Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 03 Februari 2009

Tiap Tahun Kehilangan Lima Meter

Kota Dumai yang Terkikis Ombak


Kota Dumai tercatat sebagai kota terluas nomor dua di Indonesia setelah Manokwari, ibukota Provinsi IPapua Barat. Namun hal itu beberapa puluh tahun ke depan bisa jadi sekedar legenda. Pasalnya daratan Kota Dumai terus saja terkikis ombak. Tiap tahun ada lima meter daratan Dumai yang bergabung menjadi lautan.

Laporan Andi Noviriyanti Dumai
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Masih jelas diingatan Dul Manaf (63). Tepian pantai, tempat kakinya berpijak kini sekitar tahun 1960-an, adalah bentangan kebun durian, manggis, dan kelapa. Tak jauh dari sana ada bentangan tanah perkuburan tempat nenek moyangnya beristirahat.

“Lihat itu di sana, masih tertinggal batu nisannya. Tergelak diantara sisa-sisa tunggul pohon,” ujar pria tua itu, Selasa (8/1) sore kepada Riau Pos, di tepian pantai RT 02, dekat Jalan Mak Taim, Kelurahan Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai.

Tak hanya tanah perkuburan dan kebun yang hilang, tambahnya lagi. Dia masih ingat di depan sana --menunjuk ke arah laut-- banyak perumahan warga yang kini atapnya pun tak nampak. “Jangankan rumah, mesjid kami pun sudah hendak roboh karena terkena abrasi. Mungkin besok rumah kami lagi sasarannya,” cerita pria berbaju batik coklat ini.

Tangan Dul lalu menunjuk ke arah Pulau Rupat yang tepat di hadapannya. Dulu, pulau itu sangat dekat. Kalau naik sampan, setengah jam juga pasti akan sampai. Tetapi sekarang, walaupun setengah jam juga, tapi tak bisa lagi bersampan. Harus naik pompong (sejenis kapal motor).

Dul adalah satu dari ribuan saksi hidup bagaimana terkikisnya daratan Kota Dumai. Sebuah kota dengan luas wilayah 1.727.385 Km2. Menempati nomor urut dua sebagai kota terluas di Indonesia setelah Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat.

Setiap tahun menurut Kepala Kebersihan, Pertamanan dan Lingkungan Hidup (KPLH) Dumai Ishak Effendi, pantai Dumai memang terkikis sejauh lima meter pertahun. Bahkan menurut Camat Mendang Kampai Ahmad Ramadhan di beberapa tempat ada yang terkikis hingga 10 meter.

Abrasi memang telah terjadi hampir di seluruh pantai Kota Dumai. Semua itu sebagai akibat dari hilangnya bentangan tanaman mangrove (bakau) di kawasan pantai Kota Dumai. Perisai alami yang berfungsi menahan laju ombak itu, banyak ditebang masyarakat untuk dijadikan arang atau cerocok pembuat rumah.

Turap Tak Mampu Menahan Laju Abrasi

Manusia boleh saja berusaha menggantikan fungsi mangrove buatan Yang Maha Kuasa dengan turap. Bagunan beton yang dibangun di bibir pantai agar bisa menghentikan laju abrasi.

Namun manusiapun harus bisa menerima, bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada membiarkan alam ini dengan keseimbangan alaminya. Setidaknya itulah yang dibuktikan oleh Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera Nusirwan Taqim.

Nusirwan --yang lebih akrab disapa dengan Pak Iwan-- ini, menyebutkan turap yang dibangun mahal itu ternyata tidak mampu menahan laju abrasi. Meskipun nilai turap itu Rp5 juta permeternya, namun tetap saja retak, bolong-bolong dan hancur saat dihantam gelombang laut dan ditekan oleh rembesan air hujan dari daratan.

“Tak ada cara yang lebih baik untuk menahan laju abrasi. Hanya dengan tanaman mangrovelah yang tepat untuk kawasan pantai berlumpur ini. Tanaman mangrove ini juga akan awet sepanjang massa dan berkembang terus. Tidak seperti turap yang hanya mampu bertahan sebentar dan tidak pernah berkembang,” ungkap Nusirwan Taqim kepada Riau Pos saat memperlihatkan ribuan tanaman mangrove hasil pembibitan yang dilakukan PPLH Regional Sumatera di Kelurahan Teluk Makmur.

Mananam mangrove bukan saja untuk menahan laju abrasi. Tetapi juga untuk menanam kemakmuran kembali di Kota Dumai. Mangrove menjadi tempat bersarangnya ikan. Sumber mata pencarian yang telah turun menurun dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai.

Sejak tahun 2006, PPLH mulai melakukan pembibitan tanaman mangrove. Program pembibitan itu, menurut Nusirwan, melibatkan penuh masyarakat dikawasan yang akan ditanami mangrove. Masyarakat dilibatkan dari mulai mencari biji mangrove untuk disemaikan kemudian menjadi bibit mangrove yang utuh. Uang untuk proses pembibitan ini sekitar 70 persen diperuntukkan untuk masyarakat.

Biji mangrove yang digunakan untuk bibit itu, juga dicari yang berada disekitar tempat penanaman itu. Sehingga tanaman tersebut akan lebih tahan dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Dari tahun 2006 hingga tahun 2007, telah dihasilkan 160 ribu bibit mangrove siap tanam.

Pada tahun 2006, pembibitan dilaksanakan di Pantai Kelurahan Teluk Makmur dan ditanam di Teluk Makmur juga. Namun untuk tahun 2007, pembibitan yang semula akan dilaksanakan di Kelurahan Guntung, Kecamatan Medang Kampai batal direalisasikan. Pasalnya bibit mangrove hanya mau tumbuh bila dibibitkan di pertemuan air asin dan air tawar. Sehingga program itu hanya bisa dilaksanakan di Teluk Makmur kembali. Barulah penanamannya yang dilaksanakan di pantai Guntung.

Bambu Memecah Ombak

Bibit telah ada, namun untuk penanaman, tak semudah dugaan PPLH. Ternyata ombak laut Selat Melaka begitu kuatnya. Itu juga menjadi penyebab banyaknya mangrove yang ditanam selama ini mati.

Namun selalu ada jalan untuk tiap usaha. Sebuah keberhasilan penanaman mangrove di Sulawesi Selatan menjadi pelajaran berharga bagi usaha penanaman mangrove tersebut. Masyarakat di Sulawesi itu mengembangkat alat pemecah ombak (APO).

APO itu terbuat dari bentangan pohon bambu yang dipasang seperti pagar. Setiap ombak yang datang akan dipecahnya. Sehingga tanaman mangrove yang ditanam tidak begitu kuat dihantam gelombang. Bila dalam waktu kurun enam bulan, hal itu dipertahankan maka akar mangrove akan kuat dan tidak akan terbawa ombak lagi.

Kini mangrove itu telah berjejer di tepian pantai Teluk Makmur dan Guntung. Namun masih ada tugas panjang, agar mangrove itu dapat bertahan dan tumbuh subur seperti dulu saat batang-batang mangrove mengelilingi pantai-pantai Dumai. “Penanaman ini mungkin tidak ada artinya, kalau tidak dilakukan secara bersama-sama. Tidak hanya pantai ini yang harus ditanami bakau, tetapi pantai berlumpur lainnya. Agar Kota Dumai, sebagai kota terluas bukan sekedar legenda,” ungkap Nusirwan sembari memandang jauh ke laut lepas.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 13 Januari 2008

0 komentar: