Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 03 Februari 2009

Menyelesaikan Konflik Gajah VS Manusia

Oleh: Andi Noviriyanti
Tiga pekan terakhir ini, WWF Riau mencatat sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau. Pertama, matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) Riau dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Sumatera Utara. Kedua, mengamuknya sekitar 51 ekor gajah di perkampungan penduduk di Kelurahan Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau.



Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Dr. Wilistra Danny, Rabu (8/3) petang, kasus kematian massal gajah di Rohul yang diduga di racun dan amukan gajah di pemukiman penduduk hanyalah sebuah gejala bukan akar permasalahan. Akar permasalahan sebenarnya adalah karena antara gajah dan manusia kini sedang berebut lahan dan tidak adanyak kejelasan antara lahan gajah dan manusia. Gajah merasa pemukiman dan perkebunan masyarakat sebagai home range atau daerah jelajah mereka, sementara manusia merasa gajahlah yang telah tidak tahu diri memasuki wilayah mereka dan memporak-porandakannya.

Sementara itu, untuk kasus amukan gajah di Kelurahan Balai Raja, menurut Kepala Dinas Kehutanan Riau Drs. Burhanuddin Husin, MM, Rabu (8/3) petang, menyatakan pemukiman penduduklah yang berada di kawasan konservasi gajah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1986, kawasan tempat terjadinya amukan gajah itu, merupakan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja.

“Secara de jure lahan tempat terjadinya amukan gajah merupakan kawasan SM. Namun secara de facto, kawasan SM itu tidak bisa lagi dipertahankan. Hal itu karena Kantor Camat Pinggir, fasilitas milik PT. Chevron Pacifik Indonesia (CPI), pemukiman penduduk dan lain sebagainya berada di kawasan SM,” ujarnya.

Namun, Afriwan, salah seroang warga Balai Raja, menolak penetapan SM itu. Alasan penolakannya itu, karena warga Balai Raja telah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Keterangan Ganti Rugi sejak tahun 1983 dan 1984. Malah, katanya, beberapa rekannya telah memiliki sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dia juga menyatakan warga baru mengetahui adanya SM Balai Raja, dua tahun terakhir, paska konflik gajah yang berkepanjangan di desa mereka.

Menurut Burhanuddin, memang keadaan yang terjadi di Balai Raja suatu dilema. Pemerintahan orde lama, khususnya Departemen Kehutanan, terkadang hanya memplotkan suatu kawasan berdasarkan peta tanpa melihat kondisi real dilapangan. Hal itu mengakibatkan kawasan SM Balai Raja yang ditetapkan tersebut ternyata berada pada kawasan pemukiman masyarakat.

Selain itu tambahnya, keadaan itu diperparah lagi, oleh banyaknya oknum kepala desa bahkan camat yang secara sembarangan menerbitkan SKT. Malah mereka tidak mau tahu, apakah SKT yang diterbitkan itu berada di kawasan konservasi. Mengenai adanya kawasan yang sudah disertifikat, menurutnya itu suatu kesalahan. “Pasti itu kejadiannya sudah terlanjur, namun saat ini pasti pihak BPN tidak berani lagi menerbitkan sertifikat tanah,” ujarnya.

Hal itu memang dibenarkan oleh masyarakat di Balai Raja. Memang saat ini, menurut Afri, tidak ada satu orangpun rekan-rekannya yang berhasil mengurus sertifikat tanah. Karena, BPN menyatakan kawasan itu merupakan kawasan SM Balai Raja.

Menyambung hal itu, Wilistra menyatakan, hal itulah yang akan ditelusuri oleh pihak pemerintah nantinya. Untuk mengetahui batasan yang jelas siapa sebenarnya pemilik lahan, apakah gajah atau manusia. Karena menurut Wilistra, tanpa adanya kejelasan kepemilikan lahan, juga akan membuat masyarakat tidak bisa memperjual belikan lahan mereka atau menggunakan lahan mereka sebagai jaminan bank untuk modal usaha. Jadi konflik kepemilikan lahan, menjadi salah satu hal penting yang harus segera diselesaikan.

Menyelesaikan konflik yang dilematis itu, menurut Burhanuddin tidak gampang. Baik gajah dan manusia telah sama-sama menjadi korban dan tidak ada yang harus dipersalahkan. Kini, katanya, yang harus dicari adalah mencari solusi. Agar gajah dan manusia tidak lagi berkonflik. Gajah tidak mati diracun seperti di perbatasan Rohul – Tapsel. Manusiapun tidak kehilangan rumah serta tanaman hasil kebun mereka karena dihancurkan gajah

Khusus untuk kasus konflik gajah dengan manusia di Balai Raja, kata Burhanuddin, ada beberapa pilihan. Pertama, mengusir kembali kawanan gajah itu ke dalam hutan yang ada. Kedua, melakukan relokasi ke tempat lain. Beberapa lokasi yang dapat digunakan sebagai alternatif adalah Blok Hutan Libo, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Namun masing-masing pilihan itu, tambahnya, juga merupakan hal sulit dilaksanakan. Bila diusir kembali ke dalam hutan, sudah jelas hutan yang ada disekitar kawasan itu sudah hampir-hampir tidak ada. Jika tidak segera direlokasi, diperkirakan kawanan gajah itu akan kembali ke kawasan pemukiman penduduk. Hal itu terkait dengan kebiasaan mereka melewati daerah jelajah mereka yang dulunya hutan, tapi kini jadi pemukiman penduduk. Selain itu, rusaknya hutan tempat mereka tinggal membuat mereka harus keluar dari hutan untuk mencari makanan.

Oleh karena itu, kata Burhannudin, tidak ada jalan lain, relokasi merupakan pilihan pahit yang harus dilakukan. Meskipun, tambahnya, untuk melakukan relokasi bukan hal yang gampang. Mengingat waktu yang dibutuhkan lama dan biayanya besar. Butuh waktu lama itu, katanya, karena gajah harus ditangkap terlebih dahulu, kemudian diamankan, baru kemudian bisa dibawah ke lokasi yang baru.

Misalnya, gajah-gajah liar dari Balai Raja dipindahkan ke TNTN, maka waktu yang dibutuhkan untuk satu ekor gajah sekitar satu minggu. Biaya yang dibutuhkan untuk satu ekor gajah itu juga puluhan juta, atau dapat berkisar Rp. 15 – 30 juta.

Selanjutnya, Burhanuddin, menjelaskan pemerintah, khususnya Provinsi Riau hanya memiliki anggaran yang terbatas. Untuk Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2006 kemarin saja, katanya, tim anggaran hanya menyetujui anggaran relokasi gajah hanya bagi 15 ekor.

Dengan kondisi demikian, menurut Burhanuddin, harus ada pengertian dari semua pihak. Termasuk dari masyarakat setempat yang kini dirundung keresahaan, karena lahan pertanian dan rumah mereka diobrak-abrik gajah. Burhanuddin, mengingatkan kepada masyarakat agar tidak melakukan tindakan anarkis. Terutama, jangan sampai membunuh gajah. Dia menegaskan, gajah merupakan satwa liar yang dilindungi undang-undang, dengan artian, siapa yang membunuh gajah dapat dijerat hukum.

Menanggapi tentang peraturan undang-undang, yang menyatakan gajah tidak boleh di bunuh atau dicedrai, membuat masyarakat Balai Raja resah. Menurut Jonly, salah satu masyarakat Balai Raja, kebijakan itu tidak adil.
“Kalau gajah, boleh mengobrak-abrik perumahan kami, bahkan menghacurkan areal pertanian kami yang akan siap panen. Bahkan, gajah di beberapa tempat lain, telah menimbulkan korban jiwa. Apakah dengan menyatakan pelarangan itu, Dinas Kehutanan dan BKSDA bertanggungjawab terhadap kerugian yang mereka terima,” ujarnya dengan muka memerah.

Bahkan, dia mengeluarkan ancaman, bila kasus gajah masuk ke pemukiman itu tidak diselesaikan, dia menginginkan warga di Balai Raja, melakukan pemblokiran jalan. “Kalau kami blokir saja jalan ini (red: Jalan lintas Duri – Dumai) dalam waktu satu hari saja, pasti gajah-gajah itu bisa direlokasi,” tukasnya dengan maksud melakukan ancaman kepada pemerintah melalui kegiatan demonstrasi pemblokiran jalan.

Dia juga menyatakan, selama ini pemerintah selalu memberi mereka janji-janji dalam hal relokasi gajah. Mereka sudah mengerti jika untuk relokasi itu mahal dan butuh waktu. Namun mereka curiga, pemerintah hanya memberi janji, tanpa pernah memindahkan. “Kami tidak perlu, pemerintah memindahkannya secara keseluruhan, tapi cukup lima ekor gajah saja dalam setahun. Jadi ada kepastian,” tegasnya.

Menanggapi sikap masyarakat yang seperti itu, Burhanuddin, hanya menyatakan masyarakat perlu memikirkan cara-cara yang lebih baik, pemblokiran jalan menurut Burhanuddin, tidak akan menyelesaikan permasalahan. Menurutnya, Dinas Kehutanan (Dishut) dan BKSDA telah beritikat baik, untuk menyelesaikan kasus itu. Ditandai dengan kedatangan mereka ke Posko Penanggulangan Bencana Amuk Gajah di Kelurahan Balai Raja, untuk berdiskusi dengan masyarakat, lurah, dan camat setempat.

Selanjutnya Burhanuddin, menawarkan solusi agar gajah-gajah liar itu direlokasi ke TNTN. Mengingat, memang kawasan itulah di Riau yang sudah diplotkan untuk menjadi kawasan konservasi gajah. Malah, kawasan yang kini jumlahnya hanya 38 ribu hektar itu, rencananya akan segera diperluas, dengan mencabut salah satu izin dari HPH yang berada di dekat kawasan TNTN itu.

Namun usulan relokasi TNTN itu, ditolak oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Riau. Human Elephant Coordinator Monitoring Modul Leader Nurchalis Fadli, menyatakan, jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik gajah dengan manusia di Balai Raja, adalah penggiringan gajah liar ke lokasi hutan terdekat. Salah satu yang dia tawarkan adalah Blok Hutan Libo.

Hal itu karena, blok hutan tersebut masih merupakan habitat asalnya. Sementara mengenai kerusakannya, masih bisa diusahakan melalui usaha rehabilitasi. Namun dengan syarat harus mendapat dukungan dan kerjasama dari semua pihak terkait.

WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar itu. Dengan alasan, sejarah membuktikan sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam.

Seandainya pun mampu bertahan hidup, kata Nurchalis, gajah-gajah yang dilepaskan, itu akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Nurchalis mencontohkan, kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan di TNTN. Dalam waktu kurun hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga. Tim patroli gajah Flying Squad WWF, kata Nurchalis, sempat mendokumentasikan peristiwa tersebut.

Sementara itu, penolakan yang sama juga dikemukakan oleh Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN) Radaimon. “Kami menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke TNTN, karena dalam waktu dekat desa kami lah yang akan diserang,” ujarnya.

Menurutnya, FMTN, sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa mereka dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad. Usaha itu, katanya, kini sudah membuahkan hasil. Namun jika ada lagi gajah liar yang dimasukkan ke daerah mereka, maka gangguan gajah liar, pasti tidak terbendung lagi katanya.

Menghadapi penyelesaian konflik gajah dan manusia di Riau, juga mendapat perhatian dari WWF Indonesia. Species Program Director Nazir Foead, kepada Riau Tribune, mengemukakan, penangkapan gajah adalah pilihan terakhir. Itupun hanya bisa dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.

“Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah. Tim pemantau ini terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media. Selanjutnya setiap tahapan penangkapan dan pemindahan yang dilakukan, WWF menuntut dilakukannya evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir,“ tuturnya.

Selanjutnya mengenai usulan pemindahan gajah-gajah tangkapan ke TNTN, hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar disegerakan. Karena sejauh ini, kawasan konservasi selama ini yang didengung-dengungkan hanya memiliki luasan 38 ribu hektar. Luasan itu, menurutnya tidak akan bisa menampung gajah-gajah hasil tangkapan. Selain itu, dia juga menyebutkan, pentingnya upaya konkrit dari semua pihak dalam mengakhiri perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan tersebut.

Nazir juga menyampaikan usulan tentang penerapan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF Indonesia dengan Ditjen PHKA. Protokol yang telah dilakukan sejak tahun 2004 itu, diantaranya mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah. Jika itu segera terimplementasi, katanya, akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik gajah.

Protokol itu, tambahnya, juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa yang dilindungi tersebut. Salah satu contohnya, sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah. Caranya dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad). Sejak pengoperasian tim itu, kerugian berhasil diminimalisir hingga 80%. Oleh karena itu dia menyerukan agar Protokol Mitigasi Konflik Gajah segera diimplementasikan.

Semua hal yang ditawarkan WWF, juga senada dengan pernyataan Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan Adi Susmianto, Kepala BKSDA Riau Wilistra Danny, dan Direktur Eksekutif Yayasan Tropika Riau Harizal Jalil.

Namun, dari semua itu, kata mereka, yang harus juga digegas adalah penghentian semua konversi hutan alam. “Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan rumah bagi gajah semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, tambahnya populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor. Hal utama penyebabnya adalah karena ketidakberadaan hutan lagi.

Wilistra juga menyebutkan pentingnya pengembalian kawasan bagi gajah-gajah liar tersebut. Dia juga mengusulkan usaha rehabilitasi pada kawasan-kawasan hutan juga harus disesegerakan.

Sementara itu Harizal menyoroti tentang masih adanya izin-izin konversi lahan yang masih terus diberikan. Menurutnya pemberian izin untuk IUPHK Hutan Tanaman harus dihentikan. Malah dia juga meminta perizinan-perizinan yang diberikan oleh bupati/ walikota dan mantan Gubernur Riau, yang tidak prosedural harus segera dicabut.

Harizal juga mengharapkan, kawasan konservasi gajah tidak hanya difokuskan pada TNTN. Tapi harus ada beberapa kawasan lainnya yang dikembangkan untuk makluk berbelalai panjang tersebut, seperti Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Hutan Lindung Mahato, SM Bukit Rimbang Baling, Bukit Bungkuk dan tempat lainnya. Karena menurutnya, masing-masing kawasan di Riau memiliki kantong-kantong habitat gajah.

“Jika hanya difokuskan pada satu tempat, itu tidak akan cukup. Selain itu, keberadaan gajah di areal-areal konservasi itu bukan hanya untuk gajah, tapi juga melambangkan keberadaan suatu hutan sebagai penyangga kehidupan sekitarnya,” ujarnya.

Terakhir, dia menyebutkan menyelamatkan gajah, juga memiliki arti menyelamatkan banyak kehidupan yang bernaung didalamnya hutan. Seperti flora, fauna, bahkan mikroba yang kaya ada di dalamnya. Termasuk juga menjaga keberadaan air tanah, sehingga sekitar kawasan itu terhindar dari banjir, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Dengan cara demikian, menyelesaikan konflik gajah, juga akan mengakhiri episode bencana lingkungan lainnya (NVY)

Diterbitkan di Harian Riau Tribune dalam tujuh episode (9-16 Maret 2006)

Dikutip dari :http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&language=&id=NWS1142846083

(www.riautribune.com)

0 komentar: