Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 02 Februari 2009

Gedung Bercabang Pohon

Green Building, Tren Gedung Abab 21

Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2008

Pernah tidak membayangkan, kalau suatu hari bukan saja pohon yang tumbuh tinggi bercabang tetapi juga gedung tinggi mencakar langit? Cabang-cabang kontruksi keluar hampir di seluruh sisi lantai. Lalu diatas cabang-cabang beton itulah tampak pohon tumbuh dengan suburnya. Kalau dari kejahuan serasa melihat gedung bercabang pohon.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id



Mungkin kita menggeleng, tetapi itulah gedung masa depan yang tampak nangkring di situs National Building Museum. Sebagai salah satu wujud green building (gedung ramah lingkungan) yang akan menjadi tren gedung abad 21.

Kalau masih sulit membayangkan itu, mari kita melihat kenyataan di Jepang, tepatnya di Kota Osaka. Di situ terdapat sebuah mal bernama Namba Park. Pepohonan dan tanaman bunga-bungaan tampak tumbuh subur di atas mal itu. Persis seperti pemandangan taman kota yang biasanya dijumpai di daratan.

Osaka sama seperti kota-kota besar lainnya di dunia. Lahan di daratannya begitu disesaki oleh tumbuhan beton. Yang semakin hari jumlahnya bukan semakin berkurang tetapi semakin padat. Alhasil tidak ada lagi tempat untuk pepohonan bisa tumbuh. Padahal pepohonan itu bukan saja membuat iklim mikro menjadi dingin, tetapi juga sangat penting untuk menghisap carbondioksida si penyebab pemanasan global.

Kalau negara maju seperti Jepang, tidak ada lahan mereka masih bisa selesaikan dengan membuat taman melayang seperti di atap Mal Namba Park itu. Dengan teknologi dan uang yang dimilikinya, mereka mampu menanam pohon di atas lautan beton itu. Tetapi kalau giliran negara-negara miskin atau berkembang tentulah hal tersebut mustahil dilakukan. Selain tidak punya dana juga karena alasan sumber daya manusianya masih pas-pasan.

Model bangunan dengan konsep taman melayang atau gedung bercabang pohon itu termasuk green building. Namun makna green buiding sebenarnya tidaklah sesederhana dipenuhi pepohonan itu. Menurut Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), yakni kerangka berpikir sertifikasi yang dirumuskan Green Buiding Council Amerika Serikat adalah gedung yang menerapkan efisiensi energi, menghemat penggunaan air dan mampu mendaur ulang penggunaannya kembali. Termasuk juga gedung yang dibangun dengan bahal lokal dan material ramah lingkungan serta proses kontruksinya ramah lingkungan.

Green building dikampanyekan karena adanya perubahan paradigma. Bila dulu ada anggapan bahwa sektor industri dan transportasi lah yang menjadi musuh utama lingkungan. Namun sekarang diketahui ternyata gedung-gedung lah musuh lingkungan sebenarnya. Situs National Building Museum menyebutkan gedung-gedung mengkonsumsi lebih dari setengah energi yang digunakan di seluruh dunia. Baik untuk pendinginan, pemanasan, penerangan, atau sistem gedung lainnya yang menggunakan energi listrik. Bahkan emisi karbon yang dihasilkan gedung-gedung tersebut mencapai angka 68 persen.

Untuk itulah penerapan konsep green building menjadi solusi dari dunia properti untuk mengambil peran dalam mengurangi dampak pada pemanasan global. Konsep green building telah diterapkan disejumlah tempat, misalnya Wisma Dharmala Sakti Jakarta, Pearl River Tower Guangzhou Cina, dan The Building and Construction Authority’s (BCA ) Academy Singapore.

Namun untuk di daerah konsep ini hampir tidak dikenal. Termasuk di Provinsi Riau. Dua gedung yang baru saja akan selesai di bangun tahun 2008 ini yaitu gedung perpustakaan Soeman Hs dan Gedung Sembilan Tingkat Gubernur Riau juga tidak menerapkan konsep green building.

“Kedua gedung itu sangat megah dan cukup fenomenal. Namun apakah gedung itu cukup ramah bagi lingkungan. Berapa energi listrik yang digunakannya? Adakah penghematan yang dilakukannya? Adakah pemanenan air hujan untuk sekedar menghemat penggunaan air?” tanya General Manager Hotel Aryaduta Pekanbaru Andreas A Stiller.

Andreas menyebutkan sebagai gedung pemerintahan seharusnya bisa menjadi contoh. Mengingat di Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau akan banyak gedung-gedung baru lainnya. “Bukan maksud saya mengkritik, tetapi bila pemerintah ingin mengajak pihak swasta dan masyarakat lainnya untuk membangun gedung ramah lingkungan, pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu. Jika tidak itu tentu tidak bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya kepada Riau Pos.

Dari keterangan Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Riau Sudirwan Hamid, gedung perpustakaan yang dibangun berbentuk rehal tersebut memang dibangun full air conditioner (AC). Begitu juga dengan penggunaan lampu. Menurutnya, lampu tetap akan hidup walaupun di siang hari.

Berdasarkan informasi dari Perusahaan PT Listrik Negara (PLN) Cabang Pekanbaru disebutkan untuk kedua gedung itu memakai listrik masing-masing sebesar 970 KVA dan 2180 KVA. Listrik sebanyak itu bisa digunakan untuk menerangi rumah sekitar 2423 rumah dengan kapasitas listrik 1300 watt.

Untuk menerapkan green building menurut Kasubdin Cipta Karya Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Zulkifli Rachman tidaklah mudah. Menurutnya memerlukan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.

“Pembangunan gedung itu sesuai dengan keinginan pemiliknya. Bila pemiliknya menginginkan gedung yang ramah lingkungan, maka secara kontruksi dan arsitektur itu pasti bisa diwujudkan. Hanya saja, sekarang seberapa peduli mereka dengan lingkungan?” ujar pria yang berlatar belakakang pendidikan arsitek ini.

Dia menyebutkan banyak rumah ataupun gedung sekarang langsung dibuat perencanaannya untuk menggunakan AC. “Kalau sudah dirancang untuk AC, maka gedung tersebut tidak akan mempertimbangkan aspek sirkulasi udara ataupun pencahayaan. Sehingga penggunaan listrik tidak bisa dihindarkan,” lanjutnya.

Konsep green building bila dibandingkan dengan konsep rumah Melayu sebenarnya bisa sama. Pasalnya rumah-rumah Melayu juga dibangun dengan model jendela dan pintu lebar, sehingga tidak mengandalkan pendinginan dari AC dan penerangan dari lampu listrik pada siang hari.

Konsep rumah Melayu itu bisa disaksilan bila kita berkunjung ke rumah Tenas Effendy, budayawan kondang Riau. Rumahnya yang terletak di Jalan Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar itu terlihat dipenuhi dengan jendela-jendela besar yang membiarkan cahaya matahari dan semilir angin bebas masuk. ***

0 komentar: