Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com
Lima tahun lalu, Prof Naik Sinukaban, telah memperingatkan kepada Pemerintah DKI Jakarta, bahwa solusi untuk mengatasi banjir Jakarta bukanlah membangun banjir kanal timur yang saat itu menelan biaya sekitar Rp4,2 Triliun. Tetapi bagaimana upaya mengurangi jumlah air permukaan yang terbuang sia-sia karena rendahnya infiltrasi air ke dalam tanah. Namun saran itu tak digubris, hingga akhirnya banjir di ibukota negara Indonesia itu terus berulang. Terakhir Oktober 2010 kemarin, Jakarta seperti lumpuh. Air menggenang kemana-mana, padahal serbuhan air hujan saat itu tidak bisa dibilang terlalu luar biasa.
Mengapa banjir di Jakarta tidak bisa diatasi, meskipun telah dibangun drainase berbiaya triliunan tersebut? Jawabannya sederhana, karena pemerintah Jakarta hanya berusaha menyelesaikan persoalan banjir akibat luapan air Sungai Ciliwung tersebut di daerah hilirnya saja.
“Mengurus sungai itu tak bisa sepotong-sepotong. Sehebat apapun upaya Pemerintah Jakarta untuk mengatasi luapan air Sungai Ciliwung di hilir, maka tidak akan pernah berhasil. Bila tidak ada upaya untuk mengatasi persoalan di hulu Sungai Ciliwung,” ujar Sinukaban, saat menjadi pemateri dalam rapat internal Forum DAS Riau yang bertema Konsolidasi Forum DAS Riau Menuju Upaya Revitalisasi Organisasi, Kamis (4/11) lalu di Hotel Pangeran.
Lebih baik, kata Sinukaban, dana sebesar Rp 4,2 Triliun tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan infiltrasi (masuknya air hujan ke dalam tanah) di daerah hulu. Baik melalui kegiatan penghijauan dan pemelihaan pohon di daerah hulu ataupun memperbaiki sistem pengairan pertanian. Sehingga tingkat run off air permukaan tidak tinggi, seperti yang saat ini terjadi. “Sekitar 85 persen air hujan yang turun hanya menjadi air yang terbuang percuma. Hanya sekitar 15 persen yang masuk ke dalam tanah. Itu sebabnya di saat hujan kita kebanjiran, sementara di musim kemarau kekeringan,” papar guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Meskipun secara ideal itu bisa dilakukan, namun kenyataan, dalam teknis lapangan sangat sulit.
Pasalnya, tidak mungkin Pemerintah DKI Jakarta melakukan penghijauan di daerah Jawa Barat. Oleh karena itulah, menurut Wakil Ketua FORDAS Nasional ini, diperlukan adanya instansi atau lembaga yang bisa memikirkan persoalan DAS secara utuh.
“Di Indonesia, tidak ada satupun instansi atau lembaga yang menangani pengelolaan DAS dari hulu ke hilir. Untuk itulah diperlukan suatu lembaga yang mampu menjembati persoalan-persoalan ini. Dan itu bisa dilaksanakan oleh FORDAS,” ungkapnya.
FORDAS, tambahnya, merupakan forum koordinasi multipihak berbasis komitmen bersama yang kuat untuk mengelola ekosistem DAS secara profesional, transparan, partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan. Dibentuk untuk menjembatani dan mengoptimalkan keterlibatan para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu. Semua itu, terangnya, dalam rangka membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan menyusun pengelolaan DAS secara terpadu. Termasuk memberikan pertimbangan dalam melaksanakan pengelolaan DAS, pemantauan penggunaan atau pemanfaatan sumber daya alam DAS dan membantu evaluasi kondisi DAS.
Sayangnya, meskipun peranan FORDAS sangat penting, namun kenyataannya di Riau, FORDAS belum mampu mengambil peran strategis tersebut.
Hal itu diakui oleh Ketua FORDAS Siak Prof Adnan Kasri dan Ketua FORDAS Riau Dr Mubarak dalam rapat tersebut. Lemahnya dukungan pemerintah dan belum dipahami eksistensi dari FORDAS membuat kedua forum ini mengalami stagnasi.
Bahkan, Mardianto Manan, dalam rapat tersebut, mengungkapkan FORDAS Riau hanya bisa bergerak alias melakukan kegiatan jika ada kegiatan dan dana yang diberikan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan.
Persoalan lainnya yang juga menjadi duri dalam daging saat ini, adalah belum adanya legalitas dari FORDAS. Meskipun FORDAS di Riau termasuk si sulung di Indonesia, namun sampai saat ini, lembaga ini tidak pernah di SK-kan Gubernur seperti FORDAS lainnya di Indonesia yang lebih muda umurnya.
Untuk itulah, menurut Mubarak, rapat internal hari itu digelar. Untuk melakukan revitalisasi terhadap keberadaan FORDAS di Riau. Sekaligus melihat bagaimana perkembangan FORDAS lainnya di Indonesia melalui narasumber yang datang.
Salah satu FORDAS yang cukup berhasil di Indonesia, menurut Sinukaban adalah FORDAS Cidanau, di daerah Cilegon. FORDAS itu, katanya, mampu membuat mekanisme pembayaran bagi masyarakat petani yang melakukan pemeliharaan pohon di daerah hulu DAS Cidanau.
“Mereka mampu mendorong Perusahaan Krakatau Tirta Industri yang memanfaatkan air Cidanau untuk membayar air yang mereka manfaatkan. Nah, hal itulah juga yang seharusnya dikembangkan oleh FORDAS-FORDAS lainnya dalam menjaga keberlanjutan sungai-sungai di Indonesia,” ungkap Sinukaban.
Semoga saja, FORDAS Siak dan FORDAS Riau ke depan mampu menunjukkan eksistensinya.***
0 komentar:
Posting Komentar