Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Rabu, 21 Januari 2009

Tujuh Pelanggaran Objektivitas Berita Lingkungan - BAB II bagian 1


pelanggaran objektivitas dapat dibagi dalam tujuh model. Pertama, memasukkan istilah dan definisi yang menyesatkan. Kedua, membuat berita yang tidak berimbang, artinya hanya menghadirkan satu sisi berita. Ketiga, memasukkan opini sebagai berita. Keempat, mengurangi informasi dan konteks yang ada sehingga dapat mengubah cerita yang sebenarnya. Kelima, selektif menghilangkan berita tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik. Keenam, menggunakan fakta yang benar untuk menggambarkan kesimpulan yang salah. Terakhir distorsi fakta, yaitu tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.


Suatu malam, di minggu kedua Bulan Mei 2006, Menteri Kehutanan MS. Kaban, di Pekanbaru, Riau, berpidato sesaat sebelum acara Deklarasi dan Penandatanganan Surat Pernyataan Penghentian Pembakaran Lahan untuk para pengusaha kehutanan dan perkebunan. Dalam pidatonya yang singkat, Kaban bercerita tentang ancaman dari pembeli luar negeri, bahwa mereka akan membeli minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) asal Indonesia lebih murah US $ 2-4 per ton dari negara lainnya. Alasannya, karena berita dari kalangan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop/NGO) yang menyebarkan informasi bahwa perluasan kebun sawit yang seakan-akan tidak terkendali, telah mengakibatkan musnahnya habitat orangutan dan menyebabkan banyak orangutan Sumatera yang mati.

Lalu katanya, beberapa hari sebelumnya, organisasi non pemerintah internasional juga menyebarkan informasi, dalam tempo sangat pendek akan ada 15 ekor gajah di Riau yang mati. Begitu berita tentang kematian gajah itu mencuat, dia kuatir harga CPO Indonesia akan kembali turun US $ 6-8 per tonnya. Dia juga menyebutkan adanya berita penembakan, peracunan, dan penangkapan gajah di Riau di media massa. Semua itu ungkapnya, telah membentuk opini publik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia.
Menteri juga menyinggung persoalan wartawan yang ketika membuat berita kebakaran lahan dan hutan, selalu menyamakannya dengan kebakaran hutan. Padahal berdasarkan data hot spot dari satelit NOAA dari tahun 2002-2005, katanya, sebagian besar kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan mencapai 70-60 persen, hanya 30-40 persen di dalam kawasan hutan. “Lebih baik kalau membuat berita mengenai itu, katakan saja sebagai kebakaran, jangan langsung kebakaran hutan,” kata Menteri dalam pidatonya malam itu.
Pernyataan menteri kehutanan malam itu, menyiratkan besarnya pengaruh pemberitaan lingkungan dalam pembentukan opini publik. Termasuk bagi pihak pembeli produk-produk ekspor Indonesia. Selain menjadi ancaman bagi penurunan harga CPO, pemberitaan negatif juga bisa berpotensi mengakibatkan komoditi ekspor Riau lainnya seperti kertas dan bubur kertas, ditolak pasar internasional.
Pemberitaan lingkungan hidup di media massa dapat menjadi kekuatan yang efektif untuk menyelamatkan lingkungan di Indonesia. Sehingga para pengusaha di bidang perkebunan, kehutanan, maupun lainnya harus berhati-hati dalam upaya mereka menyelamatkan lingkungan di dalam dan sekitar areal mereka. Namun, berita yang sama dapat memberi dampak kebalikan bagi para pihak apabila tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang benar. Berita-berita yang tidak objektif, misalnya tidak akurat, tidak berimbang, tidak valid, dan tidak didukung oleh fakta dan data yang memadai dapat menjadi kontra produktif untuk pengembangan dan peningkatan perekonomian.

Berita yang Menyesatkan
Keesokan harinya, penulis bertemu dengan Public Affairs External Relations PT Arara Abadi Ir. Bimo Nugroho, yang juga hadir malam itu. Dalam perbincangan kami sempat membahas mengenai objektivitas pers. Dia menyarankan agar media massa dan wartawan hendaknya menyajikan berita lingkungan yang matang. Bila berita yang disebarluaskan itu tidak benar, maka akan berdampak buruk, baik kepada para pihak yang menjadi objek (perorangan, perusahaan, dll) maupun citra Indonesia secara keseluruhan.
Dia mencontohkan, pada malam yang bersamaan dengan kehadiran Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam pidatonya secara khusus mengingatkan perlunya kewaspadaan dan pengawasan ketat terhadap enam perusahaan di Riau, untuk mengontrol wilayah konsesinya terhadap kebakaran. Peringatan itu muncul mengingat letak keenam perusahaan tersebut berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sehingga, kebakaran lahan di enam perusahaan ini berpotensi menyebarkan asap ke negara tetangga tadi dan akan membuat Indonesia kembali dikenal sebagai negara pengekspor asap.
Keenam perusahaan itu menurut Menteri adalah PT Perkebunan Nusantara V, PT Ivo Mas Tunggal, PT Sekatul Mas, PT Satria Perkasa Agung, PT Adei Plantation dan PT Rokan Rimba Lestari. Keenam perusahaan ini berada di tiga kabupaten/kota di Riau yakni Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hulu.
Lalu keesokan harinya, muncul berita di sebuah harian terbitan Pekanbaru, dengan kepala berita berjudul “2005, 90 Persen Kebakaran Hutan Terjadi di Riau.” Dalam berita itu pernyataan Menteri Witoelar tertulis menjadi, “Rahmat juga mengingatkan enam perusahaan Riau yang paling banyak melakukan pembakaran hutan dan lahan adalah PTPN V, PT Sekatul, Ivomas, Satria Perkasa Agung, Rimba Lestari, dan Adei Plantation. Enam perusahaan ini harus lebih meningkatkan high control terhadap lahan yang berada di wilayah kerjanya.”
Berita seperti itu, katanya, jelas tidak benar. Atasannya yang juga sama-sama hadir malam itu, menyampaikan kekagetan dan keheranannya, mengapa berita yang muncul demikian. Eksekutif perusahaan itu berpendapat bahwa pemberitaan itu dapat memberikan citra buruk terhadap perusahaan yang bersangkutan, apalagi disebutkan keenam perusahaan itu paling banyak melakukan pembakaran hutan dan lahan. Padahal menurutnya, menteri tidak pernah mengatakan keenam perusahaan itu melakukan pembakaran. Dengan kata lain, isi berita itu telah memvonis keenam perusahaan melakukan pembakaran.
Menteri juga berusaha menerangkan perbedaan makna pembakaran dengan kebakaran. Yang pertama karena kesengajaan, sedangkan arti kebakaran memerlukan penyelidikan apakah disengaja, alami atau terkena rembetan dari kebakaran pada wilayah lain di dekatnya. Pemakaian kata pembakaran, menurut Menteri, cenderung memberi citra negatif bagi perusahaan yang disebut dalam berita.
Selanjutnya menurut analisis penulis, wartawan juga tidak mengindahkan permintaan Menteri malam itu agar memakai istilah yang akurat dalam pemberitaan. Menteri sudah berpesan, jangan menggunakan kata kebakaran hutan, karena yang terbakar tidak semuanya hutan tapi malah sebagian besar lahan. Penggunaan istilah kekebakaran hutan berbeda arti dengan kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai perbandingan, dua berita yang ditulis oleh dua media berbeda berkaitan dengan peristiwa itu, ditampilkan kembali. Berita pertama diambil dari koran Riau Pos dan berita lainnya berasal dari Media Indonesia. Berita dari Riau Pos, menampilkan informasi yang menyatakan bahwa keenam perusahaan yang disebutkan Meneg LH malam itu, sebagai pembakar hutan dan lahan. Berita yang sama juga menggunakan istilah kebakaran hutan pada kebakaran hutan dan lahan. Berita kedua yang dimuat oleh Media Indonesia tidak melakukan kesalahan informasi mengenai keenam perusahaan itu, tapi menggunakan istilah yang salah yaitu menyamakan istilah kebakaran hutan dengan kebakaran hutan dan lahan. (Lihat Kliping Berita 1. dan 2.)






------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kliping Berita 1. (Riau Pos, 11 Mei 2006)

2005, 90 Persen Kebakaran Hutan Terjadi di Riau
PEKANBARU (RP)- Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengatakan, tahun 2006 merupakan tahun terakhir Indonesia mengekspor asap keluar negeri. Untuk itu khususnya Provinsi Riau, harus meningkatkan pengawasan (high control) terhadap munculnya aksi pembakaran hutan dan lahan. Pasalnya, berdasarkan catatan tahun 2005 sekitar 90 persen kebakaran hutan dan lahan terjadi di Riau dengan luas areal yang terbakar 20.083 hektare yang tersebar di 2.896 titik.

‘’Dengan adanya deklarasi ini marilah sama-sama kita menjaga dan melakukan high control. Dan ini yang harus dilakukan Pemprov Riau terhadap Kabupaten Bengkalis, Rohul, dan Kota Dumai. Daerah ini menjadi penyumbang asap terbesar di Riau,’’ bebernya.

Rahmat juga mengingatkan enam perusahaan Riau yang paling banyak melakukan pembakaran hutan dan lahan adalah PTPN V, PT Sekato, Ivomas, Satria Perkasa Agung, Rimba Lestari, dan HDI Plantation. Enam perusahaan ini harus lebih meningkatkan high control terhadap lahan yang berada di wilayah kerjanya.

Kehadiran Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar bersama-sama dengan Menteri Kehutanan MS Ka’ban dan Menteri Pertanian Anton Apriantono ke Riau, kemarin untuk menyaksikan penandatanganan surat pernyataan penghentian pembakaran hutan dan lahan, antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pertanian yang beroperasi di Riau, Rabu malam di Hotel Aryaduta Pekanbaru.

Acara malam tadi juga dihadiri langsung Gubernur Riau HM Rusli Zainal SE dan para gubernur Se-Sumatera di antaranya Gubsu, Gubernur Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan, perusahaan yang ikut menandatangani kesepakatan malam tadi adalah CV Alam Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT Bukit Betabuh Sei Indah, PT Citra Sumber Sejahtera, CV Harapan Jaya, PT Hutani Sola Lestari, PT Madu Koro, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, dan PT Mitra Tabi Nusa Sejati.

Menteri Pertanian Anton Apriantono dalam paparannya mengatakan deklarasi ini sangat penting dilakukan, guna mencegah terjadinya pembakaran hutan dan lahan ke depannya. Pasalnya, akibat dari kebakaran hutan dan lahan ini dapat menimbulkan kerugian cukup besar, baik itu bidang ekonomi, ekologis dan politis.

‘’Masih banyak yang harus dilakukan pemerintah dan perusahaan mencegah permasalahan asap ini. Salah satunya, meningkatkan pengawasan ekstra pada lahan yang berada di wilayah kerja masing-masing serta menangkap dan memberi hukuman secara tegas kepada oknum yang secara sengaja melakukan pembakaran hutan dan lahan ini,’’ tegasnya.

Sementara itu Menteri Kehutanan MS Ka’ban juga menyambut baik deklarasi ini. Diharapkan ke depannya, penandatanganan kesepakatan dapat ditindak lanjuti. Tentunya dengan melakukan penghentian kebakaran hutan dan lahan. Pada kesempatan tersebut Ka’ban juga menyinggung persoalan matinya 15 gajah di Riau. Ia mengatakan, kematian gajah ini akan mengakibatkan turunnya harga crude palm oil (CPO) Riau sebesar 8 dolar AS. Karena, menurut informasi matinya gajah tersebut sudah disebarkan luaskan oleh NGO kepada negara-negara internasional.

‘’Sebelumnya NGO juga menyebarkan kematian orang hutan ke negera-negara internasional. Di mana pada saat itu harga CPO turun sampai dengan 4 dolar AS. Kami harapkan seluruh daerah bisa memperhatikan peristiwa ini, jangan sampai terjadi lagi ke depannya,’’ pinta Ka’ban.

Sementara itu Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengatakan deklarasi ini merupakan momentum yang sangat tepat dan penting. Sebab, aksi pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di tanah air seolah-olah sudah menjadi langganan setiap tahun, dan menjadi isu nasional.

‘’Riau merupakan salah satu daerah rawan terjadinya pembakaran hutan dan lahan. Dan pengekspor asap ke negara tetangga, sehingga menimbulkan keluhan terjadinya gangguan kesehatan dan penyakit pernafasan,’’ ujarnya.

Untuk mengantisipasi itu, tambah Rusli, Riau telah melakukan berbagai langkah terjadinya pembakaran hutan dan lahan. Langkah tersebut adalah apel siaga ekstra pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Pusdalkarhutla) Riau. ‘’Lebih spesifik lagi, kami telah turunkan tim reaksi cepat (TRC) ke seluruh daerah tempat terjadinya pembakaran hutan lahan,’’ ujar Rusli.

Diakui Rusli, Riau memang sangat berpotensi terjadinya pembakaran hutan dan lahan. Karena kondisi geografis Riau yang sangat memungkinkan. ‘’Kami akui belum efektifnya sistem deteksi dini, dan kurangnya peralatan standar nasional yang belum dapat dilaksanakan secara objektif. Nah, permasalahan inilah yang membuat Riau selalu dilanda krisis asap berkepanjangan,’’ jelasnya.

Pada acara tersebut juga dilakukan penyerahan aturan perundang-undangan tentang penghentian pembakaran hutan dan lahan secara simbolis oleh Menteri Kehutanan kepada Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau Joko Sulistiyo.(new/asm)


Kliping Berita 2. (Media Indonesia, 11 Mei 2006)

Riau Andil 90 Persen Kasus Kebakaran Hutan
Penulis: Bagus Pratomo

PEKANBARU--MIOL: Kawasan hutan di Provinsi Riau merupakan penyumbang terbesar hingga 93 persen dalam kasus kebakaran hutan secara nasional.

Menteri Pertanian Anton Apriyanto dalam acara Deklarasi Penandatanganan Surat Pernyataan Penghentian Pembakaran Hutan dan Lahan yang diikuti oleh 87 perusahaan di Jambi, Riau, dan Sumatra Utara.

Penandatangan ini berlangsung di Hotel Aryaduta, Pekanbaru, Rabu malam, (10/5) itu juga dihadiri Menteri Kehutanan MS Kaban dan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar serta Gubernur Riau Rusli Zainal.

Menurut Anton, sepanjang 2005 lalu, hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia mencapai 20.083 hektare dengan jumlah titik api mencapai 2.835. "Dari total nasional kawasan hutan dan lahan yang terbakar sebesar 90 persennya terjadi di Riau, kata Anton.

Mentan menambahkan, kebakaran ini terjadi akibat masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Selain itu masih banyak perusahaan, baik yang bergerak di bidang perkebunan dan kehutanan belum memiliki petugas pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Padahal, Departemen Pertanian sudah menerapkan sejumlah peraturan yang melarang perusahaan maupun masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. "Cuma memang harus kita akui, sosialisasi tentang tata cara pembukaan lahan tanpa pembakaran tersebut masih kurang," katanya.

Masih terkait kasus kebakaran hutan, Meneg LH mengingatkan kepada enam perusahaan di Riau agar lebih waspada dalam mengontrol wilayah konsesinya terhadap terjadinya kebakaran.

Peringatan ini muncul mengingat letak keenam perusahaan tersebut berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sehingga, kebakaran lahan di enam perusahaan ini berpotensi menyebarkan asap ke negara tetangga tadi.

Rachmad secara khusus mengingatkan kepada enam perusahaan tersebut lebih meningkatkan kewaspadaannya (high) control) terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di wilayah konsesinya.

Keenam perusahaan tersebut yakni, PT Perkebunan Nusantara V, PT Ivo Mas Tunggal, PT Sekatul Mas, PT Satria Perkasa Agung, PT Adei Plantation dan PT Rokan Rimba Lestari. Keenam perusahaan ini berada di tiga kabupaten/kota di Riau yakni Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hulu (Rohul).

Rachmad menjelaskan selama ini persoalan ekspor asap dari wilayah Riau ke negeri tetangga kerap menimbulkan keluhan. Lebih dari itu, masalah asap yang dimunculkan dari Karhutla juga bisa menjadi ancaman serius bagi kelangsungan ekonomi yang bertumpu pada perkebunan, mengingat masalah kelestarian lingkungan jika terus diisukan miring, bisa membuat produk perkebunan Indonesia tertekan pasarannya di dunia internasional.

Terkait masalah penanggulangan kebakaran hutan dan lahan secara nasional, Menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan pemerintah pusat telah mengalokasikan dana senilai Rp20 miliar. Dijelaskan, dana tersebut dibagi merata ke sejumlah provinsi yang daerahnya rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan.

"Namun, ke depan dana ini tidak lagi dibagi merata. Melainkan dengan sistem on call atau diberikan langsung kepada provinsi yang mengalami kebakaran. Sedangkan sebelumnya provinsi yang rawan namun tidak terjadi kebarakan tetap mendapat bagian dana ini," jelas Kaban. (BG/OL-1)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan demikian, menurut kategorisasi Simmon (2004), berita-berita yang muncul itu dikategorikan melanggar objektivitas. Secara garis besar menurut Simmon, pelanggaran objektivitas dapat dibagi dalam tujuh model. Pertama, memasukkan istilah dan definisi yang menyesatkan. Kedua, membuat berita yang tidak berimbang, artinya hanya menghadirkan satu sisi berita. Ketiga, memasukkan opini sebagai berita. Keempat, mengurangi informasi dan konteks yang ada sehingga dapat mengubah cerita yang sebenarnya. Kelima, selektif menghilangkan berita tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik. Keenam, menggunakan fakta yang benar untuk menggambarkan kesimpulan yang salah. Terakhir distorsi fakta, yaitu tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.
Dari kedua berita tersebut terlihat hampir ketujuh model pelanggaran objektifitas berita telah dilakukan. Memasukkan istilah dan defenisi yang menyesatkan dapat terlihat dari penggunaan istilah kebakaran hutan dan lahan disamakan dengan kebakaran hutan. Hal itu terlihat jelas dari kedua judul berita tersebut yaitu “2005, 90 Persen Kebakaran Hutan Terjadi di Riau“ dan “Riau Andil 90 Persen Kebakaran Hutan“. Padahal dalam konteks sebenarnya yang terjadi adalah kebakaran hutan dan lahan. Bila dibandingkan, sesuai dengan pernyataan Menteri Kehutanan MS Kaban hanya 30-40 persen hutan yang terbakar selebihnya merupakan lahan.
Membuat pemberitaan yang tidak berimbang dengan menghadirkan satu sisi berita, terlihat dari isi berita yang ditulis Riau Pos. Disebutkan ada enam perusahaan yang paling banyak melakukan pembakaran hutan dan lahan, yaitu PTPN V, PT Sekato, Ivomas, Satria Perkasa Agung, Rimba Lestari, dan Adei Plantation. Seharusnya pihak perusahaan tersebut yang dalam konteks itu dituduh paling banyak melakukan pembakaran juga harus diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan. Hal itu berbeda dengan yang dimuat Media Indonesia, mereka tidak membuat berita tuduhan hanya berisi informasi tentang mengingatkan keenam perusahaan tersebut meningkatkan kewaspadaannya karena berada di areal yang letaknya berdekatan dengan kawasan tetangga.
Memasukkan opini sebagai berita, terlihat pada lead berita yang ditulis oleh Media Indonesia. Di situ disebutkan kawasan hutan di Provinsi Riau merupakan penyumbang terbesar hingga 93 persen dalam kasus kebakaran hutan secara nasional. Kalimat itu disebut opini wartawan karena terlihat tidak ada sumber berita yang menyatakan hal itu dan tampak sebagai kesimpulan wartawan.
Pengurangan informasi dan konteks yang ada sehingga dapat mengubah cerita yang sebenarnya, selektif menghilangkan berita tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik serta menggunakan fakta yang benar untuk menggambarkan kesimpulan yang salah, dapat dilihat dari pengurangan kata kebakaran lahan pada informasi karhutla. Dengan menghilangkan kata kebakaran lahan maka cerita berubah menjadi kebakaran hutan saja, sehingga seolah-olah Riau merupakan tempat pembakaran hutan terbesar.
Tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat, dalam hal ini dapat disamakan dengan kurang seksamanya wartawan tersebut menyimak pidato menteri malam itu. Dalam peristiwa malam itu, wartawan masih mempunyai waktu memeriksa kembali keakuratan informasi yang diterima, dengan menanyakan kembali ke sumber yang tepat. Malam itu, penulis sempat menyaksikan salah seorang wartawan kembali mengulang pertanyaan kepada Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, apakah benar keenam perusahaan itu merupakan perusahaan yang paling banyak melakukan pembakaran hutan dan lahan. Sikap ini, menurut penulis seharusnya juga dilakukan oleh wartawan yang masih ragu-ragu akan informasi yang diterimanya atau tidak seksama menyimak pidato menteri saat itu.


0 komentar: