Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 01 Februari 2009

“Jangan Menakut-nakuti, Tetapi Gali Harapan dari Keariban Lokal”

Bedah Karya Jurnalistik tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Pemanasan global dan perubahan iklim dipastikan mendorong terjadinya panen bencana di permukaan bumi. Mulai dari makin meluasnya daerah yang terkena banjir dan kekeringan, kiamat kecil dari negeri kepulauan, tergusurnya masyarakat pesisir, krisis pangan dimana-mana, bibit penyakit kian garang dan makin subur hingga kemungkinan dibutuhkan sembilan planet untuk menampung isi bumi.
Semua peristiwa itu digambarkan sang jurnalis dalam berbagai pemberitaan, artikel, dan feature-nya sebagai masa depan bumi. Akibatnya, hampir semua karya-karya jurnalistik itu, menurut Prof Emil Salim pada Bedah Karya Jurnalistik tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, yang berlangsung pekan ini di Wisma Antara, Jakarta, kebanyakan hanya membuat takut dan cemas. Padahal menurut, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup ini ada hal lain yang juga harus digali lebih maksimal oleh para jurnalis, yakni menggali harapan. Harapan-harapan itu, katanya, hanya bisa muncul jika jurnalis mau turun ke daerah dan melihat berbagai keariban lokal yang dimiliki masyarakat.




Dimana masyarakat lokal itu, yang tidak mengenal berbagai teknologi dan berbagai peralatan canggih mampu mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Dia mencontohkan bagaimana masyarakat lokal yang tidak mengenal farmasi, apotik dan dokter bisa mengatasi berbagai penyakit yang mereka alami. Misalnya untuk sakit perut, masyarakat lokal di Kalimantan menggunakan cacing-cacing yang terdapat di tepian sungai mereka untuk obatnya. Cacing itu dibakar, ditumbuk, kemudian dimakan.
”Saya bertanya, kepada teman saya yang tahu, tentang hal itu. Ternyata cacing tersebut mengandung neurit yang selama ini kita beli ke apotik,” ungkap Emil yang juga menjadi Ketua Delegasi RI pada Konferensi PBB untuk perubahan iklim, Desember 2007 lalu.
Emil dalam perjalanannya ke Kalimantan juga banyak menemukan keariban lokal yang luar biasa. Diantaranya, dia menemukan sejenis durian yang buahnya kuning tetapi tidak menyebarkan bau. Padahal Thailand saat ini sedang berupaya mencari durian yang tidak bau. Sehingga dengan potensi seperti itu seharusnya durian lokal itu mampu merebut pasar yang ingin diambil Thailand.
Emil juga menyinggung tentang nata de coco. Agar-agar yang terbuat dari air buah kelapa itu, menurutnya dimanfaatkan masyarakat lokal untuk menyaring air payau di hutan bakau. Dengan menggunakan nata de coco tersebut, warna hitam yang terdapat di air tersebut tersaring di nata de coco dan akan menghasilkan air berwarna jernih dan rasanya tawar.
Berbagai potensi itu, menurutnya, menjadi alasan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang ada di Indonesia. Mengingat hutan yang ada itu bukan sekedar kayu untuk diekspor. Namun hutan adalah gabungan dari flora, fauna, mikroorganisme, obat-obatan, dan juga harapan untuk memperlambat percepatan terjadinya pemanasasan global dan perubahan iklim. Dimana hutan yang dilengkapi dengan tumbuhan hijau itu mampu menangkap CO2 yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia, seperti pabrik, kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
Jurnalis harus turun ke lapangan dalam membuat berbagai liputannya, menurut Djafar H Assegaff. Wartawan senior, dosen senior, sekaligus mantan duta besar ini juga mengungkapkan hal yang sama dengan Emil. Menurutnya feature yang didasari pengalaman dan berbasiskan ekologi masih sulit ditemukan. Kebanyakan tulisan-tulisan yang muncul di koran adalah dari sumber kedua. Padahal itu penting, tidak saja untuk membuat para penulisnya terkenal karena by line, namun juga membuat tulisan yang dihadirkan menjadi lebih hidup dan bisa bermain dengan kata-kata.
Dr Amanda Katili, staf khusus Menteri Lingkungan Hidup, malah menambahkan tulisan yang dihadirkan tidak hanya sekedar feature. Namun sudah harus masuk pada konsep story telling. Tetapi hal itu menurutnya masih sangat jarang ditemukan.
Sebagai orang Indonesia pertama yang dipilih menjadi perpanjangan tangan Al Gore, Amanda Katili juga mengingatkan pesan Al Gore kepada para komunikator termasuk wartawan untuk membuat contoh-contoh sederhana dalam menyajikan persoalan pemanasan global dan perubahan iklim. Bahkan dibutuhkan juga solusi atau gambaran apa yang bisa dilakukan masyarakat dunia di komunitas lokal masing-masing untuk menanggulangi krisis perubahan iklim tersebut.
Dr Armi Susandi, pakar meteorologi dan juga Dosen Institut Teknologi Bandung juga mendukung pernyataan Amanda Katili agar media menyampaikan berbagai persoalan yang sangat ilmiah itu dengan jabaran yang sangat sederhana. Dimana, jurnalis mampu menceritakan peristiwa mencairnya es di kutup utara sama halnya dengan peristiwa mencairnya coklat di dalam mobil.
Armi juga menyenggung pentingnya jurnalis mewawancarai para peneliti lokal atau di daerah masing-masing dalam persoalan pemanasan global dan perubahan iklim tersebut. Mengingat dampak dari kedua hal itu kini sudah sangat lokal, antara satu tempat dengan tempat lainnya di Indonesi sudah tidak sama.
Terakhir, Armi menyebutkan terpenting saat ini adalah menginformasikan bagaimana masyarakat bumi beradaptasi. Pasalnya pemanasan global dan perubahan iklim tidak bisa dihindari lagi.***

Diterbitkan 4 Mei 2008 di Harian Riau Pos

0 komentar: