Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 18 Oktober 2010

”Dalang Collection, Jangan Sampai Mati Suri!”


Masyarakat masih berprinsip kalau produk daur ulang hanya sampah. Jadi harganya harus murah, malah kalau bisa gratis.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Di sebuah penurunan curam di Jalan Gajah ujung, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Tenayan Raya, terdapat warung sederhana berukuran 4 x 6 meter. Dindingnya terbuat dari kayu dan sebagian lagi kawat. Warung itu bukanlah warung biasa, ia warung khusus 3R (reuse, reduce, recycle) yang khusus menjual produk daur ulang dari sampah plastik.



Di tempat itu, para pengunjung bisa memilih aneka bentuk kerajinan daur ulang yang telah disulap cantik. Mulai dari tas anyaman, tas ke pasar, tas rangsel, sendal, map, tempat sepatu dan sebagainya. Harganya juga tidak terlalu mahal, kisaran Rp8 - 40 ribu.

Bahkan di tempat itu, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan kerajinan daur ulang dengan merek dagang Dalang Collecion tersebut. Sebuah nama yang menurut empunya warung, Soffia Seffen, awal pekan lalu, berasal dari singkatan kata daur ulang. Di lahan seluas 35 x 25 m tersebut, pengunjung bisa melihat gudang tempat penyimpanan sampah plastik, tempat pencucian sampah, hingga bagaimana pengrajin daur ulang menjahit sampah-sampah tersebut hingga layak jual.

Sebenarnya menurut Soffia, usahanya yang beromset 10-15 juta perbulan itu, tidak berpusat di tempat usaha sekaligus kediamannya itu saja. Namun juga di rumah 15 orang penjahit, lima orang penganyam, lima keluarga pemulung dan lima keluarga pencuci sampah plastik tersebut.

“Jadi mereka tidak bekerja di sini saja. Mereka bekerja di rumah masing-masing. Nanti kalau hasil pekerjaan mereka sudah selesai, mereka antar ke sini,” ungkap perempuan berkulit putih yang tengah hamil lima bulan setengah ini.

Mengembangkan usaha daur ulang tersebut, sebenarnya tak masuk dalam hitung-hitungan bisnis. Tapi lebih karena dilatarbelakangi pengetahuannya sebagai pegawai di Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera. Sarjana Hukum ini kerap prihatin terhadap ancaman sampah plastik yang jumlahnya semakin banyak. Padahal plastik merupakan sumber pencemaran tanah bahkan air. Produk yang membutuhkan waktu 500 tahun untuk teruai.

Kesadaran itulah yang mendorong, ibu dua anak ini, mengembangkan usaha tersebut dari nol. Mulai dari belajar membuat produk tersebut, meyakinkan para penjahit untuk bergabung bersamanya, hingga melakukan pemasaran yang lumayan sulit.
“Menjual produk daur ulang seperti ini susah sekali. Walaupun setiap pameran kami, banyak yang lihat dan terkagum-kagum. Tapi pas giliran beli, masyarakat ogah. Masyarakat masih berprinsip kalau produk ini sampah. Jadi harganya harus murah, malah kalau bisa gratis. Padahalkan ini juga pakai biaya produksi dan tenaga kerja,” ujarnya.

Untung saja, kantor tempatnya bekerja banyak menampung hasil produknya. Terutama untuk seminar kit dalam berbagai kegiatan pelatihan dan aneka kerajinan lainnya yang digunakan sebagai contoh jika ada pelatihan membuat produk daru ulang sampah plastik. Dari kantornya itulah kemudian jaringan pasar lainnya terbentuk seperti dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) se Sumatera.

Selain itu dia juga mendapatkan pemasaran dari saudara-saudaranya. Misalnya dia menjadi produsen untuk tas rangsel plastik di TK Harapan Bunda yang menjadi tas wajib di TK tersebut yang kebetulan dimiliki oleh saudaranya. Selain itu juga menjadi produsen produk contoh untuk pelatihan produk daur ulang di sekolah Adiwiyata di kota Pekanbaru.

Meski begitu, omset itu sering tidak memadai juga untuk memenuhi keperluannya membayar upah pekerjanya. Apalagi sebagai produk contoh ataupun untuk keperluan seminar tersebut tidak terus menerus. Hanya musim proyek saja. Jadi kadang-kadang dia juga harus mensubsidi usahanya itu dengan hasil kerjanya jika mendapat perjalanan dinas atau mengajar pengelolaan sampah.

“Kalau lagi nggak ada pembeli, saya tidak mungkin menyetop kegiatan tenaga kerja saya. Bisa patah semangat mereka. Jadi sementara barang-barang itu tidak laku, ya saya harus menanggulanginya,” ujarnya.

Begitulah Soffia menjalankan usahanya tersebut yang Desember nanti genap berusia empat tahun. Namun kini dia dilanda kerisauan. Usia kehamilannya yang semakin tinggi membuat dia tidak bisa banyak melakukan perjalanan dinas atau mengajar. Itu artinya ia tidak akan punya banyak daya untuk mengsubsidi usahanya tersebut. Namun kebalikannya, para penjahitnya kini yang sudah mulai terampil makin tinggi produksinya. Masyarakat juga sekarang banyak yang mengantar sampah ke tempatnya.

“Jadi asal sampah kita tak banyak lagi dari tempat sampah. Sampah sudah relatif bersih karena sudah langsung dari rumah. Penjahit dan penganyam juga sudah semakin terampil. Produksi mereka meningkat, kualitasnya juga semakin baik. Jadi harus dibayar lebih tinggi. Tetapi persoalannya saya kewalahan memasarkannya. Apalagi kondisi saya sedang hamil begini,” ujarnya.

“Dulu waktu warung ini mulai diresmikan Pak Wali Kota sebagai warung 3R, Pak Wali janji membantu memasarkan. Meminta instansinya untuk membantu memasarkan. Keesokannya memang banyak dari instansi terkait tersebut yang mendatangi saya, tetapi sudah itu tak ada kelanjutannya,” ungkapnya.

Padahal menurut perempuan ini, kalau saja lima instansi saja di Kota Pekanbaru mau memanfaatkan hasil produk mereka untuk kegiatan seminar atau pelatihan, berapa banyak sampah yang bisa mereka olah. Berapa banyak pula pendapatan yang mereka berikan untuk para pengrajin dan pemulung.
***

Memasarkan produk daur ulang sampah plastik memang bukan perkara mudah. Hal itu diakui oleh Kepala PPLH Regional Sumatera Sabar Ginting, pengamat ekonomi Prof Zulkarnain, Direktur Eksekutif Kamar Dagang Industri (Kadin) Riau Muhammad Herwan, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Riau Hendri Rustam, Tenaga Penyuluh Disperindag Riau Syafruddin, Kepala BLH Kota Pekanbaru Adriman, Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru Firmansyah dan staf Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru Mas Irba.

Dalam wawancara dengan mereka dalam sepekan ini, mereka menyebutkan secara umum produk UMKM memang sulit dipasarkan. Baik karena kualitas produk yang masih sekadarnya saja hingga belum terbangunnya jaringan pasar. Di tambah lagi karena produk yang dijual itu produk daur ulang. “Asumsi masyarakat harus diubah dulu. Coba ubah kata sampah atau limbah dalam produk itu. Jadi produk itu tidak dianggap dari sampah,” ujar Mas Irba.

Selain itu, produk daur ulang masih rendah kualitasnya. “Kita sudah lihat produknya, pembuatannya banyak yang masih kasar. Selain harganya belum mampu bersaing. Kami sudah sarankan untuk membuat produk unggulan, yang cantik, menarik, namun harganya murah,” ujar Syafrudin, Hendri Rustam, dan Herwan hampir senada.

Selain itu, tentang harapan Soffia agar instansi di Kota Pekanbaru menjadi pembeli produknya, Adriman dan Firmansyah mengaku anggaran di instansi mereka terbatas. “Paling-paling hanya bisa untuk pameran,” ujar Firmansyah.

Menyadari sulitnya pemasaran produk daur ulang, Sabar Ginting mencoba mengambil peran. Sebagai perpanjangan tangan Kementerian Lingkungan Hidup di Sumatera, mereka berkewajiban memajukan usaha daur ulang tersebut. Oleh karena itu, dia mengambil kebijakan untuk membeli produk daur ulang yang diproduksi oleh Dalang Collection. Produk itu mereka manfaatkan untuk seminar kit bila ada pelatihan.

“Saya sering bilang ke Kabid (kepala bidang) saya, jangan pandang Soffia Seffennya, tetapi pandanglah para pemulung yang ada dibelakangnya. Sekaligus inilah bentuk kita secara nyata melestarikan Sumber Daya Alam dan menjaga lingkungan,” ujarnya.
Untuk itulah dia sangat menghimbau agar instansi lain juga melakukan hal yang sama. Imbauan dan perannya dalam mempromosikan dan memasarkan produk tersebut cukup membuahkan hasil. Setidaknya dari situlah selama ini produk Dalang Collection mendapat pasar.

“Kalau saya lihat di Muara Enim, produk daur ulang mereka banyak dibantu dibeli oleh BUMD dan BUMN. Saya berharap, di sini juga ada yang membantu jadi bapak angkat. Dalang Collection, jangan sampai mati suri!” pesannya, sembari menyebutkan hari itu, merupakan hari terakhirnya bertugas di Pekanbaru sebagai Kepala PPLH Regional Sumatera.

Selain itu, untuk membantu memasarkan produk daur ulang tersebut, menurut Prof Zulkarnain harus ada upaya berbagi peran. Terutama peran pemerintah, yang harus membangunkan jaringan pasar bagi komoditas ini. Sekaligus memposisikan diri sebagai buyer (pembeli) utama.

“Jangan didorong masyarakat saja, tetapi pemerintah tidak berbuat,” ungkap penulis buku Pemberdayaan Masyarakat Miskin ini.

Peran lain yang juga tak kalah pentingnya adalah peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga pendidikan tinggi. “LSM kan punya jaringan yang cukup luas, bahkan keluar negeri. Begitu juga perguruan tinggi. Selama ini saya melihat perguruan tinggi kurang mengangkat isu-isu tentang UMKM ini dalam seminar-seminar. Bahkan kalau bisa, Perguruan Tinggi bisa membangun pusat bisnis untuk para UMKM ini” paparnya sambil mengungkapkan hal itu perlu didorong oleh media massa.
Selain peran pemerintah, LSM, perguruan tinggi, tambah Firmansyah dan Herwan juga diperlukan peran aktif swasta.

“Pihak swasta harus mau menjadi pemakai atau pembeli produk daur ulang ini. Kalau diharapkan kepada pemerintah saja kemampuan kita terbatas. Apalagi anggaran kita untuk UMKM ini hanya Rp700 juta. Padahal UMKM kita di Kota Pekanbaru saja sekitar 9.036. Kita paling-paling hanya membeli untuk produk contoh,” ungkap Firmansyah.

“Kadin sendiri secara nasional sudah mengkampanyekan penggunaan produk daur ulang ini. Itulah sebabnya pada seminar kit, kami rata-rata menggunakan produk daur ulang. Beberapa waktu lalu kami juga melaksanakan pelatihan di mana guru-guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dilatih untuk membuat alat peraga belajar dari bahan-bahan bekas. Itu semua untuk membangun kesadaran akan arti pentingnya menjaga lingkungan,” jelas Herwan.

Terpenting, tambah Herwan, untuk menyelesaikan persoalan ini diperlukan tanggung jawab dan kampanye bersama secara simultan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendorong penggunaan produk daur ulang.

Jika semua pihak mau bertanggung jawab menjadi pemakai dan membantu pemasaran produk daur ulang, tentulah Dalang Collection tidak akan mati suri. Semoga.***

0 komentar: