Tumpukan Sampah Organik yang Dipadatkan
Tiga tahun yang lalu, Emmy Hafild, saat itu Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, mengungkapkan kepada Riau Pos, Riau bisa menjadi pahlawan dunia dalam hal perubahan iklim bila mampu menyelamatkan gambut yang dimilikinya. Bahkan bisa meraup dolar dunia dari stok karbon yang dimilikinya di lahan gambut. Namun benarkah itu? Inilah hasil penelusuran panjang Riau Pos dari sejumlah literatur, diskusi bersama para ahli dalam dan luar negeri, hingga pengalaman tiga kali berturut-turut mengikuti Konferensi Perubahan Iklim Sedunia (UNFCCC) sejak Bali (2007) hingga Kopenhagen (2009)
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com
Akhir November 2009, di GG House, Bogor, dalam pembekalan wartawan Indonesia yang akan meliput Konferensi Perubahan Iklim Sedunia (UNFCCC) COP 15, di Kopenhagen, Prof Daniel Murdiyarso dari Center for International Forestry Reseach, membuka forum diskusi tentang gambut.
“Gambut itu seperti tumpukan sampah yang dipadatkan,” ujarnya memberi penjelasan sederhana tentang jenis tanah yang kini banyak diributkan oleh aktivis lingkungan agar eksploitasinya dihentikan. Terutama di Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, yang kini masih terus menjadi perdebatan para pihak, antara kepentingan ekonomi, konservasi dan melawan perubahan iklim.
Tumpukan sampah itu, berisi zat-zat organik organik yang dipadatkan. Bisa potongan daun, ranting, batang pohon hingga berbagai bahan organik lainnya yang pembusukannya terhenti karena tingginya kadar asam akibat kawasan itu jenuh (tergenang) air.
Gambut umumnya mengisi cekungan-cekungan yang berada tidak jauh dari sungai. Itulah sebabnya gambut sering disebut sebagai tempat penyimpan cadangan air untuk sungai-sungai di dekatnya. Air di areal gambut secara alami akan mengalir ke sungai-sungai tersebut lewat aliran air tanah bila musim kemarau tiba. Keberadaan gambut di sekitar sungai itulah membuat sungai tak gampang meluap saat musim hujan dan tak mudah kering di musim kemarau.
Sekarang, bayangkan bila tumpukan sampah organik itu dikeringkan dengan cara membuat kanal-kanal di antaranya? Air dari kawasan gambut tersebut pasti akan terkumpul ke dalam kanal, kemudian akan secepat kilat pula mengalir ke tempat yang lebih rendah akibatnya tanah dari tumpukan sampah organik tadi mengering. Jika sudah mengering, ia tak lagi bisa mengikat air (Ia bersifat irreversible). Akibatnya, fungsinya sebagai penyimpan cadangan air menghilang.
Bila air hujan turun, air yang jatuh di kawasan gambut akan segera saja lewat. Mereka tak lagi bisa bersatu. Air itu akan langsung bersatu di sungai. Sungai yang tidak memiliki kapasitas terbatas akan meluapkannya ke seluruh penjuru yang lebih rendah dari tubuhnya. Alhasil banjir di sekitar bantaran sungai terjadi di mana-mana saat musim hujan tiba.
Saat musim kering tiba, sampah organik padat yang memang tak bisa lagi menyatu dengan air ini akan semakin kering dan menjadi bahan bakar bagus bila sekali terpatik api. Sama seperti kalau kita mengumpulkan daun dan ranting-ranting kering serta kayu-kayu lapuk. Jika dibakar segera menyala dan kalau sudah menyala apinya pun menjadi liar. Tidak saja melalap yang dibagian atas, tetapi juga ke kiri dan ke kanan serta ke bahwa. Sama halnya kalau kita membakar serbuk gergaji, apinya akan menyebar kemana-mana. Jalaran apinya kadang juga tidak kelihatan, tapi tahu-tahu semua sudah menghitam tanda terbakar.
Nah, sekarang bayangkan lagi, kalau lapisan sampah organik kering dan padat itu terbakar hingga ketebalan 20 meter (ketebalan gambut dalam)! Pasti kebakarannya sangat hebat dan sangat sulit dipadamkan. Tumpukan sampah organik kering dan padat itu tidak akan berhenti terbakar kalau tidak disiram dengan air yang mampu menggenangi wilayahnya secara keseluruhan. Kalau hanya disiram sedikit, sama halnya dengan memercikkan api di tungku api. Pasti yang kemudian muncul adalah asap tebal. Apipun belum tentu padam. Api bisa saja sudah menjalar ke bagian kanan, kiri, dan bawah yang tidak tersentuh air tadi.
Fenomena itulah yang dihadapi oleh daerah-daerah pemilik kawasan gambut yang telah rusak. Jika musim hujan kebanjiran, jika musim kering dikepung asap akibat kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan terjadi di mana-mana.
Selain itu, persoalan kerusakan gambut, kini tak lagi populer sekedar penyebab banjir dan kebarakan hutan dan lahan serta bencana asap. Tetapi telah bergerak menjadi persoalan dunia, karena kawasan gambut rentan menjadi kawasan penghasil emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim.
Pasalnya kawasan itu memiliki potensi mengemisi karbon dua kali lipat. Pertama, saat ia dikeringkan, kedua saat ia terbakar. Gambut kering dan terbakar ini pulalah yang menempatkan posisi Indonesia menjadi negara nomor tiga di dunia sebagai penghasil emisi.***
0 komentar:
Posting Komentar