-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kliping Berita 3. (Kompas, 29 Juli 2006)
Warga Riau Dikepung Asap Pekat
Kebakaran Lahan Capai 3.000 Ha
PEKANBARU, KOMPAS - Dua hari terakhir, Kamis dan Jumat (28/7), warga Riau dikepung asap pekat. Pekatnya asap akibat kebakaran lebih dari 3.000 hektar lahan dan hutan itu menyebabkan angkutan udara dari darat terganggu. Aktivitas sehari-hari penduduk pun terusik karena jarak pandang efektif hanya 50 meter.
Sinar matahari tidak mampu menembus tebalnya kabut asap pekat. Itu sebabnya, sebagian sis¬wa sekolah yang berjalan kaki memilih bergerak berombongan sedikitnya bersama satu atau dua teman agar lebih aman. Dengan cara itu, mereka dipastikan lebih mudah terlihat oleh sorot lampu kendaraan bermotor sehingga terhindar dari tabrakan. Jarak pandang yang amat terbatas me¬nyebabkan arus lalu lintas cen¬derung lebih lambat dan sangat bergantung pada penerangan ja¬lan dan panduan dari aparat ke¬polisian.
Kabut asap merata di beberapa kota di Riau, di antaranya di Pekanbaru, Minas-Siak, Pelala¬wan, Bengkalis, Bagansiapi-api, Hokan Hilir, dan Dumai. Asap juga ditemukan di Jambi. Arah angin dari utara dan timur meng¬giring asap ke Selat Malaka se¬hingga kini asap juga mengancam Malaysia dan Singapura.
Hidupkan lampu
Di sepanjang ruas-ruas jalan di Pekanbaru, pada pukul 06.00 sampai sekitar pukul 08.00, rumah-rumah maupun kendara¬an tetap terlihat menghidupkan lampu. Kemacetan akibat terba¬tasnya pandangan sempat terjadi sempat terjadi di kawasan protokol Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gajah Ma¬da, dan Jalan Tuanku Tambusai. Bahkan, asap merambah kawasan Pasar Pusat, Pasar Kodlim, dan pasar-pasar pagi lainnya di Pekanbaru.
Pekatnya asap juga memaksa sebagian warga memilih mengenakan masker. "Sebenarnva tam¬bah terasa sesak saja kalau me¬makai masker ini, tetapi lebih baik melindungi diri daripada mengisap asap. Takutnya nanti sakit pernapasan,” kata Umar, warga Pekanbaru yang sedang mengantar salah satu anaknya bersekolah di MAN 1 Pekanbaru.
Hal menarik, meski pemakaian masker, sapu tangan, ataupun sekadar menutup hidung dengan tangan sudah dilakukan sebagian warga, sebagian besar warga ma¬sih tampak tidak hirau dengan gangguan asap. Tidak peduli pula bahwa masker dibagikan pemerintah dan relawan secara gratis. Seorang warga menuturkan, ben¬cana asap sudah diterima warga sebagai "rutinitas tahunan".
Warga mungkin belum terlalu risau karena belum ada imbauan khusus dari pemerintah tentang bahaya asap. Biasanya, setelah ada imbauan resmi, warga di¬haruskan memakai masker jika bepergian dan diharapkan mengurangi aktivitas di luar rumah. Sesuai seruan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Taswin Yakub kepada warga di 11 ka¬bupaten/kota, pihak sekolah mengimbau, jika asap tetap pekat, setiap murid dan warga diharap¬kan mengenakan masker saat berada di luar ruangan agar tidak terjangkit penyakit infeksi salur¬an pernapasan atas (ISPA).
Asap kian terasa mengganggu pergerakan masyarakat yang ber¬arti terhambatnya perputaran ekonomi. Lima penerbangan yang tersandung masalah asap dan dialihkan pendaratannya ke Padang ialah Merpati dari Me¬dan; AirAsia dari Kuala Lumpur, Malaysia; Mandala dan Garuda dari Jakarta. Adapun jadwal keberangkatan yang tertunda ada¬lah Mandala tujuan Jakarta.
Siswanto, karyawan perusaha¬an perkebunan, menyesalkan di¬alihkannya pendaratan beberapa penerbangan sebab berarti ia ga¬gal bertemu mitra bisnisnya. Pa¬dahal, menurut dia, ini hari ter¬akhir baginya bertemu seorang penanam modal asal Jakarta un¬tuk menyelesaikan akta jual beli sekaligus perjanjian kerja sama di bank dan di depan notaris.
Dari data resmi yang dikeluar¬kan Kepala Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru Ale¬xius Kismoyo melalui Kepala Di¬visi Operasional Lalu Lintas Uda¬ra Bandara SSK II Pekanbaru Joko Sudarmanto, kabut asap kali ini bercampur embun. Kepekatan campuran asap dan kabut menye¬babkan jarak pandang 50-100 meter sehingga amat riskan jika aktivitas penerbangan dilanjut¬kan.
Data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Ri¬au menunjukkan kebakaran la¬ban dan hutan telah terjadi sejak tahun 1982 untuk seluruh ka¬wasan di Nusantara. Di Riau, ke¬giatan pembakaran meluas dan lebih sistematis sejak 1996, dan mencapai puncak terparah tahun 1998 dengan terbakarnya puluh¬an ribu hektar lahan dan hutan.
Kepala Polda Riau Brigjen (Pol) Ito Sumardi menegaskan, ia memerintahkan jajarannya merazia pelaku pembakaran lahan.
Menurut Ito, dari hasil pemantauan udara, di sekitar areal pembakaran selalu terdapat ten¬da-tenda dari terpal yang diduga sebagai tempat bermukim para pelaku. Mereka menjadi target pertama penangkapan yang akan dikembangkan dengan penang¬kapan para pemodal atau yang mengotaki pembakaran sistema¬tis untuk mengalihfungsikan hu¬tan menjadi areal perkebunan.
Saat ini telah diamankan Ca¬mat Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Bachtiar bersama dua kepala desa yang diduga ter¬kait aktivitas pembakaran lahan. Jumlah titik api pada Jumat kemarin tidak terpantau secara detail karena peralatan milik Ba¬dan Meteorologi dan Geofisika Pekanbaru mengalami gangguan operasional. Namun, salah se¬orang petugas jaga Kantor BMG , Pekanbaru mengatakan, titik api diperkirakan tetap, berkisar 120 lokasi di seluruh Riau. .
Batalkan izin perkebunan
Sementara itu, Pemerintah Malaysia telah bersepakat de¬ngan Pemerintah Indonesia untuk memadamkan titik-titik api di perkebunan sawit yang me¬rupakan salah satu penyebab ter¬jadinya kabut asap tahunan, di wilayah Indonesia. Malaysia juga mengancam akan membatalkan izin kepemilikan perkebunan jika mereka melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan.
Hal itu disampaikan seorang pejabat Malaysia di Kementerian Industri dan Komoditas Perke¬bunan, Jumat. Sebelumnya, se¬bagaimana dikutip
The New Stra¬it Times, menteri kementerian itu, Peter Chin, mengatakan, "Ini adalah peringatan. Kami meng¬awasi perkebunan-perkebunan di Malaysia sangat ketat:"
Awal pekan ini dilaporkan ku¬alitas udara dari sedikitnya tiga wilayah di Malaysia tidak sehat meski kini kondisinya terus membaik.
Meski sebagian titik api pe¬nyebab kabut asap itu berada di wilayah Indonesia, lebih dari 20 perusahaan sawit Malaysia yang berinvestasi di Indonesia –berdasarkan pemantauan pada tahun-tahun sebelumnya– ikut menyumbang terjadinya kabut asap (NEL/AP/OKI)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatikan lead berita dengan kalimat, “Pekatnya asap akibat kebakaran lebih dari 3.000 hektar lahan dan hutan itu menyebabkan angkutan udara dan darat terganggu.” Lalu hingga berita itu selesai dibaca, tidak ditemukan dari mana si wartawan mengutip data yang menyatakan kebakaran terjadi pada 3.000 hektar lahan dan hutan. Tidak ditemukan juga penjelasan tambahan di kawasan mana saja yang terbakar.
Berita itu ternyata memberikan dampak yang cukup besar di tingkat nasional. Pada tanggal 3 Agustus 2006 Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pejabat Kemenko Polhukam Laksamana Madya Djoko Sumaryono, Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum Lambock V. Nahattands, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan M. Arman Mallolongan, dan sejumlah staf lainnya datang ke Pekanbaru untuk mendapatkan penjelasan mengenai hal itu. Para pejabat itu, dengan bantuan pesawat TNI Angkatan Udara (AU), melakukan survei udara. Kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan pemaparan dari sejumlah instansi terkait di Riau. Mereka tidak menemukan data luasan hutan dan lahan yang terbakar hingga 3.000 hektar.
Kepala bagian hubungan masyarakat pemerintah daerah Provinsi Riau Surya Maulana kepada penulis yang saat itu juga meliput berita yang sama, kecewa karena pemberitaan yang menyebutkan luas kebakaran mencapai 3.000 hektar itu. Menurutnya, dari penjelasan sejumlah instansi terkait dalam acara pertemuan antara pemerintah Provinsi Riau dengan Kemenko Polkam dan Menteri Lingkungan Hidup yang membahas masalah tersebut, wartawan telah salah membaca data itu. Ia lalu membeberkan data akumulasi kebakaran lahan dan hutan di Riau hingga bulan Juni 2006 seluas 2.975 hektar. Sedangkan dalam koran tertulis seolah-olah luasan kebakaran 3.000 hektar itu terjadi dalam satu atau beberapa hari saja.
Ia juga menyampaikan kritikan pemakaian istilah asap pekat yang tertulis dalam berita tersebut. Menurutnya, sesuai paparan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Riau, yang terjadi hari itu bukan asap pekat tapi kabut bercampur asap. “Saya kecewa mengapa mereka tidak melakukan konfirmasi,” ujarnya.
Lebih lanjut dalam pertemuan itu juga disebutkan data hot spot pada minggu ke empat Juli mulai tanggal 25 Juli sampai 29 Juli 2006 berturut-turut 129, 58, 0, 7, dan 29 hot spot. Angka ini berbeda dengan yang tertulis dalam berita, yakni sebanyak 120 titik api seperti tertulis pada paragraf ke-14.
Berita tersebut juga tidak cukup memuat pernyataan-pernyataan atau argumentasi pendukung dari para pihak yang dinilai berkompeten dalam masalah tersebut. Hanya disebutkan satu narasumber saja yang jelas dalam berita itu yakni Kepala Divisi Operasional Lalu Lintas Udara Bandara SSK II Pekanbaru Joko Sudarmanto, yang dikutip mengatakan bahwa kabut asap saat itu bercampur embun.
Berita itu memang memuat hasil reportase lapangan oleh wartawan/para wartawannya. Tetapi hasil pengamatan lapangan tersebut dinyatakan dalam paragraf-paragraf kesimpulan tanpa didukung data yang cukup dan tidak melakukan cek silang. Kabut asap misalnya, disamakan dengan asap pekat. Meski tampak sederhana, tapi dua kata itu memiliki makna yang berbeda.
Istilah asap dan kabut asap itu juga telah lama menjadi keluhan pihak Bapedal. Menurut Kabid Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup Arbaini dan Kabid Pengendalian Pencemaran Lingkungan Bapedalda Riau Makruf Siregar kabut terjadi akibat embun pagi yang biasanya muncul karena pengaruh cuaca dingin, kabut asap berarti embun yang bercampur dengan asap, sementara asap pekat adalah murni asap yang banyak.
Lebih lanjut Makruf menjelaskan tertutupnya langit Pekanbaru saat itu sebagai bentuk fenomena alam. “Kemarin malam hari hujan, Seperti halnya menyiram api di tungku kayu. Makin disiram makin berasap,” ujarnya.
Lalu untuk membuktikan apakah itu fenomena kabut asap atau asap pekat, maka uji sederhana yang paling cepat adalah dengan mengambil data dari laboratorium udara yang bisa didapatkan di Bapedal Riau atau di Laboratorium Udara yang ada di Kota Pekanbaru. Jika yang terjadi pagi itu adalah asap pekat maka Partikulat Meter (PM) 10 nilainya akan tinggi atau masuk kategori tidak sehat hingga berbahaya yaitu berkisar antara 101- >200.
Data kualitas udara yang didapatkan penulis dari Bapedal mulai tanggal 25 – 28 Juli 2006, dari lima stasiun pemantau yang direkapitulasi oleh Bepedal Riau didapatkan hasil sebagai berikut:
Kualitas Udara di Provinsi Riau Bulan Juli 2006
Tanggal
Lokasi 25 26 27 28
Rumbai 78 51 83 59
Minas 48 43 67 62
Duri 50 45 77 22
Dumai 78 63 148 195
Pedada 98 82 73 85
Pekanbaru 78 96 99 66
Namun bila itupun tidak cukup, dapat pula dilihat kondisi langit di Pekanbaru. Bila langit kelihatan tetap tertutup hingga siang hari maka posisi itu memperkuat bahwa yang tampak bergayut di langit itu adalah asap. Tapi bila pada siang hari langit kelihatan cerah maka itu adalah kabut atau embun yang bila kena panasnya cahaya matahari akan menghilang.
Dari pengamatan penulis, siang itu udara di atas kota Pekanbaru kembali cerah merupakan indikator bahwa yang terjadi adalah kabut asap. Pesawat-pesawat yang tidak dapat mendarat dan berangkat dari bandara Kota Pekanbaru saat itu juga merupakan pesawat penerbangan pagi hari.
Dengan demikian dapat disimpulkan berbagai informasi yang ditampilkan dalam berita tersebut adalah informasi yang tidak di periksa kebenarannya secara seksama. Dalam buku Elemen Elemen Jurnalisme (Kovach & Rosenstiel, 2004), disebutkan “Bila ada peristiwa faktual yang saya saksikan saya berprinsip untuk tidak langsung menuliskan cerita pertama yang datang kepada saya, dan bahkan tidak akan tergiring oleh kesan umum yang saya tangkap, baik karena saya hadir langsung di lokasi peristiwa yang saya gambarkan ataupun mendengarkan tentang peristiwa itu dari saksi mata yang laporannya saya periksa seteliti mungkin.”
Jika wartawan berpegang dengan hal itu sembari memelihara sikap skeptisnya atau meragukan semua informasi yang diterimanya bahkan dilihatnya sendiri maka berita yang tampil pada saat itu tidak akan menyesatkan.
Hal lainnya yang juga menarik dari berita ini adalah sejumlah informasi yang disampaikan tidak jelas narasumbernya. Hal itu dapat dilihat pada paragraf tiga, enam, empat belas dan enam belas.
Pada paragraf ketiga berita dinyatakan kabut asap merata di beberapa kota di Riau, di antaranya di Pekanbaru, Minas-Siak, Pelala¬wan, Bengkalis, Bagansiapi-api, Hokan Hilir, dan Dumai. Asap juga ditemukan di Jambi. Ditulis pula bahwa arah angin dari utara dan timur meng¬giring asap ke Selat Malaka se¬hingga kini asap juga mengancam Malaysia dan Singapura. Namun setelah membacanya, tidak disebutkan narasumber atau lembaga yang memberiktan data yang menunjukkan terjadinya kabut asap di beberapa kota di Riau itu, ataukah wartawan sendiri pengamatan ke daerah-daerah tersebut.
Pada paragraf keenam, wartawan kembali memakai memakai sumber anonim, dalam kalimat, “Seorang warga menuturkan, ben¬cana asap sudah diterima warga sebagai "rutinitas tahunan.“ Menurut penulis,pemakaian sumber anonim dalam berita ini dapat dihindari, apalagi bila sumber tersebut adalah seorang warga biasa dan pencantuman namanya terkait dengan berita kabut asap itu, tidak akan membahayakan jiwanya atau keluarganya.
Pada paragraf empat belas, kembali wartawan tersebut menggunakan narasumber anonim dengan menyatakan salah satu sumber anonimnya adalah seorang petugas jaga Kantor BMG. Kemudian, wartawan yang bersangkutan juga berani mengutip informasi yang hanya berdasarkan perkiraan narasumber anonim.
Terakhir, sumber anonim juga dijumpai pada paragraf 16. Berita itu menyatakan seorang pejabat Malaysia di Kementrian Industri dan Komoditas Perkebunan. Tapi tidak menjelaskan siapa nama pejabat yang bersangkutan yang bisa dikonfirmasi kebenarannya.
Kesimpulan-kesimpulan yang ditulis oleh wartawan itu sebagai berita dalam paragraf itu jika diuji dengan Metoda Hayakawa – Lowry (akan dijelaskan lebih detail metode ini pada bagian buku Objektivitas Berita Lingkungan) dapat dikategorikan sebagai opini wartawan karena berisi interpretasi atau prediksi wartawan tentang apa yang dilihatnya dan memuat suatu keputusan atau kesimpulan yang tidak didukung oleh fakta dan data atau narasumber.
Dengan menggunakan metoda Simmon berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan dari tujuh pelanggaran objektivitas ada lima pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran itu meliputi memasukkan istilah dan definisi yang menyesatkan (misleading), membuat pemberitaan yang tidak berimbang, membuat berita yang tidak berimbang, memasukkan opini sebagai berita, menggunakan fakta yang benar untuk menggambarkan kesimpulan yang salah, dan distorsi fakta, yaitu tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.
0 komentar:
Posting Komentar