemerintah Jakarta untuk mengatasi luapan air Sungai Ciliwung di hilir, maka tidak akan pernah berhasil. Bila tidak ada upaya untuk mengatasi persoalan di hulu Sungai Ciliwung,” ujar Sinukaban, saat menjadi pemateri dalam rapat internal Forum DAS Riau yang bertema Konsolidasi Forum DAS Riau Menuju Upaya Revitalisasi Organisasi, Kamis (4/11) lalu di Hotel Pangeran.

Lebih baik, kata Sinukaban, dana sebesar Rp 4,2 Triliun tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan infiltrasi (masuknya air hujan ke dalam tanah) di daerah hulu. Baik melalui kegiatan penghijauan dan pemelihaan pohon di daerah hulu ataupun memperbaiki sistem pengairan pertanian. Sehingga tingkat run off air permukaan tidak tinggi, seperti yang saat ini terjadi. “Sekitar 85 persen air hujan yang turun hanya menjadi air yang terbuang percuma. Hanya sekitar 15 persen yang masuk ke dalam tanah. Itu sebabnya di saat hujan kita kebanjiran, sementara di musim kemarau kekeringan,” papar guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Meskipun secara ideal itu bisa dilakukan, namun kenyataan, dalam teknis lapangan sangat sulit.

Pasalnya, tidak mungkin Pemerintah DKI Jakarta melakukan penghijauan di daerah Jawa Barat. Oleh karena itulah, menurut Wakil Ketua FORDAS Nasional ini, diperlukan adanya instansi atau lembaga yang bisa memikirkan persoalan DAS secara utuh.
“Di Indonesia, tidak ada satupun instansi atau lembaga yang menangani pengelolaan DAS dari hulu ke hilir. Untuk itulah diperlukan suatu lembaga yang mampu menjembati persoalan-persoalan ini. Dan itu bisa dilaksanakan oleh FORDAS,” ungkapnya.

FORDAS, tambahnya, merupakan forum koordinasi multipihak berbasis komitmen bersama yang kuat untuk mengelola ekosistem DAS secara profesional, transparan, partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan. Dibentuk untuk menjembatani dan mengoptimalkan keterlibatan para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu. Semua itu, terangnya, dalam rangka membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan menyusun pengelolaan DAS secara terpadu. Termasuk memberikan pertimbangan dalam melaksanakan pengelolaan DAS, pemantauan penggunaan atau pemanfaatan sumber daya alam DAS dan membantu evaluasi kondisi DAS.

Sayangnya, meskipun peranan FORDAS sangat penting, namun kenyataannya di Riau, FORDAS belum mampu mengambil peran strategis tersebut.
Hal itu diakui oleh Ketua FORDAS Siak Prof Adnan Kasri dan Ketua FORDAS Riau Dr Mubarak dalam rapat tersebut. Lemahnya dukungan pemerintah dan belum dipahami eksistensi dari FORDAS membuat kedua forum ini mengalami stagnasi.

Bahkan, Mardianto Manan, dalam rapat tersebut, mengungkapkan FORDAS Riau hanya bisa bergerak alias melakukan kegiatan jika ada kegiatan dan dana yang diberikan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan.

Persoalan lainnya yang juga menjadi duri dalam daging saat ini, adalah belum adanya legalitas dari FORDAS. Meskipun FORDAS di Riau termasuk si sulung di Indonesia, namun sampai saat ini, lembaga ini tidak pernah di SK-kan Gubernur seperti FORDAS lainnya di Indonesia yang lebih muda umurnya.

Untuk itulah, menurut Mubarak, rapat internal hari itu digelar. Untuk melakukan revitalisasi terhadap keberadaan FORDAS di Riau. Sekaligus melihat bagaimana perkembangan FORDAS lainnya di Indonesia melalui narasumber yang datang.

Salah satu FORDAS yang cukup berhasil di Indonesia, menurut Sinukaban adalah FORDAS Cidanau, di daerah Cilegon. FORDAS itu, katanya, mampu membuat mekanisme pembayaran bagi masyarakat petani yang melakukan pemeliharaan pohon di daerah hulu DAS Cidanau.
“Mereka mampu mendorong Perusahaan Krakatau Tirta Industri yang memanfaatkan air Cidanau untuk membayar air yang mereka manfaatkan. Nah, hal itulah juga yang seharusnya dikembangkan oleh FORDAS-FORDAS lainnya dalam menjaga keberlanjutan sungai-sungai di Indonesia,” ungkap Sinukaban.
Semoga saja, FORDAS Siak dan FORDAS Riau ke depan mampu menunjukkan eksistensinya.***


Jumat, 05 November 2010

Daerah Pinggiran Jadi Pusat Endemik Diare

Waspada, Cuaca Ekstrim Rentan Peningkatan Penyakit Diare

Fluktuasi cuaca yang ekstrim menimbulkan pengaruh terhadap kondisi kesehatan manuasia. Situasi ini sering terlihat dari tingginya angka penyakit berbasis ekosistem di masyarakat, khususnya di daerah pinggiran.

Laporan Marriokisaz, Kota Marriokisaz@riaupos.com


Akhir tahun selalu identik dengan musim penghujan, argumen ini tidak lagi menjadi patokan bagi sejumlah masyarakat dan para ahli. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang yang sering mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya aktifitas manusia.

Kondisi itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Di mana imbas yang paling dapat dirasakan adalah meningkatnya intensitas penyakit berbasis ekositem, seperti diare, demam berdarah, penyakit kulit dan penyakit lainnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dr Dahril Darwis kepada Riau Pos, pekan ini, mengatakan kondisi kesehatan masyarakat sangat berpengaruh dari kondisi cuaca dan pola hidup masyarakat. Dia memberikan contoh penyakit diare, di mana salah satu faktor penyebabnya peningkatan penyakit diare adalah kondisi cuaca yang ekstrim. Hal itu karena meningkatnya intensitas curah hujau atau tingginya suhu udara yang menyebabkan kualitas lingkungan menurun.

Menurutnya, untuk di Kota Pekanbaru tren penyakit berbasis ekosistem seperti diare cenderung tidak mengalami peningkatan yang siknifikan. Namun peningkatan sering terjadi saat cuaca ekstrim dan masyarakat tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat kondisi ini sering dirasakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah pinggiran.
‘’Daerah pinggiran memang tergolong daerah endemik diare. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah pinggiran lebih sering melakukan kontak langsung terhadap lingkungan. Namun ini dapat diantisipasi dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, apalagi saat cuaca ekstrim,’’ ujarnya.

Dia menambahkan penyakit diare pada dasarnya merupakan penyakit yang diketahui dari gejala buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua

Kondisi tersebut disebabkan karena beberapa factor, seperti infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan maupun air minum, infeksi berbagai macam virus, alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung susu) dan parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare.

Sedangkan untuk di Kota Pekanbaru terlihat daerah-daerah pinggiran yang dekat dengan aliran sungai memang ditemukan kasus diare yang cukup tinggi. Seperti di Kecamatan Rumbai, Senapelan dan Rumbai Pesisir. Dari data yang dihimpun di Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru diketahui dari bulan Juni hingga Agustus tidak terlihat tren peningkatan atau penurunan yang siknifikan. Hanya saja kasus diare masih sering ditemukan di daerah pinggiran. Pada bulan Juni ditemukan kasus diare sebanyak 869 kasus, bulan Juli 679 dan Agustus 725 kasus diare.

Contoh kasus di Puskesmas Muara Fajar Kecamatan Rumbai. Di mana sekitar 114 orang pasien dirawat. Sebagian besar pasien didominasi oleh warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak.

Kejadian luar biasa dialami sejak awal Oktober 2010 itu, tidak sempat menelan korban jiwa. Penyebab diare diduga berasal dari sanitasi yang tidak sehat. Warga sekitar sungai Siak masih banyak yang memanfaatkan air sungai Siak yang kini sudah tercemar, baik untuk mandi, cuci, kakus.

‘’Kami pernah mengambil sampel air, apakah betul air yang menyebabkan mereka diare kita juga belum bisa memastikan. Sejak awal Oktober pasien diare yang berobat di puskesmas 114 orang dari dewasa dan anak-anak, bulan September sebelumnya hanya 50 an pasien diare,’’ ucap Yeti salah seorang petugas informasi di Puskesmas Muara Fajar ketika di temui Riau Pos belum lama ini.

Ia mengatakan, meningkatkan pasien diare di bulan Oktober itu terjadi saat ketika cuaca ekstrim saat musim banjir yang melanda di perumahaan warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak beberapa pekan lalu. Air banjir menurut Yati tercemar bakteri e. coli yang berasal dari kotoran, baik kotoran hewan dan manusia. Bakteri itu dapat menular jika di konsumsi manusia.

Harja (45), salah satu warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak Jalan Nelayan Ujung Kecamatan Rumbai, mengaku tiap hari masih menggunakan air Sungai Siak untuk keperluan pribadi, baik mandi, mencuci, maupun buang hajat. Dia mengaku tidak memiliki pilihan selain menggunakan air Sungai Siak.

‘’Sumur disini untuk ramai-ramai, kalau sudah kering banyak juga warga yang memanfaatkan air sungai siak. Warga yang banyak uang tentu bisa beli air isi ulang untuk di konsumsi,’’ katanya kepada Riau Pos.

Menanggapi hal tersebut Pengamat Lingkungan Riau Prof Rifardi kepada Riau Pos mengatakan pengaruh perubahan cuaca secara tidak langsung memang berdampak pada kualitas dan kondisi lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan aktifitas manusia yang terkesan tidak memperdulikan kelestarian lingkungan.

Hal tersebut menyebabkan peran lingkungan sebagai penopang kehidupan makhluk hidup menurun seiring berjalannya waktu. Sehingga kualitas lingkungan juga menurun. Dan ini ternyata berimbas terhadap perkembangan penyakit berbasis ekosistem di lingkungan masyarakat.

‘’Kerangka berfikirnya disana. Menurunnya kesadaran manusia akan pelestarian lingkungan akan berdampak pada kondisi dan kualitas lingkungan. Secara tidak langsung ini berpengaruh pada kesehatan manusia. Namun ini idealnya dapat diantisipasi dengan meningkatkan kepedulian akan lingkungan dan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Hal ini harus didukung oleh seluruh stakeholder yang berkompeten di bidangnya,’’ terangnya.***

Senin, 18 Oktober 2010

Melihat Kursi Ban Bekas Generasi Kelima ”Paku Hilang dan Kini Bermotif Melayu”


Butuh empat tahun bagi Suherman untuk bisa mewujudkan mimpinya membuat kursi dari ban bekas yang anti patah, anti karat, anti lapuk, bahkan kini bermotif Melayu.

Laporan Marrio Kisaz, Pekanbaru marriokisaz@riaupos.com

Suherman tak henti-hentinya sumringah, memperlihatkan kursi ban bekas generasi kelimanya, Jumat (15/10) sore, di tempat workshop usahanya sekaligus kediamannya Jalan Rowo Bening, Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan. Pria berkumis ini menyebutkan kursi karet atau yang diberinya nama dagang siret alias kursi karet itu, sudah sempurna.


“Butuh waktu empat tahun bagi saya untuk membuat kursi ini jadi sempurna. Lihat pakunya sudah tak kelihatan lagi. Bahkan sekarang saya sudah bisa membuatnya bermotif Melayu. Ini bisa menjadi kursi kebanggaan Riau sebagai kursi Riau. Dengan ini saya sudah siap go public,” ujarnya terkekeh bahagia dan menyatakan dalam waktu dekat mulai memproduksi besar-besaran produk kursi tersebut yang selama ini hanya berdasarkan orderan.

Sembari bercerita, dia mengajak Riau Pos berkeliling melihat kursinya yang sangat identik dengan bentuk bulat-bulat tersebut. Dia memperlihatkan beberapa generasi siret sebelum generasi kelima tersebut dan tumpukan ban bekas yang sebagian sudah diolah menjadi kerangka kursi.

‘’Saya memulainya dari nol. Pada awalnya produk ini sangat sederhana dengan masih terlihat paku dan ukiran yang yang kasar. Namun saya terus belajar secara autodidak sehingga produk generasi kelima inipun tercipta. Kursi ini sudah sesuai mottonya. Anti patah, anti karat, dan anti lapuk,’’ paparnya sembari menceritakan sebelumnya kursi siret generasi keempat terkendala dengan posisi pakunya yang masih terlihat di bagian luar kursi dan rentan berkarat.

Pria penerima penghargaan Adikriya tingkat Provinsi Riau tahun 2007 itu memang pantas berbangga hati. Pasalnya Riau Pos pun sempat dibuat pangling saat pertama kali melihat kursi tersebut di kantor Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru. Kursi yang terpajang sebagai kursi tamu tersebut tak kelihatan sama sekali tanda-tanda dari ban bekas. Bahkan layak disejajarkan dengan kursi mewah lainnya.

Apalagi, pria ini berhasil berinovasi dalam mengukir ban tersebut dengan motif Melayu. Salah satunya pucuk bersusun daun berjalin. Yang artinya seorang pemimpin yang bijaksana dengan didukung anggota yang baik dan patuh.

Penasaran akan produk ramah lingkungan itu, Riau Pos mencoba untuk menduduki kursi dari ban bekas itu. Kursi tersebut ternyata memiliki pondasi yang kokoh.

‘’Saya sengaja mendesain sedemikian rupa, agar kursi ini dapat diterima di pasaran,’’ ungkapnya sambil menceritakan produk kursi dari ban bekas sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, namun baru dia yang berhasil membuat bentuk ban itu tidak kelihatan lagi.

Dalam mengembangkan usahanya, Suherman menggunakan bahan utama dari ban bekas yang tidak bisa digunakan lagi. Didukung bahan pendukung seperti paku, busa, kaca dan peralatan yang masih tergolong manual dan sangat sederhana.

Setiap bulannya dia bisa menyelesaikan tiga sampai empat set kursi lengkap dengan meja dan aksesorisnya. Semua karya tersebut dikerjakan dengan tanggannya sendiri. Keterbatasan itu terjadi karena minimnya pendanaan dan dia masih belajar menemukan formula yang tepat

‘’Saya mengumpulkan ban bekas dengan membeli Rp20-40 ribu untuk satu ban. Inilah yang saya kumpulkan secara bertahap dengan kondisi keuangan seadanya. Saya juga tidak memberikan patokan yang tinggi untuk hasil karya ini. Satu setnya saya menjual sekitar Rp2,4-3,5 juta. Sedangkan modal secara keseluruhan yang saya keluarkan dari Rp 2-2,9 juta. Tergantung permintaan pembeli,’’ ujar Pria yang berkulit agak gelap itu.

Selain bahagia siap untuk go public, terselip rasa kwatir dari penerima penghargaan tingkat Nasional dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI tahun 2009Pasalnya produk generasi keimanya itu bisa saja ditiru oleh orang lain dengan gampang. "Saya berharap hak patennya dilindungi," ujarnya.

Meminimalisir Perubahan Iklim
Pengamat Lingkungan Riau Drs T Ariful MSi menilai sudah saatnya persfektif pengembangan usaha ekonomi kerakyatan mengacu pada konsep ramah lingkungan. Dimana menurut Direktur Badan Kajian Rona Lingkungan Universitas Riau tersebut langkah pemanfaatan limbah dari ban bekas yang dilakukan Suherman dapat berimbas positif dalam meminimalisir perubahan iklim.

‘’Jika tidak diolah dengan proses daur ulang yang ramah lingkungan. Ban bekas yang dibakar dapat mempercepat proses perubahan iklim. Dimana hasil pembakarannya dapat meningkatkan kadar karbondioksida di udara. Selain itu jika material ban dilengkapi dengan bahan belerang, maka dapat meningkatkan kadar bahan kimis SOS yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup dan kelestarian lingkungan," paparnya.

Sedangkan untuk penanganan dengan sistem penguburan juga tidak selamanya efektif. Karena menurutnya, selain memerlukan waktu yang panjang mencapai 20 tahun, kandungan sintetis dalam material ban dapat merusak struktur tanah. Sehingga dapat berimbas ke mikroba dan organisme di lingkungan.

Perlu Suport Pemerintah
Perjalan usaha pengolahan bahan bekas milik Suherman ternyata tidak semulus seperti yang diharapkan. Salah satu kendala yang ditemukan adalah suport dari pemerintah dan pihak swasta dalam hal pemasaran. Sehingga produk yang idealnya menjadi salah satu ikon produk UMKM yang ramah lingkungan masih belum dapat terpasarkan secara maksimal.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Riau Raja Indra Bangsawan mengaku pihaknya masih terkendala dalam upaya mempromosikan produk UMKM. Kendati demikian pihaknya tetap berupaya secara optimal melakukan pembinaan dan pelatihan agar produk yang dihasilkan dapat lebih berkualitas sehingga dapat bersaing dipasaran.

Kondisi yang tidak jauh berbeda diungkapkan Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi Kota Pekanbaru Firmansyah. Secara detail dia mengaku telah berkali-kali melakukan kegiatan promosi lewat beberapa event pameran ditingkat lokal bahkan nasional. Hanya saja kendala yang ditemukan menurutnya berada pada kesiapan pihak pengelola UMKM yang belum siap dalam proses permodalan dan pemasaran.

‘’Pengembangan sektor UMKM sudah cukup baik. Hanya masih sering terkendala untuk sektor permodalan. untuk itu kita telah mencoba melibatkan pihak perbankan dan beberapa pihak swasta dalam mengembangkan sektor UMKM yang termasuk skala prioritas kita. Namun ini tidak bisa dilakukan secara instan. Melainkan secara bertahap,’’ imbuhnya.

Kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan dari kacamata ekonom Prof Zulkarnaini MSi yang telah bertahun-tahun berkecimpung dan mendalami perekonomian khususnya di pengembangan ekonomi kerakyatan. Dia menilai saat ini belum adanya figur yang mau untuk memberikan perhatian ekstra dalam pengembangan UMKM di daerah. Padahal menurutnya salah satu indikasi keberhasilan perekonomian di suatu daerah dapat dilihat dari indikasi keberhasilan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, seperti sektor UMKM.(ndi)


”Dalang Collection, Jangan Sampai Mati Suri!”


Masyarakat masih berprinsip kalau produk daur ulang hanya sampah. Jadi harganya harus murah, malah kalau bisa gratis.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Di sebuah penurunan curam di Jalan Gajah ujung, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Tenayan Raya, terdapat warung sederhana berukuran 4 x 6 meter. Dindingnya terbuat dari kayu dan sebagian lagi kawat. Warung itu bukanlah warung biasa, ia warung khusus 3R (reuse, reduce, recycle) yang khusus menjual produk daur ulang dari sampah plastik.



Di tempat itu, para pengunjung bisa memilih aneka bentuk kerajinan daur ulang yang telah disulap cantik. Mulai dari tas anyaman, tas ke pasar, tas rangsel, sendal, map, tempat sepatu dan sebagainya. Harganya juga tidak terlalu mahal, kisaran Rp8 - 40 ribu.

Bahkan di tempat itu, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan kerajinan daur ulang dengan merek dagang Dalang Collecion tersebut. Sebuah nama yang menurut empunya warung, Soffia Seffen, awal pekan lalu, berasal dari singkatan kata daur ulang. Di lahan seluas 35 x 25 m tersebut, pengunjung bisa melihat gudang tempat penyimpanan sampah plastik, tempat pencucian sampah, hingga bagaimana pengrajin daur ulang menjahit sampah-sampah tersebut hingga layak jual.

Sebenarnya menurut Soffia, usahanya yang beromset 10-15 juta perbulan itu, tidak berpusat di tempat usaha sekaligus kediamannya itu saja. Namun juga di rumah 15 orang penjahit, lima orang penganyam, lima keluarga pemulung dan lima keluarga pencuci sampah plastik tersebut.

“Jadi mereka tidak bekerja di sini saja. Mereka bekerja di rumah masing-masing. Nanti kalau hasil pekerjaan mereka sudah selesai, mereka antar ke sini,” ungkap perempuan berkulit putih yang tengah hamil lima bulan setengah ini.

Mengembangkan usaha daur ulang tersebut, sebenarnya tak masuk dalam hitung-hitungan bisnis. Tapi lebih karena dilatarbelakangi pengetahuannya sebagai pegawai di Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera. Sarjana Hukum ini kerap prihatin terhadap ancaman sampah plastik yang jumlahnya semakin banyak. Padahal plastik merupakan sumber pencemaran tanah bahkan air. Produk yang membutuhkan waktu 500 tahun untuk teruai.

Kesadaran itulah yang mendorong, ibu dua anak ini, mengembangkan usaha tersebut dari nol. Mulai dari belajar membuat produk tersebut, meyakinkan para penjahit untuk bergabung bersamanya, hingga melakukan pemasaran yang lumayan sulit.
“Menjual produk daur ulang seperti ini susah sekali. Walaupun setiap pameran kami, banyak yang lihat dan terkagum-kagum. Tapi pas giliran beli, masyarakat ogah. Masyarakat masih berprinsip kalau produk ini sampah. Jadi harganya harus murah, malah kalau bisa gratis. Padahalkan ini juga pakai biaya produksi dan tenaga kerja,” ujarnya.

Untung saja, kantor tempatnya bekerja banyak menampung hasil produknya. Terutama untuk seminar kit dalam berbagai kegiatan pelatihan dan aneka kerajinan lainnya yang digunakan sebagai contoh jika ada pelatihan membuat produk daru ulang sampah plastik. Dari kantornya itulah kemudian jaringan pasar lainnya terbentuk seperti dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) se Sumatera.

Selain itu dia juga mendapatkan pemasaran dari saudara-saudaranya. Misalnya dia menjadi produsen untuk tas rangsel plastik di TK Harapan Bunda yang menjadi tas wajib di TK tersebut yang kebetulan dimiliki oleh saudaranya. Selain itu juga menjadi produsen produk contoh untuk pelatihan produk daur ulang di sekolah Adiwiyata di kota Pekanbaru.

Meski begitu, omset itu sering tidak memadai juga untuk memenuhi keperluannya membayar upah pekerjanya. Apalagi sebagai produk contoh ataupun untuk keperluan seminar tersebut tidak terus menerus. Hanya musim proyek saja. Jadi kadang-kadang dia juga harus mensubsidi usahanya itu dengan hasil kerjanya jika mendapat perjalanan dinas atau mengajar pengelolaan sampah.

“Kalau lagi nggak ada pembeli, saya tidak mungkin menyetop kegiatan tenaga kerja saya. Bisa patah semangat mereka. Jadi sementara barang-barang itu tidak laku, ya saya harus menanggulanginya,” ujarnya.

Begitulah Soffia menjalankan usahanya tersebut yang Desember nanti genap berusia empat tahun. Namun kini dia dilanda kerisauan. Usia kehamilannya yang semakin tinggi membuat dia tidak bisa banyak melakukan perjalanan dinas atau mengajar. Itu artinya ia tidak akan punya banyak daya untuk mengsubsidi usahanya tersebut. Namun kebalikannya, para penjahitnya kini yang sudah mulai terampil makin tinggi produksinya. Masyarakat juga sekarang banyak yang mengantar sampah ke tempatnya.

“Jadi asal sampah kita tak banyak lagi dari tempat sampah. Sampah sudah relatif bersih karena sudah langsung dari rumah. Penjahit dan penganyam juga sudah semakin terampil. Produksi mereka meningkat, kualitasnya juga semakin baik. Jadi harus dibayar lebih tinggi. Tetapi persoalannya saya kewalahan memasarkannya. Apalagi kondisi saya sedang hamil begini,” ujarnya.

“Dulu waktu warung ini mulai diresmikan Pak Wali Kota sebagai warung 3R, Pak Wali janji membantu memasarkan. Meminta instansinya untuk membantu memasarkan. Keesokannya memang banyak dari instansi terkait tersebut yang mendatangi saya, tetapi sudah itu tak ada kelanjutannya,” ungkapnya.

Padahal menurut perempuan ini, kalau saja lima instansi saja di Kota Pekanbaru mau memanfaatkan hasil produk mereka untuk kegiatan seminar atau pelatihan, berapa banyak sampah yang bisa mereka olah. Berapa banyak pula pendapatan yang mereka berikan untuk para pengrajin dan pemulung.
***

Memasarkan produk daur ulang sampah plastik memang bukan perkara mudah. Hal itu diakui oleh Kepala PPLH Regional Sumatera Sabar Ginting, pengamat ekonomi Prof Zulkarnain, Direktur Eksekutif Kamar Dagang Industri (Kadin) Riau Muhammad Herwan, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Riau Hendri Rustam, Tenaga Penyuluh Disperindag Riau Syafruddin, Kepala BLH Kota Pekanbaru Adriman, Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru Firmansyah dan staf Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru Mas Irba.

Dalam wawancara dengan mereka dalam sepekan ini, mereka menyebutkan secara umum produk UMKM memang sulit dipasarkan. Baik karena kualitas produk yang masih sekadarnya saja hingga belum terbangunnya jaringan pasar. Di tambah lagi karena produk yang dijual itu produk daur ulang. “Asumsi masyarakat harus diubah dulu. Coba ubah kata sampah atau limbah dalam produk itu. Jadi produk itu tidak dianggap dari sampah,” ujar Mas Irba.

Selain itu, produk daur ulang masih rendah kualitasnya. “Kita sudah lihat produknya, pembuatannya banyak yang masih kasar. Selain harganya belum mampu bersaing. Kami sudah sarankan untuk membuat produk unggulan, yang cantik, menarik, namun harganya murah,” ujar Syafrudin, Hendri Rustam, dan Herwan hampir senada.

Selain itu, tentang harapan Soffia agar instansi di Kota Pekanbaru menjadi pembeli produknya, Adriman dan Firmansyah mengaku anggaran di instansi mereka terbatas. “Paling-paling hanya bisa untuk pameran,” ujar Firmansyah.

Menyadari sulitnya pemasaran produk daur ulang, Sabar Ginting mencoba mengambil peran. Sebagai perpanjangan tangan Kementerian Lingkungan Hidup di Sumatera, mereka berkewajiban memajukan usaha daur ulang tersebut. Oleh karena itu, dia mengambil kebijakan untuk membeli produk daur ulang yang diproduksi oleh Dalang Collection. Produk itu mereka manfaatkan untuk seminar kit bila ada pelatihan.

“Saya sering bilang ke Kabid (kepala bidang) saya, jangan pandang Soffia Seffennya, tetapi pandanglah para pemulung yang ada dibelakangnya. Sekaligus inilah bentuk kita secara nyata melestarikan Sumber Daya Alam dan menjaga lingkungan,” ujarnya.
Untuk itulah dia sangat menghimbau agar instansi lain juga melakukan hal yang sama. Imbauan dan perannya dalam mempromosikan dan memasarkan produk tersebut cukup membuahkan hasil. Setidaknya dari situlah selama ini produk Dalang Collection mendapat pasar.

“Kalau saya lihat di Muara Enim, produk daur ulang mereka banyak dibantu dibeli oleh BUMD dan BUMN. Saya berharap, di sini juga ada yang membantu jadi bapak angkat. Dalang Collection, jangan sampai mati suri!” pesannya, sembari menyebutkan hari itu, merupakan hari terakhirnya bertugas di Pekanbaru sebagai Kepala PPLH Regional Sumatera.

Selain itu, untuk membantu memasarkan produk daur ulang tersebut, menurut Prof Zulkarnain harus ada upaya berbagi peran. Terutama peran pemerintah, yang harus membangunkan jaringan pasar bagi komoditas ini. Sekaligus memposisikan diri sebagai buyer (pembeli) utama.

“Jangan didorong masyarakat saja, tetapi pemerintah tidak berbuat,” ungkap penulis buku Pemberdayaan Masyarakat Miskin ini.

Peran lain yang juga tak kalah pentingnya adalah peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga pendidikan tinggi. “LSM kan punya jaringan yang cukup luas, bahkan keluar negeri. Begitu juga perguruan tinggi. Selama ini saya melihat perguruan tinggi kurang mengangkat isu-isu tentang UMKM ini dalam seminar-seminar. Bahkan kalau bisa, Perguruan Tinggi bisa membangun pusat bisnis untuk para UMKM ini” paparnya sambil mengungkapkan hal itu perlu didorong oleh media massa.
Selain peran pemerintah, LSM, perguruan tinggi, tambah Firmansyah dan Herwan juga diperlukan peran aktif swasta.

“Pihak swasta harus mau menjadi pemakai atau pembeli produk daur ulang ini. Kalau diharapkan kepada pemerintah saja kemampuan kita terbatas. Apalagi anggaran kita untuk UMKM ini hanya Rp700 juta. Padahal UMKM kita di Kota Pekanbaru saja sekitar 9.036. Kita paling-paling hanya membeli untuk produk contoh,” ungkap Firmansyah.

“Kadin sendiri secara nasional sudah mengkampanyekan penggunaan produk daur ulang ini. Itulah sebabnya pada seminar kit, kami rata-rata menggunakan produk daur ulang. Beberapa waktu lalu kami juga melaksanakan pelatihan di mana guru-guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dilatih untuk membuat alat peraga belajar dari bahan-bahan bekas. Itu semua untuk membangun kesadaran akan arti pentingnya menjaga lingkungan,” jelas Herwan.

Terpenting, tambah Herwan, untuk menyelesaikan persoalan ini diperlukan tanggung jawab dan kampanye bersama secara simultan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendorong penggunaan produk daur ulang.

Jika semua pihak mau bertanggung jawab menjadi pemakai dan membantu pemasaran produk daur ulang, tentulah Dalang Collection tidak akan mati suri. Semoga.***

Selasa, 12 Oktober 2010

Penilaian Terhadap Kota Anda (Memperingati Hari Habitat Sedunia)


Setiap Hari Senin, minggu pertama Oktober diperingati sebagai Hari Habitat Sedunia. Sebagai renungan terhadap keadaan kota-kota saat ini dan juga mengingatkan tanggung jawab bersama untuk masa depan habitat (tempat tinggal) manusia. Khusus tahun ini diperingati pada tanggal 4 Oktober besok dengan tema Better City, Better Life (Kota yang Lebih Baik, Kehidupan yang Lebih Baik). Sebutkan kota tempat Anda tinggal sekarang dan apakah menurut Anda kota Anda itu tersebut sudah baik atau belum? Alasannya? dan saran Anda untuk kota tersebut?


Panam. menurut saya di Panam ini makin lama banyak penebangan pohon karena developer banyak membangun perumbahan. Saran saya, jika ingin mengembangkan kota yang sudah mulai penuh ini, maka perhatikan juga etika lingkungannya.
RISMA YULIARNI
Panam

Tempat tinggal saya sekarang sudah termasuk baik dalam menjaga lingkungan. Satu hal yang membuat saya terkesan dengan kota-kota di luar negeri yaitu kebersihan yang selalu menjadi prioritas. Jarang sekali ada penduduk yang membuang sampah sembarangan, karena bisa dikatakan hampir seluruh penduduk Golden adalah environmentalists. Tempat sampah ada di berbagai tempat, dan diklasifikasikan (recycle, non-recycle, kertas, dan lain-lain). Hampir seluruh perumahan atau tempat tinggal, tempat umum, dan sekolah memiliki pekarangan yang sangat hijau. Go Green!
MARIA PATRICIA A TJOKROSEPOETRO
Golden Colorado, Amerika Serikat

Ujung Batu, Kabupaten Rokan Hulu, menurut saya, kota saya belum begitu baik. Sebab, peran pemerintah terhadap keberadaan pohon untuk menghiasi jalan-jalan yang ada belum begitu terlaksana. Suhu atau cuaca yang terjadi cukup ekstrem jika pada siang hari. Harapan ke depannya, semoga pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, khususnya Ujung Batu lebih baik lagi, dan bekerja sama dengan masyarakat untuk menangani kebersihan sampah dan tata ruang kota. Dan, semoga dapat diadakan nya event penanaman satu juta pohon agar lingkungan lebih indah dan asri.
AZHARI PRATAMA
Kelas XII Tkj 1 SMK Multi Mekanik Masmur


Bogor kotaku. Kebanyakan angkot bikin mobilitas terganggu. Macet, apalagi kalau hujan. Gerbong kereta ekonomi sudah seperti kamar gas Hitler, bikin sesak nafas.
REDI SATRIAWAN
Mahasiswa IPB

Muara Lembu merupakan kota yang saya tempati pada saat ini. Kota ini belum seluruhnya memiliki tempat tinggal dan kehidupan yang baik. Karena beberapa faktor, seperti lingkungan yang tercemar. Kami sangat berharap partisipasi warga dan masyarakat khususnya untuk mewujudkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang dapat membangun dan menjaga kota serta kehidupan kita kearah lebih baik.
ADE TRIA PUTRA
Muara Lembu


Kabupaten Rokan Hulu, adalah kota yang lebih baik dibandingkan dari empat tahun yang lalu. Dulu belum dirasakan oleh masyarakat akan majunya perkembangan. Baik itu pembangunan di ibu kota dan pedesaan. Sekarang, sudah dirasakan kemajuan selama pimpinan Bupati Drs Ahmad MSi. Saran untuk lima tahun ke depan mohon pembangunan untuk jalan karena sumber ekonomi masyarakat pedesaan adalah jalan. Baiknya jalan, maka ekonomi masyarakat pasti akan baik juga.
M DENAN
Guru SD N 017 Rambah Hilir
Kabupaten Rokan Hulu

Menjual Karbon di Lahan Gambut: Uang atau Umur Panjang?





Karbon di lahan gambut menjadi komoditas baru yang digadang-gadangkan menjadi sumber keuangan baru bagi daerah pemilik lahan gambut.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com
Beberapa orang peserta Wokshop Asean bertemakan Options for Carbon Financing to Support Peatland Management, awal pekan lalu, yang duduk di deretan belakang hanya bisa menggeleng-geleng kepala. “Jauh panggang dari api,” ungkap Edyanus Herman Halim, pengamat ekonomi sekaligus juga penasehat dari program menghadapi perubahan iklim di Provinsi Riau.

Dosen ekonomi Universitas Riau ini, memastikan perdagangan karbon yang digadang-gadangkan sebagai komoditas baru bernilai jual tinggi bagi Riau sebagai pemilik hutan sekaligus lahan gambut terbesar di Sumatera masih sebuah angan yang entah kapan bisa direalisasikan. Tim ahli dan Pusat Informasi Perubahan Iklim (PIPI) Riau Prof Adnan Kasri dan Prof Rifardi juga sependapat. Perdagangan karbon masih merupakan sebuah ketidakpastian. Ada sederetan persoalannya sangat kompleks di dalamnya.

Ibaratnya, barangnya ada, namun tak jelas berapa jumlahnya. Alat untuk mengukurnya ada, tetapi tak tahu bagaimana cara mengukurnya. Kalaupun ada metode atau cara mengukurnya, persoalannya apakah itu diakui. Pasalnya perdagangan karbon memastikan bahwa jual beli itu harus dapat dihitung, dilaporkan dan diverifikasi atau dikenal dengan istilah MRV (measurable, reportable, and verifiale).

Meskipun hal itu pelik dan masih menjadi tantangan terbesar, namun negara-negara ASEAN (Asia Tenggara), termasuk Indonesia tak boleh lalai dalam soal jual beli karbon tersebut. Pasalnya negara-negara ASEAN, terutama Indonesia adalah pemilik lahan gambut yang mampu menyimpan lebih dari 50 miliar ton karbon atau 6.000 ton karbon per Ha atau lebih dari sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan cadangan karbon di tipe hutan lainnya. Selain itu, lahan gambut di Asia Tenggara ini merupakan cadangan karbon terbesar di regional Asia yang sangat mempengaruhi kondisi iklim regional maupun global.

Apalagi buat Indonesia, khususnya Riau. Lahan gambut Indonesia seluas 32,65 juta Ha sementara 17 persennya berada di Riau (5,7 juta ha). Bagi Provinsi Riau, luas lahan gambut sebesar itu adalah kurang lebih setengah dari luas kawasannya. Berdasarkan data Wetlands tahun 2002, potensi kandungan karbonnya mencapai 14 ribu juta ton. Dengan demikian menurut Emrizal Pakis, Asisten II Setdaprov Riau, dalam workshop tersebut, Riau memiliki potensi menjadi penjual karbon.

Menjual karbon dalam hal itu, juga memiliki makna ganda. Pasalnya bukan saja berarti penjualan karbon, tetapi sekaligus juga mewujudkan pengelolaan gambut yang berkelanjutan. Karena kandungan karbon yang ada tersebut tidak akan pernah bisa dijual jika lahan gambutnya tidak dikelola dengan kaedah-kaedah kelestarian.
***
Untuk membuat karbon lahan gambut bisa dijual, ASEAN harus bersatu untuk memasukkannya sebagai salah satu poin utama dalam negosiasi perubahan iklim internasional, melalui pengembangkan kebijakan di atas kertas dan meningkatakan peranan ASEAN dan mekanisme lainnya. Hal itu menjadi salah satu rekomendasi yang dicapai dalam workshop yang selenggarakan atas kerja sama Sekretariat ASEAN dan Global Environment Center (GEC) berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup RI dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau tersebut.

Selain itu, peserta workshop yang berasal dari 14 negara, terutama negara-negara ASEAN juga merekomendasikan pembangunan kapasitas untuk pembiayaan karbon lahan gambut termasuk mengembangkan materi manual dan training untuk pembiayaan karbon di lahan gambut. Termasuk juga mengadakan pertemuan regular, training dan membuat jaringan untuk berbagi pengalaman individual.

Rekomendasi lainnya adalah pembentukan jaringan regional dan direktori uji atau situs belajar bersama untuk pembiayaan karbon di lahan gambut. Meningkatkan metodologi yang ada dan mengembangkan serta memperkenalkan petunjuk aplikasi dari metodologi pada situasi yang berbeda. Melakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman dan melakukan monitoring stok dan emisi karbon jangka panjang. Mengembangkan program contoh di Riau untuk mengembangkan atau membandingkan pilihan yang berbeda untuk lahan gambut. Terakhir mendorong adanya pendanaan untuk mendukung pengelolaan lahan gambut dan pengembangkan lebih lanjut proyek karbon lahan gambut.
***

Meskipun saat ini mekanisme perdagangan karbon untuk lahan gambut yang resmi masih jauh panggang dari api, namun Dr Daniel Murdiyarso dari peneliti CIFOR menyatakan bahwa mekanisme perdagangan karbon secara sukarela cukup terbuka luas. Bahkan saat ini di sejumlah daerah telah dilakukan berbagai projek perdagangan karbon sukarela ini.

“Saat ini mekanisme sukarela berkembang jauh lebih cepat dari aturan resmi. Itu merupakan peluang. Kita semua saat ini sedang mencoba dan melakukan. Kekurangan itu pasti ada. Namun kita tidak bisa menunggu semuanya baik dan teratur baru mau melakukan sesuatu. Ini bagian dari kita semua untuk belajar,” ujar Daniel agar tidak memandang pesimis terdahap perdagangan karbon.

Menurutnya Daniel persoalan perdagangan karbon di lahan gambut bukan saja persoalan uang. Namun ada pilihan lainnya, yakni bagaimana cara kita mengatur lahan gambut lebih baik. Selama ini memang sudah ada, tetapi belum maksimal. Mungkin dengan mekanisme yang baru ini, lahan gambut bisa lebih lestari. “Setidak-tidaknya, membuat lahan gambut dengan semua kekayaannya baik berupa hutannya, keanekaragaman hayatinya dan pengelolaan tata airnya bisa berumur lebih panjang,” imbuhnya.

Suatu saat nanti, mungkin kita semua baru bisa mengerti lahan gambut yang berumur lebih panjang, memiliki harga jauh lebih tinggi dari uang yang kita harapkan.***

Senin, 04 Oktober 2010

Bisahkah Gajah dan Manusia Hidup Berdampingan?

Dari Workshop Strategi Manajemen Konservasi Gajah Sumatera di Provinsi Riau terungkap bahwa lima dari sembilan kantong gajah di Riau berada dalam status kritis. Lima kantong gajah tersebut adalah Mahato, Koto Tengah, Balai Raja, Giam Siak Kecil, dan Petapahan. Hal ini memicu tingginya konflik gajah dan manusia di Riau. Bahkan dalam dua pekan terakhir konflik gajah dan manusia terjadi di tiga tempat yaitu Siak, Indragiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Singingi. Menurut Anda, bisa atau tidak kah manusia hidup damai berdampingan dengan gajah? Bagaimana caranya?


Sudah sejak lama manusia dan gajah hidup berdampingan. Jika saat ini banyak terjadi konflik antara manusia dan gajah, menurut saya itu disebabkan tangan-tangan jahil manusia itu sendiri. Manusialah yang merusak keseimbangan alam ini. Konflik manusia dan gajah menjadi peringatan bagi kita untuk kembali melakukan revitalisasi kawasan konservasi gajah, mengembalikan habitat asli gajah yang hilang dan menindak siapapun yang mencoba merusak habitat gajah sesuai dengan hukum yang berlaku.
PRIMA ANREAS SIREGAR
Mahasiswa Pascasarjana Magistar Sains Manajemen UNRI

Menurut saya, asalkan kita tidak merusak hutan dan ekosistem alam yang dapat membuat tempat tinggal gajah menjadi terbengkalai. Tidak memburu gajah demi kepentingan pribadi. Tentu kita bisa hidup berdampingan dengan gajah. Saran saya, marilah kita menjaga kelestarian hutan yang merupakan tempat tinggal gajah dan jangan mengambil kepentingan pribadi tanpa harus memikirkan dampaknya ke depan.
RAMSES HUTAGAOL
Prov SATPOL-PP Rokan Hulu

Bisa saja, asalkan adanya peran dari masing-masing warga dalam hal konservasi, jika warga tidak ingin ada gajah yang mengamuk atau berkonflik dengan gajah. Gajah kan bukan hewan yang buas. Peran pemerintah dan para pemerhati lingkungan juga penting untuk mengontrol keadaan atau kehidupan yang ada. Caranya kita harus memberikan sumbangan besar dengan cara memberi tempat tinggal atau penangkaran yang layak serta tidak jauh dari pemukiman warga agar semua dapat terkontrol dengan baik.
AZHARI PRATAMA
Kelas 3 TkJ 1 SMK Masmur Pekanbaru

I Think, manusia dapat hidup berdampingan dengan gajah. Hanya saja manusia harus dapat melestarikan dan menjaga habitat natural dari kantong-kantong gajah. Sehingga gajah-gajah yang khususnya ada di Provinsi Riau, tidak lagi melakukan serangan kepada warga yang tinggal di sekitarnya. Disamping itu juga, baik pemerintah maupun warga harus melindungi mereka dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
iznul azwan
Mahasiswa Jurusan Manajemen Informatika FMIPA UNRI






Mewujudkan Pekanbaru Berbuah, Berujung Tombak di Masyarakat

Masyarakat yang menentukan lokasi, jumlah, dan jenis tanaman serta kapan pelaksanaan Program Pekanbaru Berbuah di daerah mereka masing-masing.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com
Senyum optimis jelas terlihat di wajah Rusmani Said, Koordinator Program Nasional Pemberdayaan Kemiskinan (PNPM) Mandiri Perkotaan Kota Pekanbaru, dua pekan silam. Pria ini begitu yakin, PNPM Mandiri yang dikoordinasikannya akan mampu menyukseskan Program Pekanbaru CGaF (baca: Sigaf). Yakni Program Pekanbaru Clean, Green, and Fruitful (CGaF) atau program menjadikan Kota Pekanbaru Bersih, Hijau, dan Berbuah. Dengan ujung tombak saat ini menjadikan Kota Pekanbaru, sebagai Kota Berbuah.

“PNPM Mandiri Perkotaan memiliki jaringan hingga ke tingkat RT. Ada 58 LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat) yang berada di tiap kelurahan di Kota Pekanbaru dan sekitar 6.000 relawannya yang berada hingga ke tingkat RT,” ujar Rusmani menjelaskan kekuatan PNPM Mandiri Perkotaan terbaik nomor tiga di tingkat nasional ini

“Insyah Allah, kami sanggup,” tambahnya lagi menanggapi tantangan yang disampaikan Koordinator Tim Pemberantasan Kemiskinan (KTPK) sekaligus Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru Yusman Amin, yang hari itu bersama Riau Pos mengadakan rapat kecil bersama PNPM Mandiri untuk membahas teknis pelaksanaan Program Pekanbaru CGaF yang dilaksanakan untuk menyambut dua dekade Riau Pos, 17 Januari mendatang.

Rusmani yang hari itu juga didampingi Asisten Manajemen Infrastruktur Lusi Dwi Putri dan Asisten Manajemen Datanya Risnaldi juga menyatakan Program Pekanbaru CGaF sejalan dengan semangat PNPM untuk memberdayakan masyarakat. Bahkan bisa menjadi nilai tambah bagi mereka di tingkat nasional. Mengingat program Pekanbaru CGaF memalui program Pekanbaru Berbuahnya tidak saja bertujuan untuk menghijaukan dan meningkatkan kesehatan masyarakat tetapi juga berdampak ekonomi. Dimana akan mampu mengurangi belanja masyarakat untuk konsumsi buah dan sekaligus dapat menjadi produsen buah di Kota Pekanbaru yang rata-rata mengimpor buah dari luar negeri ataupun luar daerah.

“Program ini juga bisa disenergikan dengan sejumlah program LKM. Banyak di antara LKM kami yang telah berhasil mengembangkan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) untuk memproduksi pupuk dari pemanfaatan sampah organik. Nanti, kalau program ini berjalan, pupuknya jangan beli dari luar, tetapi disuplai dari KSM-KSM tersebut. Selain itu jika program berbuahnya menggunakan pot, ada juga KSM yang telah mengembangkan usaha produksi pot. Potnya juga bisa dibeli dari mereka,” terangnya lagi.

Tak sampai di situ, Rusmani juga membayangkan bila Program Pekanbaru Berbuah bisa memproduksi nangka mini yang bisa disuplai ke rumah-rumah makan. “Pasti banyak permintaan untuk ini. Jika semua itu, kita yang suplay, itukan pemberdayaan ekonomi juga,” tambahnya lagi.

Pohon buah-buahan itu, tambahnya juga bisa menjadi pohon peneduh di jalan-jalan lingkungan perumahan warga yang berhasil mereka bangun kerja sama pemerintah dan swadaya masyarakat.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru Yusman Amin, juga menyatakan program ini akan berhasil bila didukung oleh PNPM Mandiri Perkotaan. “Saya kurang setuju, jika program Pekanbaru CGaF jadi program yang sama dengan Program Kamis Menanam (program menanam pohon setiap hari Kamis sebanyak 150 batang, red). Kalau program Kamis menanam yang kerja seperti hanya pemerintah. Berbeda dengan program gotong royong yang dilaksanakan oleh PNPM Mandiri melalui LKM-LKM mereka yang ada di kelurahan. Masyarakat yang berperan aktif dan mengundang kita untuk hadir pada kegiatan tersebut,” ujar Yusman.

Pelibatan PNPM Mandiri Perkotaan sekaligus juga merubah sejumlah format pelaksanaan program Pekanbaru CGaF. Bila awalnya program Pekanbaru berbuah bersifat top down (dari atas ke bawah) , saat ini menjadi down top (bawah ke atas). Pelaksaan program benar-benar melibatkan warga masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat.
***
Aula Kantor Bappeda Kota Pekanbaru, Selasa (28/9), terasa penuh sesak. Ratusan warga masyarakat, puluhan penyuluh tampak memadati ruangan di lantai III tersebut. Sebagian peserta Sosialisasi Program Pekanbaru CGaF terpaksa harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

Hari itu, untuk pertama kalinya program Pekanbaru CGaF disosialisasikan kepada masyarakat Kota Pekanbaru lewat 58 LKM yang berada di tiap-tiap kelurahan.
Dari pertemuan tersebut hadir dari Pemerintah Kota Pekanbaru (Kepala Dinas Pertanian sekaligus juga Ketua Pelaksana Pekanbaru CGaF yang ditunjuk Wali Kota Pekanbaru Sentot D Prayetno), Riau Pos (Ketua dan sekretaris Pekanbaru CGaF untuk internal Riau Pos M Nazir Fahmi dan Andi Noviriyanti), PNPM Mandiri Perkotaan (Rusmani Said), maupun PT Arara Abadi (Musherizal Yatim) yang dalam hal ini salah satu mitra Riau Pos yang berkomitmen untuk menyediakan bibit buah dari Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakt (BPPM). ***

Beberapa hal yang menjadi kesepakatan pertemuan tersebut adalah bahwa tim Pekanbaru CGaF (yakni Riau Pos, Pemko, PT Arara Abadi dan mitra lainnya) menyediakan bibit, pupuk, tenaga penyuluh, dan memasarkan buah-buahan tersebut. Sementara itu PNPM Mandiri Perkotaan bersama LKM-LKMnya, membuat perencanaan tentang pelaksanaan program Pekanbaru Berbuah di kelurahaan masing-masing. Mulai dari menentukan jenis buah yang ditanam, berapa jumlahnya, kapan dilaksanakan program tersebut. Termasuk menentukan tempat atau lahannya, menyediakan pot bila ditananam di pot, menyediakan pagar bila ditanam di halaman atau pinggir jalan, serta melakukan pemeliharaannya.

“Jadi progam ini dimulai dengan sosialiasi kepada masyarakat, lalu masyarakat melalui LKM melakukan rembug kesiapakan masyarakat dan pendaftaran relawan. Setelah itu dilakukan pemetaan bersama tenaga penyuluh pertanian yang telah ditetapkan untuk menentukan jenis tanaman apa yang cocok di tempat mereka. Kemudian semua itu koordinasikan dengan PNPM. Barulah kegiatan dapat dilaksanakan,” ujar Rusmani di akhir pertemuan.

Semoga Program Pekanbaru Berbuah ini bisa terwujud dengan peran serta aktif masyarakat!







Minggu, 19 September 2010

Apa Dampak Pemanasan Global yang Paling Anda Rasakan?

Menurut Anda apa dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang paling Anda rasakan saat ini di sekeliling Anda? Dan adakah upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah, kelompok masyarakat, maupun individu-individu disekitar Anda untuk mencegah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim tersebut?


PERUBAHAN yang signifikan dirasakan naiknya suhu permukaan bumi, iklim tidak stabil, karena hutan sebagai paru-paru bumi tidak mampu lagi menyerap emisi karbon. Banyak contoh upaya yang bisa dilakukan salah satunya dengan perencanaan design tata ruang kota memperbanyak kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Karena sekian persen emisi karbon berasal dari kendaraan bermotor. Kemudian pengerusakan hutan yang merupakan ancaman besar harus segera dituntaskan dengan upaya melakukan colaboratif responsbility action, antara pemerintah, masyarakat, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
ARI ROSADI
Pelalawan

Banyak dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim. Cuaca yang tidak bersahabat dan kurang menentu, seperti yang terjadi di daerah saya Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kadang sehari hujan, kadang juga panas, membuat masyarakat sekitar resah. Setiap tahun di daerah saya ini, saat memasuki musim penghujan mengalami musibah banjir dan tanah longsor di jalan-jalan trans kabupaten. Hal ini disebabkan juga oleh penambangan batubara di daerah ini yang kurang memperhatikan lingkungan. Misalnya penebangan hutan untuk lokasi penambangan baru. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah seperti penanaman pohon di sekitar kantor pemerintahan. Pemerintah juga mengimbau kepada masyarakat dan pihak penambang agar peduli terhadap lingkungan dan adanya sosialisasi ataupun pelatihan-pelatihan yang dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan global ini. Dari individu sendiri yaitu bagaimana di lingkungan keluarga kita mampu menghemat penggunaan listrik dan air. inilah upaya yang harus dilakukan sejak dini agar tidak berdampak yang lebih besar dimasa-masa mendatang.
ANDI MUH FAUZAN RAZAK
Jalan Apt Pranoto No 01 Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur

Dampak yang dirasakan akibat pemanasan global dan perubahan iklim yang pastinya suhu udara meningkat semakin tinggi. Untuk mencegah itu semua, saya dan teman-teman yang peduli lingkungan di kampus, selalu jalan kaki ke kampus. Terutama bagi yang rumah atau kos-kosannya dekat kampus. Kami juga mengganti penggunaan tisu dengan saputangan.
HANNA OLGA
Mahasiswa Universitas Riau

Dampak pemanasan global yang dirasakan, dunia semakin panas. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah melakukan penanaman 1.000 pohon oleh Dinas Kehutanan.
SYAFRIZAL
Pekanbaru

Dampak panas yang semakin terasa meningkat merupakan bagian dari global warming yang kita sangat kita rasakan. Upaya yang harus kita lakukan menurut saya, mulai dari diri sendiri. Kita harus menyadarkan masyarakat untuk menanam pohon di setiap rumah demi mengurangi pemanasan global dengan cara mensosialisasi untuk kembali menghijaukan lingkungan kita.
HARIS ZIKRI
Pekanbaru



Satu Rumah, Satu Pohon Mangga



Panas sangat menyengat ketika GSJ diajak berkeliling di kawasan perumahan Asta Karya, Rabu(1/8). Perumahan yang dibangun tepat di belakang kampus UIN Suska Riau tersebut banyak yang sudah rampung dikerjakan. Beberapa sudah diakad (diserahterimakan -red) dengan pemiliknya. Ada yang unik di depan setiap bangunan rumah yang telah diakad, yaitu kehadiran pohon mangga dan sejenis pohon kayu putih tumbuh subur di setiap pekarangan.Pohon mangga dan kayu putih tersebut merupakan hadiah khusus dari pengelola untuk para pembeli.

“Kami sengaja memberikan setiap rumah satu pohon bagi setiap bangunan yang sudah diakad, karena belajar dari pengalaman dulu kami menanam sebatang pohon di setiap rumah yang dibangun, tapi ternyata setelah rumah itu diakad, tidak ada tanggung jawab pemiliknya lagi,” papar A Tambi, dari PT Asta Karya sekaligus wakil ketua bidang Rumah Sederhana Sehat (RSS) Real Estate Indonesia (REI).

Mangga yang dipersiapkan untuk ditanam di perumahan Asta Karya sebanyak 333 batang sesuai dengan jumlah rumah yang akan didirikan di kawasan tersebut.
Mangga yang ditanam adalah jenis mangga thailand, hal ini Menurut Tambi, mangga thailand lebih cepat berbuah dan ukuran pohonnya tidak terlalu besar sehingga cocok untuk di tanam di pekarangan rumah jenis RSS atau tipe 36.

“Kami ingin menerapkan konsep green, sehingga kami menanam satu batang pohon di setiap pekarangan rumah,” lanjut Tambi, menjelaskan tujuan penanaman mangga tersebut.

Selain penanaman pohon mangga, kawasan jalan di sekitar perumahan Asta Karya, hampir semuanya disemenisasi. Menurut Tantawi, sekretaris bidang perumahan menengah keatas REI, PT Asta Karya sebenarnya ingin menerapkan grass block atau paving yang dikombinasikan dengan rumput, namun kondisi tanah nya yang sering becek ketika hujan tidak memungkinkan untuk dibuat grass block.(Asrul Rahmawati)

20 Juta Orang Selamat dari Kanker Kulit

Aksi Perlindungan Lapisan Ozon Sukses




Jika saja Protokol Montreal tak ditandatangi dan dijalankan maka pada tahun 2050 lebih dari 20 juta orang akan terkena kanker kulit dan lebih 130 juta orang terkena katarak mata. Namun syukurlah, United Nations Environment Programme (UNEP) mengumumkan di hari Peringatan Hari Ozon Internasional, 16 September tahun 2010, aksi perlindungan lapisan ozon sukses.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP di Peringatan Hari Ozon, diperingatan Hari Ozon Internasional, menyatakan berdasarkan laporan yang dimiliki UNEP, aksi perlindungan ozon tak hanya sukses. Tetapi juga memberikan sejumlah keuntungan ganda. Baik dalam keuntungan ekonomi, memerangi perubahan iklim hingga kesehatan masyarakat.

“Tanpa protokol Montreal dan Konvensi Wina, bahan perusak ozon bisa meningkat sepuluh kali lipat. Bila ini terjadi maka akan menyebabkan lebih 20 juta kasus kanker kulit dan lebih 130 juta banyak kasuk katarak mata. Belum lagi, kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia, satwa liar dan pertanian,” ujarnya dalam rilis resmi UNEP yang dilangsir di situsnya.

Meskipun dibilang sukses, namun patut diketahui sukses dalam konteks ini menurut UNEP lubang lapisan ozon tetap atau tidak bertambah. Oleh karena itu menurut Sekretaris Jenderal The Meteorological Organization (WMO) Michel Jarraud pemantauan atmosfer jangka panjang dan penelitian harus terus dilakukan.

“Kegiatan manusia akan terus mengubah komposisi atmosfer. Oleh karena itu penting terus dilakukan pemantauan, penelitian, dan kegiatan penilaian. Semua itu untuk menyediakan data ilmiah yang diperlukan untuk memahami dan akhirnya mempredisi perubahan lingkungan pada skala regional dan global,” kata Jarraud.

Jarraud selanjutnya menyebutkan pula bahwa Protokol Montreal adalah sebuah contoh luar biasa dari kolaborasi antara ilmuwan dan pengambil keputusan yang telah menghasilkan sukses mitigasi ancaman lingkungan dan sosial yang serius.

Hanya saja yang saat ini menjadi tantangan adalah karena beberapa zat pengganti bahan perusak ozon, tersebut diketahui sebagai gas rumah kaca. Misalnya penggantian chlorofluorocarbon (CFC) menjadi hydrochlorofluorocarbons (HCFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). Banyak dari HCFC dan HFC itu merupakan gas rumah kaca yang kuat.

UNEP menyebutkan total emisi HCFC diproyeksikan untuk mulai turun dalam dekade mendatang karena tindakan yang disepakati dalam Protokol Montreal pada tahun 2007. Tapi mereka saat ini justru meningkat lebih cepat dari empat tahun lalu. Yang paling banyak HCFC-22, meningkat lebih dari 50 persen lebih cepat pada tahun 2007-2008 dibandingkan 2003-2004. Sementara itu, kelimpahan dan emisi HFC meningkat sekitar delapan persen per tahun. Meskipun zat ini tidak memiliki dampak pada lapisan ozon, namun potensinya lebih dari 14.000 kali kuat sebagai gas rumah kaca daripada CO2.
Menurut Achim, hal itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan ditanggulangi. Apalagi UNEP baru-baru ini menyimpulkan bahwa komitmen dan janji terkait Accord Kopenhagen tidak mungkin menjaga kenaikan suhu global di bawah 2oC pada tahun 2050. Oleh karena itulah sangat penting dilakukan upaya untuk menjembataninya agar target 2oC dapat dipenuhi.

Peringatan Hari Ozon Internasional dilaksanakan setiap tanggal 16 September karena merupakan hari ditandatanganinya Protokol Montreal pada tahun 1987. Protokol Montreal merupakan kerjasama internasional untuk mengendalikan produksi dan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Protokol Montreal merupakan salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang bersifat universal karena telah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia (196 negara) dan implementasinya yang menerapkan prinsip “common but differentiated responsibility” dinilai paling berhasil dengan adanya komitmen penuh dari negara maju maupun negara berkembang.***


Senin, 06 September 2010

Menyelamatkan Areal Konservasi di Tengah Ketidakpastian


Areal konservasi itu adalah benteng terakhir sebagai penyangga kehidupan. Namun sayangnya, ia hanya jelas di atas kertas. Sementara di lapangan ia terlihat samar-samar, antara ada dan tiada. Karena tak bertanda apalagi berpagar. Jadilah ia areal yang rawan untuk dirambah dan menjadi pemicu konflik yang tak berkesudahan.

Laporan Buddy Syafwan dan Andi Noviriyanti, Pekanbaru redaksi@riaupos.com


DINGINNYA semburan Air Conditioner (AC), Kamis (2/9) sore, di Hotel Ibis Pekanbaru, tak mampu membendung keluarnya unek-unek para praktisi kehutanan di Riau. Mereka beramai-ramai memprotes pemerintah pusat. Gara-gara, tak jelasnya tata batas kehutanan. Tidak saja tata batas hutan konservasi tetapi juga hutan produksi.
Unek-unek ini diawali oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf. Pria ini menyebutkan bahwa saat ini banyak permasalahan yang muncul dalam pengelolaan hutan dikarenakan tidak jelasnya status lahan dan kewenangan. Hanya saja, ketika muncul permasalahan, limpahannya kembali kepada daerah.

‘’Kadang kita juga perlu meluruskan, ketika pemerintah menerbitkan izin seluas 1,7 hektare untuk industri kehutanan, kita tak terlibat. Tapi, ketika ada permasalahan yang berkaitan dengan aktivitas di lapangan, itu dianggap sebagai syahwat dari otonomi daerah, ini bagaimana?’’ tanya Zulkifli mencoba membuka forum diskusi pada Seminar Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem bersempena Hari Konservasi.
Uniknya lagi, jelas Zulkifli, pemerintah membuat penetapan tanpa memantau lebih jauh kondisi riil yang ada di lapangan. ‘’Ada lahan Hutan Tanaman Industri yang sudah puluhan tahun berdiri tapi tak pernah ditata batas. Ketika muncul masalah, siapa yang akan menyelesaikan,’’ papar dia dengan intonasi lebih keras.

Ungkapan Kadishut Zulkifli Yusuf ini pada dasarnya memang menjadi satu catatan tersendiri dari lemahnya sistem pengawasan terhadap sektor kehutanan dewasa ini. Mengapa demikian, karena memang pada faktanya, banyak permasalahan dan konflik kehutanan muncul dikarenakan tidak jelasnya tata batas kawasan hutan tersebut. ‘’Di atas kertas benar ada, tapi, fakta dan realitanya bagaimana?’’ gugah dia.
Pemerintah memang membuat penetapan terhadap luas kawasan, namun, belum tentu penetapan tersebut sesuai dengan fakta yang ada di lapangan dan biasanya nyaris tak terpantau. Ibarat sebuah rumah, ada batas yang jelas tentang kepemilikan yang dikuatkan dengan pagar atau tanda tertentu.

Itulah yang disebutkan Kepala Dinas Kehutanan Bengkalis, Ismail saat menjelaskan beberapa konflik pengelolaan kawasan hutan di wilayahnya. Sebut saja, kawasan Suaka Marga Satwa (SM) Balai Raja yang kini menjadi puluhan perkampungan dan dihuni oleh puluhan bahkan ratusan ribu warga.

‘’Kira-kira yang benar mana, kampung menjarah hutan, atau hutan yang menjarah kampung?’’ lontar Ismail mencoba merunut akar permasalahan di area konservasi gajah tersebut.

“Bila memang pemerintah mengatakan itu kawasan suaka, kapan pemerintah membuat batasnya? Menentukan satu titik ini pintu masuk dan itu pintu masuk lainnya, sehingga jelas areal itu di mata masyarakat,” ujarnya lagi.

Selama ini, pemerintah tidak membuat hal tersebut, sehingga, sulit untuk mencari mana yang harus dibenarkan dalam menuntaskan masalah tersebut.

Begitupun, dijelaskan Ismail, dia bukan hendak menyebutkan kondisi yang terjadi dewasa ini sebagai sebuah kebenaran. ‘’Kalau memang salah, kita harus pindahkan juga masyarakat dari kawasan itu. Walaupun saat ini kondisinya sudah tidak hutan lagi,’’ sebut dia.

Yang pasti, menurut dia, harusnya, semenjak awal, pemerintah sudah membuat rambu berupa tata batas yang jelas untuk kawasan yang dilindungi tersebut, sehingga, tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. ‘’Kalau seperti sekarang ini, manusia mati, ribut juga, tapi hanya dilingkungan masyarakat saja. Tapi kalau gajah mati, ributnya bisa sampai ke luar negeri. Kita mau menjelaskan yang mana?’’ singgung Ismail lagi.

Apa yang disebutkan Ismail tersebut, baru sebagian kecil dari permasalahan kawasan hutan konservasi yang terjadi di Riau. Hal tersebut setidaknya juga diungkapkan Kepala UPT Tahura Sultan Syarif Kasim, Makmun Murod.

Ketika dihadapkan dengan permasalahan lahan dan kawasan hutan yang menjadi penyangga paru-paru Pekanbaru tersebut dipermasalahkan oleh non governmental organization (NGO) soal luas lahannya, pengelola bahkan tak bisa menunjukkan batas yang jelas. ‘’Sampai saat ini kami masih dipolemikkan oleh NGO karena dianggap tidak tegas soal batas kawasan hutan. Idealnya memang ditetapkan dan ditata kembali sesuai dengan ketentuannya agar tidak menimbulkan permasalahan dan ada ketegasan atas kawasan hutan ini,’’ ucap Murod.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan, Riau memiliki tiga belas kawasan konservasi. Terdiri dari tujuh suaka margasatwa, dua cagar alam, satu taman wisata alam, dan dua taman nasional. Suaka margasatwa tersebut adalah Tasik Besar – Tasik Metas, Tasik Serkap – Tasik Sarang Burung, Kerumutan, Danau Pulau Besar/ Danau Bawah, Bukit Batu, Giam Siak Kecil, Balai Raja, dan Pusat Latihan Gajah Riau. Sementara dua cagar alam yakni Pulau Berkey, Bukit Bungkuk. Selanjutnya satu Taman Wisata Alam yakni Sungai Dumai dan dua taman nasional yakni Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo.

Tiga belas kawasan konservasi itu sebagian hanya tinggal nama, seperti Pusat Latihan Gajah Riau. Sementara lainnya secara rill luasnya telah jauh berkurang bahkan nyaris hilang. Contohnya Suaka Margasatwa Balai Raja yang kini hanya tinggal 10 persen dari luasnya yang ditetapkan 18 ribu hektare.

Itulah sebabnya penatatabatasan menjadi poin penting agar kawasan konservasi yang tersisa di Riau bisa diselamatkan. Tanpa itu, tak mungkin rasanya menyelamatkan areal konservasi di tengah ketidakpastiannya.(ndi)



Minggu, 29 Agustus 2010

Angin Puting Beliung Semakin Sering Terjadi

Angin puting beliung dan hujan es bukan peristiwa baru atau hal yang aneh di Indonesia. Namun persoalannya bagaimana jika angin kencang dengan kecepatan 40-50 kilometer per Jam dan bongkahan kecil es batu itu semakin sering muncul?

Laporan Agustiar dan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Klik google atau mesin pencari di dunia maya lainnya dan masukkan kata kunci puting beliung dan hujan es. Dalam hitungan detik, terlihat puluhan bahkan mungkin ratusan catatan pristiwa angin puting beliung ataupun angin putting beliung disertai hujan es yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Baik di banyak wilayah di Indonesia, maupun di Riau sendiri.

Contohnya saja Kamis (26/8) petang menjelang Magrib lalu. Masyarakat Sorek II, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan merasakan peristiwa itu. Sekitar 27 rumah mereka mengalami kerusakan dengan kondisi atap melayang atau rumah tertimpuk pohon tumbang. Ternyata saat bersamaan angin puting beliung juga terjadi di beberapa tempat. Yang terdata oleh Riau Pos, saat itu Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis dan Taman Sari, di Bandung.

Dari kejadian itu terlihat bagaimana peristiwa lokal yang berdurasi hanya 3-5 menit tersebut telah terjadi di mana-mana, bahkan dalam rentang waktu hampir bersamaan. Riau Pos juga mencatat dari berbagai laporan wartawan Riau Pos yang ada di berbagai daerah, peristiwa ini hampir tak absen dari bulan ke bulan melanda wilayah Riau. Kerusakan rumah semi permanen menjadi dampak umum dari peristiwa ini.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru Philip Mustamu, Jumat (27/8) malam, juga membenarkan peristiwa ini semakin sering terjadi. “Untuk wilayah Riau dalam lima tahun terakhir jumlah bencana alam seperti hujan lebat yang disertai dengan angin puting beliung termasuk hujan es yang terjadi mengalami peningkatan,” ujarnya, namun tak merinci data peningkatan dengan alasan datanya berada di kantor.

Philip juga menyebutkan sampai akhir tahun nanti, peristiwa semacam itu akan makin sering terjadi. Oleh karena itu dia mengingatkan agar masyarakat waspada. “Kepada masyarakat untuk tetap waspada. Sebab kondisi bisa terjadi dimana saja,’’ ujarnya
Beberapa waktu lalu, Dr Armi Susandi, pakar perubahan iklim, dalam beberapa kali wawancaranya dengan Riau Pos juga mengemukakan hal yang sama. Peristiwa angin puting beliung itu akan semakin sering terjadi. Hal itu, katanya terkait dengan peningkatan suhu akibat pemanasan global yang saat ini terjadi.

Philip, Kepala BMKG Stasiun Pekanbaru juga memprediksi hal yang sama. Apalagi bila melihat penyebab dari pristiwa itu yang banyak dipicu oleh cuaca panas ekstrim yang kini memang sering terjadi.

Drs Achmad Zakir AhMG dalam situs meteo.bmg.go.id menjelaskan, masyarakat perlu mengetahui bagaimana ciri-ciri peristiwa ini akan terjadi sebagai bahan antisipasi. Dia memaparkan peristiwa itu sering terjadi pada saat peralihan musim dari kemarau ke musim hujan dan umumnya terjadi pada siang atau sore hari. Kemudian satu hari sebelumnya udara pada malam hari hingga paginya panas atau pengab. Lalu sekitar pukul 10.00 WIB terlihat tumbuh awal cumulus (awan berlapis-lapis). Di antara awan tersebut ada jenis awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol. Awan tersebut, kemudian, dengan cepat berubah warna menjadi hitap gelap. Selanjutnya, hujan pertama yang turun setelah itu adalah tiba-tiba dan deras.

Meskipun memiliki gambaran yang cukup jelas tentang hal itu, menurut Armi kadang-kadang masyarakat lalai membaca sinyal alam itu. Apalagi peristiwa itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat dan singkat. Untuk mencegahnya hampir sangat sulit. Namun setidaknya kalau dilakukan penanaman pohon atau banyak pohon yang tumbuh ditempat itu, maka akan mengurangi cuaca panas yang menjadi pemicu pristiwa itu.
Selain melakukan pencegahan, yang terpenting, tambahnya, masyarakat harus melakukan adaptasi. Pemerintah juga hendaknya membantu. Agar masyarakat di daerah dataran rendah dan rawan tersebut membangun rumah permanen.

Selain itu, Achmad Zakir, juga mengingatkan agar masyarakat mengurangi kerimbunan pohon yang terlalu tinggi. Bahkan jika ada pohon yang sudah rapuh sebaiknya ditebang.

Semoga peristiwa ini mengingatkan kita untuk bisa berbuat banyak dalam mencegah pemanasan global yang menjadi biang masalah dari berbagai bencana lingkungan yang kini sering terjadi.***