Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 02 Februari 2009

Makhluk Tuhan yang Terpanggang Hidup-hidup

Minggu, 17 Pebruari 2008

Entah berapa banyak makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. Setiap hari jumlah mereka kian banyak, karena kebakaran hutan dan lahan itu tidak juga berakhir.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi_noviriyanti@riaupos.co.idAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya




SUATU hari di daratan Riau yang tengah terbakar terdengar lengkingan seekor monyet. “Ngik...ngik...ngik.....,” terdengar bergemuruh dan memilukan. Makin lama, suara itu makin dekat dan tiba-tiba monyet itu telah melompat ke mobil Sutjiptadi, Kapolda Riau yang hari itu tengah turun ke lapangan untuk melihat kebakaran hutan dan lahan yang melanda Riau.

Monyet itu ternyata tidak sendiri. Di pelukannya dua ekor monyet yang masih memerah tampak tengah bergelayut ketakutan. Dari balik kaca jendela, Sutjiptadi seperti jelas melihat monyet-monyet itu tengah berteriak meminta pertolongan. Agar api berhenti menjilati bulu-bulu tubuhnya dan anak-anaknya. Namun kejadian itu hanya sesaat, monyet itu terus meloncat berharap tidak turut terbakar bersama makhluk Tuhan lainnya yang tengah terpanggang hidup-hidup.

Di tempat lain, di waktu yang berbeda pula seekor beruang hitam tengah berlari sekuat tenaga. Ia tengah berusaha keluar dari kepungan api yang terus menyala dan menjalar ke mana-mana. Dia memacu keempat kakinya dan berhenti ketika menumbuk sebuah pohon. Pohon itu dipanjatnya, terus naik hingga dahan tertinggi yang bisa dicapainya.

Namun api tidak peduli dengan usaha sang beruang. Terus saja api itu mengejar bulu-bulu beruang bersamaan dengan dedaunan yang ada di pohon itu. Beruang itu mengakhiri hidupnya dengan teriakan yang memilukan. Awalnya melengking tinggi, kemudian berlahan-lahan menghilang.

Khairul Zainal, yang saat itu itu Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Riau, menyaksikan kejadian itu dengan getir di Pelintung, Dumai tahun 2005 lalu. Itulah makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. “Manusia penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sungguh kejam,” lirih suaranya.

Itu hanyalah dua dari sekian banyak makhluk Tuhan yang terpanggang hidup-hidup. Masih ada puluhan bahkan ratusan ribu, bukan saja kelompok mamalia, tetapi juga ada ratusan ribu mikroba tanah, tumbuh-tumbuhan dari kelas rumput hingga pohon tinggi.

***

MESKI sudah tiga tahun, kawasan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, tetap juga masih kebakaran. Entah makhluk Tuhan apa lagi yang terbakarnya. Namun data terakhir yang dirangkum Riau Pos ada 600 hektar kawasan yang terbakar. Jumlah itu kabarnya bertambah lagi. Tim sarkolak Karhutla Kota Dumai, dr H Sunaryo memprediksi jumlahnya kini bisa jadi ribuan hektar.

Pelintung menjadi areal yang sangat gampang terbakar. Pasalnya kawasan ini merupakan kawasan gambut yang kedalamannya mencapai empat meter. Sebagai kawasan gambut, bisa saja api diatasnya padam, namun di dalam tanah masih menyala dan menyebar kemana-mana. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tim sarkorlak karhutla Kota Dumai, TNI dan Polri serta manggala agni kembali berusaha memadamkannya. Tidak hanya dengan cara manual, tetapi juga dengan sistem booming memakai helikopter.

***

PERISTIWA kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Bumi Lancang Kuning bukanlah peristiwa baru. Kawasan Riau telah terbakar sejak satu dekade silam. Sampai tahun 2005 lalu, kawasan yang terbakar berdasarkan data Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdalkarhutla) Provinsi Riau telah mencapai lebih dari 100 ribu hektar. Kebakaran hebat terjadi pada tahun 1997 seluas 26 ribu hektar dan tahun 2005 seluas 23 ribu hektar.

Menyinggung apa sebenarnya menjadi penyebab dari karhutla yang terjadi di Riau, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Rahman Siddik, mengungkapkan bukanlah peristiwa kebetulan. Tetapi murni ulah manusia yang sengaja melakukan pembakaran untuk penyiapan lahan.

“Hanya orang-orang yang tidak ke lapangan yang menyebutkan kebakaran itu bisa terjadi dengan sendirinya. Tidak ada di negara tropis yang benar-benar kering sehingga bisa terbakar secara alami. Saya pernah membuktikan di suatu kawasan yang katanya terbakar sendiri. Saya datangi kawasan itu. Begitu turun dari helikopter saya buang beberapa batang rokok yang baru saya nyalakan. Ternyata terbukti tidak terbakar sama sekali,” ungkap Rahman.

Untuk itu menurutnya, tidak ada cara lain untuk menghentikan karhutla, kecuali dengan menghentikan kebiasaan masyarakat menyiapkan lahan dengan cara membakar. Untuk masyarakat kecil yang kesulitan menyiapkan lahan dengan tanpa bakar, maka mereka harus diberi kompensasi oleh pemerintah. Seperti yang saat ini digagas di Kabupaten Kampar. “Mengenai teknisnya tentu pemda yang mengatur. Karena mereka yang memiliki masyarakat,” ujar Rahman.

Selanjutnya adalah penegakan hukum. Jika kedua hal itu diabaikan juga maka wajib dilakukan penegakan hukum. Polisi harus benar-benar menindak, mereka yang melakukan pembakaran. Termasuk kepada perusahaan yang kawasannya terbakar.

“Tidak ada dalih kalau perusahaan mengatakan kalau kebakaran di lahan mereka karena ulah masyarakat. Karena sesuai dengan aturan, pemegang izin, berkewajiban mengamankan areal mereka dari kebakaran,” tegasnya.

Rahman mengingatkan upaya pemadaman karhutla hanya efektif dilakukan kalau apinya masih kecil. Jika di lahan gambut ibaratnya hanya dibagian permukaan saja. Tetapi kalau sudah masuk ke dalam tanah maka sangat sulit.

“Kejadian yang di Dumai saat ini, sebenarnya sudah padam seminggu yang lalu. Namun kemungkinan yang padam hanya di areal permukaan. Jadi ia muncul lagi saat ini, karena api yang kemarin sesungguhnya sudah menjalar ke dalam tanah,” cerita Rahman.

Kalau kebakaran sudah sampai ke dalam tanah gambut, maka cara satu-satunya hanyalah dengan cara merendam kawasan itu dengan air. Itu yang sulit dilakukan karena air yang yang menggenangi kawasan itu harus dikalikan antara luas dan kedalaman gambut. “Saya kalau sudah separah itu, hanya mengajak anggota saya berkumpul. Lalu mengajak mereka berdoa menurut kepercayaan masing-masing agar hujan datang,” ujarnya tertawa sembari mengungkapkan karhutla adalah penyakit kambuhan di Provinsi Riau.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja (Jikalahari) Susanto Kurniawan menilai tidak selesainya persoalan kebakaran di Riau karena upaya yang dilakukan hanya dalam tataran menanggulangi saat sudah terjadi. Gerakan antisipasi sering alpa dilakukan dan kalaupun dilakukan sering setengah-setengah. Padahal menurutnya, kebakaran yang terjadi tersebut lokasinya hanya itu-itu saja.

“Seharusnya kawasan-kawasan yang sudah terdata sebagai kawasan rawan kebakaran di jaga ekstra ketat. Jadi kebakaran secara dini bisa diatasi. Tidak setelah besar baru sibuk dilakukan pemadaman. Terus kalau sudah padam karena hujan, berhenti lagi,” ujarnya.

Rahman dan Susanto sepakat persoalan penanggulan karhutla memang tidak bisa diselesaikan dengan metode tim pemadam kebakaran. Tetapi harus dilaksanakan dengan cara terprogram, terencana dan berkelanjutan. Masing-masing pihak harus memahami tanggungjawab masing-masing. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus sama-sama berperan dalam memeranginya. Jika tidak akan banyak lagi makhluk hidup yang terpanggang hidup-hidup.***

0 komentar: