Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Selasa, 13 Juli 2010

Satu Semester Bebas Asap


Alangkah indahnya bila terus bisa melihat langit yang biru tanpa asap yang melapisinya. Alangkah nyamannya bila tak perlu menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan. Alangkah bahagianya bila tak perlu was-was terkena ISPA karena indeks kualitas udara menunjukkan angka baik. Enam bulan terakhir ini, hal itu sudah kita rasakan. Mampukah Riau bebas dari asap di semester-semester berikutnya?


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com

Setahun yang lalu, di pertengahan tahun seperti ini juga, di sebuah ruang kelas sekolah dasar (SD) di Pekanbaru, terlihat wajah-wajah mungil berbalut masker di wajahnya. Masker tipis berwarna hijau itu, sebagai pelindung alakadarnya agar zat-zat berbahaya dari asap kebarakan hutan dan lahan (karhutla) yang saat itu tengah berlangsung tidak menggorogoti sistem pernafasan mereka dan menumpuk di paru-paru mereka.

Syukurlah tahun ini, mereka tidak membutuhkan masker itu lagi. Mereka kini bisa menghirup udara segar di ruang kelas mereka. Mereka bisa pergi sekolah dan bermain di dengan leluasa di bawah langit yang cerah nan membiru. Alangkah indahnya semua itu.

Perasaan suka cita, bebasnya Riau di semester awal ini dari asap juga dirasakan oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Trisnu Danisworo.
“Betapa sejuknya di Riau enam bulan belakangan ini. Betapa nyamannya hidup dengan udara bersih ini. Betapa indahnya hutan dan lahan tidak terganggu dengan bakar-bakaran. Betapa sehatnya kita tidak menderita sakit ISPA. Betapa enaknya tetap bisa masuk sekolah dan kerja. Betapa tenangnya kita tidak dihujat negara tetangga karena ekspor asap,’’ tulisnya dalam pesan singkatnya kepada Riau Pos.

Trisnu menyebutkan tahun 2010 ini, angka hotspot sebagai indikasi terjadinya karhutla, memang sedang menurun dratis. Bahkan tahun ini adalah titik penurunan tertinggi sepanjang lima tahun terakhir ini di Riau. Berdasarkan pantauan Satelit NOA 18, berturut-turut dari tahun 2005 s/d 2009 adalah 22.630, 35.426, 4.292, 3.878, dan 7.776. Sementara tahun 2010 ini sampai Juni lalu kurang dari 600 hotspot.
Menurutnya ada kemungkinan tahun 2010 ini, Riau akan benar-benar bebas asap. Pasalnya selain telah bebas di semester awal ini, beberapa bulan ke depan berdasarkan data yang didapatnya dari Badan Metrologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) masih merupakan musim kemarau basah. “Musim kemarau diperkirakan hanya tinggal Juli dan Agustus, sementara September nanti diperkirakan sudah masuk musim hujan,” ulasnya.

Kondisi bebas asap dalam satu semester ini merupakan hal yang patut disyukuri dan dia berharap kondisi ini bisa tetap bertahan di masa-masa berikutnya. Walau dia mengakui bebas asapnya Riau di semester awal ini lebih karena faktor alam. Mengingat beberapa daerah yang menjadi tempat terjadinya hotspot merupakan tempat-tempat yang memang sengaja dibakar untuk kebutuhan land clearing lahan. Kesadaran masyarakat masih belum seperti yang diharapkan.

Namun syukurnya dengan tidak adanya karhutla saat ini, pasukan manggala agni yang berada di bawah koordinasinya, kini punya banyak waktu untuk melakukan sosialisasi, kampanye, dan membangun Sistem Keamanan Lingkungan Pengendalian Kebakaran (Siskamling Dalkar). “Saat ini lima daerah operasi manggala agni kita, yakni di Dumai, Siak, Pekanbaru, Batam, dan Rengat aktif melakukan sosialisasi di beberapa desa binaan mereka. Itu kita lakukan sebagai upaya pencegahan kita agar di masa mendatang kebakaran hutan dan lahan benar-benar dapat dieliminir,” ungkapnya.

Turunnya angka hotspot tersebut, tambahnya, sekaligus juga telah memenuhi target Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang manargetkan penurunan angka hotspot 20 persen tiap tahunnya. “Khusus di Riau, angka ini jauh melampaui target yang ingin dicapai. Tapi bagi saya bukan itu yang menjadi poin penting, tetapi adalah bagaimana nikmatnya hidup tanpa asap. Ini momen yang tepat untuk mengingatkan masyarakat betapa indahnya hidup ini tanpa bakar-bakar,” ungkapnya.

Penurunan angka hotspot, tidak saja memberikan udara segar dan langit biru, tetapi juga mencegah masyarakat dari Insfeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Termasuk juga mengurangi anggaran negara untuk memadamkan api yang jumlahnya tak sedikit. Setidaknya untuk memadamkan dua hektare saja dibutuhkan biaya Rp1.750.000. Bayangkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk memadamkan api di Riau yang luas lahan terbakarnya mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektare. Belum lagi bila menggunakan helikopter, nilainya bisa miliaran rupiah. Dari pada dana itu digunakan untuk memadamkan api tentulah lebih baik untuk pembangunan
Semoga bebas asap semester awal ini bisa belanjut di semester-semester berikutnya.***

0 komentar: