Gambut, antara Penyelamat atau Sumber Petaka
Gambut tak hanya bisa menjadi penyelamat dunia dari perubahan iklim. Namun sekaligus juga menjadi sumber petaka bila salah urus karena emisi gas rumah kacanya dapat memicu percepatan terjadinya perubahan iklim.
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com
Kembali bayangkan gambut sebagai tumpukan padat sampah organik yang berisi potongan ranting, daun, batang, dan zat organik lainnya yang dikeringkan kemudian dibakar. Pastilah gas-gas rumah kaca seperti carbon dioksida (CO2), methana (CH2), dan nitorus oksida (N2O) sebagai hasil pembakarannya tak terhingga banyaknya. Apalagi jika sampah yang dibakar itu ketebalannya hingga 20 meter (kedalaman gambut dalam) seperti yang terdapat di Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan.
Saat gambut rusak atau terbakar, menurut Hans Joosten dari Wetland International, awal Desember lalu, tak hanya melepaskan stok karbon yang tersimpan sejak ribuan tahun lalu. Namun, tambah Haris Gunawan, dosen biologi FMIPA Universitas Riau, medio Januari, juga mengakibatkan gambut kehilangan kemampuannya menyerap emisi karbon di udara lewat vegetasi yang dimilikinya.
Gambut secara global, menyimpan sekitar 329-525 giga ton (Gt) karbon. Sekitar 86 persen (445 Gt) dari karbon di lahan gambut tersimpan di daerah subtropis, terutama Kanada dan Rusia. Sementara sisanya 14 persen (70 Gt) terdapat di daerah tropis, terutama di Indonesia (sekitar 50 persen lahan gambut tropis terdapat di Indonesia, red). Haris menjelaskan, gambut di daerah tropis berasal dari material kayu, sementara subtopis dari rumput dan lumut.
Data Wetland International, lahan gambut terluas terdapat di Rusia bagian Asia (1.176 280 km2), selanjutnya Kanada (1.133.926 km2), dan nomor tiga Indonesia (265.500 km2). Dengan demikian Indonesia memiliki luas kawasan gambut tropis terluas karena Rusia dan Kanada termasuk daerah subtropis.
Meskipun lahan gambut di daerah tropis lebih sedikit, namun menurut data Wetland International emisi gas rumah kaca paling banyak terjadi di daerah gambut tropis, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan Papua New Guini. Bahkan data Wetland yang dilansir di Konferensi Perubahan Iklim Sedunia (UNFCCC) COP15, di Kopenhagen, Desember lalu, menyebutkan tingkat emisi Indonesia dilahan gambut paling tinggi (500 Mton Co2, data 2008 dan belum termasuk kebakaran lahan gambut,red). Faktor utama tingginya tingkat emisi ini terkait dengan pengeringan lahan gambut.
Namun posisi Indonesia itu akan kebalikannya, dari si sumber petaka (karena melepaskan gas rumah kaca) menjadi penyelamat bumi (bila lahan gambut yang ada di dikelola dengan cara berkelanjutan). Pasalnya salah satu poin dalam International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, tahun 2007 lalu, menyebutkan lahan gambut Indonesia yang berkisar 20 juta hektar tersebut mampu menyimpan sekitar 30 persen kapasitas karbon global di dalam tanah. Selanjutnya di atas tanah, lahan gambut bisa menyimpan karbon dalam bentuk vegetasi hutannya. Jadi tingkat menyerap karbon di lahan gambut dua kali lipat.
Dengan demikian pendapat Emmy Hafild, saat itu Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, yang menyatakan Riau bisa menjadi pahlawan dunia dalam melawan perubahan iklim lewat pengelolaan lahan gambutnya secara berkelanjutan dapat dibenarkan. Bila lahan gambut di Riau yang menurut data Badan Lingkungan Hidup (BLH) seluas 4.033.666 ha (terluas di Sumatera, red) dengan kandungan karbon sebesar 16.833,45 juta ton dikelolah dengan baik. ***
0 komentar:
Posting Komentar