Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Rabu, 21 Januari 2009

Awal Kekhawatiran - Bab I


Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan


Suatu hari saat sedang menjalankan tugas jurnalistik, penulis bersama seorang jurnalis lain sedang mewawancarai Wakil Kepala Dinas Kehutanan Propvinsi Riau Ir. Sudirno, MM di ruang kerjanya. Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab dengan seragam putih-putih masuk ruangan tanpa mengetuk pintu. Wajahnya terlihat sedikit pucat dan langsung duduk sambil berbicara dengan nada tersendat-sendat.
Arah pembicaraannya tak begitu jelas, ketika ia menyebut soal komitmen mereka berdua untuk bekerja secara halal dalam membiayai kehidupan mereka dan anak-anaknya. Penulis masih kehilangan konteks, sampai ia menyodorkan halaman koran yang memuat berita berjudul “Wakadishut Riau Diperiksa, terkait Kasus Ilog di Siak Kecil”. Penulis diam terpaku, tidak menyangka berita yang dilansir dua hari yang lalu itu bisa mengguncang hati wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit di Pekanbaru itu.
Penulis lalu mendengarkan ia berkeluh kesah kepada suaminya, dengan menyiratkan sebuah kegelisahan. Menurut ceritanya ada desas desus tak sedap di rumah sakit tempatnya bekerja, tentang suaminya yang terlibat pembalakan kayu liar (Illegal logging atau disingkat ilog dalam berita itu). Berita dari mulut ke mulut itu, akhirnya sampai ke telinganya, ketika salah seorang temannya menanyakan perihal itu kepadanya. Mendengar pertanyaan itu, ia mengaku lemas dan mencari tahu sumber desas desus itu. Ternyata, isu tak sedap itu bersumber dari berita di koran. Ia merasa malu dan tertekan dengan berita itu. Hari itu dengan terburu-buru ia meninggalkan tugasnya, demi mendapatkan penjelasan dari suaminya.



Memahami duduk persoalannya, suaminya tersenyum ringan kemudian tertawa. “Jangan percaya berita di koran. Berita itu tidak benar,” ujarnya menenangkan istrinya. Kepada kami berdua yang hadir di ruangan itu, Sudirno mengaku bukan sekali ini diperlakukan tidak adil oleh media massa.
Penulis kemudian meminjam koran itu untuk membaca judul beritanya yang sekilas benar dan bermakna. Namun saat membaca isinya dengan hati-hati, tidak terdapat sama sekali kalimat yang menyebutkan keterkaitan Wakadishut itu dengan illegal logging. Isi berita menyebutkan bahwa Wakadishut dipanggil ke Polda Riau untuk menjadi saksi, pada kasus pembalakan liar di Sungai Siak Kecil.
Penulis juga tahu peristiwa itu, karena hadir dalam peristiwa penangkapan kayu liar di sepanjang Sungai Siak Kecil Kabupaten Bengkalis itu. Cerita sebenarnya, Wakadishut Riau dipanggil dan dijadikan saksi ahli oleh pihak kepolisian, karena ia bersama tim pemberantasan dan peredaran kayu liar yang melakukan penangkapan di sepanjang Sungai Siak Kecil itu. Sudirno sambil tertawa, menyebutkan media itu kadang-kadang aneh, “Saya yang nangkap, kok saya pula yang dituduh terlibat illegal logging”. Betapa sebuah judul berita yang tidak sesuai dengan isinya dapat mengguncangkan kehidupan sebuah keluarga dan menimbulkan desas-desus tak sedap.
Cerita lain datang dari PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), sekarang bernama PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) yang mengirimkan surat kepada salah satu koran terbitan Riau, mengeluhkan judul berita yang tidak sesuai dengan isi berita dan penulisan yang tidak berimbang. Dalam suratnya juga dinyatakan, bahwa mereka sudah berulang kali mengirim surat senada dan membicarakannya secara lisan kepada media yang bersangkutan.
Sebagai wartawan, penulis prihatin bila pers sudah kebablasan seperti itu. Penulis ingat pesan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim kepada peserta Jambore Lingkungan Indonesia di Sariater Jawa Barat tahun 2004. Menteri yang hadir dalam pertemuan Jambore dengan tema Demokrasi Tanpa Kekerasan itu menyampaikan ada tiga hal yang harus dicamkan dalam persoalan lingkungan. Pertama, masalah lingkungan sulit dimengerti masyarakat umum. Kedua, persolan lingkungan penuh ketidakpastian. Ketiga, dampaknya baru terbukti atau dirasakan dalam kurun waktu yang lama. Bisa dalam satu generasi itu, bisa juga dalam generasi berikutnya.
Ucapan Menteri Nabiel saat itu menyiratkan arti agar wartawan berhati-hati dalam menulis berita-berita lingkungan, memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan melakukan check and recheck berulang kali agar tersaji berita lingkungan yang mudah dipahami, benar dan dipercaya. Apalagi pers menurut Adiwijaya (2002), memiliki fungsi diantaranya sumber informasi ke masyarakat, alat komunikasi untuk menyampaikan pendapat umum, dan alat menyebarkan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pembentuk opini publik untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, serta alat kontrol sosial untuk melakukan pengawasan, kritikan, dan koreksi. Dan juga berfungsi memberikan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Terbitnya buku berjudul Advokasi Buta atau Jurnalistik Berkelanjutan ini, antara lain didasari kekhawatiran semakin rendahnya objektivitas jurnalis dan pengabaian kaidah-kaidah jurnalistik yang baik secara umum, maupun penulisan berita-berita lingkungan. Buku ini adalah tesis penulis tentang objektivitas berita lingkungan, yang ditulis kembali dalam bentuk yang lebih populer. Objektivitas yang dimaksud bukan hanya sekedar seimbang, tapi juga benar sesuai fakta, menampilkan data yang valid, narasumber yang kompeten serta menghindari masuknya opini wartawan.
Buku ini tidak mengajarkan hal-hal baru bagi para wartawan, tapi hanya sebuah pesan untuk saling mengingatkan bagi semua wartawan umumnya dan khususnya bagi wartawan yang biasa meliput berita-berita lingkungan hidup.
Penelitian objektivitas itu, khusus penulis lakukan untuk berita-berita lingkungan yang menjadi objek perhatian penulis. Penulis menggunakan dua metoda pengukuran objektivitas berita di media massa, yaitu Metoda Hayakawa-Lowry dan Metoda Ida. Ternyata, penulis mendapatkan hasil pemberitaan lingkungan yang ada di di Surat Kabar Harian (SKH) terbitan Kota Pekanbaru sebagian melanggar parameter-parameter objektivitas.
Buku ini penulis persembahkan untuk menjawab berbagai keluhan narasumber penulis, baik dari pihak aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, maupun swasta. Penulis ingin memberikan proporsi yang adil bagi semua pihak, atas keluhan mereka yang merasa dizalimi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensasional, memicu konflik baru, atau tidak dimuatnya informasi mereka sebagai berita.
Para pebisnis dan perusahaan, sering mengeluhkan kecilnya porsi keberimbangan dalam berita-berita lingkungan hidup. Pejabat pemerintah yang dalam persoalan lingkungan dituduh paling bertanggungjawab, mengeluh karena selalu dipersalahkan. Dituduh melakukan korupsi dan kongkalikong dengan perusahaan atau oknum lain untuk mengambil keuntungan dari kebijakan lingkungan yang mereka ambil. Buku ini juga sekaligus menanggapi keluhan dari rekan-rekan LSM dan para aktivis lingkungan, yang merasa curiga adanya praktik tidak benar dalam media dengan berpendapat bahwa berita-berita buruk yang berhubungan dengan perusahaan selalu tidak diterbitkan, karena media telah disuap.
Buku ini menampilkan metode dan cara mengukur objektivitas berita, sehingga penulis berharap buku ini bisa digunakan oleh lembaga penelitan dan pengembangan di dalam tubuh media massa, untuk mengukur objektivitas berita-berita mereka, baik untuk berita lingkungan maupun berita lainnya. Juga dapat dijadikan bacaan bagi seluruh insan pers, termasuk mahasiswa yang ingin belajar meneliti objektivitas berita. Kemudian buku ini juga menampilkan beberapa saran kepada semua pihak agar mendukung media massa dalam pemuatan berita lingkungan yang cerdas, bernas, dan mampu memasyarakatkan kesadaran lingkungan yang berkelanjutan.

0 komentar: