Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Jumat, 05 November 2010

Daerah Pinggiran Jadi Pusat Endemik Diare

Waspada, Cuaca Ekstrim Rentan Peningkatan Penyakit Diare

Fluktuasi cuaca yang ekstrim menimbulkan pengaruh terhadap kondisi kesehatan manuasia. Situasi ini sering terlihat dari tingginya angka penyakit berbasis ekosistem di masyarakat, khususnya di daerah pinggiran.

Laporan Marriokisaz, Kota Marriokisaz@riaupos.com


Akhir tahun selalu identik dengan musim penghujan, argumen ini tidak lagi menjadi patokan bagi sejumlah masyarakat dan para ahli. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang yang sering mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya aktifitas manusia.

Kondisi itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Di mana imbas yang paling dapat dirasakan adalah meningkatnya intensitas penyakit berbasis ekositem, seperti diare, demam berdarah, penyakit kulit dan penyakit lainnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dr Dahril Darwis kepada Riau Pos, pekan ini, mengatakan kondisi kesehatan masyarakat sangat berpengaruh dari kondisi cuaca dan pola hidup masyarakat. Dia memberikan contoh penyakit diare, di mana salah satu faktor penyebabnya peningkatan penyakit diare adalah kondisi cuaca yang ekstrim. Hal itu karena meningkatnya intensitas curah hujau atau tingginya suhu udara yang menyebabkan kualitas lingkungan menurun.

Menurutnya, untuk di Kota Pekanbaru tren penyakit berbasis ekosistem seperti diare cenderung tidak mengalami peningkatan yang siknifikan. Namun peningkatan sering terjadi saat cuaca ekstrim dan masyarakat tidak menerapkan pola hidup bersih dan sehat kondisi ini sering dirasakan oleh masyarakat yang bermukim didaerah pinggiran.
‘’Daerah pinggiran memang tergolong daerah endemik diare. Hal ini dikarenakan masyarakat di daerah pinggiran lebih sering melakukan kontak langsung terhadap lingkungan. Namun ini dapat diantisipasi dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, apalagi saat cuaca ekstrim,’’ ujarnya.

Dia menambahkan penyakit diare pada dasarnya merupakan penyakit yang diketahui dari gejala buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua

Kondisi tersebut disebabkan karena beberapa factor, seperti infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan maupun air minum, infeksi berbagai macam virus, alergi makanan, khususnya susu atau laktosa (makanan yang mengandung susu) dan parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare.

Sedangkan untuk di Kota Pekanbaru terlihat daerah-daerah pinggiran yang dekat dengan aliran sungai memang ditemukan kasus diare yang cukup tinggi. Seperti di Kecamatan Rumbai, Senapelan dan Rumbai Pesisir. Dari data yang dihimpun di Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru diketahui dari bulan Juni hingga Agustus tidak terlihat tren peningkatan atau penurunan yang siknifikan. Hanya saja kasus diare masih sering ditemukan di daerah pinggiran. Pada bulan Juni ditemukan kasus diare sebanyak 869 kasus, bulan Juli 679 dan Agustus 725 kasus diare.

Contoh kasus di Puskesmas Muara Fajar Kecamatan Rumbai. Di mana sekitar 114 orang pasien dirawat. Sebagian besar pasien didominasi oleh warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak.

Kejadian luar biasa dialami sejak awal Oktober 2010 itu, tidak sempat menelan korban jiwa. Penyebab diare diduga berasal dari sanitasi yang tidak sehat. Warga sekitar sungai Siak masih banyak yang memanfaatkan air sungai Siak yang kini sudah tercemar, baik untuk mandi, cuci, kakus.

‘’Kami pernah mengambil sampel air, apakah betul air yang menyebabkan mereka diare kita juga belum bisa memastikan. Sejak awal Oktober pasien diare yang berobat di puskesmas 114 orang dari dewasa dan anak-anak, bulan September sebelumnya hanya 50 an pasien diare,’’ ucap Yeti salah seorang petugas informasi di Puskesmas Muara Fajar ketika di temui Riau Pos belum lama ini.

Ia mengatakan, meningkatkan pasien diare di bulan Oktober itu terjadi saat ketika cuaca ekstrim saat musim banjir yang melanda di perumahaan warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak beberapa pekan lalu. Air banjir menurut Yati tercemar bakteri e. coli yang berasal dari kotoran, baik kotoran hewan dan manusia. Bakteri itu dapat menular jika di konsumsi manusia.

Harja (45), salah satu warga yang tinggal di sekitar Sungai Siak Jalan Nelayan Ujung Kecamatan Rumbai, mengaku tiap hari masih menggunakan air Sungai Siak untuk keperluan pribadi, baik mandi, mencuci, maupun buang hajat. Dia mengaku tidak memiliki pilihan selain menggunakan air Sungai Siak.

‘’Sumur disini untuk ramai-ramai, kalau sudah kering banyak juga warga yang memanfaatkan air sungai siak. Warga yang banyak uang tentu bisa beli air isi ulang untuk di konsumsi,’’ katanya kepada Riau Pos.

Menanggapi hal tersebut Pengamat Lingkungan Riau Prof Rifardi kepada Riau Pos mengatakan pengaruh perubahan cuaca secara tidak langsung memang berdampak pada kualitas dan kondisi lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan aktifitas manusia yang terkesan tidak memperdulikan kelestarian lingkungan.

Hal tersebut menyebabkan peran lingkungan sebagai penopang kehidupan makhluk hidup menurun seiring berjalannya waktu. Sehingga kualitas lingkungan juga menurun. Dan ini ternyata berimbas terhadap perkembangan penyakit berbasis ekosistem di lingkungan masyarakat.

‘’Kerangka berfikirnya disana. Menurunnya kesadaran manusia akan pelestarian lingkungan akan berdampak pada kondisi dan kualitas lingkungan. Secara tidak langsung ini berpengaruh pada kesehatan manusia. Namun ini idealnya dapat diantisipasi dengan meningkatkan kepedulian akan lingkungan dan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Hal ini harus didukung oleh seluruh stakeholder yang berkompeten di bidangnya,’’ terangnya.***

0 komentar: