Kenyataan itulah yang dihadapi Nike Susanti. Seorang perempuan muda berstatus pegawai honor di Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera yang berkantor di Kota Pekanbaru. Alumni master Ilmu Lingkungan Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat ini sempat dibuat menangis. Bahkan karena putus asa ingin meninggalkan masyarakat Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, tempat program pembibitan mangrove dilaksanakan.
Kala itu, kenangnya, tahun 2006. Dia yang baru tiga bulan menikah dan baru saja bergabung di PPLH diperintahkan untuk ke Dumai. Sebuah kota pelabuhan yang bisa dicapai dari Kota Pekanbaru sekitar empat jam dengan kendaraan roda empat. Dia diminta menjalankan program pembibitan mangrove di Teluk Makmur, sebuah kelurahan di Dumai yang saat itu tengah dilanda abrasi hebat. Setiap tahunnya ditempat itu ada lima meter bibir pantai yang bergabung menjadi lautan.
Dengan berbekal ilmu yang dimilikinya saat dulu kuliah di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau (Unri), serta panduan dari seorang staff PPLH dia mencoba menjalankan program itu. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah melakukan pendekatan kepada masyarakat. Menanamkan sebuah kesadaran dan partisipasi agar bersama-sama meng hentikan abrasi dengan cara menanam mangrove.
Awalnya masyarakat menanggapinya dengan acuh. Masyarakat pesimis program itu akan berhasil. Pasalnya program menanam mangrove sudah sering dilakukan, namun rata-rata tidak berhasil.
“Penanaman mangrove dulu memang banyak yang tidak berhasil. Karena yang ditanam bukan jenis endemik yang umumnya tumbuh di kawasan ini. Mereka menanam Avecenia sp, sementara yang banyak tumbuh disini Rhizopora sp. Penanamannya juga tidak melibatkan masyarakat, sehingga tidak ada merawat mangrove sesudah ditanam,” ungkap Nike.
Meskipun menghadapi kepesimisan masyarakat Teluk Makmur, namun semangat Nike tak surut. Perempuan kelahiran Pekanbaru, 10 Mei 1977 ini terus melakukan pendekatan. Terlebih lagi saat itu program yang diusung PPLH jelas. Se tiap tahapan pembibitan yang melibatkan masyarakat akan dibayar. Mulai dari pencarian biji mangrove, pengisian polybag, hingga pembuatan bedeng dan perawatan. Semuanya dibayar sesuai dengan hasil kerja dan kesepakatan masyarakat.
Namun persoalan bayar-membayar itu tidak cukup sampai disana. Masyarakat yang dulu tidak peduli dengan program tersebut, mendengar ada uangnya mulai kasak kusuk. Maka bermunculanlah orang-orang yang mengaku punya kelompok yang ingin mendapatkan program tersebut. Tak sampai di situ, ada pula hasut menghasut di dalam kelompok yang sudah terbentuk. Di mana ada masyarakat yang setuju dibayar sesuai kesepakatan, ada yang minta dibayar lebih. Sampai puncaknya, hasutan itu termakan dan masyarakat akhirnya sepakat menolak melakukan tahapan penyemaian.
Menghadapi itu, kesabaran Nike habis sudah. Air matanya tumpah. Dia melaporkan hal itu ke PPLH lewat telepon. Dari PPLH, dia mendapatkan kebijakan agar memindahkan saja program itu ketempat lain jika masyarakat tetap ngotot dibayar lebih dari kesepakatan.
Di saat itulah keajaiban mulai terjadi. Masyarakat akhirnya mau menjalankan program itu sesuai dengan kesepakatan harga yang telah ditetapkan. Terbayar sudah rasa penatnya saat melihat bukan hanya orang tua saja yang terlibat dalam pembibitan itu.
Tetapi juga para anak-anak yang dengan tangan mungilnya ikut mengisi polybag Semua bekerja, saling bahu membahu.
Akhirnya program itu berjalan dan menghasilkan 60 ribu bibit mangrove pada tahun pertama. Lalu pada tahun kedua, program itu berhasil memproduksi 100 ribu bibit mangrove. Bibit-bibit itu kini telah mulai mewarnai bibir pantai di Teluk Makmur dan pantai-pantai disekitarnya.(a)
Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 13 Januari 2008
0 komentar:
Posting Komentar