Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 10 Februari 2009

Pers & Gerakan Lingkungan

Di Indonesia, jurnalisme lingkungan tumbuh seiring dengan stabilnya kondisi politik dalam negeri pada akhir dekade 1970-an. Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya kesadaran yang lebih terfokus di kalangan pers Tanah Air. Di antaranya diakomodasinya isu lingkungan pada rencana pembangunan Indonesia (GBHN) pada tahun 1972, dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup tahun 1978, lahirnya organisasi gerakan lingkungan berskala yang lebih besar misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 1980 dan terbitnya Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1982. Dalam UU tersebut dijamin adanya peran serta masyarakat dalam hal pelestarian lingkungan.



Pada 22 April, 38 tahun lalu, ratusan ribu orang berkumpul di Fifth Avenue, New York, Amerika Serikat, untuk menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan hidup bagi kehidupan.

Tanggal itu lantas disepakati sebagai Hari Bumi yang diperingati hingga kini. Aksi tersebut menandai babak baru dari gerakan lingkungan yang lebih terorganisasi, kritis, massal dan berpengaruh. Demonstrasi fenomenal itu tidak muncul begitu saja tetapi setelah melalui pergulatan panjang yang lantas memunculkan kesadaran baru di berbagai kalangan masyarakat, termasuk kalangan pers.

Di AS, gerakan lingkungan hidup yang lebih kritis mulai tumbuh sejak terbitnya buku karya ahli biologi Rachel Carlson berjudul Silent Spring yang ditulis pada tahun 1962. Dalam buku itu Carlson menuliskan kecemasannya terhadap industri pestisida, terutama DDT, yang ternyata berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Sejak saat itu, berbagai kalangan termasuk kelompok media mulai menyadari bahwa ada ancaman yang cukup serius terkait dengan kerusakan lingkungan. Berita terkait lingkungan hidup pun semakin mendapat tempat, mendampingi isu-isu perang yang pada era 1960-an sangat mendominasi. Peran pers inilah yang mendorong gerakan lingkungan menemukan momentumnya yang berujung pada aksi di New York. Pada dasawarsa 1970-an, media mulai menempatkan isu lingkungan sebagai hal penting. Media-media utama seperti Time, Fortune, Newsweek, Life, Look, The New York Times dan The Washington Post, menempatkan berita-berita lingkungan di halaman depan. (Kirkpatrick Sale, 1996).

Kesadaran serupa juga tumbuh di Eropa. Pada bulan Januari 1972, majalah di Inggris, The Ecologist menurunkan artikel berjudul A Blue Print for Survival, yang ternyata sangat berdampak terhadap munculnya kesadaran lingkungan di negara itu.

Dalam artikel itu The Ecologist menyerang masyarakat industri karena bahaya-bahaya lingkungan yang ditimbulkan. Tulisan ini juga memprediksi apa yang mereka sebut ”hari kiamat” jika kecenderungan-kecenderungan kerusakan lingkungan dibiarkan apa adanya. Artikel ini mendapat tanggapan yang luar biasa, tak cuma berpengaruh di Inggris namun juga negara-negara Eropa daratan. Puncaknya dihasilkan dokumen bersama tentang penyelamatan lingkungan yang ditandatangani oleh sejumlah ilmuwan.

Di Indonesia, jurnalisme lingkungan tumbuh seiring dengan stabilnya kondisi politik dalam negeri pada akhir dekade 1970-an. Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya kesadaran yang lebih terfokus di kalangan pers Tanah Air. Di antaranya diakomodasinya isu lingkungan pada rencana pembangunan Indonesia (GBHN) pada tahun 1972, dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup tahun 1978, lahirnya organisasi gerakan lingkungan berskala yang lebih besar misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 1980 dan terbitnya Undang-Undang Tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1982. Dalam UU tersebut dijamin adanya peran serta masyarakat dalam hal pelestarian lingkungan.

Seperti diketahui pers dalam era Orde Baru adalah pers yang berada dalam cengkeraman pemerintah. Demikian halnya dengan pers peduli lingkungan yang ketika itu terbungkus dalam kemasan jurnalisme pembangunan berwawasan lingkungan. Karena pers selalu dipaksa untuk menjadi bagian dari instrumen ”menyukseskan” pembangunan, pers ketika itu mandul dan tidak kritis.

Sebagai contoh tidak maksimalnya pers mengkritisi program pertanian revolusi hijau yang sempat berujung pada bencana ekologis berupa ledakan hama tanaman atau ketidakmampuan pers mengkritisi program pembukaan lahan/hutan satu juta hektare di Kalimantan yang kini terbengkalai.

Pascatumbangnya Orde Baru, pers Indonesia menemukan kemerdekaannya. Pers kini lebih berani dan kritis menyikapi banyak hal, termasuk isu-isu lingkungan.

Permasalahannya sekarang adalah mampukah insan pers Indonesia (melalui karya-karyanya) memanfaatkan momentum ini untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup? Dari sisi sumber daya manusia, harus diakui kekuatan untuk mewujudkan itu mulai lahir. Setidaknya secara individu telah banyak bermunculan jurnalis yang memiliki ketertarikan terhadap lingkungan yang merupakan salah satu dari tiga isu utama di era globalisasi ini.

Positifnya kekuatan individu tersebut telah mulai membentuk jejaring untuk memfokuskan arah gerakan penyadaran. Sebut saja terbentuknya Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ) pada tahun 2006. Di lingkup daerah misalnya telah terbentuk jurnalis peduli lingkungan Jawa Timur, di Sulawesi ada Greenpress dan lain sebagainya. Sayangnya kekuatan individu ini masih terbentur oleh kebijakan keredaksionalan pemilik media massa yang belum menempatkan isu lingkungan sebagai hal yang butuh dipertimbangkan untuk mendapat porsi lebih. Maklum, isu ini memang belum laku dijual. Untuk media cetak, hanya media massa yang sudah mapan yang telah memberikan porsi lebih dan mengedepankan berita-berita lingkungan, sebut saja Kompas dan Media Indonesia. Tantangan ke depan adalah bagaimana, kekuatan individu ini bisa bersinergi dengan politik keredaksian pemilik media.

Terlepas dari itu ada satu hal yang bisa dijadikan catatan penting bagi jurnalis peduli lingkungan di Tanah Air. Hasil penelitian Andi Noviriyanti (2006), terhadap berita lingkungan yang disajikan koran nasional dan koran lokal di Riau, menemukan ada tujuh pelanggaran objektivitas berita. Tujuh pelanggaran itu meliputi memasukkan istilah dan definisi yang menyesatkan, membuat berita yang tidak berimbang, memasukkan opini, mengurangi informasi dan konteks sehingga mengubah cerita sebenarnya, menghilangkan informasi tertentu dengan maksud memanipulasi sentimen publik, menggunakan fakta benar untuk menggambarkan kesimpulan hal yang salah dan tidak memeriksa informasi dari sumber yang tepat.

Meski hasil kajian itu masih mengundang perdebatan di berbagai forum milis terkait dengan definisi objektivitas, kesimpulan penelitian tersebut setidaknya membuka pikiran bahwa skill penulisan berita-berita lingkungan masih perlu ditingkatkan. Jurnalisme lingkungan memang hendaknya tidak hanya menyajikan kejadian aktual namun harus bisa menelaah masa lampau dan mengamati masa depan.

Sumber : http://kompos.web.id/2008/09/11/pers-gerakan-lingkungan/

http://greenpressnetwork.wordpress.com/


0 komentar: