Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 26 Agustus 2010

Siapkah Riau Menghadapi Perubahan Iklim?

Bongkahan es di Arctic lepas, Rusia dilanda musim panas ekstrim, Pakistan dilanda banjir dahsyat dengan 1.600 orang tewas. Tanda-tanda bencana perubahan iklim kian jelas. Siapkah Riau menghadapinya?



Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Dampak pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim kian nyata saja di bulan Agustus ini. Tidak saja karena lepasnya bongkahan es raksasa seluas 260 kilometer persegi atau lima kali luas Jakarta Pusat dari di laut Arctic, tetapi juga berbagai musibah fenomenal yang mengejutkan mata dunia sebut saja yang terjadi di Rusia dan Pakistan.

Rusia dari Juli hingga awal Agustus lalu mengalami gelombang panas yang mengakibatkan banyak pemukiman penduduk dan hutan yang terbakar. Hal ini disebut-sebut sebagai kebakaran terburuk selama musim panas yang melanda Rusia. Sekitar sepuluh ribu petugas pemadaman kebarakan dikerahkan. Suhu di negeri beruang merah tersebut dilaporkan mencapai 38 derajat Celcius.

Alexei Lyakhow, Direktur Layanan Meteorologi Moskow, kepada media menyatakan dalam 130 tahun pemantauan cuaca harian di Moskow, tidak pernah ada musim panas seperti itu. Dia menyebutkan itu bukan cuaca normal dan tidak pernah ada sebelumnya.
Sementara itu bencana banjir yang terjadi Pakistan, di minggu kedua Agustus lalu, ditetapkan PBB sebagai krisis kemanusian terbesar dalam sejarah dengan 13,8 juta orang terkena dampak banjir dan 1.600 orang tewas. Bencana banjir itu pun disebut-sebut sebagai bencana yang lebih buruk dibanding tsunami di Asia Selatan dan gempa bumi di Kashmir dan Haiti. Bahkan laporan terakhir disebutkan 20 juta orang terkena dampak dari banjir ini.

Dr Armi Susandi, anggota Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI), menyebut kejadian-kejadian itu membuktikan terjadinya percepatan perubahan iklim. “Semua yang terjadi ini lebih cepat dari perkiraan” ujar pakar perubahan iklim ini kepada Riau Pos.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pun mengungkapkan prediksinya yang dulu tentang jumlah-jumlah pulau yang akan lenyap dari nusantara akibat meningkatnya permukaan air laut juga meningkat. Bila sebelumnya, dia hanya memprediksi ada 115 pulau yang akan lenyap pada tahun 2100, namun kini menurutnya pada tahun 2050 saja kemungkinan ada 750 pulau yang tenggelam.

Meskipun dia menyebutkan bahwa sebagian besar pulau-pulau itu adalah pulau tanpa nama dan tak berpenghuni, namun sebagian juga merupakan pulau-pulau bernama dan berpenghuni. Di antaranya, Singkep, Lingga, Sebangka, Abang Besar, Panuba, Benuwa, Tambelan, Pinanaseribu, Belitung, Nusa Penida, dan lain-lain.

Oleh karena itu, anggota delaegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim ini menyerukan agar masing-masing daerah membuat rencana aksi untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Keterlambatan dalam membaca sinyal dan melakukan adaptasi, akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan tak tertanggulangi.

Menteri Lingkungan Hidup Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta juga menyampaikan seruhan yang sama. Dalam situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup, pria berlatar pendidikan di bidang kehutanan ini setiap daerah melakukan kajian  risiko dan adaptasi perubahan iklim di daerah masing-masing.

Pemerintah daerah, tambahnya, harus proaktif sebab dampak perubahan iklim semakin terasa. Indikasi dari hal itu antara lain terjadi pergeseran musim yang dapat mengganggu ketersediaan air dan musim tanam  serta waktu panen, mewabahnya jenis penyakit tertentu, terjadi berbagai bencana dan sebagainya.

“Indonesia, dengan jumlah penduduk yang tinggi dan secara signifikan mata pencahariannya masih tergantung pada sektor pertanian  dan perikanan serta letaknya  di kepulauan, maka Indonesia  termasuk negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim,” kata Gusti.
***

Lalu siapkah Riau dalam menghadapi perubahan iklim?
Gubernur Riau HM Rusli Zainal dalam beberapa kali pemaparannya menyebutkan telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi bencana global ini. Pada tahun 2008, lewat surat keputusannya, gubernur dua periode ini telah membentuk Pusat Informasti Perubahan Iklim (PIPI) atau yang dikenal dengan Riau Climate Change Center.

Pusat informasi yang teknisnya berada di bawah Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau ini terbagi dalam tiga bidang dengan melibatkan beberapa instansi. Misalnya untuk bidang pendataan dan informasi bekerja sama dengan Badan Metereologi dan Geofisika Pekanbaru, bidang perencanaan dan kerja sama dengan Bappeda Riau, sementara bidang penyuluhan dan pelatihan dilaksanakan oleh BLH Provinsi Riau.
Sementara itu, upaya lainnya yang terdapat dalam presentasi Dinas Kehutaan Provinsi Riau yakni berupa pembentukan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil – Bukit Batu seluas 705,271 Ha, mengusulkan terbentuknya Taman Nasional Zamrud seluas 30.195 Ha dan mendukung perluasan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 38.576 Ha menjadi seluas 83.068 Ha. Dibuat pula skenario hijau, berupa pemantapan kawasan lindung, pengamanan daerah aliran sungai, menjaga rasio hutan, dan alih fungsi kawasan budidaya menjadi kawasan lindung secara bertahap.

Ditambah dengan dilakukannya rehabilitasi lahan kritis, operasi illegal logging, melakukan pengaturan tata air (water management) di HTI dan kebun sawit yang berada di lahan gambut, serta penanganan kebakaran hutan dan lahan. Terakhir melakukan kerja sama penelitian dengan ACIAR dalam project Improving Gobernance, Policy and Institution Arranggement to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD).

Namun dari berbagai upaya itu terlihat upaya dilakukan baru pada tahap mitigasi atau bagaimana mengurangi emisi karbon. Belum ada upaya-upaya yang mengarah kepada adaptasi. Sementara itu di pusat informasi perubahan iklim yang berada di Kantor BLH Riau juga terlihat belum ada data-data yang memadai untuk menyiapkan Riau dalam menghadapi bencana millinium tersebut.

Menurut Erlina Enli, Kabid Konservasi dan Perubahan Iklim didampingi Heri Yanto, Kasubid Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir, akhir pekan lalu, PIPI saat ini memang belum optimal. Menurut mereka, data yang ada, kebanyakan masih data mentah dan validitasnya juga masih diragukan. Mereka juga menyebutkan, meski telah dibentuk sejak tahun 2008 lalu, operasionalnya baru pada tahun 2009. Tahapan yang mereka lakukan pun berupa seminar tentang perubahan iklim dan pendataan tentang bahan perusak ozon.

“Kita telah memiliki website untuk PIPI ini. Dengan alamat web www.riauclimatechange.go.id. Namun saat ini tengah peng-upgrade-an. Data yang ada juga masih itu-itu saja. Sebenarnya kami hanya mengkoordinasi. Seharusnya daerah tingkat dualah yang melakukan pendataan. Namun setakat ini belum ada. Baru ada sekadar bertanya-tanya ke sini,” ungkap Heri Yanto.

Di pusat sendiri, tambah Yanto, juga masih belum jelas tentang rencana aksi. Provinsi-provinsi juga belum ada. Yang ada baru sampai pada tahap pendataan dan kajian, belum ada aksi.

Jika sudah begitu, menurut Anda siapkah Riau menghadapi bencana perubahan iklim ini? Adakah kita punya langkah-langkah yang jelas bagi masyarakat pesisir yang akan menghadapi peningkatan air laut? Atau adakah kejelasan bagi masyarakat petani untuk beradaptasi terhadap musim yang tak menentu?***

0 komentar: