Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 02 Februari 2009

Memanen Air Hujan

Memanen air hujan menjadi solusi terhadap krisis air dan banjir yang melanda kota-kota manapun di dunia saat ini. Bahkan upaya pemanenan air hujan ini telah dibicarakan di konferensi internasional memanen air hujan. Konferensi ini pertamakali dilaksanakan tahun 1982 di Hawai dan secara reguler dilakukan diberbagai negara lainnya. Solusi ini juga bisa dicoba untuk menjawab persoalan krisis air bersih dan banjir di Kota Pekanbaru.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andi-noviriyanti@yahoo.co.id



SUATU hari di musim kemarau. Pertengahan tahun 2007, di Kota Pekanbaru. Idar dan suaminya, warga Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sail, membawa gerobak berisi galon-galon air kosong. Wanita yang bekerja sebagai pekerja kebersihan dan suaminya seorang tukang parkir ini hendak meminta air kepada tetangganya yang memiliki sumur bor. Karena kala itu hanya sumur bor lah yang masih bisa memproduksi air bersih dari dalam tanah. Sementara mereka yang mengandalkan sumur biasa sudah lama kehilangan air dari sumur-sumurnya.

Sumur bor sementara ini memang menjadi jawaban bagi masyarakat Kota Pekanbaru untuk mengatasi krisis air di musim hujan. Menurut Asmalini (67), warga Kelurahan Sukamaju, sumur bor lah yang kini mengatasi semua persoalan air di rumahnya.

“Dulu sebelumnya, saya memakai sumur biasa dan air leding dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Tetapi selalu saja kekeringan. Apalagi sejak saya membuka kos-kosan. Saya pasang air leding PDAM agar bisa mengatasinya. Tetapi tidak memadai juga karena alirannya kecil sekali dan air yang keluas sering berwarna kuning. Maka sejak sepuluh tahun yang lalu saya memasang sumur bor. Sejak itu semua ketersediaan air terjawab dengan sumur bor. Saya tidak pakai lagi air PDAM,” ungkap nenek 29 cucu ini.

Langkah Asmalini untuk mengganti sumur biasa menjadi sumur bor hampir diikuti oleh seluruh tetangganya. “Dulu sebelumnya, karena mereka tidak memiliki sumur bor, kalau musim kemarau tiba pasti mereka meminta air ke rumah. Tetapi sekarang tidak lagi. Hanya ada satu-satu yang masih meminta. Itu karena ada keluarga yang tidak mampu membangun sumur bor atau mesin pompanya rusak,” ungkap Asmalini.

Dalam sepuluh atau dua puluh tahun kedepan masyarakat Kota Pekanbaru bisa jadi masih bisa berpesta pora dengan ketersediaan air dari sumur bor mereka. Namun apa jadinya ketika air tanah yang menjadi sumber air sumur bor itu juga mulai mengering dan kualitasnya makin buruk seperti Kota Jakarta? Atau tak kala terjadi krisis listrik, dimana air dari dalam sumur bor tidak bisa dipompa lagi karena keterbatasan listrik?

(diterbitkan di Riau Pos, 10 Februari 2008)

0 komentar: