Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Rabu, 26 Agustus 2009

 Melihat Kematian Sungai-sungai

Memuliakan Zero Stone Peradaban

Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.


 Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Teluk Kuantan andinoviriyanti@riaupos.com

Sekitar 160 kilometer, dari Kota Pekanbaru menuju Kota Telukkuantan membentang 86 Jembatan. Ada 20 jembatan besar (yang bertiang hingga ke bagian atas langit-langit jembatan) dan 66 jembatan kecil (tiangnya hanya setengah badan). Jembatan besar untuk melompati badan sungai besar dan jembatan kecil untuk melompati sungai-sungai kecil.


Menatap sungai-sungai besar itu, yang terlihat adalah air sungai yang menyusut hingga jauh meninggalkan bibir sungai. Padahal biasanya bibir-bibir sungai itu selalu mampu dibasahkannya. Bibir sungai itu pun tak lagi terjal, tetapi sudah melandai. Seakan membentuk garis pantai. Warna air sungaipun sedikit keruh, tanda terjadi sedimentasi. Sementara sungai-sungai kecil, nyaris tanpa air.

Melihat dekat Sungai Singingi yang berada di sepanjang jalan raya yang dilalui, tepatnya di Kecamatan Singingi dan Singgingi Hilir, juga menunjukkan hal yang sama. Air sungai itu hanya tersisa setinggi mata kaki. Lebarnya juga hanya sejarak tiga, empat meter. Meski begitu, seorang pengemudi truk bersama bocah laki-laki, tampak juga menampung airnya di bagian yang agak dalam untuk mencuci truk.

Tak lebih baik, keadaan sungai yang seperti menunggu ajal juga terlihat di Kota Telukkuantan. Satu anak sungai, yang lokasinya berdampingan betul dengan Batang Kuantan terlihat menghijau. Tanda sudah lama tak dialiri air, karena sudah dipenuhi tetumbuhan rumput.

Di Batang Kuantan sendiri, keadaan sungai juga tak jauh lebih baik. Di tengah hiruk pikuk meriahnya pacu jalur yang tengah digelar, bisa terlihat dengan jelas sungai itu telah mendangkal. Bahkan untuk menggelar iven itu, alat berat sempat dikerahkan. Bukan saja untuk me¬ngeruk sungai, tetapi juga membangun turap pasir.

Turap pasir itu terlihat jelas di seberang pancang pertama, tempat iven wisata yang masuk kalender nasional itu digelar. Dari Tepian Narosa terlihat bagaimana peserta pacu jalur di bagian hulu (tempat mulai pacu) terlihat hanya berjalan kaki melewati badan air. Tanda sungai itu tidak lagi dalam.

Hambo (35), pria asal Kampung Baru, Kecamatan Gunung Toar, menceritakan keadaan sungai yang mendangkallah yang menjadi alasan dibuatnya turap pasir. Turap itu untuk membendung air sungai agar tak melebar ke samping. Namun berkumpul ke bagian salah satu sisinya, agar air sungai di bagian hulu itu cukup dalam untuk menggelar pacu jalur.

“Dulu, di pancang pertama itu aliran sungai seperti berbelah dua karena ada beting (gundukan pasir seperti pulau di bagian tengah). Namun, karena air sungai sangat sedikit, tak cukup untuk berpacu maka sungai tersebut diturap agar air hanya berkumpul di satu aliran saja,” paparnya Hambo, awal Agustus kemarin.

Merisaukan Kematian Sungai-sungai
Kondisi sungai-sungai yang mengering atau menuju kekematian itu telah lama diprediksi. Apalagi dua ciri-ciri utama kematian sungai kerap terlihat, yakni sungai mulai berpantai dan debit atau jumlah air sungai pada musim kemarau dengan musim hujan sangat jauh bedanya.

“Ini bukan sekadar pengaruh kemarau yang panjang atau Elnino. Tetapi memang karena keadaan sungai-sungai di Riau tak lagi sehat,” ungkap Kasi Evaluasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri Rokan Agus Wahdudiono, awal Agustus lalu.

DAS-DAS sungai tersebut menurutnya sudah sampai pada titik kritis. Pada tahun 2008, lahan terbuka di DAS-DAS itu mencapai 424.836 hektare. Tingkat erosinya juga tinggi. Untuk erosi berat (B) mencapai 799.087 ton per ha per tahun, sementara sangat berat (SB) 680,283 ton per ha per tahun. Dengan total luasan 1,479.370 hektare.
Ditinjau dari tingkat kekeruhan (total suspended solid-TSS) juga sudah keluar dari kadar TSS air kelas I dan II yakni hanya 50 mg/liter. Nilai TSS di DAS Indragiri mencapai 212 mg per liter, sementara di DAS Kampar dan Siak 100 mg per liter dan 148 mg per liter.

Kondisi sungai-sungai yang menuju kekematian tersebut, tak saja merisaukankan orang-orang yang bergerak di bidang lingkungan. Tetapi juga bagi para budayawan Riau seperti Al Azhar dan Yusmar Yusuf.

Bagi Al Azhar, kematian sungai itu menurutnya sama artinya dengan kematian Kebudayaan Melayu yang rata-rata terinspirasi dari sungai-sungai tersebut. Konsultan Ekspedisi Empat Sungai di Riau ini, awal Agustus lalu menyontohkan, kematian Batang Kuantan, akan berdampak pada eksistensi kebudayaan pacu jalur.

“20-30 tahun ke depan, pacu jalur itu pasti tetap ada. Namun makin artificial (buatan). Hanya skadar iven berpacu. Apa bedanya dengan perahu naga, pacu dayung, pacu sampan, dan berbagai pertandingan olahraga serupa lainnya yang terdapat di daerah lain di seluruh dunia ini?” tanya Al Azhar.

Pacu jalur, tambah Al Azhar, bukanlah iven olahraga, tetapi iven budaya. Ia adalah muara dari sebuah proses kebudayaan. Bagaimana masyarakat di negeri itu mengambil kayu untuk jalur dengan upacara. Lalu menghanyutkannya ke sungai agar sampai ke kampung yang dituju. Terus berbagai rangkaian acara adat pun digelar, salah satunya mangelo (menarik) jalur,” ujarnya prihatian khawatir kalau-kalau iven budaya masyarakat Negeri Kuantan itu kelak hanya seperti tontonan bola. Hanya sebuah adu kekuatan.

Bagi Al Azhar, sungai itu ibarat akar sebuah batang pohon. Tanpa akar tersebut, batang pohon itu akan lapuk. Kebudayaan Melayu yang ada kemudian hanya akan sekadar menjadi artifac (penghuni museum). Lalu ceritanya akan terkunci pada cerita-cerita masa lampau.

Kait mengkait sungai dan eksistensi kebudayaan Melayu, menurut Al Azhar telah dimulai sejak Peradaban Melayu sampai di tanah Sumatera. Sejak abad ketujuh, saat Kerajaan Sriwijaya dibangun ditepi-tepi sungai di Sumatera.

Dalam konteks kebudayaan Melayu Riau pun, tambahnya, juga dimulai dari sungai. Lihatlah bagaimana Candi Muara Takus, situs peradaban tertua di Riau itu berada di hulu sungai. Begitu pula kerajaan-kerajaan yang ada di Riau semuanya berada ditepian sungai.

“Siak Sri Indrapura adalah negeri di tepi sungai. Indragiri juga berpusat di Sungai. Rokan dengan lima kerajaannya juga berada di tepi sungai,” papar Al Azhar.
Al Azhar juga memaparkan bagaimana kampung-kampung yang ada di Riau juga berada di pinggir-pinggir sungai. Bahkan kebudayaan ladang berpindah juga berada tak jauh dari tepian sungai.

“Jika sungai-sungai itu mati, maka mati pulalah peradaban Melayu itu,” ujar Al Azhar.

Kematian peradaban Melayu itu, tambah Yusmar, juga bisa dilihat bagaimana hampir tidak ada lagi derap kehidupan di batang-batang air. “Dulu, di Siak ada perahu kotak. Perahu itu seperti sebuah supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga. Di situ ada keramba ikan hidup. Layaknya sebuah kedai berjalan. Ia selalu hadir tepat waktu. Namun seiring kehidupan sungai mati, kini perahu kotak itu pun tak ada lagi,” ujarnya menceritakan salah satu aktivitas kehidupan sungai yang menghilang.

Hilangnya peradaban sungai, menurut Al Azhar dan Yusmar, karena pola pembangunan yang dilaksanakan di Riau dan Indonesia secara umum berprinsip benua atau daratan.
Jalan-jalan, tambah Yusmar, dibangun asimetris dengan sungai. Sungai hanya dijadikan tempat pelintasan. Padahal sungai, kata Yusmar, adalah zero stone (batu pertama) kehidupan di kampung-kampung tempat kehidupan dimulai. Seperti Kota Pekanbaru yang kehidupannya dimulai dari Kampung Senapelan yang berada di tepian Sungai Siak. Oleh karena itu meninggalkan sungai, menurut Yusmar, sama halnya tidak menghormati Bapaknya. Sama pula dengan melawan hukum alam.

Sudah saatnya, menurut Yusmar dan Al Azhar, sungai-sungai tersebut dipulihkan. Jika tidak ingin kehancuran sungai berlanjut dengan kehancuran kehidupan di atasnya, baik karena banjir, kekeringan, maupun kehilangan eksistensi kebudayaan.

Memuliakan Zero Stone Peradaban
Negeri-negeri di dunia terkenal gagah perkasanya dan keelokannya karena keberadaan sungai-sungainya. Sebut saja Mesir dengan Sungai Nil-nya, Cina dengan Sungai Kuning (Yang Se)-nya, India dengan Sungai Gangga dan Indus-nya, Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Paris dengan Sungai Rheine-nya.

Keindahan dan kegagahan sungai-sungai itulah yang menginspirasi kota-kota di Indonesia kini pun bergerak menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Sebut saja Palembang, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak dan lain sebagainya.
“Tahun 80-90-an, kota-kota tersebut sama saja dengan kota-kota di Riau. Merupakan daerah slum (kampung miskin yang sesak), namun 3-4 tahun terakhir, kota-kota itu berubah menjadi kota-kota yang menghidupkan air. Mereka sudah memandang sungai atau badan air itu sebagai garden atau park. Mereka sudah berpikir sebagai water park. Tidak ada lagi bangunan yang membelakangi badan air,” ungkap Yusmar tentang cara memuliakan badan air sebagai zero stone peradaban.

Mereka telah menjadi water front city atau kota-kota yang berkaca air atau bercermin air. Menurut Yusmar itu mereka lakukan dengan membebaskan bagian tepi sungai dari bangunan-bangunan yang menyesak di tepian sungai. Tepian sungai kini dibiarkan kosong. Konsep pembangunan di buat perkampungan atau pembangunan di letakkan di tengah-tengah daratan. Di mana tepian sungai dibuat jalan.

Upaya memuliakan badan-badan air tersebut, menurut Yusmar, akan diikuti dengan upaya-upaya vegetatif (penananaman). Mengisi bagian tepian sungai dengan tanaman rain forest (hutan hujan) yang sebatin dengannya, bukan dengan tanaman seragam.
Sungai-sungai yang dihidupkan kembali juga menjelma menjadi tempat-tempat wisata yang unik. Seperti di Pontianak, ungkap Yusmar. Di kota itu, dibangun kapal seperti Titanic yang dibangun bertingkat-tingkat. Pada tingkat ketiga, orang bisa mencelupkan tangannya di Sungai Kapuas. Di situlah para anak-anak muda beromantis. Di kota itu juga disewakan perahu-perahu kecil yang hanya menyediakan tempat untuk pasang-pasangan. Dengan disinari hanya satu cahaya lilin. Lalu ada pengamen-pengamen yang bermain di atas perahu.

“Jadi menarik, karena mereka unik. Mematahkan image bahwa pengamen itu hanya ada di bus-bus,” paparnya.

Sungai yang terawat itu telah memberi nyawa baru buat kehidupan di atasnya. Sungai ataupun air itu telah memberikan garis horizontal yang bersifat pasif dan ketenangan. Itulah nantinya yang diharapkan pada pembangunan di Riau. Negeri yang mampu memberikan kedamaian dan kemakmuran dengan empat sungai besar dan ribuan sungai kecil yang melintasinya.***




1 komentar:

kelestarian sungai kuantan bersangkutan dengan banyak hal.

ada banyak hal yg membuat keberadaan sungai itu menjadi terancam dan banyak pula hal yg akan timbul jika sungai itu rusak atau punah.