Areal konservasi itu adalah benteng terakhir sebagai penyangga kehidupan. Namun sayangnya, ia hanya jelas di atas kertas. Sementara di lapangan ia terlihat samar-samar, antara ada dan tiada. Karena tak bertanda apalagi berpagar. Jadilah ia areal yang rawan untuk dirambah dan menjadi pemicu konflik yang tak berkesudahan.
Laporan Buddy Syafwan dan Andi Noviriyanti, Pekanbaru redaksi@riaupos.com
DINGINNYA semburan Air Conditioner (AC), Kamis (2/9) sore, di Hotel Ibis Pekanbaru, tak mampu membendung keluarnya unek-unek para praktisi kehutanan di Riau. Mereka beramai-ramai memprotes pemerintah pusat. Gara-gara, tak jelasnya tata batas kehutanan. Tidak saja tata batas hutan konservasi tetapi juga hutan produksi.
Unek-unek ini diawali oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf. Pria ini menyebutkan bahwa saat ini banyak permasalahan yang muncul dalam pengelolaan hutan dikarenakan tidak jelasnya status lahan dan kewenangan. Hanya saja, ketika muncul permasalahan, limpahannya kembali kepada daerah.
‘’Kadang kita juga perlu meluruskan, ketika pemerintah menerbitkan izin seluas 1,7 hektare untuk industri kehutanan, kita tak terlibat. Tapi, ketika ada permasalahan yang berkaitan dengan aktivitas di lapangan, itu dianggap sebagai syahwat dari otonomi daerah, ini bagaimana?’’ tanya Zulkifli mencoba membuka forum diskusi pada Seminar Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem bersempena Hari Konservasi.
Uniknya lagi, jelas Zulkifli, pemerintah membuat penetapan tanpa memantau lebih jauh kondisi riil yang ada di lapangan. ‘’Ada lahan Hutan Tanaman Industri yang sudah puluhan tahun berdiri tapi tak pernah ditata batas. Ketika muncul masalah, siapa yang akan menyelesaikan,’’ papar dia dengan intonasi lebih keras.
Ungkapan Kadishut Zulkifli Yusuf ini pada dasarnya memang menjadi satu catatan tersendiri dari lemahnya sistem pengawasan terhadap sektor kehutanan dewasa ini. Mengapa demikian, karena memang pada faktanya, banyak permasalahan dan konflik kehutanan muncul dikarenakan tidak jelasnya tata batas kawasan hutan tersebut. ‘’Di atas kertas benar ada, tapi, fakta dan realitanya bagaimana?’’ gugah dia.
Pemerintah memang membuat penetapan terhadap luas kawasan, namun, belum tentu penetapan tersebut sesuai dengan fakta yang ada di lapangan dan biasanya nyaris tak terpantau. Ibarat sebuah rumah, ada batas yang jelas tentang kepemilikan yang dikuatkan dengan pagar atau tanda tertentu.
Itulah yang disebutkan Kepala Dinas Kehutanan Bengkalis, Ismail saat menjelaskan beberapa konflik pengelolaan kawasan hutan di wilayahnya. Sebut saja, kawasan Suaka Marga Satwa (SM) Balai Raja yang kini menjadi puluhan perkampungan dan dihuni oleh puluhan bahkan ratusan ribu warga.
‘’Kira-kira yang benar mana, kampung menjarah hutan, atau hutan yang menjarah kampung?’’ lontar Ismail mencoba merunut akar permasalahan di area konservasi gajah tersebut.
“Bila memang pemerintah mengatakan itu kawasan suaka, kapan pemerintah membuat batasnya? Menentukan satu titik ini pintu masuk dan itu pintu masuk lainnya, sehingga jelas areal itu di mata masyarakat,” ujarnya lagi.
Selama ini, pemerintah tidak membuat hal tersebut, sehingga, sulit untuk mencari mana yang harus dibenarkan dalam menuntaskan masalah tersebut.
Begitupun, dijelaskan Ismail, dia bukan hendak menyebutkan kondisi yang terjadi dewasa ini sebagai sebuah kebenaran. ‘’Kalau memang salah, kita harus pindahkan juga masyarakat dari kawasan itu. Walaupun saat ini kondisinya sudah tidak hutan lagi,’’ sebut dia.
Yang pasti, menurut dia, harusnya, semenjak awal, pemerintah sudah membuat rambu berupa tata batas yang jelas untuk kawasan yang dilindungi tersebut, sehingga, tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. ‘’Kalau seperti sekarang ini, manusia mati, ribut juga, tapi hanya dilingkungan masyarakat saja. Tapi kalau gajah mati, ributnya bisa sampai ke luar negeri. Kita mau menjelaskan yang mana?’’ singgung Ismail lagi.
Apa yang disebutkan Ismail tersebut, baru sebagian kecil dari permasalahan kawasan hutan konservasi yang terjadi di Riau. Hal tersebut setidaknya juga diungkapkan Kepala UPT Tahura Sultan Syarif Kasim, Makmun Murod.
Ketika dihadapkan dengan permasalahan lahan dan kawasan hutan yang menjadi penyangga paru-paru Pekanbaru tersebut dipermasalahkan oleh non governmental organization (NGO) soal luas lahannya, pengelola bahkan tak bisa menunjukkan batas yang jelas. ‘’Sampai saat ini kami masih dipolemikkan oleh NGO karena dianggap tidak tegas soal batas kawasan hutan. Idealnya memang ditetapkan dan ditata kembali sesuai dengan ketentuannya agar tidak menimbulkan permasalahan dan ada ketegasan atas kawasan hutan ini,’’ ucap Murod.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan, Riau memiliki tiga belas kawasan konservasi. Terdiri dari tujuh suaka margasatwa, dua cagar alam, satu taman wisata alam, dan dua taman nasional. Suaka margasatwa tersebut adalah Tasik Besar – Tasik Metas, Tasik Serkap – Tasik Sarang Burung, Kerumutan, Danau Pulau Besar/ Danau Bawah, Bukit Batu, Giam Siak Kecil, Balai Raja, dan Pusat Latihan Gajah Riau. Sementara dua cagar alam yakni Pulau Berkey, Bukit Bungkuk. Selanjutnya satu Taman Wisata Alam yakni Sungai Dumai dan dua taman nasional yakni Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo.
Tiga belas kawasan konservasi itu sebagian hanya tinggal nama, seperti Pusat Latihan Gajah Riau. Sementara lainnya secara rill luasnya telah jauh berkurang bahkan nyaris hilang. Contohnya Suaka Margasatwa Balai Raja yang kini hanya tinggal 10 persen dari luasnya yang ditetapkan 18 ribu hektare.
Itulah sebabnya penatatabatasan menjadi poin penting agar kawasan konservasi yang tersisa di Riau bisa diselamatkan. Tanpa itu, tak mungkin rasanya menyelamatkan areal konservasi di tengah ketidakpastiannya.(ndi)