“Anak saya sekarang sudah terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Dia juga telah mengajak adiknya untuk membuang sampah seperti bungkus kue, permen, es krim ke tempat sampah. Dia juga bercerita tentang sampah organik bisa dijadikan pupuk kompos. Sejak itu, sekarang saya juga jadi ikut-ikutan tidak membuang sampah organik tetapi membuatnya menjadi pupuk kompos. Pupuk itu saya gunakan untuk memupuk pohon mangga saya yang kebetulan ada tiga batang. Semoga buahnya makin banyak”
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
novi792000@yahoo.com
Sepucuk surat nan tulus ditulis Triana Dinari, orang tua dari Abigail Juan Dika, siswa kelas IV Sekolah Dasar (SD) 005 Bukit Raya, Kota Pekanbaru. Lewat suratnya yang ditujukan kepada wali kelas Abigail itu, Triana hendak menuturkan betapa pendidikan lingkungan yang diajarkan di sekolah anaknya bisa memberikan kesadaran lingkungan pada anaknya. Malah kesadaran itu menjadi oleh-oleh yang dibawa pulang anaknya ke rumah. Abigail telah memberi contoh pada adiknya juga pada dirinya selaku orang tua.
Cerita tentang Abigail bukanlah cerita fiktif. Namun sebuah cerita nyata bahwa pendidikan lingkungan yang diberikan oleh sekolah memiliki pengaruh yang luar biasa bagi para siswanya. Malah pendidikan lingkungan itu telah menciptakan seorang Abigail yang bisa menjadi duta lingkungan. Meskipun hanya dalam lingkungan rumahnya.
Jika Abigail telah bisa menjadi duta lingkungan di rumahnya, maka bisa dipastikan 620 siswa SD 005 pun tanpa sengaja telah diciptakan menjadi duta lingkungan oleh sekolahnya. Sulit dipercaya memang, namun bila melihat bagaimana aktivitas sekolah itu dilaksanakan, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Di pagi hari, sebelum memasuki ruang kelas mereka, para siswa ini harus berbaris dahulu. Lalu secara massal mereka pun mengucapkan ikrar Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). “Satu, kami berjanji menjaga kebersihan, keindahaan dan ketertiban sekolah. Dua, kami berjanji tidak mengganggu tanaman sekolah. Tiga, kami berjanji akan memelihara tanaman sekolah. Empat, kami berjanji membuang sampah pada tempatnya. Lima, kami berjanji akan menjaga kesehatan,” ucap Abigail dan teman-temannya sebelum memulai aktivitas sekolah.
Tak cukup hanya sekedar ikrar yang terucap, Abigail dan teman-temannya harus mengotori tangan mereka untuk memungut sampah yang ada di dalam halaman sekolah maupun diluar pagar sekolah. Mereka juga harus memastikan, taman kelas yang mereka miliki terawat dengan baik. Sudah cukup siramannya dan tidak ada tanaman yang mati.
Di kelas pun setiap sekali seminggu, Abigail dan temannya mendapatkan mata pelajaran muatan lokal bernama pendidikan lingkungan. Mata pelajaran ini diajarkan dalam satu jam mata pelajaran. Terdiri dari materi tiori dan praktek. Dari praktek inilah Abigail bisa tahu cara membuat kompos dan mengajak ibunya juga membuat kompos dari sampah organik yang biasanya hanya dibuang ibunya.
Bukan hanya Abigail yang bisa membuat kompos. Teman-temannya seperti Ahmad Belqouli (12), Bella Tri Harti (11), dan Rayhan Prayoga (12), juga bisa melakukannya dengan baik. Setidaknya itu bisa dilihat dari bagaimana Ahmad, Bella, dan Rayhan menerangkan prosedur membuat kompos dengan sangat jelas kepada Riau Pos. Mereka juga mengaku tidak lagi bisa membuang sampah sembarangan. Bukan karena takut pada gurunya, tetapi memang kesadaran itu telah tumbuh sedemikian rupa karena bimbingan sekolah.
Jika masih sulit mempercayai bahwa kesadaran lingkungan bisa tumbuh di sekolah mari lihat kondisi sekolah itu. Sekolah itu memiliki luas areal 2.200 m2 dan didalamnya ada belasan ruangan dan ratusan tanaman yang perlu dirawat. Namun mereka hanya memiliki satu orang tenaga cleaning service. Jadi mustahil sekali bisa melihat sekolah yang bersih dan rindang tersebut tanpa bantuan seluruh penghuni sekolah yang terdiri dari 629 siswa dan 26 orang guru.
“Kalau siswanya tidak memiliki kesadaran di lingkungan, pasti sekolah ini sudah babak belur. Tidak akan ada tanaman yang bisa tumbuh subur karena pasti dicolek-colek mereka. Lukisan dinding yang ada juga pasti sudah dilempari. Bahkan ikan-ikan di kolam itu juga bisa jadi sasaran kenakalan mereka. Jadi ini benar-benar kesadaran mereka,” ungkap Nuranin, Kepala Sekolah SD 005 tersebut.
SD 005 telah menjadi contoh nyata bahwa kesadaran lingkungan bisa dimulai dari sekolah. Meskipun mereka memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, namun tak kala sekolah memberikan mereka kesadaran lingkungan merekapun bisa menjadi duta lingkungan yang tangguh. Keberhasilan SD ini, juga sekaligus menggagalkan mitos bahwa anak-anak yang memiliki kesadaran lingkungan hanyalah anak-anak di negara maju.
Sekolah itu sekaligus membuktikan pendidikan lingkungan tidak harus dimulai dari aturan ketat dari Dinas Pendidikan. Tetapi bisa dimulai dari kesadaran dan kreatifitas tenaga pendidik di sekolah. Misalnya yang dilakukan SD 005. Sekolah yang dipimpin oleh Nuranin ini, awalnya mengajarkan tentang cinta lingkungan secara otodidak. Dia mengajak guru-guru di sekolahnya untuk menanamkan rasa cinta kebersihan dan keindahan pada para siswanya. Larangan yang sangat tegas agar para anak-anak tidak membuang sampah sembarangan dan tidak mengganggu bunga yang ada. Untuk memotivasi anak-anak, setiap siswa kelas diberi tanggungjawab membersihkan kelasnya dan memelihara taman kelasnya. Lalu diperlombakan setiap enam bulan sekali.
Berhasil dengan sistem itu, Nuranini pun mulai tahun 2006 mulai membuat muatan lokal pendidikan lingkungan di sekolahnya. Meskipun belum ada modul dan silabus, namun mereka para gurulah yang kemudian bersepakat membuatnya sendiri. Itu dilakukan setiap hari Sabtu, disaat seharusnya guru-guru sudah boleh pulang. Tekat kuat yang dibangun membuat 26 guru ini akhirnya berhasil menciptakan silabus dan modul bagi tiap jenjang kelas. Pendidikan lingkungan makin terprogram di sekolah mereka dan duta-duta lingkungan yang mereka hasilkan nantinya akan semakin andal.
***
The United Nations Environment Programme (UNEP) mengungkapkan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi di muka bumi, 90 persennya adalah akibat ulah manusia. Artinya jika perilaku manusia dapat dikendalikan dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungannya maka bisa dipastikan bencana lingkungan bisa dieliminir.
Untuk mengendalikan perilaku manusia itulah diperlukan pendidikan lingkungan. Menurut Budhi Soesilo, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), pendidikan lingkungan adalah leverage (faktor daya ungkit paling besar) dalam upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup.
Budhi mengilustrasikan pendidikan lingkungan itu seperti sentuhan pada titik tertentu di tubuh manusia. Dalam istilah kedokteran sering disebut titik syaraf. Di mana bila bagian itu disentuh sedikit saja, efeknya akan sangat luar biasa bagi manusia. Di tubuh manusia titik itu misalnya terdapat pada bibir, telinga, leher, bayudara, dan lain sebagainya. Bila bagian itu disentuh, maka efeknya akan luar biasa mempengaruhi manusia. Namun bila bagian lain yang disentuh seperti kening, maka sampai keluar dakinya pun, menurutnya, tidak akan memberi stimulus apa-apa.
Meski begitu, Budhi mengakui pendidikan sering kali tidak berhasil pada prakteknya. Dia mencontohkan bagaimana nilai rapor anaknya untuk mata pelajaran agama mendapatkan angka sembilan. Namun anaknya tersebut kenyataannya tidak sholat. Untuk itu, dia mengingatkan pendidikan lingkungan tidak bisa dilakukan hanya dinilai berhasil dengan penilaian melalui kecerdasaran intelektual (IQ) yang ditandai dengan nilai rapor yang tinggi. Tapi harus diikuti dengan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ), sehingga pendidikan lingkungan akan menghasilkan tindakan nyata.
Apa yang disampaikan Budhi pada prakteknya telah dilakukan oleh SD 005. Mereka tidak saja memberikan pendidikan melalui muatan lokal, tetapi mereka telah menumbuhkan kesadaran. Sehingga tindakan para siswanya terhadap lingkungan dilakukan melalui tindakan nyata. Sekaligus siap menjadi duta lingkungan.***
0 komentar:
Posting Komentar