Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 03 Februari 2009

Kampung Jatuh ke Laut

Ombak laut dari Selat Malaka terus saja menghempaskan tubuhnya ke bibir pantai Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis. Ia menari-nari di laut, kemudian di daratan ia mengelus sekaligus menggerus tepian pantai yang berpasir dan berlumpur itu. Ujung tepi pantai yang telah gundul dari tanaman mangrove itu pun tak kuasa menolak. Butir-butir pasir dan lumpur yang dimilikinya jatuh berlahan mengikuti ombak yang kembali ke laut.

Laporan Andi Noviriyanti, Bengkalis
novi792000@yahoo.com

Mulanya hanya ujung-ujung pantai saja yang dijatuhkannya ke laut. Tetapi kemudian ombak Selat Melaka yang terkenal ganas itu kian berani menjatuhkan apapun yang ditemuinya. Mulai dari kebun hingga perumahan penduduk. Bahkan deretan perkuburan wargapun dihajarnya. Ia menenggelamkan bermeter-meter bahkan berkilometer daratan yang ada ditepian pantai itu.

Sa’dullah, seorang warga kampung Bantan Air, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis pun digeluti rasa khawatir melihat pengikisan (abrasi) pantai itu. Pria kelahiran 1938 ini cemas dan takut, kampung tempat dia tinggal itu akan habis terkena abrasi. “Takut kampung jatuh ke laut. Tak bisa lagi kita duduk-duduk di tepi pantai nanti,” ujar Sa’dullah kepada Husin, sahabatnya sekaligus juga pria yang membantunya menanam mangrove di kampungnya.

Percakapan tentang ketakutan kampung jatuh ke laut itu tidak terjadi hari ini. Tetapi sudah 12 tahun yang lalu. Saat Husin, bertanya mengapa sahabatnya itu mengajak dirinya menanam mangrove. Menurut Husin, sahabatnya yang kini telah almarhum itu, mengungkapkan mangrove yang mereka tanam itu bisa mencegah kampung mereka jatuh ke laut.

Husin tak tahu pasti, kapan sahabatnya itu mulai menanam mangrove. Seingatnya sejak tahun 1996, saat dia bekerja bersama Sa’dullah, dia telah melihat banyak pohon mangrove yang ditanam sahabatnya itu. “Saya ingat yang ditanamnya banyak tidak berhasil. Tapi dia tidak menyerah. Dia terus saja mencoba lagi. Bahkan dia sempat dianggap orang bodoh oleh warga kampung. Bagaimana mungkin menanam mangrove di laut yang terus terkena ombak. Tapi dia tidak berhenti,” ungkap Husin.

Sa’dullah memang tidak punya ilmu apa-apa dalam menanam mangrove. Dia hanya belajar dari percobaan demi percobaan yang dilakukannya. Belajar pula dari kegagalan demi kegalan yang dialaminya. Sampai akhirnya, penerima Penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan Tahun 1999 ini, di akhir masa hidupnya berhasil mewariskan delapan kilometer garis pantai hutan mangrove.

***

Kampung Sa’dullah di Bantanair bisa jadi telah aman dari abrasi pantai. Namun bagaimana dengan kampung-kampung yang lain di Bengkalis. Setidaknya, di seluruh Kabupaten Bengkalis, menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kabupaten Bengkalis Nursidin Z, ada 40 kampung (desa) yang tengah dilanda abrasi. Abrasi yang mencapai tujuh meter dalam setahun itu, bila tidak dicegah bisa jadi menerjunkan satu demi satu kampung di Bengkalis ke laut.

Untunglah di kampung lain, ada Sa’dullah lain. Para Sa’dullah muda ini berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Bahtera Melayu. Terdiri dari Defitri Akbar (Ketua), Khairul Saleh, dan M Husni Lebra. Ketiga pemuda ini melakukan pembinaan di dua kampung lainnya, yakni Desa Teluk Pambang dan Desa Jangkang di Kecamatan Bantan.

Awal keterlibatan mereka pada kegiatan pendampingan masyarakat dalam melestarikan mangrove bermula dari keterlibatan mereka pada Co-fish Project. Kegiatan itu bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat pesisir pantai, termasuk pelestarian mangrove. Dilaksanakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan.

Namun masa proyek itu hanya lima tahun. Sehingga, Defitri dan beberapa orang temannya merasa perlu menindaklanjuti program yang telah dirintis Co-fish Projek. “Kalau program ini tidak dilanjutkan, maka akan menjadi kegiatan yang mubazir. Maka sejak tahun 2003 lalu, kami melakukan pendampingan dengan melakukan pemberdayaan kelompok mangrove di dua desa tersebut,” ujar Defitri.

Di Desa Teluk Pambang ada empat kelompok yang mereka bina, yakni Belukap, Prepat, Pantai Lestari, dan Bumi Hijau. Sementara itu di Desa Jangkang ada dua kelompok, yakni Payung Penghijau dan Nelayan Sejahterah. Dari keenam kelompok itu, yang paling menonjol adalah kegiatan kelompok Belukap dan Prepat. Hingga akhirnya kedua kelompok itu dijadikan Pusat Studi Ekosistem Mangrove Kabupaten Bengkalis.

Selain melanjutkan kegiatan Co-fish Project, Defitri berharap kegiatan pendampingan yang mereka lakukan dapat memberdayakan masyarakat. “Berdaya di bidang ekonomi, berdaya di bidang sosial, dan berdaya pula dibidang politik. Karena pemberdayaan masyarakat memiliki hubungan paralel dengan peningkatan sumber daya manusia dan kelestarian alam,” ujar Defitri.
***

Kegiatan pencegahan agar kampung-kampung di Bengkalis tidak jatuh ke laut tidak saja menjadi tanggung jawab Sa’dullah dan LSM Baterah Melayu. Pemerintah Kabupaten Bengkalispun tak tinggal diam mencegah agar kampung-kampung mereka tidak jatuh ke laut. Itulah sebabnya, menurut Kepala Bapedal Nursidin dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkalis Riza Pahlefi, Pemerintah Bengkalis terus memprogramkan kegiatan pencegahan dan perbaikan kerusakan hutan mangrove.

Kegiatan pencegahan dan perbaikan itu tidak saja melalui kegiatan penanaman mangrove. Tetapi juga dengan melakukan pembangunan fisik, berupa pembangunan turap. Termasuk juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukan penebangan hutan magrove secara tidak lestari.

“Kerusakan hutan mangrove di Bengkalis sulit dihindari. Mengingat masyarakat masih mengandalkan kayu mangrove untuk dijadikan cerocok pembangunan rumah. Kita belum temukan penggantinya. Namun kita berusaha untuk mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak menebang bakau tanpa melihat kelestariannya,” ujar Nursidin.

Selain itu, Nursidin dan Riza juga berharap pemerintah di tingkat provinsi maupun pusat bersedia melakukan sharing dana mencegah terjadinya abrasi di Bengkalis. Pasalnya sebagai salah satu kawasan terluar dari Indonesia ini, Bengkalis juga menjadi penentu luas Indonesia.

“Jika garis pantai di Bengkalis mundur, maka luas Indonesiapun mundur ke Belakang. Karena batas wilayah dihitung dari 12 mil laut dari garis pantai. Indonesia bertambah kecil, sementara negara lain bertambah luas. Karena mereka melakukan penimbunan pantai,” ungkap Nursidin.

Meski sudah ada upaya pemeritah, namun Riza juga berharap ada Sa’dullah-Sa’dullah lainnya di Bengkalis. Agar ketakutan Sa’dullah tentang kampung yang jatuh ke laut tidak pernah jadi kenyataan.***

Diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos, Minggu, 30 Maret 2008

0 komentar: