Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 02 Februari 2009

Sulit Air, Krisis yang Tak Dianggap

Satu-persatu orang mulai merasakan krisis air. Namun krisis itu tetap saja masih tak dianggap. Padahal kini air sudah mulai diperjual belikan. Harganya memang masih rendah, namun ke depan kemungkinan juga akan melambung seperti halnya minyak. Jika waktu itu tiba, maka dampaknya lebih mengerikan dari krisis minyak dan gas. Tak ada jalan lain, krisis air harus ditanggapi secara serius dari sekarang.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi-noviriyanti@riaupos.co.id


Hari itu, awal pekan, minggu kedua Juli. Johanes Sinaga (48) berkeluh kesah kepada Riau Pos. Gara-gara air sumur bor yang ada di rumahnya keluar bak air kencing. “Air yang keluar itu seperti air kencing saja. Angin saja yang banyak,” ungkap pria yang sudah enam tahun ini bertempat tinggal di Jalan Kereta Api, Kelurahan Tangkerang Tengah, Kecamatan Marpoyan Damai.

“Sudah dua pekan ini kami susah air. Istriku sudah mengeluh saja. Terpaksa berhemat-hemat air. Baru sekali ini pula, seperti itu. Padahal sebelumnya tidak pernah. Sekali pun kemarau panjang,” ungkap ayah lima anak ini melanjutkan ceritanya.

Dia ingat, dulu ketika tidak hujan selama empat bulan berturut-turut, air sumur bornya tetap saja lancar. Bahkan ketika jalan di depan rumahnya sudah berdebu-debu, dia masih punya banyak air untuk menyiram jalan tersebut. Dia mengaku benar-benar tidak habis pikir mengapa sumur bornya tidak lagi lancar mengeluarkan air.

“Tak mungkin pompa saya yang rusak. Tetangga-tetangga saya juga kekeringan saat ini,” lanjutnya menjawab pertanyaan Riau Pos yang menduga bahwa pompa Johanes-lah yang rusak.

Johanes juga mengelak dugaan bahwa sumur bornya mungkin terlalu dangkal. Dia menyebutkan kedalaman sumur bornya sudah 24 meter.

Saat dugaan itu juga ditolak, dugaan dilanjutkan penyebab kekeringan itu adalah tidak adanya daerah hijau atau pepohonan di sekitarnya. Akibatnya air hujan yang ada hanya menjadi air aliran permukaan dan tidak singgah di dalam tanah.

Dugaan tidak ada pohon sebagai penyebabnya tidak dibantah Johanes. Menurutnya hal itu bisa terjadi mengingat daerah di sekitarnya kini merupakan kawasan padat penduduk.

Kondisi itu diperparah lagi dengan alih fungsi kawasan di tempatnya yang dulu rawa kini menjadi kawasan perumahan.

“Bisa jadi juga penyebabnya karena ada kanalisasi di kawasan perumahan saya. Jadi air yang dulu banyak berkumpul di rawa mengalir semua ke kanal dan kawasan menjadi kering,” tambah Johanes memperkirakan kemungkinan lain penyebab kekeringan di rumahnya.

Melyati (32), seorang warga di Jalan Kereta Api lainnya yang ditanyai Riau Pos juga mengemukakan dugaan yang sama terhadap penyebab kekeringan di kawasannya. Walaupun setakat ini dia belum merasakan krisis air seperti yang dihadapi Johanes.

“Dulu kawasan ini sering banjir, tetapi sejak ada kanal jadi tidak banjir lagi. Tetapi konsekwensinya air menjadi sulit,” urainya.

Melyati juga mengakui kalau dulu di kiri kanannya banyak kebun penduduk. Tetapi kini sudah menjadi areal perumahan. Hanya beberapa areal saja, tambahnya, yang saat ini belum dibangun.

Satu-persatu orang mulai diperkenalkan dengan krisis air. Johanes dan keluarganya yang dulu tidak mengenal krisis air, kini mulai merasakan. Meskipun baru dua minggu dan masih bisa menampung air yang mengalir kecil itu. Namun ke depan bila tidak ada upaya bersama untuk melestarikan air tanah di sekitarnya, bisa jadi Johanes dan masyarakat lainnya akan benar-benar krisis air.

***

Indonesia termasuk satu dari sepuluh negara kaya air. Itu sebabnya persoalan krisis air belum begitu berkecamuk. Apalagi di Riau yang kaya dengan sumber air bersih kini masih berstatus surplus air. Akibatnya upaya konservasi dan pelestarian air masih tidak dianggap penting. Air masih dianggap komoditi murah yang tidak berarti. Padahal tanpa terasa saat ini, komoditi yang kini dikenal dengan nama emas biru itu sudah mulai punya harga.

Bahkan di Rumbio, Kabupaten Kampar, daerah yang kaya dengan air karena dibelah oleh Sungai Kampar, kini telah mengenal jual beli air. Harganya kini satu jiregen ukuran 35 liter memang masih Rp3500. Namun ke depan, ketika air sudah semakin seret harga komoditas itu juga akan meloncat tajam. Sama halnya seperti saat, harga minyak melambung lebih dari dua ratus kali lipat dalam kurun waktu satu tahun ini.

Harga air ke depan diperkirakan juga akan melambung. Mengingat Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pernah mengungkapkan saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun.

Penyebabnya tidak saja karena bertambahnya populasi manusia, tetapi juga karena kerusakan lingkungan. Mulai dari intrusi air laut yang mengkontaminasi air tanah sehingga menjadi asin. Pembuangan sampah dan limbah ke badan sungai sehingga air sungai tercemar dan tidak layak digunakan jadi sumber air bersih. Pembabatan hutan dan penebangan pohon yang mengakibatkan air hujan tidak tersimpan dalam tanah tetapi langsung ke sungai dan menuju laut lepas. Di tambah lagi seminisasi besar-besaran akibat pembangunan yang tidak memberikan kesempatan bagi air merembes ke dalam tanah.

Semua penyebab krisis air tersebut harus diantisipasi. Deputi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Hayati Endang Sukara, Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera III Agung Anggoro, Subdin Sungai, Rawa, Pantai dan Danau Kimpraswil Riau Dadi Komardi memaparkan sejumlah abtisipasi itu. Antipasi dilakukan melalui upaya optimasi pasokan, optimasi penyimpanan dan optimasi penyaluran serta penggunaan.

Optimasi pasokan dan menyimpan air berarti peningkatan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah dan tersimpan. Baik tersimpan di dalam tanah, maupun di sungai dan juga di tempat-tempat air permukaan, seperti danau dan bendungan buatan. Itu ditempuh dengan cara memanenan air hujan sebanyak mungkin. Baik melalui pembuatan kanal-kanal, meningkatkan daerah hijau, dan mengurangi areal yang disemenisasi serta penanaman pohon. Mengingat setiap satu batang pohon mengandung 80 persen air.

Terakhir dengan mengoptimasi penyaluran dan penggunaan. Artinya setiap air yang ada harus tepat sasaran dan harus dihemat penggunaannya, karena secara alami komoditas itu meningkat permintaannya seiring bertambahnya penduduk bumi.***

Diterbitkan di Harian Riau Pos, Minggu, 20 Juli 2008

0 komentar: