Dari Prediket Terkotor se-Riau sampai Terbersih se-Indonesia
Tahun 2000, Pekanbaru menyandang prediket Kota Terkotor se Riau, namun atas komitmen kuat dari Walikota Pekanbaru Herman Abddulah, tahun 2005 Pekanbaru ditetapkan sebagai Kota Terbersih se Indonesia. Bahkan menyandang lima tahun berturut-turut (2005-2009) Adipura (kota terbersih) kategori kota besar.
Laporan Andi Noviriyanti
Seorang pria berperawakan agak gemuk, berkumis tipis, berkulit agak gelap memandang jengkel ke tumpukan sampah yang ada dihadapannya. Rautan wajahnya yang menyiratkan kemarahan tidak bisa disembunyikan. Hatinya sedang kesal melihat tumpukan sampah yang sepertinya sudah berminggu-minggu berada di tempat itu.
Tak banyak ba bi bu (bicara, red), pria kelahiran Pekanbaru, 18 Juli 1950 ini langsung menghubungi pejabat yang bertanggungjawab terhadap tumpukan sampah itu. Tak ingin sekedar diberi janji, dia pun menunggu pejabat itu hingga datang ke lokasi sampah.
“Tolong bersihkan ini, dalam waktu sehari dua hari ini!,” tunjuk pria beralis tebal itu ke arah sampah dengan nada tegas dan tanpa kata pembukaan seketika pejabat yang dimaksud datang.
Itulah hari-hari kelam Herman Abdullah, saat program K3 (Kebersihan, ketertiban, dan keamanan) yang dicanangkannya tidak mendapat respon yang baik dari jajarannya. Ibarat seorang pengawas, diapun langsung turun ke berbagai lokasi agar tidak ada lagi tumpukkan sampah yang tidak dibersih-bersihkan. Itu pulalah sebabnya dia paling sering menghadiri pesta pernikahan warga Kota Pekanbaru.
“Kalau saya disini dan badan ini masih bisa dibawa bernapas, pasti saya menghadiri berbagai undangan pesta itu. Saat itu pulalah saya mengawasi jalan-jalan yang saya lewati agar tidak ada sampah,” ungkap pria yang terkenal berbicara blak-blakan ini, awal Juni lalu.
Apa yang membuat Herman Abdullah begitu konsen terhadap persoalan kebersihan di kotanya? Ternyata jawabannya bermula di hari pelantikannya menjadi Walikota Pekanbaru, tanggal 21 Juli 2001. Saat itu Gubernur Riau Saleh Djasit menyinggung soal status Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kota terkotor di Riau pada tahun 2000.
“Kalau kota kotor, orang pasti tidak akan memberikan penilaian terbaik pada kota. Tapi kalau kota bersih, pembangunannya biasa-biasa saja, maka orang akan memberikan penilaian yang bagus kepada Kota Pekanbaru,” ungkap Herman menirukan kata-kata Gubernur Riau kala berpidato melantik dirinya.
Kata-kata itulah yang kemudian mencambuk Herman Abdullah untuk membenahi ibu kota Provinsi Riau. Tantangan yang dihadapinya cukup besar, pasalnya kala itu pembangunan tengah gencar-gencarnya karena pengaruh otonomi daerah. Setelah berkonsultasi dengan Departemen Agama di Pekanbaru tentang arti penting kebersihan yang juga terkait dengan ayat suci Alquran yang menyatakan bersih itu sebagian dari iman, maka terwujudlah program K3.
K3, menurut Herman, sebenarnya bukanlah hal baru. Mengingat peraturan daerah (perda)nya terlah ada sejak tahun 2000. Hanya saja perda Nomor 4 tahun 2000 itu tidak jalan. Itulah sebabnya cap kota terkotor se Riau disandang Kota Pekanbaru.
Pada tahun 2002, mulailah Kota Pekanbaru mengajukan diri untuk di nilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendapatkan penghargaan Adipura. Penghargaan bagi Kota Terbersih se Indonesia itu, bersifat sukarela setelah paska reformasi. Hanya kota yang minta dinilai saja yang akan dinilai.
Namun tidak ada hasil yang mengembirakan. Di tahun 2003, ketika penilaian itu diminta kembali, juga tidak begitu menuai prestasi. Dari 58 kota se Indonesia, Kota Pekanbaru menempati urutan ke 16.
Urutan itu membuat Pekanbaru berbesar hati, maka strategi berikutnya pun diatur agar prediket Kota Bersih itu disandang. Pada tahun 2004, dibuatlah bagi-bagi tugas persoalan kebersihan. Bila dulu seluruhnya berada di tangan Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kini khusus untuk wilayah perumahan penjagaan kebersihannya menjadi kewenangan kelurahan dan kecamatan. Pasar-pasar tradisional di urus oleh Dinas Pasar. Kebersihan parit, anak-anak sungai, termasuk Sungai Siak menjadi kewenangan Dinas Pemukiman dan Prasaranan Wilayah (Kimpraswil). Dinas perhubungan mengurusi wilayah pelabuhan dan terminal. Dinas Kesehatan mengurusi puskesmas dan rumah sakit. Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) mengurusi kebersihan sekolah. Tinggalkah ruas-ruas jalan protokol yang diurusi Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Selanjutnya dibentuk pula tim pengawas yang tidak memiliki hubungan langsung dengan instansi yang dinilai. Asisten I mengawasi kebersihan di Kecamatan, Asisten II di jalan-jalan protokol, asisten III di kantor pemerintah dan swasta, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal) terminal, dan lain sebagainya. Lalu dilakukan pula rapat intensif setiap bulannya untuk evaluasi kinerja.
Namun hasilnya, ternyata juga tidak mengembirakan, malah jauh panggang dari api. Bila tahun 2003 menempati urutan 16 dari 58 kota, tahun 2004 malah berada di posisi seratusan dari 300 kota yang dinilai.
Tapi itu semua tidak membuat Herman berkecil hati. Malah upaya meningkatkan kebersihan makin dioptimalkan. Dia meyakini strategi sudah mantap, hanya mungkin perlu pengoptimalan kinerja. Ternyata keyakinan itu memang terwujud setahun berikutnya. Piagam Adipura itupun disandang oleh Kota Pekanbaru, sebagai kota terbersih untuk kategori kota besar. Kesuksesan itu terus didulang tiga tahun berturut-turut hingga saat ini.
Meski prestasi sudah diraih, ternyata langkah Kota Pekanbaru untuk menciptakan kota yang bersih bukannya makin gampang. Untuk mempertahankan pridiket itu, skop penilaian kian diperlebar. Semua hal dinilai secara intensif dan melebar kemana-mana. Pelabuhan, pasar, jalan-jalan protokol, perumahan, sungai, dan banyak lagi menjadi penilaian. Beban yang ditanggung Pekanbaru makin berat lagi, karena makin banyaknya daerah lain yang memilih studi banding ke Pekanbaru untuk membuktikan Pekanbaru sebagai kota terbersih. Terhitung hingga akhir minggu lalu, telah ada 35 Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) di luar Pekanbaru yang berkunjung.
Herman mengakui, pridiket Kota Terbersih itu belum bisa menyamakan Kota Pekanbaru dengan kota di Singapura dan Malaysia. Untuk menyamakan posisi, menurutnya, tidak bisa ditangan pemerintah saja. ”Cobalah lihat, dulu kita telah menerapkan tong sampah yang memisahkan sampah organik dan non organik sumbangan Caltex (PT Chevron Pacific Indonesia, red). Namun bukannya masyarakat membuang sampah secara terpisah, malah tong sampah itu yang didongkak (dicuri, red),” tuturnya dengan nada kecewa.
Namun tak ada kata mundur, bagi tamatan magister manajemen ini. Perubahan prilaku masyarakat memang tidak bisa berubah seperti membalik telapak tangan. Namun berlahan tapi pasti berbagai upaya tersus dilakukannya untuk membangun kesadaran. Herman juga kini tidak hanya konsen terhadap kebersihan tetapi juga soal keindahan. Itulah sebabnya kini sejumlah trotoar di jebol untuk menanam pohon peneduh jalan. Lahan wargapun dibeli untuk membuat sejumlah taman Kota di Pekanbaru. Setiap tahun 5000 batang pohon ditanam.
Ditanya tentang resep yang ditawarkannya jika ada bupati/walikota lain ingin meraih Adipura seperti di Kota Pekanbaru, Herman menuturkan resepnya dimulai dengan kemauan dan komitmen dari kepala daerah, barulah kemudian diikuti dengan staf. Lalu harus dipikirkan juga tentang anggaran khususnya kesejahteraan buruh.
“Kalau bukan mereka siapa yang akan membersihkan kota ini. Siapa yang mau masuk ke anak-anak sungai dan dalam parit-parit kotor tersebut,” ujarnya sembari menyatakan anggaran yang diberikan untuk kebersihan cukup besar yakti mencapai Rp12,5 M.
Resep lainnya yang juga tidak boleh dilupakan oleh kepala daerah adalah melakukan monitoring. Herman biasanya melakukan saat pergi undangan kawin. Kalau ada jalan yang kotor atau tempat-tempat yang tidak bersih, saya catat, kemudian perintahkan kepada dinas atau camat. “Mungkin mereka bosan dan muak dengan saya karena ini. Namunkan ini tugas,” ujarnya sembari menyunggingkan sedikit senyuman.
Semoga Kota Pekanbaru tetap bersih dan makin hijau.
0 komentar:
Posting Komentar