Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 25 Juli 2010

Mereka yang Kian Tersingkir


Dari Bakteri hingga Harimau


Bumi ini tidak saja diisi oleh manusia. Tetapi juga dengan berbagai makhluk Tuhan lainnya. Mulai dari makhluk kecil hampir tak berwujud seperti bakteri hingga harimau si raja hutan. Namun kini keberadaan mereka sebagai bagian dari keanekaragaman hayati yang berguna untuk menjaga keseimbangan alam kian tersingkir. Bukan saja karena habitatnya yang sudah dihancurkan, tetapi juga karena praktik perburuan liar yang tak tertanggulangi.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com
Tulang belulang harimau Sumatera itu tergeletak memenuhi lantai ruang barang bukti Poltabes Pekanbaru. Di ruangan berukuran 3 x 3 meter yang terletak dilantai tiga itu tampak pengap. Selain karena diisi pemandangan tulang belulang harimau yang telah mengering lengkap dengan daging kering yang masih menempelinya, ditambah lagi dengan bau tak sedap yang memenuhi ruangan tersebut. Bau busuk seperti ikan asin itu berasal dari ember-ember berisi cairan yang merendam kulit harimau yang terletak tak jauh dari deretan tulang dan tengkorak harimau.

Pemandangan itu, terjadi pada Ahad (18/7) lalu, sekitar pukul setengah empat sore. Pihak kepolisian di Poltabes Pekanbaru hari itu memberikan keterangan kepada pers tentang tertangkapnya dua pelaku kejahatan perdagangan satwa ilegal, yang tertangkap sehari sebelumnya (17/7). Bersama dua pelaku itu telah diamankan enam tengkorak harimau, lima lembar kulit harimau, dan sekitar tujuh kilo tulang belulang harimau. Kejadian pekan lalu ini menambah deret panjang kisah penyingkiran harimau Sumatera. Satu-satunya spesies harimau yang tertinggal di Indonesia, setelah harimau Jawa dan Bali yang dinyatakan punah beberapa dekade silam. Berdasarkan data yang dilansir WWF kepada media, pada tahun 1992 hanya terdapat 400 ekor lagi harimau Sumatera yang tertinggal. Sementara pada kurun waktu 1998-2009 saja, WWF Riau mencatat 46 ekor harimau Sumatera mati di Riau. Itu baru yang terdata, tidak termasuk kisah tentang enam tengkorak harimau yang ditemukan pekan lalu. “Ini adalah jumlah yang terdata. Jika memang benar enam tengkorak harimau yang akan dijual ke Malaysia adalah harimau Sumatera, tentu angka ini akan terus bertambah,’’ ujar Samsidar, Humas WWF, kepada Riau Pos, pekan lalu menanggapi tentang tertangkapnya pelaku kejahatan kehutanan harimau Sumatera, pekan lalu.
***

Sabtu (17/7) pekan lalu juga, bersamaan dengan hari tertangkapnya dua pelaku kejahatan perdagangan satwa itu tertangkap, di SD Kartika, aktivis WWF bersama PT Sharp memperkenalkan tentang keanekargaman hayati kepada siswa-siswi di SD. Itu sebagai bagian dari kegiatan mereka memperkenalkan keanekargaman hayati yang kian terancam. Termasuk salah satunya memperkenalkan tentang harimau Sumatera lewat cerita tentang Si Belang (anak harimau Sumatera) dan Si Kiki (monyet) temannya. Danang, salah satu staf WWF yang bertugas menceritakan kisah Si Belang sembari memegang boneka Si Belang yang ada di tangannya bersama rekannya Resa bercerita bagaimana Si Belang yang tengah bermain kejar-kejaran bersama Si Kiki ditangkap oleh si pemburu harimau. Namun untunglah ibu Si Belang, seekor harimau betina dewasa, datang dan menyelamatkan anaknya. Ibu Si Belang yang marah pada pemburu, bermaksud memakan si pemburu. Namun Si Kiki berusaha mencegahnya. Si Kiki menyebutkan bahwa si pemburu juga punya keluarga, anak dan istri. “Nanti, anaknya akan kehilangan bapaknya,” ujar Si Kiki. Akhirnya ibu Si Belang mengurungkan niatnya. Karena tak jadi dimakan ibu Si Belang, si pemburu bersyukur dan berterima kasih dengan ibu Si Belang. Sebagai bentuk terima kasihnya si pemburu bersahabat dengan keluarga harimau dan sekaligus menjadi penjaga hutan.

Kisah sederhana itu suatu saat kelak bisa jadi hanya menjadi sebuah cerita. Si Belang yang adapun hanya dalam bentuk boneka. Mengingat kini harimau Sumatera yang diceritakan itu jumlahnya terus berkurang. Mereka tersingkir dari habitatnya untuk kepentingan perkebunan dan kegiatan budidaya manusia lainnya serta diburu.
***

Pertengahan pekan ini, 19-23 Juli, di Sanur, Bali, ribuan orang yang terdiri dari ilmuwan, aktivis, pemerhati lingkungan tumpah ruah di Bali membahas konservasi dan keanekaragaman hayati. Mereka menghadiri pertemuan Konferensi Asosiasi untuk Konservasi dan Biologi Tropis atau Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) 2010.

Konferensi tahunan ini, memfokuskan perhatiannya pada keanekaragaman sumber daya hayati, dengan tema utama “Tropical Biodiversity: Surviving the Food, Energy, and Climate Crisis” (Keanekaragaman Hayati Tropis: Selamat dari Krisis Makanan, Energi dan Iklim).

Pertemuan ini dianggap sangat krusial, mengingat semakin tergerusnya jumlah keanekaragaman hayati di Alam. Terutama ditandai dengan makin menyusutnya jumlah satwa top predator, misalnya harimau Sumatera tadi. Kehilangan harimau, mungkin tidak secara langsung berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Namun keberadaannya menjadi pengatur keseimbangan di alam. Misalnya menjaga jumlah populasi babi liar yang menjadi hama pertanian masyarakat. Keberadaan harimau juga memastikan di alam masih tersedia hutan dalam kondisi yang baik, sebagai tempat jutaan makluk hidup lainnya di planet bumi ini. Termasuk juga untuk manusia di sekitarnya yang masih menggantungkan kehidupannya dari keberadaan hutan, misalnya masyarakat pedalaman.

Menurut Mike Shanahan, staf Media di International Institute for Environment and Development (IIED) dalam salah satu tulisannya tentang Biodiversitas dan Jurnalistik Lingkungan, menyebutkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati bukan saja tentang kematian harimau, sebagai spesies langka dan karismatik. Tetapi juga hilangnya keanekaragaman jenis gen, spesies, dan berbagai ekosistem di planet bumi ini. Misalnya saja bakteri yang membantu tanah menjadi subur. Ataupun plankton kecil yang tak terlihat dengan kasat mata di perairan tetapi menjadi penentu ketersediaan ikan yang dibutuhkan manusia untuk makan. Jadi begitu pentingnya menjaga keanekargaman hayati di muka bumi ini. Sesuatu yang kelak menjadi jaminan bagi umat manusia dalam penyediaan bahan makanan, energi, dan juga melawan perubahan iklim yang tidak diragukan lagi terjadinya.***

0 komentar: