Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 03 Februari 2009

Kisah Coklat-Coklat yang Meleleh

Dari Oleh-oleh Singapura hingga Poznan

Ini bukan kisah pertama tentang coklat yang meleleh, namun ini bisa jadi menjadi gambaran tentang masa depan bumi nanti bila pemanasan global tidak dicegah. Seisi bumi akan kepanasan, bahkan gedung-gedung berpendingin ruangan tetap tidak akan mampu mendinginkan penghuni bumi.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id

Gambaran itu bisa dilihat dari kisah coklat-coklat yang meleleh di dalam mobil. Kisah itu dimulai dari kisah oleh-oleh coklat tahun 2006 lalu saat pulang dari Singapura hingga penghujung tahun 2008 lalu saat membawa oleh-oleh coklat dari Poznan, Polandia. Semua coklat yang kubawa di dalam mobil untuk diberikan kepada kerabat dan teman-teman dipastikan meleleh. Tidak peduli bagaimana cara aku menyimpannya.
Kisah pertama aku menemukan coklat yang meleleh di dalam mobil dimulai dari kisah oleh-oleh coklat dari Singapura. Saat itu posisi coklat aku letakkan di dalam kantong kertas di atas jok mobil. Coklat itu begitu cepat meleleh padahal hanya sekitar 30 menit coklat itu berada di dalam mobil, yakni dari rumahku ke kantor Riau Pos. Oleh-oleh coklat yang telah ku bawa tadi untuk teman-teman kantor terpaksa urung diberikan.
Kisah pertama itu, membuat aku membuat eksperimen baru. Coklat yang aku bawa di dalam mobil di masukkan ke dalam kotak kertas dan dimasukkan ke dalam kopor. Namun lagi-lagi coklat-coklat itu, tidak lebih baik keadaannya. Coklat itu melunak dan sebagian meleleh tak berbentuk lagi. Coklat yang meleleh masih bisa diselamatkan dengan cara membawanya ke dalam ruangan kantor yang berpendingin ruangan. Dalam waktu beberapa jam, coklat-coklat itu bisa kembali ke wujudnya yang padat.
Tak puas dengan kisah coklat yang meleleh itu, membuatku bereksperimen lagi. Bila di dalam kopor tidak berhasil juga, maka tempat terakhir di dalam mobil adalah di dalam box mobil yang terletak di bagian depan samping kursi supir. Ternyata coklat yang disimpan disitu lebih parah lagi. Benar-benar meleleh dan coklatnya merembes ke luar bungkusannya.
Beberapa eksperimen itulah yang akhirnya mengantarkanku menemukan ilustrasi sederhana tentang pemanasan global yang sejak tahun 1997 ramai dibicarakan. Tepatnya saat Protokol Kyoto disepakati. Dulu pemanasan global di gambarkan dengan rumah kaca untuk pembibitan tanaman. Di dalam rumah kaca ditemukan fenomena bahwa cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kaca itu akan terperangkap. Sifat kaca yang bisa meneruskan cahaya pembawa panas matahari yang datang tidak bisa keluar lagi. Akibatnya panas yang ada hanya berputar-putar di dalam ruangan kaca tersebut dan meningkatkan suhu di dalam ruangan tersebut, yang memang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh.
Begitu pulalah keadaan bumi bila terbungkus dengan kaca yang dalam hal ini diibaratkan dengan gas rumah kaca (GRK). GRK sebenarnya adalah gas karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon (HFCs). Gas yang rata-rata berasal dari pembakaran bahan bakar fosil itu (transportasi, pembangkit listrik, kebakaran hutan, dll) sama halnya dengan kaca di atmosfir bumi. Di mana cahaya panas matahari akan bebas masuk ke permukaan bumi melewati gas-gas itu. Namun cahaya panas itu tidak bisa keluar menembus GRK itu. Akibatnya panas matahari tadi terperangkap di dalamnya dan meningkatkan suhu bumi. Sama halnya pula dengan peningkatan suhu yang ada di dalam rumah kaca, pada posisi normal GRK yang ada yakni konsentrasi 350 ppm, sangat dibutuhkan untuk penghuni bumi. Agar bumi tetap hangat dan makluk hidup dapat tumbuh dan berkembang. Namun saat kondisinya melebihi dan terus meningkat, misalnya tahun 2007 para peneliti Intergovernmental Panel on Climate (IPCC) menemukan konsentrasi 430 ppm, maka peningkatan suhu menjadi berbahaya. Lapisan es yang selama ini memadat di kutup utara dan sejumlah pegunungan mencair. Meningkatkan permukaan air laut, mengubah pola angin, dan ujung-ujungnya terjadi perubahan iklim.
Lapisan es yang mencair itulah yang dapat diilustrasikan dengan coklat-coklat yang meleleh di dalam mobil tersebut. Di mana diibaratkan bumi adalah bagian-bagian di dalam mobil sementara kaca mobil adalah GRK. Ketika sinar matahari masuk, terutama di siang hari, maka panas matahari akan terperangkap. Memanaskan suhu di dalam mobil. Panas itulah yang mendorong coklat yang awalnya padat meleleh sama halnya dengan es yang juga mencair.
Pulang dari Poznan, Desember 2008, pengalaman tentang coklat-coklat yang meleleh mengantarkanku dengan sebuah eksperimen baru. Agar coklat-coklat senilai 130 PLN (541 ribu) itu tidak meleleh. Maka coklat tadi ditempatkan di dalam cool box (kotak pendingin), sejenis kota berlapis gabus yang biasa digunakan untuk membawa minuman dan makanan agar tetap dingin. Di dalam cool box itulah coklat-coklat tadi dimasukkan lengkap dengan batu es yang berada di bawahnya. Apa yang terjadi? Coklat-coklat tadi memang berhasil untuk bertahan, namun umurnya tidak lama. Coklat-coklat itu tetap saja melunak setelah beberapa jam kemudian.
Kisah coklat-coklat yang meleleh itu bisa menjadi gambaran masa depan bumi bila pemanasan global tidak dicegah. Bumi akan semakin panas. Tidak peduli bagaimana kita bersembunyi dari panasnya matahari itu. Sekalipun nanti saat kita berada di ruangan perpendingin. Pastilah lama-lama akan memanas juga, sama halnya coklat yang berada di dalam cool box.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 4 Januari 2009

0 komentar: