Terjebak Siaran Pers
Pelanggaran objektivitas dapat juga muncul sebagai akibat wartawan terjebak siaran pers. Kasus yang menarik perhatian banyak pihak adalah kasus yang terjadi pada awal tahun 2006 yaitu terlantarnya sepuluh ekor gajah di Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, yang terjadi Maret 2006 lalu. Salah satu berita menyebutkan Dinas Kehutanan (Dishut) Riau melakukan penangkapan diam-diam terhadap sepuluh ekor gajah Sumatera, lalu merantainya tanpa makan dan minum. Berita ini telah dilansir oleh beberapa media, diantaranya yang penulis ketahui adalah situs www.riauterkini.com dan Metro Riau. Salah satunya penulis lampirkan dalam Kliping berita 4.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kliping Berita 4. (www.riauterkini.com. 27 maret 2006)
Dishut Diam-Diam Tangkap 10 Gajah Sumatera
10 Gajah Sumatera ditangkap diam-diam lalu dirantai tanpa makan dan minum selama 10 hari di Perkebunan Karet Kojo, Balai Raja, Kec. Bengkalis, Riau.
Riauterkini-PEKANBARU-Pada tanggal 21 Maret 2006 pkl 15.30 WIB, WWF menemukan 10 ekor gajah yang ditangkap secara diam-diam oleh Dinas Kehutanan Riau. Kini gajah-gajah tersebut dalam kondisi mengkhawatirkan. Terikat dipohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis.
Kesepuluh ekor gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak professional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari.
Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada pakan atau air.
Tak ada seorang pun baik dari Dinas Kehutanan Riau atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terlihat di lokasi dimana kesepuluh ekor gajah tersebut ditemukan.
Sepuluh ekor gajah tersebut diindikasikan adalah bagian dari 17 ekor gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, akibat rusaknya habitat hutan. Baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar.
Sebagai pertolongan pertama, WWF telah secara sukarela menyediakan pakan, air, dan vitamin kepada 10 gajah-gajah tersebut sejak tanggal 22 Maret 2006, sekaligus memfasilitasi praktisi medis Drh. Wishnu Wardhana, memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut.
Seorang dokter hewan dari pusat latihan gajah terdekat juga telah didatangkan untuk membantu. Meskipun demikian, mengingat kondisi kritis ke-10 ekor gajah diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai. Termasuk antibiotic, pakan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan.
Terkait dengan temuan tersebut, WWF menyerukan kepada pemerintah terkait agar pengobatan dan perawatan serius terhadap 10 ekor gajah ini segera dilakuan. Melihat kondisinya saat ini, tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, karena infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi
Gajah-gajah itu.
Gajah-gajah tersebut segera dilakukan pemindahan sejauh 100 - 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. Saat ini gajah-gajah tersebut berada didalam sebuah perkebunan karet, dimana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan.
"Sebaiknya penangkapan gajah tidak lagi dilakukan. Penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat.Kita juga menyarankan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau.," ungkap aktivis WWF, Nurchalis Fadli (27/3). ***(H-we)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Membaca lead berita itu, para pembaca yang menyayangi hewan atau para aktivis lingkungan akan miris hatinya. Menyakitkan sekali mendengar gajah-gajah itu ditangkap diam-diam, lalu dirantai tanpa makan dan minum. Dinyatakan pula, bahwa Dinas Kehutanan Riau, yakni lembaga yang seharusnya memberikan perlindungan bagi hewan-hewan langka itu, malah memperlakukan mereka tidak layak.
Selintas melihat berita itu terlihat cukup baik, karena memunculkan fakta dan data serta sebuah solusi. Namun bila ditelaah dengan konsep objektivitas, berita tersebut tidak memenuhi salah satu unsurnya, yaitu adanya keberimbangan. Berita itu menyatakan Dishut Riau melakukan tindakan penangkapan dan penelantaran gajah. Namun sebagai pihak yang dituduh melakukan hal itu pihak Dishut tidak dihadirkan sebagai penyeimbang berita.
Ditelusuri lebih lanjut dapat diketahui asal berita itu dari siaran pers yang disiarkan oleh World Wide Fund for Nature (WWF) yang disiarkan dalam dua bahasa (Siaran pers 1). Mendapatkan informasi melalui siaran pers bukan hal yang salah. Hanya harus disadari bahwa siaran pers tetap harus diperiksa kebenarannya melalui konfirmasi ke pihak lain, terutama kepada para pihak yang disebutkan di dalam siaran pers itu. Sayangnya, dalam kasus ini hal itu tidak dilakukan oleh wartawan yang bersangkutan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Siaran Pers 1
versi Bahasa Indonesia
Date: Sat, 25 Mar 2006 15:04:21 +0700
Friom:”Desnarita Murni” dmurni@wwf.or.id
Subject: News Update: 10 ekor gajah dalam kondisi mengkwatirkan (25 Meret 2006)
Rekan wartawan, informasi terlampir. Thanks
Setelah ditangkap diam-diam, 10 Gajah Sumatera dirantai tanpa makan dan minum selama 10 hari di Perkebunan karet Kojo, Balai Raja, Kec. Bengkalis Riau
Pada tanggal 21 Maret 2006 pkl 15.30 WIB, WWF menemukan 10 ekor gajah yang ditangkap secara diam-diam oleh Dinas Kehutanan Riau dalam kondisi mengkhawatirkan terikat dipohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh ekor gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak professional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada pakan atau air. Tak ada seorang pun baik dari Dinas Kehutanan Riau atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terlihat di lokasi dimana kesepuluh ekor gajah tersebut ditemukan.
Sepuluh ekor gajah ini adalah bagian dari 17 ekor gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, Riau akibat rusaknya habitat hutan, baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar (lihat siaran pers sebelumnya: terlampir)
Foto-foto kondisi 10 ekor gajah tersebut dapat dilihat di:
http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&id=NWS1143177522&language=e
Sebagai pertolongan pertama, WWF telah secara sukarela menyediakan pakan, air, dan vitamin kepada 10 gajah-gajah tersebut sejak tanggal 22 Maret 2006, sekaligus memfasilitasi praktisi medis Drh. Wishnu Wardhana, memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut. Seorang dokter hewan dari pusat latihan gajah terdekat juga telah didatangkan untuk membantu. Meskipun demikian, mengingat kondisi kritis ke-10 ekor gajah diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai, termasuk antibiotic, pakan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan.
WWF menyerukan kepada pemerintah terkait agar pengobatan dan perawatan serius terhadap 10 ekor gajah ini segera dilakuan. Melihat kondisinya saat ini, tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, karena infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi gajah-gajah itu.
WWF menyerukan agar segera dilakukan pemindahan sejauh 100 - 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. Saat ini gajah-gajah tersebut berada didalam sebuah perkebunan karet, dimana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan.
WWF menyerukan agar penangkapan gajah tidak lagi dilakukan. Penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat. WWF juga menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau.
Setelah melihat bahwa sumber berita itu berasal dari sebuah siaran pers maka dapat diketahui bahwa jelas-jelas berita tersebut tidak berimbang. Selanjutnya cukupkah persoalan berita itu hanya pada konteks tidak berimbang, maka jawabannya tidak. Berita itu penulis yakini juga menyebarkan informasi yang tidak benar, karena kebetulan penulis ikut dalam salah satu pertemuan antara Dishut Riau, BKSDA, dan WWF Riau dalam memecahkan persoalan konflik gajah dan manusia di Balai Raja tersebut. Sehingga dengan jelas mengetahui bahwa WWF Riau mengetahui dengan baik kapan dilakukan penangkapan dan bukan menemukannya tanpa sengaja seperti yang ditulis dalam berita tersebut.
Untuk memahami lebih lanjut bagaimana sebuah siaran pers dapat menjebak wartawan membuat berita yang salah, maka kasus Balai Raja ini merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Kronologis kasus penangkapan gajah di Balai Raja bermula pertengahan Februari 2006, saat masuknya sekelompok gajah tunggal--satu atau beberapa gajah jantan—dan gajah kelompok--didominasi kawanan gajah betina—yang masuk ke kawasan penduduk. Termasuk ke Kompleks PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di dalam dan sekitar Desa Balai Raja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Gajah-gajah itu merusak rumah warga, menghancurkan pertanian masyarakat dan menetap di dalam Kompleks CPI.
Kejadian amuk gajah itu telah membuat masyarakat resah. Terlebih lagi, kejadian serupa telah sering terjadi, jika dulu hanya sekali-sekali, kini tiga bulan sekali. Masyarakat merasa tidak tahan lagi. Kompleks CPI-pun, jika dulu hanya dilewati beberapa saat, kini menjadi tempat ngetem (menetap) gajah-gajah itu.
Keresahaan itu mendapat perhatian besar dari Dishut Riau, BKSDA Riau, dan WWF Riau. Ingin mengetahui lebih detil mengenai peristiwa itu, tanggal 8 Maret, mereka datang ke Balai Raja secara bersama-sama menemui masyarakat, melihat dampaknya, sekaligus mendiskusikan solusinya.
Sebelum melihat rumah warga yang ambruk akibat dirobohkan gajah, Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Riau Drs. Burhanuddin Husin, MM, Kepala BKSDA Riau Dr. Wilistra Danny, dan Leader on Human Elephant Conflict Mitigation (HECM) WWF Riau Nurchalis Fadli, memimpin dialog dengan masyarakat di Posko Amuk Gajah Kelurahan Balai Raja.
Pertemuan itu berakhir dalam suasana panas. Salah seorang dari warga mengeluarkan ancaman, jika konflik gajah di Balai Raja tidak terselesaikan dengan cepat, maka dia akan mengajak rekannya untuk menutup Jalan Duri – Dumai, yang ada di depan Posko Amuk Gajah --jalan itu merupakan jalan strategis, karena selain padat lalu lintas, kedua kota itu merupakan kota penghasil minyak bumi. Ancaman itu dikeluarkan karena mereka merasa teraniaya, akibat gajah-gajah boleh menghancurkan kebun mereka yang mau panen dan merusak rumah mereka, sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap gajah itu karena dilindungi undang-undang. Setidaknya mereka tidak mau dihukum 13,5 tahun penjara seperti yang baru saja terjadi pada seorang lelaki di Riau, yang terbukti di pengadilan membunuh gajah.
Kepada masyarakat, Burhanuddin menjelaskan bahwa secara de jure (hukum), kawasan yang kini mereka diami, yang ada kantor lurah, kantor camat, dan fasilitas umum lainnya, termasuk fasilitas PT CPI merupakan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Namun secara de facto (fakta di lapangan), SM Balai Raja, tidak bisa lagi dipertahankan. Jadi dalam hal ini, siapa yang mesti dipersalahkan. Warga yang mengambil lahan gajah atau gajah yang mengambil lahan manusia? Jika melihat kondisi yang ada, menurutnya kawasan SM tidak mungkin lagi dikembalikan untuk habitat gajah.
Alasannya kata Burhanuddin, karena dulu Departemen Kehutanan (Dephut), asal main tunjuk saja di atas peta untuk menentukan sebuah kawasan, tanpa melihat fakta sebenarnya di lapangan. Selain itu, dulu juga banyak kepala desa yang mengeluarkan surat keterangan tanah (SKT) sesuka hati. Sehingga sulit untuk menentukan siapa yang bersalah terhadap hal itu.
Lalu, bagaimana solusi untuk penanganan konflik itu? Burhanuddin menyatakan ada tiga opsi. Opsi pertama, mengusir kembali gajah itu ke dalam habitat. Meski dengan kenyataan gajah-gajah itu pasti akan keluar lagi cepat atau lambat, karena habitatnya sudah mengecil dan berhadapan langsung dengan lahan masyarakat.
Opsi kedua, mengusulkan untuk merelokasi gajah-gajah liar yang ada di sekitar situ ke Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dia mengemukakan alasan, bahwa TNTN yang luasnya saat itu sekitar 38 ribu hektar akan segera diperluas, dengan mencabut izin HPH Nanjak Makmur. Selain itu, Riau memang telah merencanakan kawasan itu sebagai tempat penampungan gajah-gajah yang kehilangan habitat.
Opsi ketiga, menggiring mereka ke Blok Hutan Libo, dengan alasan yang disampaikan WWF. Nurchalis menyatakan relokasi ke TNTN itu tidak tepat. Dia berpendapat, TNTN juga sudah berkonflik dengan gajah-gajahnya. Risiko tingkat kematian gajah akibat relokasi yang begitu jauh, juga sangat tinggi. Oleh karena itu dia mengusulkan agar gajah-gajah itu di relokasi ke habitat di sekitarnya saja. Dia mengusulkan ke Blok Hutan Libo, yang hanya berjarak 25 km dari Balai Raja.
Usulan itu sempat dipertanyakan Burhanuddin, mengingat ada pernyataan masyarakat yang hadir di tempat itu, menyebutkan penyebab masuknya gajah-gajah liar itu ke kawasan penduduk karena Blok Hutan Libo tempat gajah tinggal sudah rusak parah. Selain itu Blok Hutan Libo belum jelas statusnya, karena kawasan itu bukanlah kawasan SM. Kemudian Nurchalis hanya mengetahui keberadaan hutan itu dari peta satelit, tanpa tahu kondisi di lapangan. Hal itu, membuat Burhanuddin kurang yakin jika kawanan gajah itu bisa dipindahkan ke Blok Hutan Libo. Ada kekuatiran gajah itu akan kembali lagi ke kawasan pemukiman penduduk dan akan memicu kembali konflik dengan penduduk sekitarnya. “Tidak mungkin urusan kita ini terus. Jika direlokasi kembali ke Blok Hutan Libo yang kondisinya rusak, maka gajah akan kembali lagi. Tiap tiga bulan sekali, kita hanya ngurusin ini saja,“ ujarnya.
Rapat yang berlangsung alot di Posko Amuk Gajah itu dilanjutkan di kompleks perumahan CPI tempat tim flying squad WWF Riau dan tim penjinak gajah dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas berposko --tim ini lebih dulu datang dari rombongan Burhanuddin, Wilistra dan Nurchalis-- Di dalam rapat itu terjadi perdebatan panjang, karena ada beberapa presepsi dan fakta yang berbeda. Burhanuddin juga menyatakan relokasi ke TNTN adalah pilihan yang teramat sulit. Dia tahu betul posisi TNTN, namun tidak ada alternatif pilihan lain. Dia meminta hasil rapat itu bisa disepakati dan jangan sampai berbalas pantun di media. Dia tidak ingin masyarakat di sekitar TNTN menjadi resah terhadap hal itu. Dia menyadari pasti masyarakat sekitar TNTN juga akan menolak. Namun katanya, Dishut akan mengusahakan percepatan perluasan TNTN.
Lalu di akhir rapat disepakati secara lisan akan dilakukan relokasi gajah. Keinginan semula Burhanuddin untuk merelokasi seluruh gajah yang ada, mendapat penolakan dari WWF dan BKSDA. Setelah berdebat lama akhirnya disepakati pemindahan dibagi dalam tiga tahap. Untuk tahap awal akan ditangkap 10 gajah, lalu akan dievaluasi lagi, sampai 30 gajah dapat direlokasi ke TNTN. Mengenai jumlah gajah ini terjadi perdebatan. Laporan masyarakat ada yang mengatakan 52 ekor gajah, ada pula yang menyatakan 32 gajah. Sementara WWF bersikeras, jumlah gajah yang masuk ke kawasan itu sekitar 17 ekor, berdasarkan video yang mereka lihat. “Gajah-gajah itu, saya lihat hanya 17 ekor, hanya mereka bolak balik saja, jadi terekam lagi di video,“ ujar Syamsuardi, Koordinator Flying Squad WWF Riau.
Maka sore itu disusunlah teknis penangkapan dan biaya yang dibutuhkan. Dalam hal biaya, menurut Burhanuddin, Dishut Riau memiliki dana sekitar Rp. 300 juta. Dana itu dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Riau, meskipun belum cair, namun Dishut Riau bisa mengusahakan pinjaman dengan kegiatan utama dana hanya bisa dipinjam jika kegiatan relokasi dilaksanakan. Maka kegiatan penangkapan mulai dilakukan keesokan harinya berdasarkan keputusan rapat. Dua hari berselang, Riau Tribune melansir berita Dishut Riau dan tim dari PLG Minas berhasil menangkap satu ekor gajah.
Saat proses gajah-gajah itu ditangkap, advokasi WWF dan BKSDA Riau melalui berita menyatakan tidak setuju terhadap relokasi dan penangkapan itu. Mereka juga dengan jelas menyatakan penolakan itu melalui siaran persnya. Siaran pers itu lalu dilansir oleh Media Indonesia, yang mengutipnya dari Kantor Berita Antara dan dibuat berdasarkan hasil tulis ulang siaran pers WWF yang dilansir ke sejumlah media lainnya. (Siaran Pers 2 dan Kliping Berita 5.).
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Siaran Pers 2
Penggiringan Gajah Liar ke Habitat Asalnya Harus Menjadi Prioritas:
Relokasi ke Taman Nasional Tesso Nilo hanya akan timbulkan masalah baru
JAKARTA—WWF-Indonesia menyerukan agar Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak melakukan penangkapan dan pemindahan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis ke Taman Nasional Tesso Nilo. WWF meyakini bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo –yang merupakan habitat asalnya - masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait.
WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85% gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam. Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga. Tim patroli gajah Flying Squad WWF mendokumentasikan peristiwa tersebut.
“Kami menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo, karena dalam waktu dekat desa kami lah yang akan diserang,” kata Radaimon, Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo. “Kami sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad, dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil. Kami tidak bisa menerima jika Tesso Nilo dijadikan daerah pembuangan gajah dari daerah lain.”
“Gajah-gajah liar tersebut seharusnya digiring kembali ke habitat asalnya di blok Libo,” kata Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia. Menurutnya, penggiringan ini sangat mungkin dilakukan dengan melibatkan semua pihak-pihak terkait. “Penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA. Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah, kata Nazir” Tim pemantau ini terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media. Setiap tahapan penangkapan dan pemindahan yang dilakukan, WWF menuntut dilakukannya evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir.
Pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar - termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan - telah dilakukan. Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah. Hingga kini hanya sebagian kecil (38.000 hektar) yang telah ditetapkan. WWF menyerukan kepada pemerintah agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar segera direalisasikan.
Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir. Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut. Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad). Sejak pengoperasian tim ini kerugian berhasil diminimalisir hingga 80%. WWF menyerukan agar Protokol Mitigasi Konflik Gajah segera diimplementasikan.
Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar - sebagian besar akibat aktifitas konversi illegal. Sementara dalam 7 tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50%, dari sekitar 700 ekor pada tahun 1999 menjadi sekitar 350-an ekor saat ini. Kawasan lindung Mahato dan SM Balai Raja Duri adalah contoh hutan berstatus kawasan konservasi yang nyaris habis akibat aktivitas illegal, sayangnya tanpa ada upaya pemerintah setempat untuk menghentikannya. WWF menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam di Riau.
Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja, saat ini hanya 25 km saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan. WWF menyerukan pemerintah untuk segera mengambil tindakan menghentikan aktivitas konversi tersebut dan menyusun rencana operasi penggiringan gajah-gajah liar kembali ke hutan asalnya.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Nazir Foead, Species Program Director, WWF-Indonesia, tel +62-811-977-604, email nfoead@wwf.or.id
Catatan:
Informasi terkait mengenai Mitigasi Konflik Gajah di Riau dapat dilihat di www.wwf.or.id; informasi mengenai status hutan Riau dapat dilihat di www.eyesontheforest.or.id
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kliping Berita 5. (Media Indonesia, 13 Maret 2006)
WWF Tolak Relokasi Gajah ke Taman Nasional Tesso Nilo
JAKARTA--MIOL: World Wildlife Fund (WWF) Indonesia meminta Dinas Kehutanan Provinsi Riau agar tidak menangkap dan memindahkan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, ke Taman Nasional Tesso Nilo.
Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (13/3), WWF Indonesia menilai bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo yang merupakan habitat asalnya masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait. Menurut Nazir Foead, Direktur Program Species WWF Indonesia, gajah-gajah liar itu seharusnya digiring kembali ke tempat asalnya.
"WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat," kata Nazir.
Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam.
Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga.
Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo, Radaimon, juga menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo, karena dalam waktu dekat desa mereka yang akan diserang.
Pihaknya sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah "Flying Squad", dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil, kata Radaimon.
Menurut Nazir, penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA.
Ia mengatakan, kalau pun terpaksa dilakukan penangkapan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media.
Pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar - termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan - telah dilakukan.
Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah. Hingga kini hanya sebagian kecil (38.000 hektar) yang telah ditetapkan. WWF menyerukan kepada pemerintah agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar segera direalisasikan, katanya.
Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir, kata Nazir.
Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut.
Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad), katanya.
Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar - sebagian besar akibat aktifitas konversi illegal.
Sementara dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50 persen dari sekitar 700 ekor pada tahun 1999 menjadi sekitar 350-an ekor saat ini.
Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja, saat ini hanya 25 km saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan, katanya (Ant/OL-06)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akhirnya pascapenangkapan, Dishut Riau, menurut keterangan Kepala Dinas Kehutanan Riau, hanya bisa melakukan bantuan dana penangkapan dengan dana pinjaman sekitar Rp. 50 juta. Dana sisanya dari Rp 300 juta tidak bisa dipinjam, karena, berdasarkan aturan main APBD yang berbasis kinerja, tidak bisa sembarangan dalam mengalokasian dana. Jika saat itu langsung di relokasi, maka biaya bisa dikeluarkan. Tetapi karena tidak ada solusi yang jelas, akhirnya nasib sepuluh gajah liar itu terkatung-katung.
Sementara para pawang gajah yang bertugas mengawasi gajah itu, mengalami krisis keuangan karena biaya operasional tidak ada. Kemudian CPI yang berjanji menyediakan makanan dan minuman bagi gajah, menurut keterangan WWF juga tidak memenuhi janji. Namun menurut keterangan Burhanuddin, hal itu terjadi karena adanya kesenjangan komunikasi pada CPI. Janji itu tidak terlaksana karena salah penganggaran. Mereka hanya mengajukan anggaran Rp 300 ribu per minggu.
Akhirnya sepuluh hari kemudian, menurut keterangan WWF, kondisi gajah yang terkatung-katung itu menjadi mengenaskan, karena ikatan rantai yang terlalu kuat mulai mencederai mereka. Sementara suntikan bius saat penangkapan yang tidak profesional juga menyebabkan infeksi.
Pada saat gajah-gajah itu mulai terlantar, disebarkanlah siaran pers oleh WWF, antara lain menyatakan bahwa Dishut Riau menangkap gajah itu secara diam-diam seperti yang disebutkan sebelumnya. Kisah itu berlanjut dengan tragis kematian seekor gajah jantan, dari sepuluh gajah tersebut. Survei darat dan udara untuk mendukung pembuktian kata-kata WWF, bahwa ada Blok Hutan Libo tempat habitat gajah juga lamban sekali dilakukan. Setelah nasib gajah kian tidak jelas, barulah survey itu berhasil dilakukan. Kenyataan pahit harus diterima, Blok Hutan Libo ternyata memang bukanlah tempat yang tepat bagi gajah-gajah itu. Luasan hutan yang minim ditambah dengan kondisi berawa, menjadi hal yang tidak tepat bagi gajah-gajah liar itu.
Berita-berita yang tidak berimbang, juga telah mengakibatkan sejumlah fakta tidak muncul sehingga memicu konflik. Salah satu contohnya, Wakil Kepala Dinas Kehutanan Riau Ir. Sudirno MM, yang telah puluhan tahun bertugas di kehutanan, menyatakan kekecewaannya terhadap berita-berita gajah itu kepada penulis. Dia menyatakan kekecewaannya terhadap personil WWF yang telah menyebarkan informasi tidak benar dan memberi citra buruk pada institusinya.
Dia menolak berbicara untuk media, tapi secara khusus dia hanya ingin memberikan pengetahuan kepada penulis. Tentang hal itu, dia menyebutkan alasan Dishut Riau mengusulkan gajah-gajah itu di relokasi ke TNTN, adalah karena mempertimbangkan banyak hal. Pertama, alasan dibentuknya TNTN, memang didasari adanya kesadaran penuh Pemerintah Provinsi Riau, bahwa konflik gajah dengan manusia di Riau sudah kerap kali terjadi, seiring dengan semakin padatnya populasi manusia dan ritme pembangunan Riau yang begitu cepat.
Lalu berbagai usaha untuk meyakinkan pemerintah pusat pun dilakukan. Dalam perjuangan tempat itu WWF juga berjanji akan berusaha menjadikan TNTN menjadi tempat yang layak bagi gajah-gajah yang direlokasi. Termasuk menyediakan tanaman untuk pakan gajah dan membentuk tim keamanan agar gajah-gajah itu tidak berkonflik. Rencana sudah disusun sedemikian rupa, TNTN diusulkan dengan cara mencabut izin sejumlah HPH yang tidak produktif lagi. Luasan TNTN diusulkan sekitar 100 ribu hektar lebih, tapi kenyataannya, Dephut hanya melepaskan kawasan sekitar 38 ribu hektar. Hal itu mengakibatkan TNTN menjadi tidak representatif sebagai habitat gajah.
Mengenai peristiwa matinya satu ekor gajah jantan dari sepuluh ekor gajah itu, Sudirno juga mempertanyakan saat itu WWF menghalang-halangi rencana relokasi melalui siaran pers yang mereka sebarkan. Jika saat itu gajah-gajah itu langsung di relokasi, kemungkinan sepuluh gajah itu nasibnya tidak terkatung-katung. Dia juga menyatakan sejak awal Dishut Riau sudah menduga Blok Hutan Libo itu tidak bisa menjadi alternatif relokasi gajah, karena berawa. Namun saat itu WWF bersikeras, harus ke Blok Hutan Libo.
Di akhir cerita dugaan Dishut Riau tidak meleset. Kepala BKSDA yang semula sependapat dengan WWF, akhirnya tanggal 10 Mei 2006 menetapkan relokasi harus dilakukan ke TNTN. Pada tanggal yang sama, Menhut Kaban dalam siaran persnya kepada sejumlah wartawan usai acara Deklarasi dan Penandatanganan Surat Pernyataan Penghentian Pembakaran, menyatakan perluasan TNTN hanya menunggu hari. Selain memperluas TNTN, kata Kaban, telah disepakati untuk membuat koridor antara TNTN dengan SM Bukit Rimbang Baling, sehingga areal jelajah gajah menjadi lebih luas.
Siaran pers WWF juga berdampak lain. Sebuah tayangan dalam acara Metro Realita di stasiun televisi Metro TV pada 16 Mei 2006, membuat Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau, akhirnya meminta klarifikasi siaran pers WWF. Sekaligus dalam surat itu mereka mempertanyakan peran dan fungsi WWF Riau. Penulis mendapatkan surat itu dari tembusan ke Kepala Dinas Kehutanan Riau yang diterima tanggal 7 Juni 2006.
0 komentar:
Posting Komentar