Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 19 Desember 2010

Tahura SSH, Baru Cuma Bisa Pungut Sampah

Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Ibarat pepatah itulah yang menggambarkan keberadaan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim (SSH) yang terletak 20 km dari pusat Kota Pekanbaru. Harta karun seluas 6.172 Ha itu potensinya diabaikan.


Laporan Andi Noviriyanti, Minas andinoviriyanti@riaupos.com

Waktu yang paling tepat berjalan-jalan atau jogging di dalam hutan ternyata bukan di pagi hari. Tapi justru menjelang siang. Pasalnya, di saat itulah oksigen sedang diproduksi sebanyak-banyaknya oleh tumbuhan. Sehingga orang yang sedang jogging bisa menikmati oksigen bersih. Apalagi suasana hutan tetap dingin, meskipun matahari sudah meninggi. Sementara jika jogging dilakukan di pagi hari, maka kita akan berebut oksigen dengan tumbuhan.

Begitu, M Murod, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura SSH menjelaskan kepada Riau Pos, Rabu (15/12) siang, saat bersama-sama menyusuri jogging track di dalam Tahura. Jogging track seperti yang kami lalui itu menyebar di beberapa tempat. Total panjangnya empat kilometer dan diperuntukkan bagi pengunjung Tahura SSH yang ingin olahraga sehat.

Tahura SSH menurut Murod sangat potensial.

Pasalnya tak banyak lagi hutan alam yang cukup luas dan posisinya tak jauh dari pusat Kota Pekanbaru. Hanya butuh waktu 20 – 30 menit untuk bisa menikmati hutan alam yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati itu. Tercatat ada 127 flora dan 42 fauna. Beberapa di antaranya merupakan fauna dan flora langka. Misalnya beruang madu, harimau Sumatera, tapir, burung srigunting.

Di dalam Tahura sendiri, saat menyusurinya bersama Murod, Roni Samudra, dan Sarmaidi Sinaga dari UPT Tahura, Riau Pos, melihat cukup banyak fasilitas yang sudah tersedia. Misalnya guest house dengan tujuh kamar, pusat informasi, pendopo, gazebo, musala, areal tempat bermain, lapangan luas dan bumi perkemahan.

Selain itu ada fasilitas jalan menuju bumi perkemahan Pramuka, Pusat Latihan Gajah (PLG), dan Danau Tahura. Bahkan, Riau Pos, juga melihat kini ada pelebaran jalan jalan pasir batu (sirtu) agar bisa dilalui dua kendaraan roda empat untuk dapat berselisih.

“Wah, potensinya luar biasa juga,” ujar Riau Pos berkomentar saat menyusuri Tahura SSH dan menyinggahi sejumlah fasilitas yang ada di dalamnya. Namun, mengapa Tahura SSH tidak populer menjadi tempat kunjungan wisata? “Ya, belum banyak yang berkunjung. Kita memang sengaja tidak mempromosikan Tahura ini.

Pasalnya saat ini, Tahura cuma bisa memungut sampah,” ujar Murod. “Loh kok?” tanya Riau Pos penasaran.

Murod kemudian menghentikan langkahnya. Dia menunjukkan sampah-sampah yang berada di tepian jogging track yang kami temui. Di sana terlihat ada bungkusan permen, rokok, kue coklat, dan aneka pengemas makanan kecil lainnya.

“Semakin banyak yang masuk, pasti semakin banyakkan sampah yang mereka tinggalkan. Kita tidak dapat apa-apa dari pengunjung. Tahura SSH cuma bisa pungut sampah. Karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) Restribusi tentang pemanfaatan dan pengelolaan Tahura SSH,” ujarnya.

***
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf, berkali-kali menyatakan bahwa Tahura SSH bisa menjadi ikon wisata Riau. Setidaknya, menurut Zulkifli, Tahura sudah memiliki site plan, rencana pengelolaan tahura, master plan Tahura, detail engenering design (DED) untuk taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman Ilmu Pengetahutan dan Teknologi (IPTEK). Hanya saja, setakat ini, site plan dan dokumen lainnya itu hanyalah berkas bisu.

Belum ada political will yang kuat untuk mengembangkan Tahura SSH sesuai dengan master plan yang telah dibuat. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari minimnya anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk Tahura SSH. “APBD yang ada baru cukup untuk menggaji pegawai saja,” ujarnya.

Menurut Kadishut, Tahura hanya dianggarkan sekitar Rp200 juta setahunnya. Dengan dana itu, tentu tak banyak yang bisa dilakukan untuk pengembangkan Tahura. Mereka sebenarnya sudah berusaha menggali upaya alternatif lainnya untuk tidak bergantung kepada APBD semata.

Misalnya dengan menyurati perusahaan-perusahaan yang ada di Riau untuk ambil bagian dalam membantu mengembangkan Tahura. Misalnya saja, kini mereka mendapatkan bantuan perbaikan dan pelebaran jalan sirtu di jalan utama tahura menuju bumi perkemahan yang terdapat di dalamnya. Namun tentu saja, itu belum cukup.

Masih diperlukan perhatian daerah untuk mengembangkan potensi Tahura, terutama untuk kepentingan ekowisata.

Namun, sebelum berbicara tentang pengembangan ekowisata di Tahura SSH, ada yang terlebih dahulu harus segera diselesaikan. Yakni meluluskan Peraturan Daerah tentang tentang Restribusi Pemanfaatan dan Pengelolaan Tahura SSH, sebagai dasar agar Tahura SSH tidak sekadar cuma bisa memungut sampah.

“Draf Perda telah diajukan ke Pemerintah Provinsi Riau dan kini sedang dalam pengajuan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Saya berharap, tahun 2011 ini, Perda tersebut menjadi prioritas pembahasan di DPRD,” ujar Zulkifli.

***

Potensi wisata seperti apa saja yang bisa dibangun dan layak dikembangkan di Tahura? Kepala UPT SSH Murod menjelaskan bahwa wilayah Tahura SSH cukup luas. Malah jauh lebih luas dari Tahura Ir H Djuanda di Bandung (500-an Ha) dan Kebun Raya Bogor (87 Ha). “Walaupun saat ini, ada pencaplokan atau perambahan wilayah Tahura yang sedang terus kita tertibkan, namun untuk wilayah virgin forest saja (yang terjaga dengan baik) ada 2.300 Ha. Itu artinya masih cukup luas,” papar Murod.

Murod juga menjelaskan bahwa Tahura SSH telah dibagi dalam tiga zonasi, yakni zonasi perlindungan, zonasi pemanfaatan, dan zonasi rehabilitasi. Di zona pemanfaatan dan rehabilitasilah, potensi wisata bisa dibangun. Untuk membangun potensi wisata di kawasan itu, menurut Murod, diperlukan investasi Pemerintah Daerah. Kalau saja, Pemda mau menginvestasikan dananya Rp5 miliar saja tiap tahun, untuk mengembangkan potensi wisata di tempat ini, maka dalam waktu 2 s/d 3 tahun saja investasi itu sudah bisa kembali.

Misalnya saja, menurut Murod, dengan membangun fasilitas cotage-cotage di tepian danau Tahura, penyediaan faslitas outbound, paintball, flying fox, dan lainnya. Menurutnya, yang cukup potensial adalah permainan paintball. Permainan simulasi peperangan dengan menggunakan peluru cat tersebut saat ini sangat tren.

“Di Bandung permainan ini sangat tren. Orang-orang Cina gemar sekali bermain ini. Sekali main Rp300 ribu. Di Tahura dengan memanfaatkan areal seluas 500 haHsaja, bisa dibuat lima kelompok paintball,” ujarnya. Sebagai informasi, paintball ini biasanya ditawarkan dengan harga Rp100-350 ribu, bahkan sampai Rp700 ribu bila menginap untuk per orangnya. Dengan jumlah minimal peserta 30-40 orang. Jadi bisa dibayangkan pendapatan yang bisa diraih dari salah satu sektor ini saja.

***

Menurut Ari S Suhandi, Direktur Eksekutif Indonesian Ecotourism Center (Indecon), Sabtu (18/12), peluang tentang pengembangan ekowisata Tahura SSH di Riau memang sudah patut. Pasalnya Riau memiliki potensi pasar.

“Selama ini saya perhatikan, masyarakat Riau pasti keluar daerah ataupun ke luar negeri untuk berwisata. Nah, mereka itu bisa ditangkap sebagai pasar. Apalagi dengan isu perubahan iklim, wisata ke hutan saat ini menjadi tren. Namun tentunya, harus di kemas dengan baik,” ujarnya.

Pengembangan potensi wisata Tahura, bisa disinergikan dengan investor, perusahaan swasta, pemerintah daerah sendiri, maupun bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Kepariwisataan. Untuk pemerintah daerah, memang tidak perlu langsung jor-joran. Tetapi dilakukan secara multiyears.

Misalnya untuk menbangun taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman IPTEK. Sementara itu, dalam waktu dekat untuk mendorong aktivitas wisata di dalamnya bisa dibangun kegiatan-kegiatan low cost, high value (biaya rendah, namun manfaatnya tinggi).

“Misalnya pembangunan flying fox yang dananya sekitar Rp30-40 juta. Pembangunan jogging track, track untuk sepeda, ataupun track untuk pendidikan. Untuk track pendidikan, yang diperlukannya hanya pembangunan human resource-nya,” papar Ary.

Senada dengan Ary, Direktur Eksekutif Green Economic Research and Lifestyle (Greenomict) Indonesia Elfian Effendi juga mengungkapkan track pendidikan atau wisata pendidikan paling pas dikembangkan di Tahura SSH. Menurutnya saat ini sedang trend kegiatan ekstrakurikuler lingkungan di sekolah-sekolah yang melakukan kunjungan-kunjungan ke hutan.

“Saya pikir itu bisa juga dikembangkan di sekolah-sekolah di Riau terutama di Pekanbaru. Di sana para siswa belajar tentang berapa umur pohon, jenis-jenisnya dan lain sebagainya. Intinya mendekatkan siswa kepada hutan alam,” ujarnya.

Sebagai wisata pendidikan, maka menurut Ary dan Elfian, tidak ada alasan bagi DPRD untuk tidak mengakomodir pengembangan Tahura sebagai sarana pendidikan. Sekaligus juga dalam mendorong peran serta program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk membantu mengembangkan Tahura.***

0 komentar: